"Nda!"
Seorang perempuan menoleh ke sumber suara, merasa terpanggil namanya. Tapi itu
hanya berlangsung sebentar karena detik berikutnya tangan perempuan itu sibuk menali sepatunya yang tadi belum terikat sempurna.
Bram membuka pintu pagar rumah Nda yang tidak seberapa tinggi. Masuk tanpa dosa seperti sudah hal biasa.
“Tuh, kuncinya di atas meja.” Dagu Nda terangkat menunjuk ke arah meja rotan di depannya. Bram menjawab perkataannya dengan mengambil kunci motor matik, lalu berjalan ke arah garasi rumah Nda dimana sebuah vespa putih terpakir rapi.
“Gue panasin dulu ya, mesin motornya.” Kata lelaki itu tanpa menunggu respon Nda. Seolah pernyataan itu hanya bagian dari etika formalitas.
Perempuan itu telah selesai menali sepatu, dan hanya menunggu Bram memanasi mesin motor sambil membaca buku tebal di tangan. Bram sempat melirik judulnya sebentar: Bumi Manusia-nya Pramoedya.
Sekilas Bram tersenyum kecil melihat lagak Nda. Anak perempuan aneh yang baru dikenalnya saat akhir kelas satu SMA dulu. Sebenarnya bukan dia yang aneh. Tapi mungkin hubungan antara mereka berdua yang aneh. Bram merasa dunianya dan dunia Nda agak berbeda, tapi entah kenapa Bram akhirnya bisa berteman dengannya.
Bahkan Bram dulu tidak pernah tahu siapa itu Nda. Padahal mereka satu sekolah dan seangkatan. Nama Nda yang nyeleneh membuat Bram tak kuasa terkikik dalam hati saat pertama kali diperkenalkan. Saat itu mereka bertemu dalam situasi yang tak cukup menggembirakan. Sekitar dua tahun lalu, saat Bram baru saja pindah ke perumahan ini.
Kala itu Bram baru saja kehilangan kedua orang tuanya, sampai akhirnya neneknya membawa Bram tinggal bersama.
“Temenmu ada yang tinggal di blok ini juga ya, Bram?” tanya nenek ketika itu. Saat Bram menjadi warga baru di perumahan ini.
“Siapa, Nek?”
Nenek mengerutkan kening. “Lho, kirain kamu kenal.”
Bram menggeleng.
“Nanti juga kamu kenal.” Ujarnya. “Dan mending kamu kenalan saja, biar bisa berangkat bareng sama dia kalau sekolah. Jarak rumahmu sama sekolah sekarang nggak sedeket rumahmu yang dulu, kan.”
“Dia lelaki atau perempuan, Nek?”
Bram mengerutkan kening. Memang dulu Bram cukup jalan kaki ke sekolah karena tak ada kendaraan pribadi. Namun rumah neneknya—yang ia tinggali sekarang cukup jauh dari sekolah dan butuh naik kendaraan umum untuk sampai. Tapi apakah Bram harus berkenalan dengan perempuan—teman sekolahnya—yang ia sendiri belum tahu itu—hanya untuk tumpangan?
“Keluarganya juga baik. Pasti mau membantumu.” Lanjut nenek. “Sekarang kau harus pintar-pintar mengatur pengeluaran, Bram. Saat orangtuamu ada saja kau sudah harus berhemat, apalagi sekarang.”
Lelaki itu terdiam. Merenungkan perkataan nenek saat itu. Semuanya memang benar. Kondisi ekonomi kedua orang tuanya dulu tidak cukup baik. Ayahnya bekerja sebagai supir taksi dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Ditambah lagi kematian kedua orang tuanya yang secara tiba-tiba karena kecelakaan taksi yang disupiri ayahnya sendiri. Sementara kini Bram diasuh oleh neneknya yang bertahan dari uang pensiunan kakeknya, mantan guru Sekolah Dasar.
