[Akira]
Aku meninggalkan Ibu dan bermaksud menghampiri Biru yang kuyakini sedang asyik di rumahnya. Ketika langkahku tinggal beberapa menuju pintu rumahnya, suara seseorang menyadarkan sekaligus memberhentikan langkahku.
"Bintang!"
Mendengar suara tersebut, sontak saja kepala sekaligus mataku langsung mencari asal suara. Aku mencari-cari, ke kanan ke kiri bahkan ke belakang, namun orang yang ku maksud tak terlihat juga.
"Di atas Bi!" Ku dengar seruan seseorang. Kakiku mundur beberapa langkah lalu mengadahkan kepala bermaksud melihat rupa Biru. Tepat sekali, dia ada disana. Dengan cengiran lebar ia terlihat bangkit dan bertumpu dengan lututnya.
Mas Biru sedang berada di atas atap rumahnya. Jangan kalian pikir atap rumahnya genting yang bewarna oranye itu. Tidak ... atap rumah Biru datar dan tertutupi dengan beton berlapis semen.
"Kamu mau nyari siapa?"
Tetiba serasa ada yang tersangkut di leherku. Ku telan ludahku samar-samar. "Cari kamu."
Biru tersenyum sambil tetap lekat memonitoriku, "Sini-sini Saya lagi mandangin bintang dari atas sini."
Tentu saja setelahnya kepalaku mendadak terangkat lebih dan kedua mataku mencari dimana letak bintang yang dimaksudkan.
Ah, di atas sana ada beberapa tabur bintang.
"Bintang yang mana Mas? Ada banyak bintangnya."
"Yang Saya liat cuman satu."
Mendengar ucapan orang itu aku mengucek mataku yang mungkin saja membayang untuk saat ini. Ku hitung lagi jumlah bintang yang terdapat dalam kanvas bewarna gelap tersebut.
1.. 2.. 3.. 4.. 5...
Total bintangnya kurasa hanya ada dua belas. Namun kenapa Biru bilang hanya satu?
"Di atas ada dua belas Mas! Barusan ku hitung." Aku langsung kembali menetap Biru.
"Yaa memang yang di atas dua belas." Suara Biru terdengar membuat alisku mengerut heran. Lalu? apa maksudnya yang dilihat hanya satu?
Biru mengadahkan kepalanya mendapati jawaban diam dan keherananku, ia menunjuk-nunjukkan tangannya ke atas langit, "Barusan Saya hitung ada tiga belas."
Apa lai ini? Setahuku aku sudah benar menghitungnya tadi, ku coba kembali menatap langit dan menghitung bintang-bintang itu lagi. Namun secara kebetulan, suara Biru menghentikan hitungan dan laju pemikiranku.
"Yang satu jatuh nih, ada dibawah Saya, lagi ngitungin temen-temennya."
Deg.
Mengapa perkataan Biru selalu bisa berdampak buruk pada kesehatan jantungku? Bisa serangan jantung tiba-tiba jika aku terus berbincang dengan tema seperti ini dengan Biru.
"Haha kenapa diem Bi? bener kan? kamu Bintang."
Aku berusaha keras menetralkan rasa yang sekiranya ingin membludak. Sekuat mungkin ku cegah laju aliran darah yang perlahan merangkak naik ke pipi.
Ku tangkup pipiku dalam dua telapak tangan seraya menjawab Biru, "Iya hehe."
Biru mengulaskan senyum ajaib miliknya, sebelah tangannya bergerak menginstruksikan aku tuk menghampirinya yang sedang berada di atas. "Tangganya di sebelah, kamu naiknya hati-hati ya."
Aku mengangguk sambil melangkah menuju tangga bambu yang terlihat di sebelah kiri bangunan minimalis yang di huni Biru bersama Eyang kakung dan Eyang uty-nya. Tak perlu waktu yang banyak untuk menaiki tangga tersebut, kini aku sudah sampai dan berupaya tuk duduk di tikar yang sedang di duduki Biru.
"Mas, Om Danis besok pulang."
