“Hal apa yang penting dalam hidup ini ?
Hidup tentangku ?
Hidup tentang dirinya ?
Hidup tentang mereka ?
Atau untuk siapa ? “
Namaku Dilan, memang tak banyak yang mengenalku di sekolah ataupun kampung. Mereka hanya tahu bahwa aku anak tertua seorang janda penjahit yang kini mulai sakit-sakitan dan anak pendiam yang ramah. Mereka hanya tahu aku dari luar, mereka tak pernah memahami seberapa besar masalah yang aku hadapi sebenarnya. Kehilangan ayah dalam usiaku bukanlah hal mudah. Ya mungkin bisa saja jika ayahku seorang konglomerat yang ketika meninggal dapat memberikan warisan perusahaan, rumah dan mobil mewah. Sedangkan ayahku bukan orang seperti itu. Ia hanya memberikanku tanggung jawab menjaga ibuku yang sudah tua dan seorang adik , yang bisa dibilang polos dan belum mengerti kerasnya hidup. Kini aku mau tidak mau harus menjadi pengganti ayahku sebagai seorang kepala keluarga.
Untuk ukuran anak seumuranku, aku termasuk anak yang kurang minat dengan sistem sekolah pada saat itu. Memang ada beberapa hal yang membuatku menjadi seperti itu, salah satunya, aku tak pernah puas dengan jawaban guru-guru dan teman-temanku ketika sebuah pertanyaan aneh muncul dalam kepala ini. Bahkan aku sering merasa bingung , sebenarnya apa fungsi pelajaran yang selama ini diberikan jikalau untuk menerapkannya saja kita tidak bisa. Aku juga selalu bertanya pada diriku sendiri seberapa banyak pelajaran yang sudah mampu aku terapkan ? atau justru selama ini hanya berhenti untuk dihapalkan lalu dibuang ketika lulus sekolah. Hal semacam ini yang membuatku memandang sebelah mata sistem pendidikan yang ada saat itu.
Semenjak itu aku lebih sering mempelajari sesuatu secara mandiri, mengenai sesuatu yang ingin coba aku terapkan. Aku sebenarnya tertarik dalam dunia hukum dan pendidikan, aku merasa selama ini, banyak hukum yang terlalu tajam ke bawah namun tumpul ke atas, serta ketidak jelasan sistem pendidikan hanya membuat manusia di Indonesia ini menjadi manusia yang tak pernah mengenal betul kehidupan. Hanya tahu tentang apa yang mereka hapal di buku, padahal hidup tak sesempit yang ada dalam buku pelajaran sekolah. Namun aku sendiri juga masih bingung, bagaimana aku bisa membiayai kuliahku sedangkan untuk menghidupi keluargaku sendiri saja, aku masih merasa berat. Belum juga adikku yang masih SMA ini, membutuhkan biaya yang tak sedikit. Hal ini membuatku menunda niatanku kuliah, sembari memikirkan tentang bagaimana cara supaya aku mampu menyelesaikan masalah ekonomi yang ada dalam keluargaku ini.
Masalahku sebenarnya tak berhenti di sana saja. Di masa mudaku ini , aku termasuk dalam cowok yang tidak mudah jatuh hati pada seorang gadis. Ada beberapa gadis desa dan sekolahku yang sempat mendekatiku, namun tak ada seorang pun yang mampu menggugah rasaku. Berulang kali teman-temanku mengenalkanku pada gadis yang mungkin saja membuatku tertarik, namun tetap saja aku tak merasakan apa pun pada mereka. Kadang ada juga yang tiba-tiba chatt ke nomerku, mengajak kenalan, walaupun cantik, tapi tetap saja hati ini tak mau terbuka untuk mereka.