Akhirnya tak lama kemudian Bram memang pergi ke rumah Nda. Sebuah rumah di pertigaan jalan berdesain minimalis modern. Pemiliknya menyambut dengan ramah. Nenek tampak sudah akrab betul dengan si pemilik rumah. Hampir selama satu jam mereka mengobrol banyak hal. Nenek bercerita tentang Bram, cucu satu-satunya yang baru saja menjadi yatim piatu. Ibunda Nda menatap Bram dengan wajah iba. Wanita itu sudah beberapa kali pergi ke belakang—memanggil anaknya yang satu sekolah dengan Bram. Namun saat datang kembali ke ruang tamu, wanita paruh baya itu tetap sendirian. Katanya anaknya memang pemalu, sukanya di kamar saja. Saat itu Bram berpikir, mungkin anak tetangganya itu sejenis penggila dunia cyber atau mungkin maniak game online yang betah tidak keluar kamar seharian. Bram hanya tertawa kecut.
Baru di detik-detik terakhir saat Bram dan neneknya pamit pulang, Nda baru berkenan untuk keluar. Bram kembali tertawa kecut melihat penampilan Nda yang cukup berantakan. Mungkin dia memang ansos.
“Dewi Gandaria.” Gadis di depannya berkata cepat sambil mengulurkan tangan.
“Siapa?” Bram menyambut uluran tangan itu dan tersenyum kikuk.
“Panggil saja Nda.”
terdiam dan berusaha mencermati perempuan yang berdiri di depannya. Tingginya sekitar 160 cm. Terpaut 29 senti lebih pendek dari tingginya. Meski hanya memakai daster bunga-bunga dan rambut kuncir yang mencuat kemana-mana, wajah dan aura Nda mengaburkan sosok perempuan maniak game yang ansos di pikiran Bram tadi. Gadis bernama Nda itu tampak ramah. Meski ada aura misterius yang bisa Bram tangkap darinya. Misterius bukan semacam aura cenayang dan sejenisnya. Tapi misterius yang entah… berkarisma?
Gadis itu tersenyum. Manis. Bram tak berkedip selama beberapa detik. Harusnya perempuan itu akan langsung menjadi perhatian saat di sekolah. Namun kenapa ia tak pernah melihat Nda? Padahal sudah lebih dari satu semester semenjak masuk SMA Bram wara-wiri menjalin pertemanan dengan hampir seluruh kelas. Tapi kenapa wajah Nda sama sekali tak familiar baginya?
Hanya tiga menit Bram berkenalan dengan perempuan bernama Nda. Dan di hari-hari berikutnya, kehidupan Bram menjadi babak baru yang membentuk hubungan absurd dengan perempuan itu. Nda adalah teman, tetangga, sekaligus adik—yang Bram kenal untuk alasan yang cukup aneh—dan hubungan mereka selama dua tahun ini memang tak pernah bisa dijelaskan dengan sederhana. Setidaknya menurut Bram.
***
Nda duduk di jok belakang motor. Tas ransel Bram menjadi pemisah antara ia dan lelaki itu. Jarak tempuh dari komplek perumahan mereka ke sekolah bisa ditempuh selama lima belas menit jika naik motor tanpa macet. Dan butuh sekitar setengah jam jika naik angkutan umum. Nda sebenarnya sudah terbiasa naik motor sendirian ke sekolah, hanya sekitar beberapa bulan saja—sebelum Bram masuk ke kehidupannya yang amat tenang—baca: nyaris statis.
Kehadiran Bram di hidup Nda memberi rasa baru. Nda, yang dulu menjadi manusia invisible di sekolah, semenjak setahun lalu, menjadi dikenal hampir seluruh penduduk sekolah. Hanya gara-gara seorang Bram.