Kedua sorot yang sedang ku tatap berubah rancu. Kedua mata Biru membulat terkejut, dan serasa ada maksud lain dari kedua tatap itu.
"Mas?"
Seakan sedang menerawang jauh entah kemana, Biru tiba-tiba saja kosong arah pandangnya.
"Mas Biru?" Aku nyentuh tangan kanannya pelan. Semacam terkejut, laki-laki itu langsung menoleh dan tersenyum canggung, "Eh iya?"
"Mas Biru tadi denger apa yang ku omongin gak?"
Biru terlihat membetulkan frame kacamatanya yang sedikit turun, "Denger kok, Ayah mau ke Jogja kan?"
Aku tersenyum sekaligus menjawab pertanyaannya.
Lalu seperti tumbuh dan langsung keluar dari atas ubun-ubun kepalaku, satu pertanyaan terlintas. Sebenarnya apa yang salah pada Biru? mengapa ia terlihat begitu syok mendengar Om Danis akan pulang?
*
Hari ini sudah memasuki minggu yang berbeda. Sebenarnya ini belum pagi. Maksudku, ini masih pukul 4 kurang 15 waktu dini hari. Ya ... hari ini hari pertama aku ospek, dan ... hari kepulangan Om Danis dari Palangkaraya. Aku sungguh excited menanti hari ini tiba.
Ospek hari pertama dimulai pukul 05.00 WIB, yang mau tak mau memaksaku untuk bangun sepagi ini untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memang barang-barang dan keperluan sudah kupersiapkan sejak kemarin dan hari ini semua sudah beres, namun tetap saja ada rasa was-was di dalam hati.
Satu pesan whats app masuk dalam notifikasi ponselku. Di sana, adalah kolom chatting grup antara Aku, Adara, dan juga Senja.
"Akiraaa bangun!" Aku tersenyum melihat pesan itu, itu adalah pesan dari Adara.
"Udah dari tadi bangun kaliik." Ku ketikkan jawaban sambil mengenakan atribut yang disuruh oleh panitia ospek.
"Ooo kirain belum bangun."
Aku hanya membaca pesan yang Adara kirim dan kembali mengecek segala barang bawaan.
"Ada cogan ga ya nanti?" tulis Adara.
"Ampun dah Dar, belum juga masuk ... mana bisa lo nanti lirik-lirik cogan? Gue denger-denger Komdis (Komisi Disiplin) di Kampus kita galaknya gak ketulungan. Bahkan tahun kemarin katanya ada yang nangis minta pulang!" Senja menuliskan opininya dengan panjang lebar.
Aku yang membaca setelah mendengar bunyi notifikasi menelan ludah yang sesaat mengganjal. Kalau hari ini sampai telat aku bakal habis kena omel pastinya.
"Suuttt ... ayo ge' endang siap-siap engko telat!" ku ketikkan kata-kata itu, kemudian tak lama, kumandang adzan berbunyi, untungnya aku sudah mengambil air wudhu setelah mandi tadi. Segera ku tunaikan kewajibanku dan meminta kemudahan pada pemilik semesta untuk hari ini.
Selepas itu aku kembali melihat diriku dalam cermin. Rambutku sudah terkepang menjadi dua di bantu oleh Ibu yang ikut menemaniku di pagi ini. Tak ada polesan make up yang berlebih sebab peserta dilarang mengenakannya. Bahkan, aku hanya memakai bedak bayi pada wajah dan lipbalm tanpa warna di permukaan bibir. Terlihat pucat? Sepertinya begitu.
Biarlah, aku tak sedang mencari pujaan hati ataupun gebetan saat masa ospek berlangsung. Aku lebih ingin mencari teman dan pengalaman, hahaha.
Dering dari ponselku berbunyi, menandakan seseorang sudah menantiku menjawab panggilan sejak dering pertama berbunyi. Semula aku mengira itu Adara atau Senja, tetapi nama 'Daniswara Biru' lah yang tertera pada layar.
"Assalamualaikum." Kataku.
Biru seperti membuang nafas pelan mendengar suaraku, "Waalaikumussalaam. Ayo neng, nanti telat ke kampusnya ... abang mau ambil order penumpang yang lain nih."