Namun hari itu, aku mengalami suatu hal yang berbeda. Dini , anak kepala desa, dia terlihat anggun dengan dress panjang pink dan jilbab panjang yang serasi dengan dress yang ia gunakan. Aku ingat sekali, saat itu dia sedang mengajar anak-anak TPA di masjid kampungku. Aku hanya memandanginya dari sudut latar masjid. Melihat ia dengan sangat tenang, menari, menggendong anak-anak, menasehati dengan kata-kata yang halus, bermain sambil mengajar, tanpa ada raut wajah keterpaksaan. Keibuan sekali, seru batinku melihat tingkah gadis ini. Ah tak hanya pintar, cantik, dan alim, kini dia sedang mendaftar untuk masuk jurusan kedokteran salah satu universitas ternama. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak penjahit ini. Mimpi yang terlalu berlebihan jika aku bisa memiliki bidadari sepertinya. Perasaan itu hanya mampu aku pendam sendiri, tak pernah ada yang tahu. Mungkin hanya Allah, malaikat yang ada di kanan kiriku dan diriku sendiri. Apakah dia memendam rasa yang sama ya denganku ? ah khayalan itu selalu muncul ketika aku memikirkannya.
“Woy, kamu ngapain Lan di sini ?”
“Eh kamu Indah, nggak papa kok.” jawabku sepontan yang kaget dengan kedatangan Indah.
“Enggak papa darimana, kamu pasti lagi ngeliatin si Dini ya, hayo ngaku aja.”
“Enggak kok, aku cuma lihat anak-anak yang lagi main itu lucu banget.”
“Anak-anaknya yang lucu, apa ibu gurunya yang lucu ?” goda Indah padaku
“Anak-anaknya dong, kalau ibu gurunya cantik bukan lucu. Astagfirullah” langsung ku tutup mulutku sendiri yang secara tidak sadar mengeluarkan kata-kata itu.
“Tu kan, ketawan banget modusnya haha.”
“Ah udah aku mau pulang, udah mau magrib”
“Kalau mau magrib ya solat di masjid, malah pulang.”
“Oh iya ya, ya sudah aku mau ngambil air wudhu dulu.”
“Cie, salah salting ini anak haha.” ejek Indah padaku semakin menjadi
Karena takut semakin terlihat salting di depan Indah, aku langsung masuk ke tempat wudhu sambil menahan malu yang tak karuan. Merusak sedikit bayang-bayang menyenangkanku tentang Dini.
“Eh Mas Dilan, mau kemana ?”
“Mau ke tempat wudhu Din hehe.”
“Lah kan magribnya masih 20 menit lagi, kok buru-buru banget ?”
“Eh iya ya” lagi-lagi aku salting
“Mending bantuin Dini bentar yuk, ngerapiin meja dan buku ngajinya adik-adik.”
“Eh nggak papa ini ?”
“Ya nggak papa Mas, masa nggak boleh.”
“Ya kali aja udah ada orang lain yang bantuin.”
“Yee kan Dini masih sendiri Mas.”
“Jadi beneran kamu masih sendirian ?” tanyaku bahagia
“Lah kan emang aku cuma sendiri aja ngajar adik-adik.” jawab Dini dengan lugu
“Ah iya juga ya hehe.” jawabku seadanya, sebenarnya aku memikirkan maksud lain dari jawaban Dini tadi. Sedikit berdesir hatiku, tapi ternyata beda dengan maksud awalku, benar-benar kurang beruntung kali ini. Ini nih akibat mikirin orang berlebihan.
“Mas kok ngalamun ? jadi bantuin ?” sambil melambai-lambaikan tangan kecilnya ke wajahku
“Eh jadi kok”
“Ya udah yuk, keburu magrib nanti” sambil menarik tanganku ke tempat anak-anak biasa belajar
Ya Allah, lembut sekali, baru pertama kali ini tanganku bersentuhan dengan Dini. Ah dosa tidak ya, tapi jarang-jarang bisa dapet momen langka begini. Setelah hampir 15 menit berlalu, semua tempat belajar sudah rapi dan siap untuk digunakan beribadah magrib. Kami berdua istirahat sebentar di depan teras masjid.
“Wah makasih ya Mas, jadi cepet, biasanya agak lama.” sambil tersenyum manis padaku
“Ah iya, sama-sama Din” subhanallah, benar bidadari, wajahnya yang bersih, lesung pipinya, senyumnya, mata sayupnya, sikapnya. Ah Tuhan, sisakan satu yang seperti ini untuku.
“Kalau Mas longgar, sebelum magrib dateng aja ke sini Mas, bantuin beresin, kalau Mas juga bisa sih, ya sekalian bantu ngajar di sini juga boleh, biar Dini ada temannya. Cuma ya Dini ga bisa ngasih apa-apa. Cuma nanti Dini traktir Mas makan mie ayam seminggu sekali deh.”