Sepanjang yang ia ingat, Nda tak pernah begitu tertarik untuk ikut-ikutan teman sekelasnya dulu—mengidolakan Bram. Siapa itu Bram? Saat itu Nda tak pernah tahu. Hanya pernah melihat wajah lelaki itu saat ada acara upacara sekolah. Nda heran. wajah Bram biasa saja. Tidak ada yang spesial. Apa mungkin Bram di elu-elukan karena anak lelaki itu sempat menjadi satu-satunya anak kelas satu yang menjadi paskibraka? Bahkan banyak anak paskibraka lain yang jauh lebih menarik dibanding Bram. Ternyata dugaan terkenal karena momentum yang selama ini disangka Nda agaknya keliru. Bram semakin banyak dibicarakan saat masuk Klub Basket dan ikut bertanding di turnamen provinsi padahal baru kelas satu. Meski begitu, Nda tak cukup peduli. Baginya, buku dan Bahasa Inggris jauh lebih menarik. Nda tak begitu terkesan dengan lelaki yang hanya jago di non akademik.
Namun semenjak Bram menjadi tetangganya dua tahun silam. Nda kini tahu bahwa lelaki itu juga pandai di akademik. Ternyata sejak masuk di SMA, Bram memperoleh beasiswa prestasi yang ditujukan untuk siswa kurang mampu. Dan setiap semester ia selalu memperolehnya. Menurut Nda, Bram adalah sosok yang agak absurd. Nyaris semua penghuni sekolah mengenalnya, banyak siswi yang mengelu-elukannya. Tapi apa yang ada pada dirinya bagi perempuan itu tak ada yang istimewa. Bram bukanlah anak tampan super keren seperti yang biasa dibayangkan sebagai bintang basket, anak paskibra, dan penerima beasiswa. Bram itu biasa saja, meski tak bisa dibiang jelek. Wajahnya masih kalah jika dibandingkan apa yang kalian bayangkan. Fisik Bram bukanlah daya tarik yang menonjol. Dan itulah yang menjadi keabsurdan di sini. Nda menilai Bram sebagai seorang lelaki yang menarik secara personalia—dibanding menarik secara fisik. Dan hal ini telah ia buktikan sendiri saat pertama kali berkenalan dengan Bram.
“Brahmana Turangga.” Kenal Bram saat itu. “Panggil saja Bram.” Ia mengulurkan tangan dan tersenyum.
“Dewi Gandaria.” Nda menyebut namanya secara cepat, kemudian membalas uluran tangan sambil tersenyum. “Panggil saja Nda.”
Bram tampak terdiam beberapa detik. Nda menduga lelaki itu sedang berusaha keras menyembunyikan tawa saat mendengarnya tadi.
Bram terdiam agak lama. Sebelum akhirnya ia bertanya.
“Kok tidak pernah lihat, ya? Kelas apa?”
“Sepuluh lima.” Jawab Nda.
“Wah, pantas saja tidak pernah lihat. Kelas kita dari ujung ke ujung.” Lelaki itu tertawa lepas. Seolah segala hal yang awalnya tak lucu bisa menjadi hiburan baginya.
Nda tersenyum tipis. Bukan karena basa-basinya tadi. Tapi lebih karena Bram sudah menghargai perempuan itu. Nda tahu sekali Bram sudah beberapa kali masuk ke kelasnya untuk mengedarkan kotak amal ke seluruh kelas sepuluh saat ada orangtua murid yang meninggal; sebuah jobdesk bagi pengurus OSIS. Dan diantara beberapa kesempatan itu, dia mungkin tidak pernah mengingat Nda.
Sejak saat itu Nda jadi lebih mengenal sosok Bram. Dia adalah orang yang sangat terbuka dengan apapun dan siapapun yang pernah Nda tahu. Bram terbuka, tapi bijaksana. Bram berteman dengan siapapun. Mudah bergaul dengan siapapun. Namun dia tak kebablasan. Dia, tetap menjadi dirinya sendiri. Dan sifat itu pula lah yang menumbuhkan karakternya. Tidak semua orang bisa seperti Bram.
Nda ingat saat pertama kali ia dibonceng oleh Bram. Semua mata tertuju pada mereka. Hingga teman-teman sekalas Nda—terutama yang perempuan—tampak histeris saat mengetahui kenyataan, bahwa Bram adalah tetangga baru Nda. Dan kenyataan kedua—bahwa motor yang dipakainya adalah milik Nda.
