“sebuah harapan indah tidak datang dengan sendirinya, sebuah harapan indah hadir dari memahami kenyataan”
Di pagi yang berselimuti kabut putih , terlihat cahaya pagi bersinar, burung pun berkicau, di sebuah desa kecil bernama Blimbingan. Berpenduduk kurang dari lima ratus keluarga, dekat sebuah kota besar di Jawa Tengah. Di tengah desa mengalir sungai besar, warga memanfaatnya untuk banyak hal, mandi, mencuci, berenang, bahkan buang air. Pohon rindang, suara angin lembut, menemani percakapan dua saudara yang lama tak berjumpa, merekalah Anton dan Dilan.
“Kak, indah ya ?” lalu terpejam sejenak, merasakan suasana itu.
“Hemt, beginilah Dek desa kita.” wajahnya tenang penuh senyum.
Anton melirik kakaknya. “Hemmtt” Anton ragu untuk berbicara, ia melihat kakanya termenung, menatap kedepan ,dengan kedua tangan dijadikan penopang dibelakang tubuhnya.
Ia berpikir mengenai apa yang baru terjadi kepada kakaknya. Anton adalah seorang anak remaja berperawakan sedang, rambut lurus berponi , dengan wajah polos dan menyukai hal-hal yang baru. Ia kini menginjak kelas dua, di SMA 1 Blimbingan, walaupun berada di tengah desa, namun termasuk SMA terbaik di sana, budaya kota juga masih banyak berpengaruh di sini. Sekolah ini terkenal dengan julukan Sekolah Sorasem yang berarti di bawah pohon asem. Karena memang ada pohon asem besar yang terletak di tengah sekolah.
Kalau Dilan, seorang mahasiswa Perguruan Tinggi di daerah Semarang, anak tertua dari dua bersaudara. Dilan berperawakan kecil, dengan rambut jambulnya, terkenal sebagai sosok yang pendiam dan santun. Sewaktu kecil hingga SMA ia juga sering keluar rumah, bukan untuk bekerja, tetapi untuk mencari sesuatu yang banyak ia pertanyakan dalam pikirannya, yang hingga kini tak banyak orang yang memahaminya. Ia bukan sosok berperstasi, namun bagi warga sekitar , ia dianggap anak yang pintar. Karena tak ada anak desanya yang bisa sekolah sampai ke Perguruan Tinggi kecuali ia dan Dini anak kepala desa.
Sejak kecil mereka diasuh oleh seorang lelaki tua nan kurus, yang bekerja sebagai buruh tani serta seorang wanita yang selama 5 tahun bekerja sebagai buruh pijat keliling, merangkap menjadi penjahit dirumah. Namun 2 tahun yang lalu ayah mereka meninggal, terseret air bah saat sungai sedang meluap, sedangkan mereka sekarang hanya tinggal bersama dengan ibunya.
“Kak ?” memanggil kakaknya yang sedang termenung.
“Eh , ada apa Dek ?”
“Kakak mikirin apa ?”
“Sedang mikirin kamu” menjawabnya dengan nada menggoda.
“Yah Kakak, serius nih“ sambil menarik-narik kaos kakanya
“Eh aku serius, apa muka ku keliatan kayak tukang bo’ong, nie lihat nie“ dengan memegang pipinya dan menunjukan raut muka yang lucu.
“Lucu, nih lucu” Anton membalas dengan menarik hidung kakaknya
“Aduh, sakit tau” Dilan membalas dengan mencubit pipi Anton
“Udah Kak, udah, sakit , ampun Kak , kan cuma canda aja Kak ” jawab Anton dengan senyum yang lebar
“Hahaha pipimu kayak boboho, merah semua”
“Biarin , Kakak juga kayak orang tua, idungnya komedonya besar” balas Anton sambil menunjuk hidung kakanya yang memerah.
“Sialan” Jawabnya kesal.
Disela canda mereka anton bertanya “Kak, tumben ngajak aku ke sini ?”
“Hayo kenapa aku ngajak kamu ke sini ?”
“Ya ga tau Kak, atau jangan-jangan Kakak kangen ya buat main sama aku kayak dulu”
“Yaelah, pikiranmu itu hlo, bisannya main… mulu, belajar Dek, belajar.” jawab Dilan dengan nada mengejek
“Abis ga ada yang ngajari aku kayak dulu sih.” Anton membalas dengan nada pelan
Sejenak Dilan berpikir, sejak kepergiannya untuk kuliah tidak ada lagi sosok yang mendampingi Anton untuk menjalani masa remajanya. Ibu di rumah sibuk dengan pekerjaannya, sudah dapat di pastikan Anton menjalani masa mudanya tanpa sebuah arah.
