“MemikirkanMu selalu membuatku tak ingin membuat setitik kesalahan
Apakah aku salah, jika aku hanya sekadar bertahan hidup ?”
Hari itu aku mulai diajak Jarwo berkeliling ke kantor tempat dimana aku akan dikenalkan dengan pekerjaan baruku. Menaiki mobil milik Jarwo, kita pergi menuju lokasi.
“Jauh juga ya Wo dari daerah kita.”
“Tempat menentukan safety tidaknya pergerakan kita. Kalau kita salah milih tempat, udah tutup kita dari dulu.”
“Memang siapa yang dulu mengajakmu untuk gabung dengan pekerjaan ini ?”
“Kakakku sih.”
“Terus kakakmu masih bekerja di sana ?”
“Nggak, dia udah mati.”
“Inalilahi, maaf Wo, aku nggak tahu.”
“Iya nggak papa, dia yang membuatku termotivasi untuk terus ambil jalan ini Lan. Kalau nggak ada dia, mungkin aku hanya menghabiskan waktuku di rumah dan bersedih mengingat keluargaku.”
“Memangnya kakakmu meninggal karena apa ?”
“Karena dibunuh Lan.”
“Astagfirullah, memang siapa yang membunuh ?”
“Utusan seorang pejabat.”
“Kok bisa, emang apa salah kakakmu ?”
“Dia seorang wartawan sebuah media masa terkenal Jakarta, sesekali juga memberikan informasi penting yang menjadi bahan kami membuat konten di sosmed. Yah, namanya juga pejabat, dia kalau tau siapa yang dapet info penting yang bisa mengganggu kekuasaannya, ya mereka habisin orangnya.”
“Kamu udah tau siapa pejabat itu ?”
“Belum, kakakku hanya memberikan kertas petunjuk di saku kanannya tentang siapa pembunuhnya, bertuliskan, orang itu akan menjadi targetmu juga di tempat lahirmu.”
“Jadi kamu bertahan di sini untuk membalaskan dendam kakakmu ?”
“Bisa dibilang begitu, aku masih nunggu juga buat segera dapet job di daerah asal kita sendiri Lan.”
“Jangan terbawa oleh dendam, ga akan nyelesein masalah Wo.”
“Kalau nyawa harus diganti nyawa Lan. Apa sebanding jika kakakku mati dengan cara seperti itu ?”
“Ya kan bisa dengan kita berbuat baik kepada orang lain, mendoakan kakakmu.”
“Ah udah deh, bikin emosi aja kalau aku inget itu. Kita bahas yang lain aja.”
“Iya deh, dengerin musik aja kalau gitu, biar ga bosen.”
Sepanjang perjalanan itu, kami hanya diam sambil menikmati musik akustik yang diputar dalam mobil. Tak sadar aku mulai ngantuk dan tertidur. Setelah kurang lebih 3 jam kami melakukan perjalanan, kami sampai tujuan. Aku tak tahu persis dimana letak tempat itu, karena aku tertidur, namun aku melihat beberapa tulisan di toko, sepertinya aku berada di Kab Semarang.
“Waw, gede juga ya tempatnya.”
“Iya lah, masuk yuk.”
“Baiklah.”
Baru beberapa langkah turun dari mobil, aku menemukan sebuah flashdisk hitam. aku sendiri tak tahu ini milik siapa, belum sempat aku pikirkan mau aku apakan flashdisk itu, Jarwo kembali memanggilku untuk segera masuk ke kantor. Langsung aku masukan ke kantung tasku saja, biar nanti baru aku cari pemiliknya.
Kau tahu, tempat itu sangat luar biasa, pintunya saja udah seperti lift, yang bisa terbuka sendiri. Yang paling aku suka, banyak sekali lukisan indah di dalamnya, prabotan di dalamnya juga banyak dibuat dari ukiran. Patung-patung penari menjadi penghias sudut demi sudut ruangan. Aku pikir ini museum, namun lebih dari itu, aku merasa pemilik tempat ini memiliki jiwa seni yang kuat. Lorong demi lorong kami lewati. Kami berhenti pada sebuah ruangan yang sudah duduk melingkar, semua orang yang hadir di sana.