Aku tertawa.
Why he so 'receh'? Hahaha.
"Sabar bang ... udah di bayar dimuka juga ongkosnya."
Gantian dia yang tertawa.
"Yauda Saya tunggu di depan ya, jangan lupa pake jaket ... Jogja dingin kalo pagi gini." Sekarang, suara laki-laki itu sudah berubah menjadi Biru yang biasanya.
"Siaap pak bos."
Ku tutup sambungan yang ada dan sesegera mungkin memakai kaos kaki juga sepatu. Memang, Mas Biru sudah janji ingin mengantarku ke kampus, aku sudah menolak dan berdalih akan naik angkutan umum saja, namun ia tetap berasumsi bahwa pada pukul segini mana mungkin ada angkot yang beroperasi. Maka dari itu, aku menyetujui ajakannya.
Aku berpamitan pada Ibu dan tak lupa meminta do'a agar hariku berjalan lancar. Ibu tersenyum dan menghusap puncak kepalaku, "Hati-hati ya nak."
"Iya, assalamualaikum."
"Waalaikumsalaam."
Sampai di depan aku melihat Biru yang sudah berada pada motornya dengan pose duduk layaknya tukang ojek. Pagi belum cerah dan langit masih berwarna hitam di atas sana, dengan tas hitam yang sebesar disepenser kakiku melenggang menuju Biru.
Biru yang sadar akan sosokku yang datang dari kejauhan, tertawa.
"Mau naik gunung neng?" Katanya setelah jarak kami hanya terlampau 2 meter. Mendengar itu, ku tampakkan wajah masam padanya.
"Sini-sini tasnya taruh depan aja, kasian Saya liatnya."
Aku cemberut, "Dih jahat."
"Lagian panitianya parah banget, nyuruh bawa yang macem-macem deh pasti?" Ia berdiri dari posisi nyamannya dan beralih mengambil tasku.
"Ini bawa apa lagi ko berat banget?"
"Air 3 liter, buku, alat sholat, sendal jepit, bekel, sama dll.. banyak pokonya." Ku jawab pertanyaannya dengan nada datar.
"Ko 3 liter airnya? Kamu mau mandi disana?"
Lagi-lagi ku nampakkan muka masamku padanya.
Ada apa dengan laki-laki ini sebenarnya.
"Mas'e introgasinya nanti aja, aku bisa telat kalo introgasinya sekarang."
Biru semacam terkejut mendengar penuturanku. "Eh iya lali aku hehe ... ayo berangkat sekarang, helmnya pake." Ujarnya sambil menjunjuk helm di atas jok belakang motorya sementara ia masih berkutat dengan tas sebesar dispenser itu.
Di jalan, ia kembali berbicara, "Berarti habis kamu selesai ospek Saya bisa tagih introgasinya ya, tempat introgasinya di Mie Ayam pakde Tuki aja, hehe."
Aku tersenyum mendengar suaranya sambil mengiyakan permintaannya.
*
Hari pertama ospek diisi dengan berbagai macam materi yang memang kurasa berkualitas untuk masa depan. Seperti sekarang, materi tentang kedisiplinan juga kepemimpinan. Tapi jujur saja, semua materi-materi yang sudah diberikan pasti saja buat aku mengantuk.
Tak terkecuali dengan gadis berkuncir satu di sebelahku yang sangat kebetulaaan sekali aku bisa sekelompok dengannya. Ya, Adara Ulani ... kini ku lirik gadis itu sebab mendapati matanya sudah terpejam dengan kepalanya yang menunduk. Sambil memegangi pulpen yang sudah teroret di kertas dengan pola tak tentu, gadis di sebelahku benar-benar sudah hilang akan kesadaran.
"Dar...." Ku senggol tangannya, berharap sang empunya cepat bangun akan keterlelapannya.
Yang ku senggol tak juga membuka mata dan malah makin jatuh tertidur setidur-tidurnya.
Seraya menyenggolnya lagi, aku membisikkan namanya dengan nada yang sedkit ku tekankan, "Adara Ulani!"