“Emmtt, sebenernya ada sesuatu sih yang pingin aku omongin ke kamu.”
“Apa Kak?”
“Mengenai masa depan Dek.” merubah raut wajahya menjadi lebih serius
“Maksudnya gimana Kak ?” sambil mengelus-elus pipinya
“Kamu sekarang udah kelas 2 SMA kan? Kamu udah tau kedepan mau gimana ?”
“Heh ? Ga tau Kak , emangnya kenapa Kak ?” jawab Anton dengan cengengesan.
Dilan menghela nafas panjang, wajahnya termenung, mencoba berpikir ulang tentang apa yang akan ia sampaikan.
“Hah... Hidup Dek. Inilah hidup, kamu ga akan pernah tau kalau kamu ga pernah mencari tahu, kakak selalu kepikiran hal buruk terjadi pada adikku yang polos dan katro ini.” sambil melihat kembali pemandangan sawah di depannya.
Sejenak suasana hening, suara burung-burung kecil hadir disela pembicaraan kedua orang tersebut. Dilan memang memiliki cara berpikir yang aneh dibandingkan anak-anak seusianya, yang menghabiskan waktu untuk pacaran, keluyuran, judi dan nongkrong. Ia justru memiliki kebiasaan berkeliling kota hanya untuk mengamati tingkah laku remajanya.
Sejenak Anton berpikir mengenai maksud dari perkataan kakanya
“Maksudnya gimana Kak ?”
“Kamu lihat disana.” sambil menunjuk para petani yang sedang bercocok tanam.
“Iya Kak, petani ada apa ?”
“Kenapa mereka menjadi petani ? Kamu pernah lihat di pabrik itu ? Di sana banyak pekerja pabrik, kenapa mereka menjadi pekerja pabrik ? Kamu pernah lihat ke rumah, kamu lihat ibu ? Kenapa ia menjadi tukang pijat ? Kamu pernah lihat Dini anaknya Kepala Desa, kenapa ia menjadi dokter ? coba kenapa Dek ?” Dengan nada naik turun, Anton disodorkan banyak pertanyaan oleh kakaknya.
Sejenak Anton berpikir kembali dengan mengelus-elus dagunya dan menjawab “Karena mereka menginginkan hal itu Kak.”
“Yakin mereka menginginkan itu ?”
“Emmt , mungkin.”
“Kamu pernah ga tanya ke mereka, memang semacam itu yang mereka inginkan ? apabila disuruh memilih , antara menjadi saudagar dengan hanya menjadi buruh tani, mereka pilih yang mana ?” sambil menggerakan tangan layaknya seorang guru yang sedang menjelaskan sesuatu pada muridnya.
“Ya pilih jadi saudagar lah kak, hanya orang bodoh yang memilih menjadi petani kalau dia bisa menjadi saudagar.”
“Tetapi kenapa mereka menjadi seperti sekarang ? kan sekarang banyak cara untuk mencapai hal tesebut. Bisa dengan ngumpulin modal, buka usaha kecil-kecilan, bisa juga pinjam ke bank, buat mengembangkan usaha. Tetapi kenapa mereka hanya berhenti di situ saja ?, wajar kemiskinan selalu menjadi teman mereka, kalau usaha untuk maju saja tidak pernah ada. ” pertanyaan Dilan mulai tertuju pada suatu hal.
“Iya ya, kenapa ya ?” Anton merasakan ada kejanggalan pada desanya sekarang
Desa kecil tempat Anton dan Dilan tinggal termasuk desa yang kumuh, warganya miskin, rata-rata bekerja sebagai buruh pabrik dan tani, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah sangat sulit. Kebanyakan dari mereka setiap hari hanya mengeluh dan selalu meminta belas kasih dari pemerintah. Padahal kondisi geografis desa ini sangatlah kaya akan hasil panen, tetapi kemiskinan masih dirasakan oleh warga desa ini.
“Kak, kenapa Kak emangnya, keliatannya emang ada yang salah, tapi apa yang menyebabkan mereka menjadi semacam ini ?”
Dilan masih terdiam, Anton melihat begitu mendalamnya pertanyaan itu, ia merasakan begitu kesal kakaknya terhadap orang-orang desanya sekarang. Pertanyaan itu, memaksanya untuk memikirkan suatu hal yang sangat penting.
dengan lirih terdengar suara
“CITA-CITA .”
Seketika angin berhembus menerbangkan daun-daun pohon rindang yang sedang mereka jadikan tempat berteduh.
