Pagi itu Yura bangun dengan semangat yang tidak menipis. Dia menguncir rambutnya yang sebahu, menatap cermin sekali lagi kemudian keluar dari kamar menuju ruang makan. Kedua orangtuanya tidak ada di rumah, seperti hari-hari sebelumnya. Tapi Yura nggak kesepian, dia punya kucing, teman, dan Hara.
Gadis itu mengolesi roti dengan selai cokelat, kemudian memakannya dengan keheningan yang tidak ada artinya. Dia sudah nggak sabar untuk hari esok, pengumuman pemenang, penentu dari semua mimpinya yang sempat tenggelam.
“WOIII SAYURRR!” teriakan dari luar membuat senyuman bahagia Yura surut. Gadis itu menyambar tasnya kemudian keluar dari rumah, tidak lupa mengunci pintu dan membuka gerbang untuk menemui sosok yang tumben sekali datang pagi.
“Kesurupan, ya?” Yura memastikan, kalau saja jika Hara memang kesurupan.
Hara menggeleng, wajahnya nampak biasa saja. “Kan gue ada latihan pagi, Ra,” Hara menjelaskan.
Malas menanggapi, Yura pun mengunci gerbang rumahnya kemudian naik ke atas jok motor Hara. Gadis itu membiarkan rambutnya yang terikat dibawa angin pagi. Asap kendaraan belum terlalu mendominasi, membuat Yura merasa lebih rilex dibandingkan pagi sebelumnya.
Sampai di sekolah, tidak ada percakapan di antara keduanya selain Yura yang sibuk mengecek ponsel dan Hara yang tiba-tiba langsung lari dengan menepuk bahu Yura sebagai pamitan. Lari lelaki itu mengarah ke lapangan voli indoor, Yura mengikutinya hingga dirinya berhenti di pintu masuk. Harum keringat serta nafas yang beradu langsung menguar kala Yura masuk lebih dalam. Pemandangan para laki-laki yang tengah latihan memukul membuat Yura menguk ludahnya dalam. Begini ya punya kekasih dengan ambisi yang tinggi, rasanya menyenangkan sekaligus sesak.
Mengecek ponsel lagi, Yura sadar bahwa ini sudah pukul setengah 7, pasti Nita sudah datang. Gadis itu berbalik meninggalkan panggilan teman-teman Hara, seperti meledek karena Hara ditonton kekasihnya.
“Dari mana?” tanya Nita ketika Yura masuk ke dalam kelas dan duduk di sampingnya. “Muka lo keknya asem banget,” Nita menggerutu, Yura cuman berdecak dan membuka novelnya.
“Dari lapangan voli,” jawab gadis itu singkat.
“Lah tumben,” Nita meledek. “Ada angin apaan, nih?”
Yura menatap Nita dengan tatapan lo-mau-gua-tampol?
Nita menyengir lebar, kemudian menghela napas. “Kok hubungan gua gak ada kemajuan ya , sama Taka?” gadis itu berubah sedih. “Gua udah coba chat dia, tapi balesannya singkat banget!”
Yura menggeleng heran, kok temennya bisa genit gini sih?
“Lo genit banget, deh, Nit. Jadi cewek tuh harus jual mahal, jangan mau lo yang deketin,” gadis itu berujar sembari terus membaca novelnya. “Lagian, ya, di pandangan gue si Taka gak suka sama cewek genit,” ucapnya membuat semangat Nita semakin anjlok.
“Kok lo jahat, sih?” Nita cemberut.
“Bukannya jahat,” Yura menghentikan aktivitas membaca. “Terkadang, ada saatnya kita buat berhenti berjuang. Udah tau kalau dia gak bakal respon, buat apa dilanjutin? Mendingan biarin dia sampai sadar dengan sendirinya, terus dia yang bakal balik buat memperjuangkan kita.”
***
“Langit berbintang tak selamanya indah, dia hanya—“
“Itu si Laras lagi latihan?” tanya Nita ketika mereka memasuki kelas setelah dari kantin, membeli cemilan untuk di makan di kelas. Lagian, sekolah rasanya agak sedikit lebih ramai dan santai karena banyak anggota OSIS mondar-mandir membawa barang serta alat-alat untuk acara besok. Kelas Nita dan Yura juga ramai karena banyak teman sekelasnya yang berlatih untuk lomba besok, dilihat banyak orang.
Yura melirik Laras sekali lagi, melihat bagaimana gadis sekecil Laras dan seimut Laras akan membacakan puisi di depan banyak orang yang akan menatapnya dalam. Pasti terlihat menakutkan, namun Laras tampak santai tak karuan. Dia sudah latihan membaca 10 kali, dan semuanya nampak sukses besar. “Kagak, Nit. Dia lagi berak!”
“Ih, elo mah! Gua gak bercanda, ya!” Nita memukul Yura, kemudian duduk di kursinya. Membuka bungkus Chitato dan memakan isinya dengan rakus. “Duh, kok gua yang deg-degan, ya? Besok pengumumannya, loh!”
“Iya, tau kok gue,” Yura meminum jus mangganya, kemudian mendesah. “Gue takut kalah lagi, Nit.”
“Ayolah, Ra, come on. Jangan pesimis gitu, ah. Hidup itu harus terus optimis meskipun kadang, harapan tidak sesuai sama hasil,” Nita mulai berkata bijak. “Lagian, ya, Ra. Kita gak tau hari esok kayak gimana hasilnya. Meskipun lo bukan juara satunya, lo tetap masuk yang terbaik di sekolah ini.”