Adara sedikit terkejut mendengarnya, "Ha' eh apaan?"
"Jangan tidur! Dari tadi kamu diliatin kaka Komdis tau." Aku berbisik lagi padanya.
Sambil mendengarku berbicara, kepala Adara tengak-tengok mencari sosok yang kataku sedang memperhatikannya. Tapi memang benar, pria di pojokan auditorium dengan almamater yang digulung sesiku juga slayer hitam yang tergulung di pergelangan tangannya itu, memang sedang memperhatikan Adara. Eh bukan hanya Dara, aku pun ... ya, saat ini kami sedang ditatap nanar oleh sepasang mata elangnya.
"Daraaa ... yang itu tu, komdis yang lagi jalan ke sini, yang almetnya digulung, yang putih, badannya kecil."
Aku merasakan kepala Adara berhenti mencari dan tatapannya tetiba berubah memuja, ketika sudah ditemukannya sosok pria yang ku maksud sejak tadi.
"Ra, ko ganteng."
What?
"Aiiih kamu mah."
Sesaat setelah aku berkata demikian, pria yang sejak tadi ku maksud mengulurkan jari tangannya kemudian menunjuk ke arah kami.
"Eh, lo berdua! Sini buru ikut gue!"
Deg.
Aduh ... habis kamu Akiraaa!
*
Sekarang, Akira dan Adara sedang mengekori sesosok pria yang tadi sempat membuat jantung keduanya berdegup. Akira jelas berdegup sebab ia sudah yakini bahwa mereka akan segera dimarahi sesaat lagi. Tetapi Adara, ia berdegup sebab pria yang sedang ia tatap punggungnya dari belakang ini entah mengapa membuat dirinya merasa berbunga-bunga. Perbedaan yang sangat kontras.
Mereka berhenti di sebuah ruangan yang mereka yakini adalah ruang hukuman. Sebab, di ruangan ini pun terdapat pula beberapa mahasiswa baru yang sedang diomeli atau sekedar diperingati, yang jelas semua mahasiswa baru yang ada di ruangan ini sudah pasti melakukan suatu kesalahan.
"Dara, kamu sih pake tidur tadi."
Adara yang sejak tadi masih senyum-senyum menjawab pertanyaan dengan nada bahagia, "Apaan? Gue malah seneng ketangkep basah gini ... hehe."
Mereka bertiga berhenti tepat di sudut ruangan, pria yang semula memimpin jalan membalikkan badan sambil mengangkat suaranya.
"Pada ngobrolin apa tadi? Asik banget kayanya sampe ga peduliin materi." Ujarnya dingin.
Akira yang semula geram menatap Adara langsung menundukkan kepala dalam-dalam, sebab tak mau bersitatap dengan Komdis yang satu ini.
Sementara Adara, gadis itu masih tak berhenti mengulum senyumnya sambil memperhatikan setiap inchi dari wajah pria di depannya.
"Kenapa lo liatin gue kaya gitu?!"
Serasa terpergok, Adara segara menyadarkan diri, "Ga papa ko kak, pengen aja."
Pria yang bedialog dengannya membulatkan mata, "Lo tuh ya, ko kaya ngelunjak banget."
"Bukan gitu, tadi kaka nanya kan, yauda Saya jawab. Jujur lagi jawabnya, emang salah?"
Lagi-lagi pria itu terkejut, "Gilaa! Berani ngejawab lagi!"
Adara menutup mulutnya, tak menyangka jika pria yang sejak tadi membuatnya berbunga ternyata segalak ini.
"Siapa nama lo?!"
"Adara kak."
"Jurusan?!"
"Ilmu Komunikasi."
Pria di depan adara juga Akira kembali dibuat terkejut, "Luar biasaa! Ternyata anak Ikom lagi...." Ujarnya dengan nada takjub.
Akira yang sejak tadi hanya berani menundukkan kepalanya, mulai berani menatap bagaimana sesungguhnya sosok yang sedang adu mulut dengan temannya itu. Namun baru saja ia mengadah, tatapannya sudah bertemu dengan pria yang dimaksud.