Sesuatu yang berdesir pun dirasakan oleh Anton, ia merasa selama ini dia telah meninggalkan kata itu, kata yang sering ditanyakan oleh orang tuanya saat ia masih kecil. Ia tak tahu jin apa yang merasuk ketika kakaknya mengucapkan kata-kata tersebut. Singkat, tetapi menusuk tajam.
“Kak......” dengan nada yang pelan Anton menjawab. Kakiknya tertekuk ke depan dan ia peluk erat dengan tangannya.
Dilan hanya diam memandang ke langit.
Anton kembali memikirkan kejadian selama kakanya tinggal bersamannya dan ibunya. Ia ingat ketika kakanya sering berdebat dengan ayah, sering pulang malam, sering menyendiri, hanya sosok ibu yang menjadi tempat Dilan menceritakan apa yang telah ia temukan dalam kehidupannya. Anton kangen dengan sosok kakaknya semasa kecil, selalu dapat menemani ia bermain, belajar dan ia suka saat-saat seperti yang ia rasakan sekarang, hanya ia dan kakaknya duduk berdua ,ditemani oleh alam yang asri. Namun ia masih kaget dengan yang disampaikan kakanya, selama ini belum pernah ada sosok yang membuat ia menjadi kebingungan semacam ini. Ia tahu, kakaknya kini sedang memikirkan masa depannya.
“Kak..” dengan nada sedang, ia melirik kakanya
“Huhh” hela nafas Dilan mulai menunjukan kesiapan
“Haha indah sekali, pingin deh lama duduk di sini, rasanya kayak mimpi, tapi nikmat” Wajahnya terlihat berseri saat ia melihat ke arah Anton dan memberikan senyuman kecil.
“Iya kak.”
Anton mulai menyiapkan diri untuk menanyakan sesuatu kekakanya
“Kak... aku pengen tanya sesuatu ke Kakak, boleh ga ?” tanya Anton dengan wajah memelas
“Wuih tanya apa ? jangan tanya soal Bahasa Inggris ya, Kakak ga bisa” sekali lagi Dilan membanyol
“Haha ga kok Kak, aku mau tanya...emmtt.... Tapi ga jadi deh.”
“Tanya apa’an ? Ayo omongin aja“
“Emmtt anu kak, cita-cita Kakak apa ?” Anton bertanya dengan penuh harapan
“Kasih tau ga ya ? Hahaha”
“Kak... aku serius nih“ jawab Anton kesal
“Haha, gini Dek, aku ga bisa ngasih tau apa yang menjadi cita-citaku, bukannya ga mau cerita, tapi ini bukanlah hal yang sederhana untuk mencapai kesimpulan ini. Aku kasih tau kisi-kisinya aja ya ?” Dilan merubah posisinya menjadi menghadap ke Anton
“Apa Kak ?” penuh perhatian dengan kakanya
“Cita-citaku, cita-cita orang terdahulu, dan semua manusia sebenarnya sama. Cuma sangat jarang ada yang menyadari cita-cita itu.”
“Hah ? Masa’ ? Kok bisa Kak ?” jawab Anton yang merasa tak percaya dengan perkataan kakanya.
“Yah cari sendiri dong jawabannya.” sambil tertawa terbahak.
“Yah kak, aku ga tahu gimana caranya, aku ga seperti kakak yang pinter buat nyari tau kayak ginian, ayolah Kak, tegakah kau pada adik kecilmu ini.”
“Hahaha, suaramu dah kayak banci di perempatan.” Dilan terpingkal mendengan suara adiknya.
“Haiduh, ganteng-ganteng gini di bilang banci.“
“Hahaha iya,iya, aku bantu, tapi bukan dengan jawaban, tapi ku kasih tau caranya, jawabannya kamu cari sendiri gimana ?” sambil menaikan alisnya.
Sejenak Anton berpikir mengenai tawaran kakaknya.
“Emmmtt okedeh, daripada ga sama sekali.”
Dilan senang mendengar kata-kata persetujuan dari adiknya, ia merasa sudah berhasil membawa adiknya untuk masuk dalam dunia yang selama ini ia dalami secara mandiri.
“Sebenanya manusia itu adalah mahluk yang luar bisa Dek, yang memiliki alat-alat canggih di dalamnya, kamu punya hidung, kamu punya mulut, kamu punya telinga, kamu punya tangan dan organ lain dalam tubuhmu. Serta satu alat tercanggih yang tidak akan ada yang mampu mengalahkannya.”
“Apa itu Kak ?”
“Ialah akal pikiran. Kamu tau apa fungsi mereka di berikan Allah kepada manusia ?”
“Ya buat menyembah kepada Allah Kak.”
