“Untuk tugas presentasi Minggu depan jangan lupa tugasnya dikumpulkan,” Bu Kikan berkata sembari merapihkan buku-bukunya. “Oh, iya. Minggu depan ada tes lisan. Jangan lupa hapalan dan dipahami materi hari ini, ya. Wassalamualaikum,” wanita itu berjalan keluar, menyisakan murid-murid yang bersorak riang karena dapat makan di kantin.
Yura berkemas dengan merapikan buku tulis serta pulpennya dan memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Pencurian pulpen, pensil dan sebagainya sudah marak terjadi di kelasnya. Pernah sekali Yura baru saja beli pulpen baru, kemudian meletakkannya di atas meja sedangkan Yura asik berbincang dengan Nita hingga saat Yura menoleh, pulpennya sudah hilang. Entah apa teman sekelasnya tengah kritis uang atau malas beli pulpen, sehingga pencurian pulpan beserta alat tulis lainnya sudah marak terjadi bahkan di kelas lain atau sekolah lain pun terjadi hal yang sama. Gadis itu keluar dari kelas bersama dengan Nita menuju kantin. Keduanya asik membicarakan soal salah satu teman sekelas mereka, Diandra, yang baru saja putus dengan pacarnya. Pembicaraan perempuan sama sekali tidak bermutu, tiap hari cuman gosip atau mengeluh soal berat badan atau bahkan pakaian dan lain-lain. Ketika keduanya melewati mading di depan ruangan tata usaha, mata Nita dan Yura menangkap salah satu poster tentang pekan olimpiade olahraga, sains, serta seni dan sastra nasional yang akan diadakan secara bergantian.
“Gila! Pantes kemarin gue liat tim voli kita makin padet aja latihannya,” ucap Nita sembari menggigit bibirnya. “Oh iya, Ra. Lo nggak mau ikut lomba nulis puisi nih?” tanya Nita ketika mereka memasuki kantin yang sudah ramai.
Yura menoleh sekilas. “Nggak tau, kan ada seleksi juga nanti pas hari Kartini,” balasnya kemudian membeli jus alpukat. Dia sedang tidak napsu makan, jadilah dia hanya membeli roti serta jus alpukat sebelum dia mengikuti Nita membeli pempek. “Lagian biasanya juga kata Pak Eko kemarin, yang ikut serta itu dari kelas 12 dan ada satu anak kelas 11. Cewek,” ucapnya.
Nita mengerutkan dahi, masih bingung. “Ya, itu kan lomba tahun kemaren. Kita masih SMP, Ra. Belum tau kalo besok, kan?”
Yura mengedikkan bahu tidak peduli. Dia malas jika sudah membicarakan lomba dan sebagainya, sama sekali nggak minat. Bukannya Yura tidak suka, namun melihat semangat Hara dan kesedihan Hara ketika kalah membuat Yura berpikir dua kali untuk berpartisipasi dalam lomba kepenulisan dan lain-lain. Ada saatnya dia takut memulai, ada saatnya dia iri sama orang-orang yang bahkan dengan mudahnya meraih kemenangan. Dulu saat SMP, Yura pernah mengikuti lomba menulis cerita pendek di sekolahnya, dia tidak juara padahal dia sudah niat sekali menulis cerita itu. Beda dengan sang juara pertama, seseorang yang tidak niat menulis tapi harus ikutan karena perintah teman sekelasnya karena kebetulan dia adalah penulis dari cerita-cerita pendek yang sudah banyak diterbitkan menjadi buku. Itu curang, batin Yura saat itu. Orang-orang yang memiliki bakat sejak lahir akan beda dengan orang seperti Yura yang tengah mengembangkan minatnya. Tidak menonjol. Kemudian saat Yura mengenal Hara, Yura jatuh cinta pada Hara, Yura menjadi kekasih Hara. Yura semakin benci dengan dirinya yang sama sekali tidak ada berguna.