“Emangnya boleh ?”
“Ya ampun Mas, ya boleh pastinya. Mas ini lucu deh” tawa kecil muncul dari bibirnya
“Hehe , aku pertimbangkan Dulu ya Din, soalnya aku juga lagi nyari kerja ini.” ya Allah, sebenanya aku mau, mau banget malahan. Siapa coba yang ga mau deket-deket dia terus. Dadaku berdegup kencang. Hatiku mendorong mulutku untuk mengiyakan tawaran Dini, tapi bayang keluargaku membuat kata-kata itu tertahan di tenggorokan.
“Mas, udah adzan magrib, siap-siap solat yuk” ajak Dini padaku
“Iya Din, kita solat yuk.”
Selesai solat magrib, aku masih memikirkan tentang bagaimana supaya aku bisa mendapatkan pekerjaan untuk bisa mencukupi kebutuhan keluargaku saat ini. Jika berbicara tentang kemampuan, sebenanya bisa saja aku menjadi seorang guru SD, terpikir juga sih untuk membantu Dini, dia yang bagian mengajar TPA, sedangkan aku membantu mereka untuk belajar mata pelajaran umum. Ah tapi gaji menjadi pengajar TPA ataupun sejenisnya di desaku sangat kecil, bahkan adakalanya tidak diberikan gaji sama sekali. Jika berbicara tentang tanggung jawab di masyarakat aku juga memahami itu, tapi jika keluargaku tak bisa makan, hal ini menjadi dosa juga bagiku yang tak mampu mengemban tanggung jawab yang sudah dilekatkan padaku ini secara tidak langsung.
Aku sudah mencoba untuk menghubungi sahabat-sahabatku, barangkali mereka memiliki lowongan pekerjaan yang bisa memberikanku pemasukan. Berhari-hari aku menunggu, mencari juga di internet, masih saja tidak ada lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang aku minati, ditambah gaji yang minim dengan beban kerja besar, membuatku enggan menerima pekerjaan tersebut. Aku berpikir aku bukan seorang kuli, aku adalah manusia bebas yang memiliki potensi lebih dari kuli. Walau sebagai batu loncatan sekalipun aku masih enggan untuk menerima pekerjaan kasar tersebut.
Setelah hampir sebulan menunggu, ada sebuah pesan yang datang dari seorang teman SMP ku Jarwo Saptaji. Ia memberikan kabar padaku bahwa ia memiliki lowongan pekerjaan dalam bidang IT yang gajinya cukup besar. Ah, beruntung sekali nasibku, Allah sudah mulai menunjukan jalan bagiku untuk mencari rizki untuk keluargaku. Aku balas pesan tersebut, Jarwo ingin menjelaskan lebih detil tentang gambaran pekerjaan itu padaku dan mengajakku untuk bertemu secara langsung membahas pekerjaan itu.
Di Kafe Bustomi milik pak Bustomi juragan sayur di kampung yang merangkap membuka kafe inilah yang menjadi pilihan kami untuk bertemu dan membicarakan tentang pekerjaan yang ditawarkan Jarwo.
“Hai Lan, lama aku tak berjumpa denganmu, apa kabar ?
“Alhamdulillah baik Wo, kamu gimana kabarnya, makin gemuk aja sekarang. Kamu pasti sering makan ya.”
“Ah enggak juga”
“Terus gimana ceritanya kamu bisa gemukan gini ?”
“Aku nggak banyak makan, cuma aku orangnya itu pelupa.”
“Lupa apaan emangnya ?”
“Lupa kalau aku ternyata udah makan sebelumnya haha.”
“Ah sama aja kalau gitu dengan tukang makan.”
“haha iya, bercanda doang Lan. Gimana kita bahas tentang pekerjaan kita ?”
“Ya silahkan, kamu kan yang mau menjelaskan, aku jadi pendengar setia saja.”
“Oke, aku jelaskan tentang pekerjaannya. Jadi kerjanya gampang Lan, kerja kita cuma jadi admin akun sosial media.”
“Maksudnya kita ngelola akun milik orang gitu, terus kita yang posting sesuatu diakunnya gitu.”