"Dan lo?"
"Sa.. saya Akira kak."
"Jangan bilang Ikom juga."
"Iya."
Setelah mendengar satu kata yang keluar dari mulut Akira, laki-laki berkulit bersih ini terlihat sedikit tertawa remeh sekaligus heran. Disaat yang sama, ia bertutur pelan yang bahkan mungkin penuturannya hanya bisa ia dengar seorang diri, "Sampai ketemu lagi deh nanti."
Tanpa ada yang menyadari, sosok tinggi menjulang dengan rambut hitam bertelinga lebar menghampiri mereka bertiga.
"Kenapa mereka, Pe?
Orang yang disebut dengan kata 'Pe' itu tersenyum masih dengan senyuman remehnya.
"Lo tanya aja deh."
Sosok yang baru datang itu memperhatikan dua gadis di hadapannya dengan seksama sebelum berucap, "Kalian pasti tau kan kenapa ada di ruangan ini?" Ujarnya menggunakan nada santai.
"Tau kak." Jawab Akira dan Adara berbarengan.
"Yaudah sok coba ceritain kenapa bisa ada disini. Terus pikirin deh tuh hukuman apa yang pantes atas perbuatan kalian."
Akira menengang.
Namun berbeda dengan Adara, dengan satu tarikan nafas gadis itu mulai bercerita kepada dua sosok pria asing dihadapannya.
"Tadi Saya ketiduran, terus temen Saya ini bangunin Saya, abis itu dia cerita kalo Saya lagi diliatin kaka Komdis. Nah saya cariin dong orang yang lagi liatin saya, eh taunya kaka ini yang liatin." Adara berucap dengan lugas sambil menunjuk pria dengan tangan bersilang di dpan dada yang tadi memergokinya tepat pada kalimat terakhir.
Pria tinggi yang bertanya pada mereka segera menoleh pada pria yang satunya. Dengan tatapan aneh yang hanya bisa diartikan oleh sesama pria, mereka kembali mendengarkan cerita Adara.
"Yauda kan, mungkin karna waktu itu temen Saya lagi ngasih tau kalo kaka yang ini ngeliatin, kaka nganggepnya kita ngobrol, jadinya kita berdua dibawa kesini."
Ada keheningan sesaat diantara mereka berempat.
"Menarik." Pria yang bertanya kemudian menanggapi dengan singkat.
"Yauda kalo gitu kamu-" Kata pria itu lagi, kini sambil menunjuk Akira, "Boleh balik lagi ke auditorium, makasih ya udah bangunin temen kamu ini yang namanya-" Ujarnya menggantung.
"Adara."
"Adara kak"
Kedua suara itu mengudara secara bersamaan.
Semacam jantungnya mau lepas, Adara dan pria yang tadi disebut dengan panggilan 'Pe' itu saling menatap dengan lekat. Sementara dua orang yang lain, hanya mampu memperhatikan mereka dengan diam.
"Haha oke Adara." Kata pria tinggi dengan Name Tag bertuliskan 'Cakrawala Ramdhana' itu sedikit tertawa.
Kemudian ia beralih menatap Akira, "Untuk kamu, sekarang balik ke audit. Perhatiin lagi materinya, kalo sampai Saya pergokin kamu tidur kaya temen kamu, hati-hati aja ... Saya hafal wajah orang dengan sekali komunikasi kaya gini soalnya."
Akira mengangguk paham ketika diberi wejangan oleh Komdis yang ternyata tak terlalu galak tersebut. Dengan langkah seribu, ia tinggalkan ruangan itu tanpa peduli nasib Adara. Namun sebelum betul-betul pergi, ia sedikit berbisik pada gadis di sebelanya, "Maaf ya Dar, pokonya nanti kamu harus cerita, aku duluan...."
Di dalam hati, entah Adara harus sedih atau bahagia dengan kondisinya saat ini. Disatu sisi ia bahagia bisa berada dekat Komdis galak di depannya, di sisi lain ia juga takut akan sosok laki-laki itu.
"Yaudah, pokonya bismillah aja." Akhirnya hati kecilnya berbicara.