“Ra,” Yura tersadar dari lamunannya dan melihat jusnya dengan es batu yang sudah mencair. Rotinya hanya digigit sekali, kemudian dibiarkan saja dengan Yura yang melamun jauh. “Kenapa sih, lo?” Nita bertanya khawatir. Yura sungguh menyeramkan ketika dia melamun dan melupakan dunia nyata. “Mikirin Hara? Bukannya dia ada lat—“
“Nggak,” jawab Yura cepat, kemudian memakan rotinya lagi. “Gue cuman... pusing,” ucapnya, terdengar ragu.
Dahi Nita berkerut dalam, Yura biasanya melamun karena ada hal yang mengganggu pikirannya dan membuat dia berpikir jauh serta melupakan orang di sekitarnya. Tapi, apa yang membuat Yura seperti ini? Apa karena lomba itu?
“Ra,” Nita menyentuh bahu Yura, membuat gadis itu menoleh dengan tatapan yang sulit diartikan. “Nanti pas hari Kartini, lo ikut lomba ya!”
Kunyahan di mulut Yura berhenti sesaat. Pada saat itu, Yura baru saja tahu bahwa roti rasa cokelat sebenarnya nggak punya rasa, hambar, Yura nggak berselera makan. Gadis itu meminum jusnya, sama saja, hambar. Kemudian Yura menatap Nita, sebal. “Apaan sih, kartini aja masih lama.”
“Ya siapin aja, sih,” balas Nita. “Kalo lo menang, lo bisa ikut FL2SN!” kalimat Nita yang selalu bernada riang dan semangat membuat Yura tertegun dan memikirkan kalimat Hara semalam.
“Gue pasti bisa bawa tim voli kita menang O2SN!”
Nadanya sama, namun maknanya berbeda. Hara mengincar kemenangan, sedangkan Nita menginginkan Yura untuk bertindak lebih jauh dengan minatnya yang sama sekali tidak berkembang pesat. Hanya tertahan di level paling rendah.
“Iyain aja deh, biar lo seneng,” Yura menyudahi pembicaraan mereka kemudian bangkit dan meninggalkan Nita yang masih asik dengan pempeknya yang tinggal 3 potong di piring. Sahabatnya itu menyusul Yura dengan tergesa-gesa, ribet sendiri.
***
Malam itu Yura memikirkan tawaran Nita, mimpinya, dan Hara. Yura mulai membuka laptopnya, kembali melihat tulisan lamanya yang belum diteruskan. Karangan novelnya yang sama sekali belum selesai, bahkan ada yang baru mencapai satu chapter, kemudian terhenti, dan Yura berpikir bahwa hobinya sama sekali tidak menguntungkan. Gadis itu mengerang, kenapa dia menjadi takut bahkan untuk melirik mimpinya sendiri? Dia membaca salah satu naskah novel yang sejak dulu mengusiknya untuk diteruskan. Judulnya Mimpi yang Melebur Bersama Senja, dan dia penasaran. Rasanya menarik, untuk kembali dia ketik, untuk kembali dia berangan bahwa suatu saat nanti naskah ini akan menjadi novel dan dapat dipajang di seluruh toko buku di Indonesia. Kemudian dia sadar, dia kembali memimpikan hal yang tidak jelas.
“Yuraa, makan!” teriakan ibunya menyadarkan gadis itu pada lamunan malamnya. Dia menutup kembali laptopnya, kemudian bangkit dari kursi belajarnya lalu keluar dari kamar untuk menemui ibu dan ayanya di ruang makan. Gadis itu duduk dengan manis, kemudian tersenyum melihat kedua orangtuanya yang muncul malam ini untuk makan bersama. Jarang sekali ketiganya berkumpul untuk makan malam, biasanya Yura akan makan sendiri ditemani Keke yang mengelilingi kaki kurusnya. Omong-omong, Keke itu kucing peliharaannya yang kini tengah menyantap makanannya di pojokan ruang makan.
Ibu Yura melihat anaknya dengan bingung, karena hari ini Yura terlihat sedikit murung. “Kenapa? Ada masalah di sekolah?” wanita itu bertanya sembari menyendokkan nasi untuk suaminya.
