Aku meringis pelas saat menyentuh pipiku. Sepertinya pipiku memar. Dengan keringat yang bercucuran aku berjalan menuju rumah dengan kondisi yang, entahlah aku juga tidak tahu harus menyebut bagaimana kondisiku ini.
“Farhan!” saat aku baru saja melangkahkan kakiku memasuki halaman rumah, kak Baba langsung bersahut keras dan langsung menghampiriku. Yang aku lihat, kak Baba sepertinya tengah membersihkan motornya.
“Lo abis ngapain? Tawuran?” Tanya kak Baba sembari memapahku, padahal kakiku tidak kenapa-napa.
“Enggak, kak.”
“Terus ini kenapa pipi kamu biru,” kak Baba menenkan memear di pipiku yang langsung disambut oleh suara ringisanku. “Seragam lo kotor lagi.”
“Biasalah bang urusan cowok.” Kilahku.
“Urusan cowok yang mana?!” Sewot kak Baba.
“Farhan!” seru bunda saat aku baru saja mendudukkan tubuhku di atas kursi ruang tamu. Aku menghela napas lelah, baru saja aku diintrograsi oleh kak Baba kini bunda. dan aku yakin jika kak Baba akan ikutan mengompori bunda.
“Kamu kenapa, nak?” bunda duduk di sampingku seraya memperhatikan memar di pipiku. “Kamu gak ikut tawuran lagi, kan?”
“Jangan mentang-mentang gak ada Ayu kamu ikutan tawuran lagi!”
Aku menggelengkan kepala. “Farhan gak ikutan tawuran kok.”
“Terus ini kenapa pipi kamu sampe biru gini?”
“Biasa mah urusan cowok.” Jawabku sama seperti kepada kak Baba.
“Urusan cowok apaan sampe kamu harus berantem?” Aduh ternyata bunda lebih ngegas.
“Lo rebutan cewek?” sahut kak Baba.
Buru-buru aku menggelengkan kepala. Mana mungkin aku berubutan perempuan sedangkan Ayu, eh.
“Jawab jujur Farhan!” desak bunda.
Aku menghela napas. “Farhan berantem sama Aldi.”
“Kamu ngapain berantem sama dia?”
“Abis Farhan gak suka liat dia, bun.”
“Ya gak usah lo liat!” sahut kak Baba.
“Pokoknya Farhan kesel banget liat dia yang tenang aja, gak tahu malu!”
~
Aku meringis pelan saat tanpa sengaja sisir yang aku gunakan mengenai memarku. Aku letakkan sisir tersebut di atas nakas dan melihat memarku melalui cermin dihadapanku. Aku pikir pukulannya tidak akan meninggalkan memar seperti ini.
Tok! Tok! Tok!
Aku beralih menatap pintu kamar yang baru saja diketuk. Melangkahkan kaki dan menarik kenop pintu, aku menemukan sosok yang beberapa hari terakhir menghindariku tengah berdiri di hadapanku dengan tingkah malu-malunya yang kurindukan.
“Farhan-“ ucapan Ayu terpotong oleh tindakan aku yang langsung menarikya dalam pelukanku. Itu gerakan refleks tergila yang pernah aku lakukan. Terserah jika sekarang Ayu tengah kebingungan dengan tingkahku atau mungkin irama jantungku yang berdegup kencang. Yang jelas, aku tidak ingin dia pergi lagi.
~
Aku terpejam dengan senyuman yang masih terpatri diwajahku. Aku merasakan sesuatu mulai membebani kepalaku. Saat suara langkah kaki terdengar aku membuka mataku. Menatap sosok dihadapanku. Sosok dalam cermin itu terlihat gagah dengan jubbah dari kain sarung milik kak Baba, pedang mainan yang menyala dari pasar, dan mahkota dari tangan ajaib milik Ayu.
“Yey!! Farhan jadi raja!” Ayu menepuk tangannya girang.
Aku membalikkan badanku menghadap Ayu. Aku mengangkat sedikit daguku dan berjalan dengan gagah ke arahnya. Setelah sampai aku bertekuk lutut dihadapan Ayu, seperti yang sering dilakukan pangeran-pangeran, walaupun aku berpakaian seperti raja.
“Putri Ayu.” Ayu terkekeh mendengar panggilanku padanya.
“Iya padukaraja.” Jawab Ayu.
Aku mengeluarkan sebuah donat yang aku ambil dari meja makan. “Mau kah kau menikah denganku?”
Ayu tertawa senang. “Aku mau paduka.”
Aku meraih jemarinya dan memasangkan donat itu di jari manisnya dan nampak lucu saat melihat jika donat itu terlalu besar untuk kujadikan cincin.
