“Oii, lempar bolanya ke sini!”
Teriakan menggema, pantulan bola terdengar keras memekikkan telinga. Para laki-laki berlari, menangkap bola voli yang melambung ke arahnya lalu memantulkannya kembali. Kemudian, tak!
“Yash! Lagi, Mal, lagi!”
“Keras banget, ya, Ra,” ucap Nita pada Yura yang duduk dengan note berwarna pink di pangkuannya. Sore ini, keduanya memutuskan untuk melihat permainan bola voli dari tim sekolah mereka yang tengah adu tanding lagi bersama SMA lain. Kali ini, SMA Cempaka yang menjadi lawan mereka.
Yura menoleh. “Iya, keras, berisik. Liat aja entar Hara gua tampol mulutnya,” balas gadis itu, kembali menulis sebait puisi untuk mengisi kebosanannya.
Nita tergelak, Yura selalu sebal mendengar teriakan Hara dan tim voli lainnya saat sudah di lapangan dan mulai bermain. Suara pantulan bola dan terikan beradu pada lapangan indoor yang tidak terlalu luas. Gadis itu memangku dagunya, memperhatikan gerak-gerik Hara saat berlari kecil menuju bola yang akan dipantulkan kembali oleh Kemal sebagai setter. Tangan gadis itu bergerak untuk menulis sesuatu saat Hara mulai melompat, lalu suara tak! kembali terdengar saat bola tersebut tidak terhalangi oleh bloker.
Dia memukul, lagi, kini lebih keras
Tawa gembiranya terdengar, lagi, kini lebih menenangkan
Gadis itu menutup notenya, tersenyum saat Hara terlihat melambai ke arahnya dengan menunjukkan giginya yang rata. “YURAAAA!”
Senyum Yura menghilang, dia malu. Gadis itu paling sebal ketika Hara berteriak memanggil namanya di tengah pertandingan. Bukan apa-apa, tapi Yura benci saat semua orang memperhatikannya. Seakan penasaran seperti apa sosok Yura yang berhasil mengusik perhatian Hara dari bola voli. Yura juga ingin tau, mengapa Hara bisa menyukainya?
“Cie, Sayur, ciee,” ledek Nita sembari mendorong tubuh gadis itu pelan. Nita dapat melihat jelas wajah sahabatnya yang berubah merah. Pasti Yura sangat malu dan marah.
Gadis itu kembali menopang dagu saat pertandingan dimulai. Dia memperhatikan setiap gerakan Hara kala berlari mendekati net kemudian melompat lumayan tinggi, bola operan Kemal serasa mudah baginya untuk dipukul telak. Poin kembali masuk untuk tim SMA Kebangsaan. Dia melihat wajah Hara yang sangat bahagia dengan hasil dari pukulan telaknya. Cowok itu menunjukkan giginya yang rapih ke arah Yura yang tertawa kecil.
Selesai latih tanding, tim Hara masih melakukan evaluasi atas performa mereka sore ini. Meskipun mereka menang berturut-turut, tetap saja akan ada evaluasi untuk menambah strategi mereka dalam bermain agar lebih baik lagi. Yura menunggu sendirian di bangku tribun dengan novel yang dia baca. Tadi Nita pamit pulang duluan karena abangnya sudah menjemput. Di sinilah Yura, memperhatikan Hara yang tengah sibuk memperhatikan pelatihnya berbicara dengan papan tulis putih di hadapan sebagai bahan evaluasi.
“Lama nunggunya?” Yura tersentak saat mendengar suara bariton yang mengusiknya. Gadis itu menoleh dan menemukan hanya yang tengah tersenyum mata yang menyipit. “Balik, gak?” Hara mengencangkan tali tas bahunya, menoleh ke arah Yura yang tengah melepaskan earphone serta memasukkan novelnya ke dalam tas. Gadis itu memakai tasnya, kemudian bangkit dan mengangguk.
Keduanya menuruni tangga tribun dan menemukan beberapa senior Hara dan ketiga teman cowok itu yang memperhatikan dirinya.
“Loh, Yura masih nungguin Hara, toh,” Liam kaget saat melihat Hara turun bersama kekasihnya. Laki-laki itu memperhatiann Yura lamat-lamat, kemudian tersenyum. “Pasti capek, ya, nungguin cowok kamu kelamaan,” katanya.