Yura mendongak. “Oh, nggak. Yura biasanya aja, kok.”
“Mikirin si Hera kali, tuh, Bu.”
“Hara, Yah!” senggah gadis itu, sedikit kesal. “Bukan kok, Yura baik-baik aja. Cuman, yah, biasalah pelajaran susah,” gadis itu mengelak, dia kembali melanjutkan makannya.
Mata Ayah sedikit menyipit, masih tidak percaya. “Beneran si Hara nggak bandel? Nyakitin kamu, gitu?”
Yura menggeleng, tertawa kecil. “Nggak, kok. Hara baik, seperti biasanya,” jawab Yura, sama sekali tidak ingin memperpanjang percakapan malam mereka. Bukan karena tidak ingin, Yura suka sekali ketika keluarga mereka bisa berkumpul seperti ini. Hanya saja, malam ini, yang Yura butuhkan hanyalah istirahat.
Selepas makan, gadis itu kembali ke kamar. Ia menjatuhkan tubuhnya dengan kasar ke atas ranjang. Matanya mengerjap, dia bingung. Lomba puisi itu, sebenarnya sangat amat diminati Yura. Namun, melihat Hara dan segala kemampuan Hara, Yura merasa bahwa dia akan semakin terlihat bodoh.
“Ra, nggak mau nyoba gitu?” Hara bertanya siang itu, saat mereka baru saja kembali dari salat di masjid sekolah.
Yura menggeleng. “Nggak, Ra. Aku nggak minat samsek,” jawabnya, menghindar dari Hara dan segala pertanyaan bodohnya.
Hara masih kekeuh ingin mengajak Yura untuk ikut dalam lomba tersebut. “Puisi lo bagus tau,” masih mencoba, Hara menghalangi jalan gadis itu.
Tersenyum, Yura mencubit kedua pipi lelakinya. “Iya kok, tau. Tapi puisi aku masih terlalu biasa untuk ikut lomba itu.”
“Tap-tapi..”
“Ra,” Hara diam, menunggu Yura kembali berbicara. “Makasih, tapi serius aku nggak minat.”
Kini, Yura bangkit dan membuka buku notenya. Membaca tiap bait puisi yang selalu dia rangkai.
Dia manis, namun hati ini masih memilih untuk pergi
Halo, tuan penuh semangat
Kapan, semangat itu lari dan aku melihatmu terpuruk dengan mimpimu yang kandas?
Senja bilang, perpisahan adalah kejadian paling dihindari
Tapi, aku ingin senja
Aku ingin berpisah darinya
Kali ini, Yura memutuskan untuk berhenti berpikir dan melanjutkan tidurnya. Tidak untuk mimpinya, saat ini.
***
“Yuraa, Yura Yura, Yuraaa,” Hara iseng memanggil Yura dengan nada lagu asal-asalannya. Suaranya yang cempreng dan sumbang, membuat beberapa teman sekelas Yura menatap lelaki itu dengan sebal. Begitu pula dengan Yura yang langsung mendengus dan mengambil selembar kertas dari buku tulis Nita, meremasnya, kemudian melemparnya ke arah wajah Hara.
Hara diam, kemudian melihat kertas yang mengenai wajahnya dengan muka kusut. Laki-laki itu berjalan ke kursi gadisnya dengan perasaan dongkol. “Maksudnya apa, hah?” tantang cowok itu, wajahnya dibuat sengak membuat Yura mencebik. Hara tidak akan bisa marah.
“Apa?” Yura bertanya balik, wajahnya datar dan malas.
Hara mengembuskan napasnya, menyerah. “Oke, oke. Aku bercanda,” laki-laki itu duduk di kursi dengan Yura, kemudian meletakkan kantung plastik berisi dua minuman dingin dan satu ciki rasa sapi panggang. “Kalian tumben nggak ke kantin,” kata Hara sembari membuka ciki tersebut dan memakan isinya.