“Yak, benar sekali. Jadi kita tinggal posting sesuatu yang diinginkan sama customer kita aja, mudah dan bisa dilakukan dimana saja.”
“Emang gajinya berapa jadi admin sosmed gitu ?”
“Yah bisa 5-6 juta per bulan.”
“Serius ? gede itu. Kalau jadi buruh di sini paling gaji 900 sampai satu juta saja per bulan. Kok bisa gede gitu ?”
“Oh pasti, karena kerja kita jadi admin sosmed spesial.”
“Kita emang ngelola akunnya siapa ? artis ? pejabat ? pengusaha ?”
“Bukan semuanya ?”
“Terus ?”
“Akun anonim dengan puluhan bahkan ratusan ribu followers.”
“lah kalau akun anonim, lantas apa postingan yang mau kita buat ?”
“Sesuai pesanan customer Lan.”
“Emang biasanya customermu mesan postingan apa ?”
“Ah banyak Lan. Jaman sekarang sosmed itu bisa memberikan dampak yang luar biasa buat seorang pejabat, politikus, pengusaha, artis dan lain sebagainya. Biasanya ada yang minta untuk posting keburukan dari lawan politik, ada juga yang buat nyebar berita negatif tentang perusahaan tertentu supaya perusahaan itu koleps bahkan gulung tikar. Ada juga postingan yang buat menunjukan citra sesorang jadi terlihat baik, padahal aslinya busuk. Jadi ya sesuikan aja sama keinginan customer kita. Kita tinggal jalankan, dan pundi-pundi rupiah bahkan dolar, masuk ke kantong kita.”
“Astagfirullah , itu kan dosa Wo, kita buat postingan yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Hal kayak gini justru memberikan dampak buruk buat masyarakat.”
“Aku jelasin Lan. Hidup di dunia ini semuanya paradoks. Tidak ada yang selamanya baik dan tidak ada yang selamanya buruk. Kamu pernah berpikir nggak, kira-kira air itu baik atau buruk ?”
“Tentu saja baik.”
“Ah salah.”
“Mana mungkin air itu buruk.”
“Memang jika dipikir, dengan air manusia bisa melepas dahaganya, melanjutkan kehidupannya, tidak dehidrasi. Namun sadarkah kamu, dengan adanya air, manusia jadi ketergantungan, dengan adanya air, manusia bisa terkena air bah, dengan adanya air manusia juga bisa mati, karena tak selamanya air yang kita konsumsi mengandung kebaikan. Pun sama dengan pekerjaan ini. Kamu pikir hal ini akan merugikan sebagian pihak. Misal kita membuat postingan buruk tentang lawan politik lain. Banyak yang menganggap hal ini buruk padahal hal ini juga bisa mencerahkan masyarakat, bahwa sosok pemimpin yang diagungkan sebenanya juga punya sisi kelam. Membuat postingan kebaikan orang yang aslinya buruk, mungkin terlihat tindakan ini tidak baik. Tapi dalam sebagian orang justru bersyukur dengan adanya berita positif itu, stabilitas di masyarakat bisa menjadi terjaga, suasanya jadi aman dan tentram, bisa mendukung produktifitas bekerja di masyarakat. Sehingga seluruh kehidupan itu paradoks, di satu sisi kita terlihat memberikan kerusakan, tapi di sisi lain, sebenanya kita juga jadi penyeimbang dalam masyakat ini.”
Aku sejenak terdiam, merenungi apa yang disampaikan oleh Jarwo memang ada benarnya, bahkan terkadang aku sendiri juga memikirkan hal yang sama dengan Jarwo ketika memandang kehidupan yang tak murni buruk dan tak murni baik.
“Gimana ? sekarang coba kamu pikirkan Lan, kamu kan pernah cerita ke aku bahwa ayahmu meninggal kena air bah, sekarang kamu jadi tulang punggung keluarga juga, apa kamu mau selamanya bergantung pada ibumu yang kini sudah mulai tua ? apa kamu juga tega melihat adikmu harus putus sekolah karena tidak ada biaya ? mereka masih harus punya masa depan yang baik Lan. Gaji yang bisa kamu dapatkan dari pekerjaan ini besar Lan. Tak hanya bisa menghidupi keluargamu, kamu bisa menyekolahkan adikmu sampai lulus kuliah. Bahkan jika kamu sendiri juga ingin melanjutkan pendidikanmu ke ranah yang lebih tinggi, dengan gaji ini sangat memungkinkan untuk kamu wujudkan. Apalagi kalau kamu sudah mau berkeluarga sendiri, sekarang gadis mana yang mau dengan laki-laki pengangguran anak tukang jahit ? dengan adanya pendidikan yang tinggi, ekonomi yang mapan bisa meningkatkan derajat hidup dan status sosial kamu.”