Yura tersenyum canggung. “Ya.. gitu deh,” dia kemudian melirik Hara yang masih mengobrol dengan Yugo dan Kemal. Matanya menatap Taka yang diam saja dengan kedua headphone yang sudah menutupi telinganya. “Hara, ayo pulang,” rajuk gadis itu, sedikit risih karena di sini hanya ada dirinya yang seorang gadis. Sepertinya manajer dari tim voli sudah keluar lebih dulu, dan pelatih juga guru pembimbingnya pun telah lenyap. Oh, Yura makin nggak nyaman.
Hara menoleh lalu menepuk dahinya, lupa kalau sekarang dia harus mengantar Yura pulang. “Eh, maap-maap, abisan Yugo ngajak ngobrol.”
Yugo melongo, tidak mengerti. “Lah, elo kali yang tiba-tiba ngomongin soal spiker SMA Cempaka tadi,” ucap cowok itu sebal.
Hara cemberut membuat Yura tertawa kecil lalu menarik Hara sembari berpamitan pada anggota tim voli lainnya. Karena sudah malam dan sebentar lagi adzan maghrib mungkin terdengar, Yura mempercepat langkahnya dengan Hara yang berjalan di sampingnya. Sekolah mulai gelap, namun lampu koridor tetap menyala sampai menjelang pagi. Gadis itu benci pulang malam, benci menunggu kegiatan Hara yang tidak pernah surut. Yura ingat pertandingan tadi selesai pada pukul 5 lebih 10 menit, kemudian ada evaluasi selama 20 menit. Yura heran bagaiaman Hara bisa tetap sehat dengan jadwal yang sangat menguras waktunya?
“Orang tua kamu lagi ada di rumah?” tanya Hara ketika dirinya tengah mengenakan helm.
Yura berdeham, gadis itu memasang kaitan helmnya sebelum naik ke atas jok motor cowok itu. “Tapi Ayah udah berangkat lagi tadi pagi, harus berlayar lagi,” ucapnya ketika motor Hara berjalan keluar dari sekolah. Cowok itu dapat merasakan angin malam yang menelusuk ke dalam blus yang ia kenakan. Dia memperhatikan wajah Hara dari kaca spion, sangat keren. Jarang-jarang cowok itu terlihat keren seperti ini. Biasanya suram karena dia beberapa kali kena bloker saat memukul bola.
Sesampainya di rumah, Yura melepaskan helmnya dari kepala kemudian merasa aneh saat Hara memukul kepalanya dengan lembut. “Maaf, ya. Bikin kamu nunggu sampai semalam ini,” kata cowok itu, matanya mengintip ke arah rumah Yura yang terang. Bisa dilihat dari balik hordeng, wajah Tante Wiwit tengah tengah senang melihatnya dengan Yura yang berdiri di depan gerbang.
Sadar akan tatapan Hara, Yura mendesah lalu mendorong tubuh lelaki itu agar menaiki motor kembali. “Pulang sana, salat, mandi, makan, belajar,” katanya penuh ditaktor.
Hara terkekeh lalu melambai ke arah Tante Wiwit yang keluar dari rumah dengan tergesa-gesa. “Pulang dulu, ya, Tante! Assalamualaikum!” cowok itu naik ke dalam motornya lalu menjalankan kendaraan beroda dua tersebut, meninggalkan Yura yang mulai merasa dingin menyelimutinya.
Dia menoleh ke arah ibunya, menyengir lebar. “Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam. Kok, Haranya nggak diajak masuk? Kan biar sekalian salat sama makan malam di sini,” goda ibunya.
Yura mendengus. “Ih, udah sih masuk aja. Udah malem,” Yura mendorong tubuh Ibunya agar masuk ke dalam rumah, menyembunyikan wajahnya yang kian memerah. Padahal sudah 6 bulan mereka pacaran, namun Yura masih saja malu.
***
Selepas makan, Yura masuk ke dalam kamarnya dan kembali belajar. Bukan belajar sih, tapi merangkai kata untuk persiapan lomba puisi bulan depan. Gadis itu berkali-kali menggoreskan kata di notenya, namun lagi-lagi puisinya harus dia hapus. Dia merasa kurang.
“Lagi buat apa?” Ibunya tiba-tiba sudah masuk ke dalam kamarnya. Wanita itu melihat kertas dari note yang baru saja dibuang ke tong sampah samping meja belajar. Beliau tersenyum, ternyata anaknya masih suka merangkai kata. “Buat lomba?”