Yura mengambil minuman pesanannya, begitu pula dengan Nita yang sejak tadi asik dengan ponselnya. “Lagi males aja,” balas Yura. Tangannya bergerak mengambil ciki dari genggaman Hara. Hara menghindari tangan gadis itu, membuat Yura mengerang dan merebut ciki tersebut dengan kasar. “Jangan iseng!” omel gadis itu.
Sambil tertawa, Hara memandang gadisnya dengan hangat. Laki-laki itu selalu senang melihat Yura sebal, marah, menggerutu, dan hal-hal menyeramkan lainnya. Karena wajah Yura yang cantik akan terlihat semakin jelek, dan berarti hanya Hara lah yang dapat tiap hari melihat wajah cantiknya selain saat marah, sebal, dan menggerutu. Cowok itu mendesah, matanya melirik note berwaran merah muda dengan pulpen di atasnya. Tangan Hara bergerak untuk mengambil note tersebut, namun tangan Yura lebih cepat menahannya.
“Mau ngapain?” Yura menatap cowok di hadapannya dengan waspada.
Hara mengerjap. “Mau liat?”
“Nggak boleh!” balas gadis itu, sedikit panik.
Hara yang bingung pun mengerutkan dahinya. “Kenapa?” Matanya berubah jahil, seringaian pun muncul di wajahnya. “Itu isi puisinya buat aku, ya?” goda cowok itu sembari mencolek dagu Yura, membuat gadisnya sedikit risih.
“Apaan sih,” Yura mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Geeran banget, dah, lu.”
“Ya, gak apa-apa dong. Kan geer sama pacar sendiri,” balas Hara santai kemudian melirik jam di tangannya. Lima menit lagi bel akan berbunyi. Laki-laki itu bangkit, lalu merogoh saku bajunya. Dia mengeluarkan kertas yang sudah terlipat bahkan lusuh dan memberikannya pada Yura. “Tuh, pengumuman lomba nulis puisinya,” katanya lalu mengusap kepala Yura singkat. “Ikut, ya!” Hara beranjak dari kelas Yura menuju kelasnya. Meninggalkan gadis itu yang wajahnya memerah karena malu dan kesal.
Sebelum Yura bangkit untuk membuang kertas itu, Nita menahannya. Sahabatnya itu mengambil kertas yang baru saja dikasih Hara dan membaca isinya dengan saksama. “Ih, keren nih,” ujarnya, semakin yakin bahwa Yura pantas untuk mengikuti lomba tersebut. “Ikut aja sih, Ra,” Nita menatap gadis itu dengan memohon.
Yura mendesah. “Tapi, Nit, percuma. Gue bakal kalah lagi, you know,” balasnya.
“Kalah bukan berarti berhenti, kan, Ra?” Nita membujuk lagi, masih ingin Yura mengatakan ‘Iya’, dan masalah mereka sampai di titik pemberhentian.
Yura menatap ke arah pintu kelas, matanya melirik burung yang terbang mengarah ke atap sekolahnya. Semakin tinggi burung itu terbang, maka tekanan untuk menjatuhkan burung tersebut semakin kuat. Yura dapat merasakan tekanan tersebut ada pada Hara, pada orang-orang penuh mimpi dan semangat. Tapi Yura tidak memilikinya, sama sekali, atau bisa dibilang bahwa Yura menolak untuk memilikinya.
“Ra, kalah bukan berarti menyerah. Kalah adalah awal buat mimpi kita, buat keberhasilan kita. Semakin banyak kekalahan yang lo rasain, semakin kuat diri lo. Karena kalah berarti belajar buat lebih baik lagi, karena kalah mengajak kita untuk terus berjuang dan mencapai mimpi yang lebih tinggi lagi.”
Maka Yura mengangguk, dia selalu tidak bisa menolak permintaan Nita kepadanya.
a.n
Gimana untuk bagian ke lima ini? Semoga kalian mulai memahami ceritanya, ya! Hehehehe
@[plutowati wahh emang ku buat manis manis biar abis itu kalian aku kasih pait paitnya dari cerita ini :v
Comment on chapter Prolog