Sekali lagi apa yang disampaikan oleh Jarwo benar-benar sesuai dengan kondisiku saat ini. Aku juga sangat ingin kuliah hukum, aku juga ingin menjadi seorang yang bertanggung jawab mengurus adik dan ibuku dan dalam hatiku yang terdalam, aku benar-benar ingin menikah pula dengan Dini. Jika aku hanya pengangguran seperti sekarang dan pendidikanku hanya berhenti pada tingkat SMA saja, mana mungkin aku layak menjadi suami bagi seorang calon dokter cantik itu. Hatiku bergejolak, sebagian mengatakan sepakat, sebagian mengatakan untuk menolak karena nilai agama yang masih melekat dalam hatiku sejak kecil.
“Berikan aku beberapa waktu untuk memikirkannya Wo, aku sulit jika harus memutuskannya sekarang.”
“Boleh, aku berikan waktu seminggu untukmu membuat sebuah keputusan.”
“Tapi pekerjaan ini tidak menyebar hoax atau fitnah gitu kan tentang orang lain.”
“Ah sekarang apa sih bedanya hoax , fitnah, fakta, opini, semua sama saja, semua tergantung masing-masing orang dalam mempersepi. Mau kita menyebar fakta sekali pun, masih banyak juga yang menganggap itu palsu. Jadi biarkan saja orang yang menilai.”
Entah kenapa kali ini aku tak mampu menjawab dengan baik setiap penyataan dari Jarwo, aku rasa memang banyak hal yang benar dari setiap kata yang keluar dari mulutnya. Aku pun sedang dilanda kebimbangan antara mempertahankan nilai ajaran dalam agamaku, atau harus terjun bebas memenuhi kebutuhan yang saat ini menjadi masalah dalam hidupku.
“Tenang aja, tak perlu khawatir dengan nilai agamamu. Agamamu juga tidak akan melarangmu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tanggung jawabmu sebagai pengganti ayahmu sekarang. Tuhan mana yang melarang hambanya untuk bisa bertahan hidup ? pekerjaan ini udah enak dan bisa memenuhi kebutuhanmu, apalagi kalau kamu bisa mengajak orang lain untuk jadi bagian dari kita, kamu juga akan dapat banyak bonus.”
“Baiklah, aku akan mempertimbangkan dulu semuanya. Jika aku sudah memutuskan aku akan menghubungimu lagi Wo.”
“Okedeh, aku selalu terbuka untukmu kapan saja Lan.”
“Makasih Wo.”
Cukup panjang aku memikirkan jawaban atas tawarannya, beberapa hari aku sempat sulit untuk tidur. Hingga akhirnya dengan berbagai macam pertimbangan aku sudah memberikan keputusan. Aku mencoba menghubungi Jarwo untuk menyampaikan hasil keputusanku.
“Gimana Lan, udah ada keputusan ?”
“Udah Wo.”
“Sehingga jadinya kamu join ?”
“Iya, aku join Wo.”
“Ini baru namanya Dilan yang aku kenal, tanggung jawab dan berani.”
“Sehingga mulai kapan kita kerja ?”
“Mulai hari ini juga bisa. Ayo ikut aku ke kantor.”
“Oke, baiklah.”
Sejak saat itu aku resmi menjadi anggota jaringan penyebar isu sentral di Indonesia, yang memberikan pengaruh cukup besar dalam menggiring opini masyarakat pada sebuah topik tertentu. Kadang menyebar fitnah, hoax, bahkan tak segan melakukan pembunuhan karakter pada orang yang dianggap musuh bagi customer kami. Kamu pikir apa yang aku lakukan ini buruk ? kau tak tahu saja siapa aku, jadi jangan mudah menilai orang hanya karena aku melakukan semua ini.