Yura diam, dia malas membicarakannya. Sungguh. “Hm.”
“Temanya apa?” Ibunya duduk di atas kasur, membaca tiap kata yang berada di kertas tersebut.
Yura membasahi bibirnya, merasa gugup. “Kebangkitan nasional,” katanya, melirik jam dinding seakan tiap detiknya berjalan sangat lambat.
Ibunya mengangguk-anggukan kepalanya, kemudian meletakkan kertas itu kembali ke tong sampang. “Semangat yah, jangan lupa berdoa. Kali aja ini kesempatan kamu,” kata wanita tersebut sebelum beranjak dari kamar Yura menuju kamarnya di lantai 1.
Yura mengangguk dengan senyum tipis. “Siyap!” lalu entah sejak kapan rangkaian kata itu terasa mudah untuk dia tulis. Tiap baitnya seperti bersuara, ringan dan penuh semangat. Yura, berhasil menyelasaikan puisinya.
***
“Ra,” Hara menyapa gadis itu di kelasnya. Nita sedang keluar kelas, katanya ada urusan dengan Pak Fahmi mengenai nilai sejarahnya. Jadilah Hara duduk di kursi Nita dengan membawakan dua permen lolipop rasa strawberry dan anggur. Anggur untuk Hara, sedangkan Yura mengambil yang strawberry.
Yura sedang asik dengan permennya saat Hara menyenggol bahu gadis itu. “Apa?” tanya gadis itu sedikit sebal.
Hara mengeluarkan dua tiket nonton yang didapatkannya dari Ayah. Katanya, “Ini kamu ajak si Yura jalan-jalan, jangan ajak nonton voli mulu.” Ayahnya sungguh peka terhadap perasaan perempuan, beda dengan Hara yang masa bodoan.
“Nonton?” Yura menatap Hara bingung, tumben sekali. Sejak awal mereka pacaran, Yura hampir tak pernah mengenal apa yang namanya kencan. Biasanya kalau dia tidak diajak nonton voli, pasti ke pusat games dan mereka berdua menghabiskan waktu serta uangnya untuk bermain games.
Hara mengangguk dengan tanda yakin. “Iya, Ayah yang ngasih. Katanya sih, film ini seru,” ucap laki-laki itu, polos sekali. Masalahnya, tiket yang dibelikan Ayah Hara adalah tiket film horor. Yura benci film horor, Yura benci dibuat tegang.
“Tapi.. ini kan, film horor, Har,” balas Yura, merasa tidak yakin untuk menerima ajakan Hara.
Hara cemberut. “Kan ada aku,” katanya dengan nada merajuk.
“Hah?” Yura makin bingung. “Ih, nggak mau! Entar kamu modus, lagi,” ucapnya.
Hara masih kekeuh. “Lah, kan modusnya sama cewek sendiri, Sayurr.”
“Tap-tapi.. kan, tetep aja!” Yura mengelak, beneran deh dia kesal. Bukannya apa-apa, tapi Yura paling nggak nyaman jika Hara mulai ngegombal tapi gagal. “Pokoknya aku gak mau!” balasnya.
“Harus mau!”
“Nggak!”
“Mau!”
“Nggak! Ish!”
“Sayur harus mau!!”
“Hara!” Yura sudah tidak tahan, bisa-bisa perdebatan kecil ini tidak akan usai dan mereka kemungkinan diusir dari kelasnya. “Oke, oke. Gue mau,” dia menyerah, kemudian memasukkan permennya kembali ke dalam mulut.
Hara senang sendiri, hampir memeluk pacarnya lalu lupa kalo mereka sedang berada di tempat umum. Lagian, buat apa coba dipeluk? Emang Yura boneka? Eh, kan Yura emang mirip boneka. Boneka santet.
“Besok aku jemput abis zuhur, ya. Kita nonton voli dulu,” kemudian cowok itu pergi meninggalkan Yura, keluar dari kelas gadis itu menuju kelasnya. Dia sangat bahagia.
Beda dengan Yura yang cemberut. Dia pikir, Hara akan membawanya untuk makan siang bersama sembari menunggu waktu film dimulai. Nyatanya memang Hara nggak pernah tau caranya bersikap romantis! Sebal!
@[plutowati wahh emang ku buat manis manis biar abis itu kalian aku kasih pait paitnya dari cerita ini :v
Comment on chapter Prolog