“Farhan serius mau satu sekolah sama Ayu?” Ayu menatap tepat pada kedua mataku.
Aku mengangguk mantap sebagai jawabannya. Hari ini kami tengah menemani bunda dan mama Ayu rapat di sekolah, karena kami baru saja dinyatakan lolos masuk sekolah ini.
“Tapi nanti Farhan malu-”
“Gak, Farhan bakalan sombong sama semua orang karena bisa jagain Ayu.” Potongku. “Dan, semua orang pasti pada iri karena Farhan deket sama cewek cantik kayak Ayu.”
Ayu tertawa kecil menanggapi ucapanku. “Yang ada tuh Farhan-nya yang ganteng.”
~
“Lo kalo ada masalah bilang sama kita!” Ucapku dengan penuh emosi. “Lo gak tahu segimana khawatirnya kita!”
“Ini tuh sebenernya urusan lo bukan urusan kita!”
“Farhan udah!” Ayah menjauhkan Aku dari ruang tamu. Aku masih menatap lurus kea rah Ayu yang tengah duduk sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Kamu masuk kamar dan tenangin diri.” Ucap ayah. “Dan jangan dulu keluar sebelum kamu dipanggil.”
Aku menarik napas panjang dan berbalik badan menuju tangga dan berjalan ke dalam kamarku. Kuhempaskan badan ke atas ranjang. Kuraih ponsel yang terus saja bergetar.
Ayu udah pulang
Makasih udah pada bantu nyari
Aku mematikan ponselku dan menyimpan kembali ke atas nakas. Hari sudah sore saat Ayu kembali dengan wajah pucat. Bukan karena takut, tapi tadi ia tidak sempat makan siang karena tidak membawa uang lebih untuk makan siang. Hal itu jelas menyulut emosiku menyadari kecerobohan Ayu tersebut.
~
Aku mengerjapkan mata dan mulai merasakan jika bahuku diguncang oleh seseorang. “Farhan, bangun nak.”
Itu suara bunda. perlahan aku bangkit dan mengucek kedua mataku. Ternyata tadi aku ketiduran. Aku melihat ke arah kaca balkon dan mendapati langit sudah gelap. “Udah waktunya makan malam.”
Aku menganggukkan kepala pelan dan bangkit. Bunda sudah berjalan keluar, sedangkan aku pergi ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka. Setelahnya aku turun ke ruang makan. Di sana semua orang sudah menunggu, kecuali Ayu.
Aku menarik kursi dan duduk di atasnya. Tanpa basa-basi aku langsung mengambil nasi dan lauk pauk kemudian memakannya dengan lahap. Sepertinya suasana rumah masih seperti tadi sore. Ah, entahlah aku sudah tidak ingin memikirkannya lagi.
Makan malam ini hanya diisi oleh dentingan dari alat makan, meskipun aku merasa jika ayah, bunda, atau mungkin kak Baba sesekali menatap ke arahku yang tetap fokus pada makanan dihadapanku. Hingga saat makananku habis, taka da yang berani bersuara.
“Farhan, ke atas dulu.” Ujarku setelah meletakkan gelas kembali ke atas meja, lalu bangkit meninggalkan ruang makan menuju kamarku kembali.
Tapi sebelum aku memutar kenop pintu, mataku melirik ke arah pintu kamar yang berada di sebelahku.
Ketuk!
Aku menggelengkan kepalaku dan memilih memutar kenop pintu dan berjalan ke dalam kamar. Saat aku masuk ke dalam kamar aku langsung disuguhkan oleh pemandangan rumah Ayu yang kini tidak berpenghuni. Kulangkahkan kaki menuju ke arah balkon dan menatap lurus pada kamar yang dulu digunakan sebagai kamar Ayu.
Rasanya baru kemarin aku mengenal Ayu dan saling berteriak dari kamar kami masing masing hingga beberapa tetangga kami keluar dari rumah mereka dan memarahi kami karena berisik. Sekarang, semuanya benar-benar berubah terutama bagi Ayu.
Mungkin tadi aku sangat keterlaluan karena langsung memarahinya, jujur aku tidak pernah memarahi Ayu lagi semenjak aku berhenti tawuran. Tapi, Ayu tidak pernah memarahiku, tidak pernah.