“Kenalkan kawan, ini Dilan, teman baru kalian. Perlakukan dengan baik, bimbing dengan baik.”
“Siap Mas.” jawab mereka serentak.
“Eh, kamu emang jadi bagian apa di sini ?” tanyaku pada Jarwo sambil berbisik
“Ah, nanti juga kamu tahu sendiri.”
“Mohon bimbingannya ya teman-teman.” aku memandangi setiap orang di ruangan itu sambil memberikan senyuman kepada mereka. Pakaiaan mereka tidak formal layaknya di kantor. Kaos, tas ransel, sepatu cats dan gaya rambul kekinian yang aku lihat dari penampilan setiap orang di ruangan itu. Yang lebih aneh, kebanyakan dari mereka seusia bahkan aku rasa dibawahku. Masih terlihat sangat muda sekali.
Ada satu gadis yang memandangiku begitu lama, tersenyum, menaruh ke dua telapak tangannya di dagu sebagai penyangga kepalanya. Sedikit risih dipandangi seperti itu. Aku langsung mengalihkan perhatianku pada selainnya. Karena penasaran aku coba lihat lagi ke arah gadis itu, ternyata masih saja melihat aku. Ah , kegatelan sekali gadis itu, baru bertemu sekali saja sudah begitu pandangannya. Beruntungnya, Jarwo langsung mengajakku untuk masuk ke ruangannya, untuk menjelaskan gambaran pekerjaan pertamaku.
“Oke Lan, ini gambaran pekerjaanmu hari ini. Buatlah, postingan, yang bisa mengundang orang untuk banyak berkomentar, menyukai dan membagikan postinganmu. Aku sudah menyiapkan satu akun dengan 50 ribu followers, minimal, tagetmu adalah 20 ribu suka, 20 ribu komentar dan 500 orang membagikan. Sebenarnya aku tahu potensimu, cuma tetap saja kau masih anak baru di sini jadi aku mulai dari yang sederhana dulu.”
“Baikalah, berikan aku waktu sehari untuk melakukannya.”
Cukup sulit juga sebenarnya, karena selama ini aku juga belum pernah mendapatkan respon postingan sampai segitu. Ini saja baru yang sederhana, bagaimana nanti kalau aku naik ke level yang lebih sulit. Ah daripada aku memikirkan itu, lebih baik aku pikirkan tentang bagaimana aku bisa memenuhi target minimalku.
Sore itu aku mencoba untuk melihat hasil postinganku, dan sungguh mengejutkan hasilnya.
“Gimana Lan, kamu udah jalankan tugas pertamamu ?”
“Aduh , sebelumnya maaf banget, maaf Wo.”
“Kenapa ? kamu kesusahan, ya sudah tak apa, itung-itung belajar.”
“Bukan itu.”
“Lalu apa ?”
“Postinganku jadi viral.”
“Serius ? coba lihat” mengambil HP yang aku bawa dan melihat hasil postinganku.
“Maaf ya Wo.”
“Gila kamu, baru postingan pertama langsung viral. Gimana cara kamu melakukannya ?”
“Aku cari tuh hal yang lagi banyak diomongin sama orang-orang sekarang. Aku temuin, ternyata warga di internet lagi banyak ngomongin lagu yang sebenarnya musiknya biasa aja sih, tapi liriknya ngeselin. Banyak yang menjadikan bahan bully dan meme di sosial media, isinya hujatan semua. Di sini aku buat postingan yang justru kebalikan dengan kebanyakan orang. Kalau mereka kontra dengan lagu itu, aku malah posting mendukung lagu itu. Ditambah sentuhan terakhir Wo yang ga kalah penting.”
“Apaan Lan ?”
