Bagi Hara, kuis dadakan merupakan kesialan yang tidak berujung. Lelaki itu memainkan pensil mekaniknya, mengeluarkan dan memasukkan isi pensil dengan pikiran yang melayang ke tempat lain. Dia mendengus, sebal karena soal-soal Sejarah di depan sana tidak ada yang mudah sama sekali. Mendingan main voli, gampang, pikirnya sembari menuliskan jawaban. Menyontek pada Kemal yang sudah selesai nomor satu.
“Loh, kok jawabannya Soekarno, Mal?” Hara membaca kertasnya sekali lagi. Memastikan bahwa jawaban yang ia tulis benar adanya.
Kemal melirik Hara sebal. Cowok itu selalu banyak bertanya, padahal kerjaannya cuman nyontek tiap kali ujian atau kuis. “Ya emang itu yang nulis pancasila kan Soekarno, Har,” Kemal kembali menulis, mengabaikan pertanyaan lain dari Hara tentang ‘Kata siapa kalo yang nulis Soekarno? Lo emang pernah dikasih tau sama Soekarnonya, Mal?’
Astaga. Mau nampol orang rasanya.
Selama kuis, meja Hara dan Kemal selalu berisik membuat Pak Guntur menatap keduanya dengan tajam. Meminta mereka untuk diam atau kertas jawaban kuis akan ditarik paksa. Menyerah, Kemal benar-benar mengabaikan pertanyaan absrud Hara dan mulai mengerjakan soal dengan serius. Sedangkan Hara sejak tadi tidak berubah. Lelaki itu hanya memainkan pensil mekanik, menulis jawaban, kemudian bertanya tentang jawaban yang ditulis Kemal.
Kuis pun selesai dengan Kemal yang berhasil menyelesaikan 5 pertanyaan kuis, dan Hara yang baru saja ingin menyelesaikan pertanyaan nomor 5. Lelaki itu mendengus keras, memandang kertas jawaban yang dibawa Pak Guntur keluar kelas disusul deringnya bel istirahat yang meramaikan sekolah. Ia pun memasukkan pulpennya ke dalam saku baju, kemudian membiarkan buku tulis Sejarahnya tergeletak di atas meja. Ia tinggalkan begitu saja.
Seperti istirahat kebanyakan, kantin akan ramai dikelilingi manusia-manusia kelaparan sejak dimulainya waktu belajar. Hara langsung menempati tempat yang cukup untuk enam orang, jaga-jaga jika Yura tidak dapat tempat duduk. Laki-laki itu menyuruh Kemal untuk membelikannya nasi goreng dan jus jeruk, kemudian memandangan pintu kantin. Menunggu Yugo dan Taka yang akan datang dari kelas IPA.
Selain Yugo dan Taka, sebenarnya Hara juga menunggu Yura. Tapi cowok itu tau bahwa gadis itu akan kekeuh untuk mencari tempat lain. Melihat gadis itu memasuki kantin, Hara buru-buru membenarkan posisi duduknya. Kemal datang dengan nasi goreng miliknya serta jus jeruk yang terlihat segar. Lelaki itu menerimanya dengan sigap, kemudian memakannya dengan terburu-buru. Salah tingkah dilirik Yura sekilas.
“Lo kenapa segila ini, sih? Kalo dilirik pacar sendiri,” Kemal sudah duduk dengan mie ayam yang dia beli, kemudian ikut makan dengan hikmat. Menghabiskan mie ayam di hadapannya lebih mengasyikkan dibandingkan melihat Hara harus salah tingkah hanya karena kekasihnya.
Taka dan Yugo bergabung dengan makanan yang merak bawa. “Ngomongin apaan, nih?” Yugo ikut bertanya, bergabung dalam obrolan antara Hara dan Kemal.
Kemal, sambil memakan mie ayamnya, menjawab. “Biasa, si Hara salting gara-gara dilirik Yura,” katanya dengan lugas, kemudian menyumpit mienya kembali, memasukkannya ke dalam mulutnya yang terbuka lebar.
Hara mendengus, melirik Yura sekali lagi, sepertinya gadis itu berhasil menemukan kursi kosong. Kali ini Hara makan tanpa Yura duduk di sampingnya.