Yura mengangguk-angguk, seolah paham kalimat Nita yang sangat membosankan. Yura bukannya belagak bodoh, dia hanya bersikap seolah tidak peduli. Dia ingin, untuk sekali saja, Tuhan memberikan satu langkan baiknya untuk Yura. Yura ingin menang, seperti Hara yang membawa kemenangan untuk timnya melalui loncatan tinggi dan pukulan keras dan cepat.
“Heh, ngelamun bae lu!” Nita menyentil dahi Yura. “Udah, deh. Jangan mulai buat bersikap melankolis. Menang, menang, dan menang. Emang hidup lo cuman berpusat pada kemenangan, ya? Santai aja, sih. Nggak menang tahun ini, masih ada tahun depan. Nggak menang di lomba ini, masih ada lomba-lomba lain dari luar sekolah yang bisa lo ikutin, Ra.”
“Iya, deh, iya.”
“Eh, gue serius loh, ya,” Nita menatap gadis itu, lalu menyumpal mulutnya kembali dengan cemilan favoritnya itu. “Itu, tuh, cowok lo dateng,” katanya lalu tertawa membuat Yura menoleh dan menemukan Hara sambil membawa bola voli. Pakaian jersey volinya sudah berganti menjadi segaram putih abu-abu, tapi rambutnya acak-acakan penuh keringat. Membuat beberapa gadis dari teman sekelasnya sedikit menjerit, Hara terlihat keren.
“Temenin ke kantin, yuk, say,” Hara duduk di kursi depan Yura, kebetulan pemiliknya sedang keluar. Entah ngapain.
Yura menggeleng tegas, dia udah posisi wena. “Mager, Har. Serius dah,” ucap gadis itu, berpura-pura mengantuk.
Namun Hara sama sekali tidak menyerah, dia menarik rambut Yura yang dikuncir, membuat pemiliknya risih dan berkata keras. “Yaudah, iya! Ayo ke kantin!” Yura langsung berdiri dengan membawa jus mangganya, dengan Hara yang menertawai wajah sebal gadis itu di belakang, mengikuti langkah cepat Yura menuju kantin.
***
Seperti layaknya kantin yang ramai dan dipenuhi oleh siswa-siswi yang bercengkrama, kantin di sekolah mereka juga terlihat ramai. Yura melihat sudut kiri di mana banyak anggota voli yang ngumpul di sana. Buat apa Hara meminta ditemani Yura? Mau ngajak Yura gabung sama teman-temannya? Ih, males!
“Nggak, kok, Yur. Jangan negatif mulu ah pikirannya. Gue beneran mau berdua sama lo, kok, sumpah!” Hara memasang wajah melas dan penuh ampun saat Yura baru saja ingin berbalik pergi, makin sebal.
“Yaudah, cepet! Mau beli apaan, sih?” gadis itu bertanya, nadanya selalu penuh emosi. Layaknya Yura yang tidak pernah lembut pada Hara.
Hara tersenyum, dia menarik Yura menuju warung mi ayam, membeli 2 mangkuk mi ayam dan membawanya ke salah satu meja yang baru saja kosong. Keduanya duduk di sana dengan Yura yang menatap dua mangkuk mi ayam dan 2 jus mangga. Yura tidak merasa lapar, tapi Yura tidak pernah mengatakan bahwa dia akan menolak makanan gratis.
“Jadi ceritanya mau traktir?” Yura bertanya sembari memakan mi ayam miliknya, dia merasa lapar.
Hara menggeleng. “Nggak, emang pengin makan berdua. Jarang-jarang, kan?” lelaki itu menaik turunkan alisnya, membuat Yura terkekeh. Hara selalu bisa bersikap manis, tapi lebih sering paitnya.
“Dih, tumbenan lu malih.”
“Apa sih, yang gak bisa gua lakuin buat lu markonah.”
“Bambang!” Yura gemas. “Nama gue Yura!”
Hara tertawa. “Iya maap, Sayur-a.”
“Ish.”
Lalu keduanya kembali makan dalam diam, sesekali Hara iseng dengan mengambil keripik dari mi ayam Yura, membuat gadis itu murka dan menyentil dahi cowok itu. Pemandangan keduanya tidak lepas dari tatapan banyak siswa yang berlalu lalang, juga anggota voli yang kini menjadikan Hara objek gosip mereka.
“Hara gitu-gitu bisa romantis, gila,” Yugo berkata takjub, Kak Liam menyetujui sambil menilai keduanya. Terlihat serasi dan lucu.
Kak Dino tertawa. “Udah kayak pasangan dari drama korea, njir. Manis manis kayak tai.”
“Idih, sejak kapan tai jadi manis, bang?” Kemal bertanya. “Lo pernah nyobain, ya?”
“Sialan lo!” Dino memukul Kemal. “Ya kan itu perumpamaan, malih,” lelaki itu gemas sama cowok yang kadang sok keren jika sudah menjadi setter di tim volinya.
“Ya lagian perumpamaan lo aneh, No,” Kak Fino menyahut, kemudian menggigit bakpaonya lagi. “Tapi tentang hasil lomba nulis puisinya, beneran gitu, Mal?” kini lelaki itu memusatkan perhatiannya pada Kemal yang terdiam, sibuk mengaduk jus jeruknya yang hanya tersisa bongkahan es yang mulai mencair. Dingin.
“Ya, gitu.”
Seluruh anggota voli diam, hening menyertai mereka dengan tawa Hara dan Yura yang tampak menyatu dengan keramaian kantin. Terasa atmosfir antara kedua meja itu terasa berbeda.[]
@[plutowati wahh emang ku buat manis manis biar abis itu kalian aku kasih pait paitnya dari cerita ini :v
Comment on chapter Prolog