Aku menarik napas dalam dan membalikkan tubuhku hendak masuk kembali ke dalam kamar, namun sesuatu menahan langkah kakiku. Rasanya aku kembali pada ke jadian sebelas tahun lalu, saat mendapati Ayu yang tertdur dibibir jendela yang terbuka, sama seperti sekarang. Aku melangkah mendekati pagar balkon dan memperhatikannya yang tertidur pulas. Terlihat jelas raut kelelahan diwajahnya, belum lagi akhirakhir ini Ayu memiliki kantung mata.
Cukup lama aku memperhatikannya saat angina malam semakin kencang. Buru-buru aku masuk ke dalam kamar dan menutup jendela balkon, kemudian lari keluar kamar untuk menuju kamar di sampingku. Beruntung kamar Ayu tidak terkunci sehingga aku langsung masuk ke dalam dan mendapati Ayu yang mengerjap terkejut karena bunyi dari benturan pintu kamar.
Dengan langkah pasti aku berjalan menuju Ayu yang masih sibuk mengumpulkan nyawa. Sesampainya di depan Ayu aku segera meraih tubuh mungil Ayu dan membawanya ke atas ranjang. Aku menyadari jika Ayu kembali terkejut saat aku tiba-tiba menggendongnya.
Aku membaringkan tubuh Ayu dan menyelimutinya, sedangkan Ayu tengah menatapku bingung. Tak berselang lama suara langkah kaki yang terburu-buru terdengar mendekat. Aku menegakkan tubuhku dan berbalik untuk menutup jendela saat sebuah suara terdengar, “Ayu?! Kenapa?!”
Itu bunda yang dibelakangnya diikuti oleh ayah dan kak Baba. Bunda berjalan menghampiri Ayu yang tengah berbaring, tangannya terulur mengecek suhu tubuh Ayu. “Ayu gak papa, bunda.”
Aku menatap Ayu lekat saat mendengar suaranya yang begitu serak, apa mungkin dia habis menangis tadi hingga tertidur?
“Badan kamu dingin, sayang.” Bunda menarik selimut untuk menutupi tubuh Ayu hingga ke leher. “Ya udah kamu tidur lagi.” Ayu menganggukkan kepalanya dan mulai memejamkan matanya kembali.
~
“Bunda, bunda, bunda.” Aku menarik-narik ujung baju bunda yang tengah memasak.
“Apa? Jangan ganggu bunda masak.”
“Tadi kan Farhan ke rumah Ayu.” Aku mengikuti ibu yang dari tadi bulak balik entah sedang melakukan apa. “Rumahnya gede, tapi serem.” Aku bergidig ngeri saat mengingatnya.
“Masa tadi ada nenek-nenek yang wajahnya serem.”
“Jangan gitu Farhan! Siapa tahu itu neneknya Ayu,” Ujar bunda.
Aku menggelengkan kepala. “Bukan, kata Ayu nenek itu pembantu di rumahnya.”
“Terus tadi Farhan liat wajah ibu-nya Ayu.” Lanjutku. “Tapi, bunda. kenapa Ayu punya ibu dua? Kata Ayu yang di photo itu ibunya Ayu sedangkan yang pernah ngusir Ayu itu mamah Ayu. Farhan jadi bingung.” Aku menggaruk kepala belakangku, kebingungan.
Aku menengadahkan kepala menatap pada bunda yang malah diam mematung.
~
“Mereka itu gak punya hati, bun. Yang salah itu ayah sama ibu Ayu, tapi kenapa Ayu yang dibenci.” Curahku pada bunda yang menemaniku mengobrol setelah dari kamar Ayu.
Bunda mengusap kepalaku. “Iya, seharusnya Ayu bicarakan ini dengan kita. Tapi tadi dia bilang jika dia malu.” Aku menengadah menatap bunda yang tengah duduk di tepi ranjang dengan aku yang sudah berbaring.. “Gak ada yang mau lahir dari sebuah kesalahan. Ayu gak tahu apa-apa, dan gak sebaiknya dia diperlakukan seperti itu.”
“Sekarang, bagaimana bun?”
Bunda menatap padaku. “Entahlah, kita liat aja ke depannya.”
“Sekarang, kamu tidur.” Bunda bangkit dan menarikkan selimut untukku. “Besok Ayu ijin lagi.” Aku menganggukkan kepala dan mulai menutup mata. Semoga besok semuanya membaik.
~
Oleh Luthfita A.S.