Sekolah agak gempar. Tapi Bram adem ayem seolah Nda dan dia adalah saudara kembar yang baru bertemu dan memang harus saling bergantung sama lain. Bram tetap melanjutkan rutinitas normalnya, sementara Nda cukup kerepotan menyesuaikan diri menghadapi situasi baru. Semua mata saat berangkat sekolah mula-mula tertuju pada mereka. Siswa yang awalnya sama sekali tidak dikenal Nda tiba-tiba mengenal perempuan itu. Tapi seiring berjalannya waktu, semuanya menjadi biasa saja. Bram dan Nda. Tetangga. Bram si murid terkenal. Nda si anak misterius yang sekarang sudah tidak begitu misterius.
Tapi yang paling diingat oleh anak-anak sekolah adalah pernyataan pertamanya saja. Bram dan Nda. Hanya tetangga.
***
Mereka sampai di parkiran motor sekolah lima menit sebelum bel masuk berdering. Bram sempat merapikan rambutnya dan mengaca di spion sebelum akhirnya melangkah pergi ke kelas.
“Nanti gue ada basket. Mau nunggu?” Bram menanyakan hal yang sudah ia ketahui sendiri jawabannya. Itu hanya pertanyaan etika formalitas antar tetangga.
Nda mengangguk.
Mereka berpisah di lorong kelas yang membujur dari utara ke selatan. Nda melangkah ke sisi kanan, tempat kelas IPS berada. Sementara Bram sebaliknya, ke deretan kelas IPA yang lebih padat.
Nda menemukan dua daun pintu yang hanya terbuka setengahnya. Kakinya melangkah masuk.
Di kelas IPS ini, Nda berteman dengan siapapun. Tapi anehnya, ia masih merasa sendirian. Nda merasa dunianya dan teman-teman di kelasnya agak berbeda. Teman-temannya begitu terbuka, menceritakan segala kehidupannya pada orang lain—bahkan yang belum terlalu mereka kenal sekalipun. Sedangkan Nda. Perempuan itu begitu hati-hati menjaga perasaan orang lain. Dan cenderung tidak nyaman jika hal-hal privasinya terumbar. Nda bisa dan suka bekerja di dalam tim, bahkan seringkali berperan menjadi orang penting di dalam sana. Tapi hubungan pertemanan itu hanya berlangsung saat tugas berlangsung. Untuk selanjutnya, Nda tetap masih merasa sendirian di sini. Ia kadang merasa memiliki dua kepribadian. Di satu sisi Nda bisa ramah dan supel dengan siapapun yang ia temui. Dan selalu senang melakukan kegiatan sosial. Namun di sisi lain, Nda akan kehabisan energi jika telah menghabiskan banyak waktu di dalam lingkaran itu. Dan hanya bisa pulih kembali jika sudah melakukan me time—merenung dan memiliki waktu sejenak untuk sendiri.
Bukankah diantara sekian banyak orang yang kau kenal dan kau anggap teman, mereka masih terbagi lagi menjadi kategori-kategori? Teman ‘hanya’ kenal atau tahu, teman sekelas, teman dekat atau sahabat. Dan diantara sekian banyak orang, sejujurnya Nda memiliki banyak yang berada di golongan pertama dan kedua. Tetapi hanya segelintir saja yang berada golongan yang ketiga, dan itu sudah membuatnya nyaman. Karena ia merasa sudah punya orang-orang yang bisa diandalkan kapanpun. Dan Bram, entah kenapa, semakin kesini, telah masuk di posisi golongan ketiga itu. Entah bagaimana asal mulanya. Nda masih ingat betul, beberapa hari semenjak pertemuan pertama mereka. Bram adalah orang pertama yang mengatakan hal itu padanya;
“Cara berpakaianmu itu nggak wajar.” Komentar Bram saat ia datang ke rumah Nda untuk meminjam tangga.
