Suhu di kota hari ini dingin sekali. Tidak seperti kemarin, suhu yang hangat, cuaca yang cerah dan disertai langit berwarna biru. Tanganku bergerak memeluk tubuhku sendiri berharap bisa mengusir dinginnya angin yang baru saja menerpa. Huh!
Sebentar lagi!
Berkata kepada diriku sendiri mengingat lima menit yang lalu bel masuk berbunyi. Memang peraturan tentang keterlambatan lumayan longgar untuk bagian depan. Namun tidak memungkinkan untuk mendapatkan hukuman di dalam kelas bukan?
Begitu turun dari halte bis yang biasa kunaiki, aku akan langsung berlari dan sedikit berharap belum ada guru yang masuk ke dalam kelas. Dari kejauhan aku melihat pintu gerbang yang masih terbuka lebar dan benar saja, bahwa tidak ada petugas piket yang menjaga. Hanya ada empat satpam berpakaian hitam layaknya bodyguard dan lebih beruntungnya lagi, mereka tidak berhak menghukum murid yang terlambat jadi tidak masalah buatku untuk melewati mereka.
Setelah melewati mereka, aku langsung melesat ke dalam lorong-lorong kelas. Aku berhenti dan merapikan anak rambut yang sedikit berantakan. Sesudah rapi, aku berjalan perlahan dan sedikit menengok kedalam kelas. Aku melihat semua orang sedang duduk manis menghadap ke depan kelas.
Mampus gue!
Aku Kenya atau lebih lengkapnya Kenya Azzahra, murid pindahan sekolah ini pada tahun ajaran pertama kelas 2-IPA1. Dan dari sekian banyak anak-anak yang bersekolah disini, tidak ada satupun anak yang aku kenal.
Karena sekolahku ini termasuk golongan yang bisa membuat kantong keuangan para orangtua terkuras kalau kondisinya berada di kelas menengah kebawah. Yap, sekolahku ini termasuk sekolah swasta elit yang sudah bertaraf internasional.
Disini pun ada pembagian golongan yang dibagi menjadi tiga menurut versi yang aku dengar.
Yang pertama berada di tingkat piramida tertinggi atau puncak, yaitu orang-orang borjuis yang orangtuanya bekerja sebagai pemilik perusahaan maupun anggota politik. Sudah jelas jika mereka masuk ke sekolah ini akan menjadi sorotan dan paling populer diantara golongan lain.
Selanjutnya berada di tingkat kedua, yaitu orang-orang borjuis yang memilih jalan aman. Atau istilahnya tim netral. Tidak mencari gara-gara dengan tim "puncak" yang notabenenya suka memamerkan kekayaan orangtua mereka dengan berlebihan.
Dan terakhir adalah tingkatan paling bawah piramida, yaitu orang-orang yang kebanyakan dari kelas menengah ke bawah dengan otak encer. Orang-orang dengan otak encer mendapat beasiswa penuh sampai kelas tiga jika mereka bisa mempertahankan nilai mereka. Biasanya golongan ini yang paling banyak dibully oleh tim puncak kalau mereka tidak menyukai orang itu.
Sekolah ini terbilang sangat lengkap. Mulai dari TK sampai Universitas sekelas S3 ada disini. Fasilitasnya sendiri juga tidak mau ketinggalan, ada lapangan sepak bola, lapangan basket, voli, tenis, kolam renang, gym, AC disetiap kelas, bangku dengan sistem bangku perkuliahan, layar proyeksi, tv disetiap kelas dan masih banyak lagi.
"Maaf bu, saya terlambat." ucapku sambil menunduk karena takut bertemu dengan muka sangar—bu Ajeng. Guru sejarah yang 'gosipnya' paling killer seantero sekolah.
"Siapa kamu?" tanyanya sambil mengangkat satu alis kirinya ke atas.
"Eh? Saya Kenya bu." jawabku sambil mengangkat kepala. Aku melihat bu Ajeng sedang memeriksa tablet tipisnya yang aku yakini terdapat daftar nama para siswa. Dia melihat penampilanku dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Lalu dia tersenyum ke arahku.
Senyum yang bisa dibilang menahan tawa?
"Kamu kelas berapa?" tanyanya lalu berdiri dan duduk di atas meja, memperlihatkan jenjang kakinya yang sudah mulai keriput karena termakan usia.
"Kelas 2IPA1 bu." jawabku mulai sedikit ragu. Karena jika ada murid yang datang terlambat, biasanya hanya akan ditanya namanya saja bukan?
"Silahkan kamu pergi dari kelas ini." perintahnya sambil menunjuk pintu kelas yang sedari tadi berada di belakangku.
"Apa? Bu, saya datang kesini ingin belajar bu. Saya minta maaf jika saya terlambat hari ini. Dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi bu. Lalu apa pantas murid yang berkeinginan untuk belajar seperti saya ibu usir? Lebih baik saya berdiri di depan kelas saja bu daripada di luar dan tidak bisa mendengarkan penjelasan materi dari ibu." jawabku sedikit memelas, karena sejujurnya ini pertama kalinya aku terlambat masuk sekolah.
"Lebih baik kamu pergi sekarang. Atau kamu lebih suka saya hukum di kelas yang bukan kelas kamu?" jawabnya dengan kedua tangan bersendekap sambil menaikkan satu alisnya keatas.