“Muka lu lesuh amat, njir,” Yugo menyenggol Hara, berusaha menghibur cowok itu. “Jangan alay, Har, malu sama umur,” dia berniat bercanda, tapi raut wajah Hara semakin tertekuk. Yugo bungkam.
Taka yang sejak tadi diam pun mendengus, sebal. “Najis,” kemudian makan lagi dalam diam, dan Hara melirik lelaki itu sembari mendelik.
“Ngomong-ngomong, hubungan lo sama Nita gimana, Ka?”
Pertanyaan Hara sukses membuat lelaki pendiam itu tersedak batagornya. Tenggorokannya sakit, dia seger meminum air mineral yang dibelinya kemudian menatap wajah tanpa dose Hara dengan penuh minat. Minat untuk ditampol.
“Kok lo bacot?” Taka balas mendelik, benar-benar jengkel.
Hara melotot. “Lo duluan, anjing,” hujatnya, dengan kalimat kasar.
Taka balas melotot. “Yee, bangsat. Cowok lemah, dasar. Mainnya ngegas doang, tingkah lakunya kayak bocah,” dia kembali memakan batagornya, membiarkan Hara yang merasa panas dan berniat memukul kepala lelaki itu sebelum Kemal menahannya.
“Udah, udah. Kok lo berdua jadi berantem gini dah,” Kemal merasa heran, memukul kepala kedua temannya itu agar sadar bahwa mereka sedang berada di kantin. Apalagi seluruh mata siswa sempat memperhatikan cek cok keduanya, terutama kedua gadis yang duduk tidak jauh dari kursi mereka. Pertengkaran Hara dan Taka yang panas tadi sempat mencolok, tapi Kemal segera mendinginkannya.
Yugo mengangguk, wajahnya pucat karena dia takut kedua temannya itu akan berakhir adu jotos hanya karena saling mengejek. “Jangan berantem dong, udah gede. Malu.”
Taka mendengus, dia kembali tidak peduli dengan memakan batagornya lagi. Begitu pula Hara yang langsung melirik Yura yang tengah menatapnya. Lelaki itu tersenyum, sadar bahwa dirinya selama ini memang masih kekanakan. Dia pun menatap Taka yang sejak tadi berubah tidak peduli, memukul kepala lelaki itu dengan santai.
“Sori, gue kekanakan tadi,” Hara berkata, meminta maaf atas sikapnya. “Minggu depan kita ada pertandingan, gue nggak mau atmosfer tim rusak gegara pertengkaran kecil kita,”cowok itu menyelesaikan masalahnya dengan damai, membuat senyum kecil Taka terbit meski sekilas.
“Hm.”
“Btw, Ka. Lo beneran gak ada hubungan apa-apa sama Nita?” Hara kembali bertanya, kini nadanya benar-benar normal dan polos.
Kemudian Taka benar-benar memukul kepala lelaki itu telak, sangat jengkel dengan pertanyaan menyebalkan itu.
***
Hara memukul bolanya dengan telak. Bunyi Tak! menggema di seluruh lapangan voli, membuat sunyi yang sempat tercipta kembali bersuara. Lelaki itu kembali baris ke depan, menunggu gilirannya memukul bola lagi.
“Har,” Yugo yang berdiri di belakangnya memanggil cowok itu. “Itu, di pintu lapangan ada cewek lo. Kok belum pulang, ya?”
Hara menoleh kala Yugo memberitahukan keberadaan Yura di pintu masuk lapangan voli. Gadis itu benar-benar berdiri di sana, dengan tas tangan menggenggam minuman penambah energi.
Langkah kaki Hara membawa lelaki itu menuju gadis itu yang semakin bergetar, entah merasa takut karena diperhatikan oleh banyak cowok, atau gugup karena kedatangan Hara yang mendatanginya. Hara berhenti, menatap gadis di hadapannya sembari menunggu sapaan gadis itu.
“Nih,” Yura mendorong botol minuman itu dengan terburu-buru, lantas mundur selangkah. “Jangan kemaleman pulangnya, nanti masuk angin,” lalu gadis itu hendak berbalik sebelum Hara menahan tangannya.