Nda terdiam lama. Kemudian terkikik kecil. Lelaki ini adalah orang pertama yang berani nyeplos padanya. Berbicara terkesan mengajak berantem, tapi benar-benar apa adanya.
“Kau mungkin orang kesekian yang berpikiran begitu. Tapi orang pertama yang mau ngomong langsung.”
Really?”
Nda mengangguk.
Nda hanya menggidikkan bahu. Tak ingin berdebat lebih jauh dengannya. Awalnya sih bisa menahan. Tapi semakin lama Nda kenal dengan Bram. Mereka semakin sering berdebat. Mempertukarkan berbagai pikiran dan berbagai hal—dari yang sepele sampai yang menyangkut kehidupan umat manusia sedunia.
Pernah suatu hari saat Bram menunggu Nda membeli seblak di dekat sekolah, ia melihat perempuan itu mengeluarkan dompet berbentuk kepala kodok, ukurannya hanya segenggaman tangan, dan dikunci oleh dua buatan kecil di atasnya. Di dompet itu Nda melipat lembaran uang seribu dan lima ribuan sedemikian rupa agar muat. Tanpa diduga Bram mendadak mulai mengkritisinya.
“Nah ini, nih. Pantes aja uang Indonesia lecek-lecek. Penduduknya aja suka ngelipet-lipet duit.”
Nda menoleh ke arah Bram. “Kan nggak cukup kalau nggak dilipet.”
“Makanya jangan pake dompet yang kecil kayak gitu. Hargailah uang meski Cuma tidak melipetnya.”
“Loh, jangan hanya salahkan yang ngelipet. Kan dompet kecil-kecil gini dijual di pasaran. Kalau nggak dijual aku juga nggak bakal kepikiran buat beli.”
Bram tertawa geli. “Lu anak IPS, kan?” wajahnya seperti setengah mengejek. “Mana bisa ada penawaran kalau nggak ada permintaan? Gue yang anak eksak saja masih ingat dasar ekonomi.”
Dan begitulah seterusnya. Melakukan sesuatu dengan Bram agaknya bisa saja menimbulkan perdebatan kapanpun. Tapi entah kenapa Nda tidak terganggu. Meski sering kalah—atau lebih tepatnya mengalah dalam berdebat. Bram adalah sosok yang absurd di kehidupan Nda. Bram berbeda dengannya. Sungguh berbeda. Tapi Nda selalu berpikir bahwa, perbedaan itu lah yang membuat mereka bisa seirama. Seperti kunci dan melodi pada permainan piano. Kau tahu istilah itu, kan? Ah sudahlah, lupakan saja, kalau kau tidak paham.
***
Bram masuk ke kelas IPA 1 dan duduk di barisan depan. Di sebelahnya ada lelaki tambun yang sudah menjadi teman sepermainan saat SMP. Di antara sekian banyak siswa yang berjenis kelamin sama dengan Bram di kelas ini, ia dan teman sebangkunya merupakan segelintir saja yang memilih duduk di bangku depan. Alasannya, karena Bram sangat ingin masuk ke PTN terbaik di kota ini, yang juga sekaligus institut nomer wahid di negeri ini.
Sudah lama Bram memimpikan itu. Dan selama ini langkahnya selalu ditujukan ke sana. Memang saat-saat PMDK belum tiba, masih sekitar empat-lima bulan lagi. Tapi semakin kesini Bram semakin mantap untuk memilih. Bram pun pernah memberitahu Nda. Dan di luar dugaan, Nda berkata dengan santainya, “Bisa, bisa.”
Haha. Bram selalu tertawa kalau mengingat gadis lugu itu. Lugu maksudnya di sini lebih karena Nda masih terlihat polos seperti anak-anak. Dia belum ‘terkontaminasi’ oleh pergaulan keras yang tak berperikeetikaan, atau oleh candaan gaul yang sangat lazim dipakai oleh anak-anak muda di kota besar.