~
“Ayu minta maaf soal kejadian kemarin.” Kini kami tengah berada di dalam kamarku dengan Ayu yang duduk di tepi ranjang dan aku yang tengah duduk di kursi meja belajar. “Ayu gak tahu harus ngomongnya gimana sama keluarga Farhan. Dan Ayu gak mau ngerepotin kalian terus.”
“Yang ada rumah kita jadi rame,” balasku menenangkan Ayu. “Terus kenapa beberapa hari sebelumnya Ayu ngehindarin aku?”
Ayu menangalihkan tatatpannya draiku ke arah lain. “Em, itu karena Ayu mau Farhan bisa terbiasa tanpa kehadiran Ayu lagi.”
“Terus, Ayu liat Farhan akhir-akhir ini deket banget sama Esti jadi Ayu gak enak aja kalo terus gangguin Farhan. Terus cara bicara Farhan ke Ayu juga agak beda.” Ucapan Ayu tadi langsung membuatku terkejut bukan main. Bagaimana mungkin Ayu beranggapan jika aku dan Esti sedang dekat.
“Kok kamu bisa mikir gitu?”
“Karena setiap kali ada Farhan di situ juga ada Esti jadi kan Ayu gak suka, ups!” Ayu menutup mulutnya dan mulai- memukul pelan bibirnya, dia juga bergumam tidak jelas.
Aku bangkit dari kursi dan menghampiri Ayu. “Ayu gak suka aku deket sama Esti?”
Ayu tidak menjawab ia lebih memilih berpura-pura diganggu oleh nyamuk yang jelas-jelas tidak ada. Aku tersenyum dan berlutut di hadapan Ayu.
“Ayu cemburu?” Ayu menundukkan kepalanya dan memperhatikan jemarinya yang sudah saling berkaitan, kebiasaan Ayu jika gugup. Aku maraih jemari Ayu yang saling bertautan itu dan membungkusnya oleh tangankku. “Farhan gak lagi deket sama Esti kok. Jadi Ayu gak perlu ngejauh lagi, dan gak boleh cuek lagi sama Farhan.”
Pipi chubi-nya bersemu merah ditambah oleh senyum malu-malu dan mata bulatnya menatap lurus padaku. “Jadi gak usah cemburu!”
“Tapi Farhan juga suka cemburu kan kalo liat Ayu merhatiin kak Aldi dulu.” Tuduh Ayu yang langsung membuat wajahku panas.
Ayu mengerutkan keningnya bingung. Iya menekan pipiku yang tidak memar dengan jari telunjuknya. “Sakit gak?”
Aku menantapnya bingung, tapi tetap menjawabnya dengan gelengan kepala. “Tapi kok pipi Farhan yang ini jadi merah, padahal yang memarkan cuman yang ini.”
Buru-buru aku menutupi kedua pipiku. “Farhan bohong, ya?”
“Enggak! Ini memar asli!” aku menunjuk luka memarku.
“Atau Farhan diam-diam pake blush on punya bunda.” aku melotot ke arah Ayu. Yang benar saja aku memakai peralatan make up.
Ayu tertawa melihat reaksiku tadi. “Ayu cuman bercanda. Farhan pasti lagi blushing.”
“Apaan sih, sok tahu.” Rengutku kesal.
“Ngaku aja, itu pipinya udah merah.” Ayu menyolek kedua tanganku yang masih setia menutupi kedua pipiku. Aku mengerucutkan bibirku sebal karena terus digoda olehnya. “Ih, Farhan keliatan jelek!”
Ayu tertawa terbahak-bahak hingga ia memegangi perutnya. “Ayu jahat!”
“Harusnya tadi Ayu photo. Kapan lagi coba liat wajah jelek Farhan.”
“Oh, berarti selama ini aku ganteng.” Ujarku sambil melepas kedua tanganku dari pipiku dan menyisir rambutku pelan.
“Emang ganteng!” balas Ayu tanpa basa-basi. “Hahahha! Farhan blushing lagi!”
Aku menatapnya kesal. Kuulurkan tanganku dan mencubit kedua pipinya gemas. “IH! Ayu nyebelin!”
“Aduh-aduh! Farhan sakit!” keluh Ayu tapi masih tetap tertawa.
Aku menjauhkan tanganku dari pipinya. “Jadi?”
Aku mengerutkan keningnya bingung dengan pertanyaan tidak jelasnya itu. Tiba-tiba sebuah ide muncul. “Jadi? Jadi, mau gak jadi kekasih hatiku.” Ucapku dramatis.
Ayu tersenyum dan, “Aku mau.”
[End]
Oleh Luthfita A.S
Terima kasih sudah membaca cerita ini hingga akhir. Untuk informasi ceritaku yang lain, kalian bisa cek instagram aku di @m.takar_s.
See you.