“Bikin judul yang provokatif, aku tulis tuh di judul postinganku. Warganet tidak mengerti seni, lagu viral dianggap jelek. Udah deh, postinganku jadi bahan hujatan mereka yang kontra dengan lagu itu. Boom jadilan viral. ”
“Keren, kamu cepat belajar.”
“Sebenanya sih kalau mereka yang punya akun sosial media mau mikir sedikit sih ya ga akan bisa sampai viral begini. Yah kamu tahu sendiri, kebanyakan pengguna sosmed tipe emosional. Mereka mudah terprovokasi dengan info yang sebenarnya ga penting-penting amat buat dibahas. Ini celah besar untuk dimanfaatkan oleh orang-orang seperti kita ini.”
“Baguslah kalau kau sudah mengerti prinsip dasar kerja kita. Oke aku berikan kamu tugas lainnya, pesanan dari salah satu customer di Semarang. Sepertinya ini ga bisa cepat untuk kamu kerjakan, butuh setidaknya 6 bulan untuk menjalankan tugas ini, karena kau harus mencari informasi sendiri tentang si target dan kau harus membumikan ini di kepala masyarakat. Supaya mereka benar-benar percaya dengan informasi yang sudah kita buat. Tapi tenang saja. Kamu nggak bergerak sendiri. Aku berikan satu patner untukmu.” sambil membuka HP nya dan menulisakan pesan pada seseorang.
“Permisi Mas, ada yang bisa saya bantu ?”
“Kamu mulai hari ini bantu Dilan untuk menjalankan job ini ya, semua berkas dan gambaran target sudah ada di map ini, kamu pelajari sendiri saja. Tolong bimbing Dilan juga.”
“Siap Mas.”
“Oh iya, lupa. Dilan , ini Vina Marhersi, panggil aja Vina, dia yang akan jadi patner kamu selama beberapa bulan kedepan, dia mahasiswa Hukum di Semarang”
“Salam kenal” sambil menjulurkan tangannya padaku
“Iya salam kenal juga” aku hanya menempelkan kedua telapak tanganku dan menunduk sedikit. Aku masih kaku jika harus bersentuhan akrab dengan gadis yang baru aku kenal. Dan kurang beruntungnya aku, gadis inilah yang melihatku terus saat di ruangan yang penuh orang tadi. Ah cobaan apalagi ini ya Allah, cakep sih, takut tergoda imanku kalau harus jadi patner dia.
“Ini uang buat kamu Lan, 10 juta.”
“Eh buat apa Wo, kan aku belum bekerja.”
“Udah tenang aja, anggap itu gaji awalmu. Mulai hari ini jalankan tugasmu dengan baik. Bantu ibumu, adikmu dan lanjutkan pendidikanmu.”
“Terimakasih Wo.” sambil ku peluk Jarwo
Hari itu aku mendapatkan gaji pertamaku, ah menyenangkan sekali. Akhirnya aku mulai bisa membantu ibuku, aku juga bisa membiayai sekolaha adikku. Yang tak kalah penting aku kini juga mendaftar di perguruan tinggi Semarang, orang bilang pendidikan di sana cukup baik dalam bidang hukum. Sekalian aku menjalankan tugasku di Semarang.
Ah, hari pertama kuliah aku sudah memikirkan banyak hal baik yang bisa aku lakukan. Kini aku bisa mempelajari hal yang aku suka, semoga saja dengan pendidikanku di sini bisa menjadi pertimbangan Dini untuk menikah dengan seorang sarjana hukum. Hem aku tersenyum sendiri membayangkannya.
“Dilan” panggil seorang gadis padaku.
“Lah kok kamu di sini Vin ?”
“Emang aku kan kuliah hukum di sini”
“Oh iya ?”
“Iya, aku juga mahasiswa baru di sini.”
Haduh kurang beruntung lagi aku kali ini, kenapa harus sekampus dengannya. Dunia ini begitu sempit, dari banyaknya orang kenapa aku harus dekat-dekat dengan orang ini.
“Mau ke kelas bareng, nanti kita keliling kampus bareng yuk ?”