Nda itu apa adanya dengan caranya. Semakin mengenalnya, semakin pula Bram merasa banyak hal menarik yang ada dalam kehidupan dan kepribadian Nda. Ia tampak pendiam dan tenang di luar. Tetapi saat berbicara, lawan bicaranya selalu bisa mengikuti irama permainannya. Nda yang kalem dan lembut. Perempuan blangsakan ataupun anak lelaki yang terkenal nakal pun mendadak bersikap baik—atau pura-pura baik?—saat berhadapan dengannya.
Gadis itu ramah pada semua orang. Namun ia tak lantas menjadi terkenal. Karena memang sifatnya yang hampir-hampir tak ingin menonjolkan diri itulah yang membuat lingkungan sekitarnya hanya bisa merasakan kehadiran Nda saja. Beda seperti Bram yang mudah didekati karena terlalu terbuka pada siapapun. Hampir-hampir semua siswa di sekolah ini mengenal Bram, dan pernah melakukan percakapan baik pendek maupun panjang bersamanya. Bram seolah ikut melebur bersama setiap orang yang ditemuinya. Tapi Nda lain. Nda tetap menjadi dirinya yang seperti itu. Dengan perangai tenang dan terkesan misterius-karismatik. Nda hanya menarik orang-orang yang agaknya berhaluan sama dengannya. Tapi bisa membuat orang lain yang berbeda haluan menghormatinya. Bram selalu berpikir bahwa dalam sekali lihat saja, dapat ditarik kesimpulan pendek bahwa Nda adalah perempuan yang, yah, anggun.
Dan kabar baik lainnya bagi Bram, Nda bisa dia ajak berdebat tentang apapun. Bahkan Nda termasuk pendengar paling nyaman yang pernah ia temui. Semua hal rasanya Nda tahu. Pikiran perempuan itu luas dan dewasa. Mungkin karena ia adalah seorang kutu buku.
Nda juga baik hati sekali. Memiliki rasa sosial tinggi. Iya, dong, anak Sosial harusnya memang seperti itu. Selama ini, berkat motor matiknya, hidup Bram terselamatkan. Dan tentu berkat Nda juga. Sering sekali Nda menunggunya yang banyak kegiatan ini. Berela-rela pulang hingga sore, padahal Nda sendiri tak ada urusan.
Herannya, banyak yang mengira Bram dan Nda pacaran. Tentu saja tidak! Bagaimana mungkin? Bram hanya mengganggap Nda sebagai tetangga. Dan sudah dianggapnya Nda sebagai adik sendiri, yang entah kenapa hampir selalu menurut padanya, sehingga Bram pun merasa harus melindunginya—mungkin lebih karena utang budi terhadap motornya.
Nda yang awalnya misterius itu mendadak menjadi perhatian teman-teman Bram. Hingga semua mata di sekolahan saat dulu—pertama kali lelaki itu berboncengan bareng Nda—tertuju kepada mereka. Bahkan Bram selalu dilontari pertanyaan-pertanyaan yang menggelikan; “Bram, lu pacaran?”, “Bram, siapa cewek yang lo bonceng itu?”, “Bram, tipemu seperti itu, ya?” “Bram, kok gua nggak pernah lihat dia?”, “Bram, dia cantik, sih. Tapi apa nggak terlalu polos buatmu?”, “Bram, apa nggak terlalu cantik buatmu?”
Sungguh sekolah gempar. Lebih gempar dibanding saat seisi sekolah mengetahui bahwa kedua orang tuanya mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Ini adalah hal terkonyol sepanjang hidup Bram. Serentetan pertanyaan itu terlewat begitu saja selama hampir seminggu. Lelaki itu malas menanggapinya. Apalagi pertanyaan yang paling terakhir itu. Sangat mengganggu.
Lebih-lebih Bram kasihan dengan Nda. Hidup gadis itu yang awalnya adem ayem mendadak berubah. Hanya karena Bram—orang asing yang tiba-tiba muncul dan mengusik kehidupan tanpa dosanya.