“Makasih, ya,” kata lelaki itu, kemudian berlari ke tempat peletakan tas, memasukkan minuman penambah energi ke dalam tas, lantas kembali berlatih.
Yura memerhatikan setiap langkah Hara, gerakan lelaki itu berlari kemudian memukul bola dengan keras. Tanpa ampun. Seakan bola voli berharis biru itu melakukan keasalahan.
“Semangat!” teriaknya dengan keras membuat lapangan voli senyap sejenak, termasuk Hara yang melotot melihat Yura telah berlari meninggalkan lapangan. Menyisakan tawa mengejek serta menggoda, membuat wajah serta kedua telinga Hara memerah.
“Aduh, manis banget.”
***
Hara pulang pukul 8 malam. Makan malam sudah selesai setengah jam lalu ketika dia bertanya pada Mama yang tengah menonton televisi di ruang keluarga, bersama Ayahnya yang asik mengetik sesuatu di laptop. Hani juga sudah tidur ketika Hara menengok ke kamarnya. Tumben sekali cepat tidurnya.
Lelaki itu membersihkan dirinya kemudian salat dan turun ke bawah, makan malam sendirian sembari menonton pertandingan voli di ponselnya.
“Kamu nggak capek apa, Har? Pulang malem tiap hari, terus makan malem sendirian, latihan lagi di rumah, baru deh tidur,” Mama tiba-tiba saja duduk di hadapannya, membawa piring berisi dua potong puding cokelat. “Abis makan nasi, makan ini ya. Biar makin semangat latihannya,” wanita itu bangkit berdiri, mengusap kepala Hara lembut sebelum kembali menonton televisi.
Kalau boleh jujur, Hara sebenarnya mulai lupa apa itu lelah. Dia terlalu bersemangat sepanjang hari untuk bermain voli. Tidak pernah terpikirkan bahwa ada saatnya fisiknya akan menurun, kemudian dia jatuh sakit. Tapi sampai saat ini Hara nggak pernah sakit karena kelelahan, palingan juga sakit kepala gara-gara soal Sejarah dan Matematika.
Selesai makan, lelaki itu membuka aplikasi Line miliknya. Membuka kontak Yura kemudian menelepon gadis itu. Sudah menjadi kebiasaan Hara untuk menelepon Yura malam-malam, entah apakah ini termasuk kebiasaan buruk atau baik. Yang jelas suara Yura selalu menjadi semangat untuknya buat latihan malam ini. Ditemani sepiring puding yang dibawakan Mama tadi.
“Hai,” Hara menyapa, menatap langit malam yang sepi kemudian bola voli yang tergeletak di bawah ring basket. “Lagi ngapain?”
“Belajar,” Yura menjawab dengan singkat. Sepertinya Hara ingat kalau besok Yura ada ulangan harian Fisika. Pasti gadis itu tengah belajar ekstra, padahal otaknya pas-pasan.
“Suaranya lemes banget, deh. Semangat dong!” Lelaki itu mengambil bola voli yang tergeletak tersebut, kemudian melemparnya untuk dimasukkan ke ring basket. “Aku juga besok ada ulangan. Ekonomi. Bikin pusing.”
“Kenapa nggak belajar?” kini nadanya lebih khawatir.
“Males.” Jawaban yang santai, tapi Hara nggak peduli. Dia memang malas dengan Ekonomi, cuman bikin mual.
“Belajar gih! Jangan main voli mulu!”
“Kalo nggak mau, gimana?” Cowok itu tersenyum kecil, dia membayangkan wajah Yura yang berubah masam.
“Yaudah aku tutup teleponnya!” Kemudian sambungan terputus, Hara tertawa geli mengetahui tingkah laku Yura saat ngambek. Lelaki itu kembali menelepon gadisnya, menunggu beberapa deringan sebelum kembali diangkat oleh gadis itu.
“Apa lagi?!”
“Eh, santai nyai,” Hara bergurau. “Iya, abis latihan belajar kok.”
“Bagus deh.”
“Belajar mencintaimu,” kemudian Hara tertawa kencang, membayangkan wajah Yura yang sudah mirip kepiting rebus.
“Maehara!”
@[plutowati wahh emang ku buat manis manis biar abis itu kalian aku kasih pait paitnya dari cerita ini :v
Comment on chapter Prolog