“Ah anu, sebenarnya”
“Nggak usah sungkan, kita kan patner kerja juga, butuh sering bareng biar dapet chemistry kerjanya.” sambil menarik tasku, mungkin karena ia tahu kalau aku tak ingin disentuh gadis.
“Vin, aku bisa jalan sendiri, jangan ditarik-tarik dong tasnya.”
“Ah iya, maaf, kamu nanti duduk di dekatku aja ya, biar gampang nanti kalaumau nyontek” sambil menaikan alisnya.
“Iya-iya terserah kamu deh.”
Sebulan berlalu, aku menjalankan kuliahku dengan baik-baik saja. Yah tetap, si Vina ga pernah bisa kalau ga deket aku. Aku risih sebenarnya, teman-teman sekelas sudah mengira kita jadian. Boro-boro jadian, nyentuh aja nggak pernah, walau cantik aku tetap nggak mau sama Vina. Dari mulai ke kantin, ke perpus, bahkan pulang minta bareng terus. Anak ini berani kalau ngomong, tapi manjanya minta ampun. Awal risih dengan tingkahnya, lama-kelamaan ya jadi terbiasa dengan bawel dan manjanya dia. Di sisi lain dia pintar sebenarnya. Banyak informasi kerja yang sulit bisa dia dapat dengan baik dan tingkat kebenaran datanya tinggi, membantu sekali untuk menjalankan pekerjaanku.
Suatu saat aku menemukan hal aneh yang dilakukan Vina. Saat aku sedang ke kamar mandi dan kembali ke kelas Vina membuka tasku.
“Kamu ngapain Vin, kok buka tasku nggak ijin ?”
“Ah enggak, tadi aku mau nyatet yang ditulis sama dosen, tapi aku nggak bawa kertas dan bolpoin. Tadinya aku mau pinjem ke kamu langsung. Tapi kamunya nggak ada, ya udah aku ambil sendiri. Baru mau aku ambil, kamu udah dateng duluan.”
“Oh gitu, ini kertas sama bolpoinnya. Lain kali nggak boleh lancang buka tas orang ya. Walau kita dekat, bukan berarti boleh melakukan sesuatu seenaknya.”
“Iya deh, iya, maaf.”
“Minta maaf terus kamu ini bisanya, cerobohnya tapi nggak ilang-ilang.”
“Makanya Mas Jarwo masangin kita jadi patner, aku ceroboh, kamu lebih terlaten dan rapi, aku manja, kamu tenang dan dewasa, udah cocok banget ya.”
“Terserah kamu deh. Aku profesional aja.”
“Manis banget kamu kalau lagi dingin.”
“Udah jangan godain aku. Bentar lagi masuk, aku mau ke kantin dulu beli jajan. Ikut nggak ?”
“Eh tumben ngajak”
“Enggak aku ajak pun, kalau aku ngomong ke kantin pasti kamu ikut sendiri.”
“Ah kamu ini, udah ngertiin aku banget”
“Udah cepet kalau ikut”
“Eh iya, aku jajanin coklat ya Lan, aku lagi pingin jajan coklat nih”
“Beli sendiri, orang uangmu lebih banyak dariku”
“Tapi kan aku pingin dijajanin”
“Lama-lama aku masukin karung deh kamu”
“Lama-lama aku cubit deh kamu, gemes litanya”
“Hih ogah dah, mending gigit kalajengking dari pada kamu cubit”
“Hihihi”
Emang ngeselin orang ini. Tapi aku tahu sebenarnya hatinya baik, ah seandainya tingkahnya lebih kalem sedikit, mungkin aku akan sedikit mempertimbangkannya. Hus mikir apa aku ini, kenapa jadi mikir yang tidak-tidak. Biarkan mengalir saja, aku ingin fokus kuliah di sini dan aku juga ini fokus ke pekerjaanku. Walau memang masih ada hal mengganjal ketika aku melakukan pekerjaan ini, tapi dengan pekerjaan inilah aku bisa memiliki masa depan yang baik.