Hingga akhirnya Bram dan Nda, entah mungkin karena dipaksakan keadaan, menjalin sebuah perkenalan. Sampai saat ini, saat mereka telah menjadi siswa tingkat akhir di SMA.
Dan kini, Bram melihat gadis itu sedang duduk di bangku panjang yang berada di pinggir lapangan basket sekolah. Rambut Nda tergerai digoyang angin. Kakinya sebelah kanan disilangkan ke atas kaki kiri, memperlihatkan sneaker warna pink stabilo yang ia pakai. Wajahnya menunduk searah buku yang ada di kedua tangannya. Masih judul buku yang sama saat lelaki itu menemuinya pagi tadi. Bumi Manusia.
Sudah hampir dua jam Nda menunggunya di sana. Sendirian pula. Bram yang masih setia dengan bola basket meski sudah tingkat tiga SMA. Tak ada lagi pertandingan dan latihan resmi yang berlaku. Semua ini Bram lakukan semata-mata karena ia mencintai permainan memasukkan bola ke dalam ring ini. Ia selalu berlatih sendiri setiap sore jam tiga setelah sekolah. Sebelum minggu depan Bram tak bisa lagi melakukannya, karena jadwal persiapan Ujian Nasional yang akan semakin padat. Tak lagi hanya sampai jam tiga sore, mungkin akan sampai jam lima.
Lelaki itu menghampiri Nda yang masih terdiam dengan bukunya di pinggir lapangan. Bram mengambil sebotol air di sebelah tempat duduk Nda, lalu mengambil alih tempat itu.
“Sepertinya aku butuh les tambahan.” Ujar Nda begitu tahu Bram kini duduk di sebelahnya sambil menenggak air.
“Bukankah sudah ada bimbel di sekolah?” Bram memutar tutup botol. Menutupnya.
“Aku butuh guru privat. Matematika.”
Bram terkikik pelan. Salah satu kelamahan Nda; sangat payah dalam hitung-hitungan.
“Kenapa kau?” tanyanya sambil melihat Bram sinis.
Lu, mau gue ajarin, kan?”
Nda memandang Bram dengan wajah datar.
“Daripada lu susah-susah bayar orang.” Bram menggidikkan bahu. “Matematika apa, sih? IPS kan?”
Nda terdiam sejenak lalu manggut-manggut. “Boleh juga.”
“Gratis?” lanjutnya.
Bram mengangguk sambil menguap. “Tapi kasih makan malam.”
Tiba-tiba kepala Bram serasa ditimpuk oleh benda keras. Lelaki itu meringis sakit saat mengetahui buku yang dibawa Nda barusan menempel di kepalanya. Gila! Itu buku setebal 500-an halaman dan perempuan itu tanpa rasa bersalah memukulkannya. Perempuan mengerikan!
“Sudah, ah. Yuk pulang!” Nda terlihat tak merasa bersalah.
Bram masih mengelus-elus kepala. “Gue ganti baju dulu.”
Nda terlihat hambar. “Tak usah.” Katanya lalu mengambil ransel dan bersiap pergi dari lapangan.
Bram akhirnya mengikuti Nda dari belakang. Bukan karena ia sepenurut itu. Tapi karena tak ada pilihan lain sebab kunci motor ada di tangan Nda.
***
Bram menyalakan mesin motor. Diikuti Nda yang segera duduk di jok belakang secara menyamping. Roknya terlalu panjang untuk ukuran seseorang yang membonceng motor. Mereka melewati jalanan Bandung yang langitnya kuning keemasan menjelang senja. Nda menguap saat motor melaju pelan di jalan merambat. Sudah diputuskan. Bram akan mengajarinya matematika setiap malam sabtu dan minggu. Nda sudah begitu alergi dengan angka-angka dan rumus, dan kini harus dihadapkan lagi dengan kenyataan bahwa ia harus menghadapinya lagi, mau tak mau, agar bisa melepas seragam putih abu-abu dan menjadi mahasiswa pada umumnya.