Anton dan Dilan termasuk anak yang taat beribadah, sejak kecil mereka didik mandiri dan selalu berpedoman pada Nilai Ketuhanan, yang membuat mereka memiliki kecintaan yang besar terhadap agamanya. Tetapi Dilan lebih mendalami lagi agamanya semenjak SMA, selalu mencari tahu mengenai segala yang berkaitan dengan agamanya. Banyak hal mulai ia sampaikan ke teman-temannya, walaupun kadang melakukan kesalah , tetapi semangat Dilan dalam belajar agama tidak berkurang sedikit pun.
“Apakah Allah hanya meminta disembah? Kenapa Ia tidak menciptakan malaikat saja kalau hanya ingin di sembah ?”
“Iya ya ..... Haiduh, aku ga tau Kak. ” jawab Anton dengan nada pasrah
“Makanya belajar, kerjaan cuma tidur mulu kaya kebo.”
“Udah deh Kak, jangan ngejek terus, aku kan masih belajar, proses Kak“
“Haha iya iya.” menahan tawa melihat adiknya yang terlihat sangat merendah diri.
“Terus untuk apa Allah menciptakan semua ini kak ?” tanya Anton dengan rasa sangat penasaran
“Sebenarnya semua itu saling berhubungan Dek, perangkat itu diciptakan Allah supaya manusia bisa mengenal alam semesta ini. Dengan perangkat inilah, kamu akan kenal siapa dirimu ,tau apa cita-citamu dan apa yang harus kamu lakukan kedepan.”
“Terus gimana cara gunainnya Kak ?”
“Gunakan segala indramu untuk memahami kenyataan dalam hidup ini, kumpulkan dan pikirkan, mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi jangan lupa, kamu juga punya hawa nafsu, yang bisa menghancurkan apa saja yang sudah kamu bangun.”
“Emmtttt, tapi kak, aku ga tau apakah aku bisa menggunakan perangkat ini dengan baik, aku takut nanti aku salah dan tidak menemukan apa yang kakak inginkan.”
Dilan dengan nada yang keras Dilan menjawab “Siapa yang suruh kamu mengikuti apa yang kakak inginkan ! Justru kakak nyuruh kamu buat ngikut apa kata yang sudah memberikan perangkat ini padamu dan seharusnya kamu lebih malu pada Dia ! Kamu sekarang diberikan fasilitas untuk berpikir, lantas untuk apa ? kamu manusia, bukan hewan !”
“Hemmttt.. iya iya Kak.“ sekali lagi Anton terdiam mendengar kalimat terakhir dari kakaknya, semenjak SMA ia jarang mendalami agamanya lagi, ia malu dengan dirinya sekarang, sekali lagi kata-kata dari kakaknya menusuk hatinya, belum ada yang membuat perasaannya tergoncang luar biasa seperti sekarang.
Anton kembali merenungi perkataan kakaknya, ia merasa kakaknya juga kecewa kepadanya sekarang, yang hanya memikirkan kesenangan dirinya sendiri, tak pernah memikirkan mengenai kehidupan, ia merasa telah terlena oleh kebahagiaan, tapi matanya tetutup pada kenyataan.
Dalam lamunan Anton terasa telapak tangan mendarat di kepalanya, telapak tangan itu mengelus-elus rambutnya. Ia terbangun dari lamunan, melihat mata kakanya sudah tepat 30cm di depan wajahnya , sambil tetap memegang kepalanya. Ia melihat tatapan mata penuh harapan, dan wajah yang berseri, begitu nyaman ia pandang, wajah bersahabat yang memberikannya sebuah harapan.
Segelintir kalimat muncul dari mulut Dilan.
“Kau akan menemukan CITA-CITAmu sendiri. ”
dan sebuah senyuman hadir menghiasi wajah Dilan, yang merasa telah berhasil menyadarkan adiknya, ia berharap adiknya akan memulai untuk mencari apa yang seharusnnya ia jalani sebagai manusia. Anton tersenyum melihat kakaknya, ia merasa begitu dipercaya , ia tak ingin mengecewakan sosok yang telah memberikan ia perangkat canggih ini, ia juga tak inggin mengecewakan kakanya.
Seketika langit mulai teduh, dan setetes demi setetes air jatuh dari langit, bertanda sebuah hujan yang akan turun. Keadaan tersebut mengakhiri perbincangan kedua bersaudara yang dihiasi harapan untuk memulai hal baru. Sejak saat itu Anton percaya, ada sesuatu yang masih jadi misteri, inggin ditunjukan kakaknya. Dan ia berjanji akan menemukan hal tersebut sebelum kakanya pulang.