Mereka sampai di komplek perumahan tepat sebelum adzan magrib berkumandang. Ibu Nda keluar rumah, menyapa kedua bocah itu.
“Makan malam di sini dulu, Nak Bram?”
Bram menggeleng. “Mau langsung ke masjid, Bu.”
“Belakang situ?”
Ibu Nda tersenyum. “Silahkan, silahkan.”
Tak lama, Nda melihat punggung Bram yang menjauh dari rumah setelah berpamitan. Nda lalu segera masuk rumah. Tak begitu peduli apakah Bram akan ke mesjid atau ke warung kopi dulu. Bram memang sosok anak baik-baik, dan normalnya perempuan itu akan mengaguminya. Tapi hubungan mereka terlampau aneh. Nda bahkan seperti tak sempat untuk sekedar mengidolakannya. Cukuplah menjadi tetangganya yang selalu dititipi surat, salam, dan hal sejenisnya dari teman-teman perempuan di sekolah. Nda tak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika ia menjadi orang yang ‘lebih’ di mata Bram. Nda akan menjadi netral saja. Ia merasa begini lebih baik.
***
Malam Sabtu tiba. Sesuai janji, Bram datang setelah jamaah isya di masjid belakang rumah bubar. Lelaki itu hanya membawa sebuah buku kecil—buku saku kumpulan rumus matematika. Nda dan Bram kini hanya berdua saja di ruang tamu.
“Soal begini saja lu nggak bisa?” Bram menghela napas. “Ini tuh dasar banget!” tunjuknya ke soal logaritma yang ada di buku “PREDIKSI SOAL UNAS 2011”
Nda tersenyum getir.
“Jadi selama ini lu ngapain aja, sih?”
Nda menggeleng lemah. Tak tahu harus menjawab apa.
“Gimana cara lu ngerjain soal ulangan harian selama ini? Soal UTS? UAS?”
Nda diam sejenak. “Mengandalkan intuisi.”
Bram melempar buku rumusnya yang sudah kumal ke atas meja.
“Pantas saja nilai matematika lu selalu paling rendah daripada pelajaran lain.”
“Aku nggak suka matematika dan nggak mau berurusan dengannya. Makanya aku milih IPS.”
“Tapi buktinya di IPS tetep ada pelajaran matematika, kan, sekarang?”
Nda mulai mual.
“Matematika itu pasti ada di setiap bidang, Nda. Mending lu mulai sekarang jangan sok-sok alergi lagi, deh.”
“NO!” Wajah Nda merengut. “Aku nggak mau ambil jurusan yang ada matematikanya pas kuliah!”
“Tolong, Nona. Kehidupan ini butuh matematika. Sekalipun lu besok di jurusan sosiologi, lu tetap akan menghitung. Menghitung manusia. Statistik sosial.”
“Setidaknya matematikanya lebih bisa dinalar dan bertujuan.” Jawab Nda sangsi.
“Aku nggak pernah paham kenapa kita harus mencari cacing-cacing ini.” tunjuk perempuan itu pada soal integral. “Aku lebih suka sama pelajaran yang bisa dinalar, memiliki kemungkinan jawaban, dan bisa diterapin langsung di keseharian.”
Bram menghela napas pelan. “Yah. Jalan kita memang berbeda.”
“Apa?” Nda melihat ekspresi Bram yang menatapnya setengah pasrah. “Apa kau kini meremehkanku karena aku memilih IPS?”
“Siapa yang meremehkan?”
“Itu! Coba lihat sendiri tatapanmu itu! Seolah kau sudah menyerah untuk mengajariku.”
Bram menatap Nda singkat. Kemudian membuka buku kumalnya. “Terserah lu ajalah.”
Hari itu, les privat perdana Nda memberikan dua hasil; Nda yang benar-benar sudah tak tertolong lagi dalam hal matematika, dan kenyataan bahwa ia membutuhkan Bram.
Wah pembukaan yang menarik. Jadi pingin lanjut baca >.< keep up the good work
Comment on chapter PROLOG