“Kyra Adisya Adelaide.”
“Hadir, Sensei.” Seruku dari meja di sudut ruang kelas.
Sensei Winne yang berdiri di depan menatapku dengan kesal. Dari wajahnya sudah sangat jelas bahwa sebentar lagi Aku akan dimarahinya.
“Kyra-chan, kamu kok suka sekali duduk paling belakang, sendirian pula.” Katanya sambil berjalan menuju mejaku.
Aku hanya diam sambil memberikan guru bahasa jepang itu pandangan menyesal atas perbuataanku. Ya, sudah sering perempuan paruh baya itu menegurku secara personal setelah kelas usai, tapi Aku terlalu nyaman dengan posisiku sekarang. Sangat pas untuk tidur di siang yang terik.
“Kamu pindah ke depan.” Perintahnya.
Belum sempat Aku mengelak, tas ransel biruku sudah di sambarnya. Dengan mudah ia menaruh tas biruku yang ringan di atas bangku kosong di deret paling depan. Sial.
Dengan terpaksa, Aku mengankat pantatku yang berat ini dan mengambil bukuku yang masih tersisa di atas meja, walaupun itu hanya selembar buku yang hampir menjadi selembar sampul saja.
“Sampai kenaikan kelas kamu duduk disini.” Kata Winne Sensei sambil mengetuk meja itu pelan.
Aku hanya mengangguk. Tak lupa menunjukan muka memelasku. Semua orang tidak bisa menghindar dari jurus andalanku itu. Tapi rupanya sensei tidak.
“Keanu.” Teman dudukku menjulurkan tangannya di hadapanku.
Oh yang benar saja. Ini semua terasa seperti takdir. Baru saja Aku bertemu dengannya kemarin pagi, dan sekarang kita berada di kelas yang sama dan meja yang sama. Faktanya, kita sudah bersama selama tiga bulan, tapi Aku terlalu malas untuk memperhatikan sekitar. Sekitar tidak semenarik khayalanku, bukan?
“Kyra.” Jawabku tanpa membalas uluran tangannya yang masih betah melayang di hadapanku.
Aku menatapnya jengah. Sudah 30 detik berlalu dan dia masih berpikir Aku akan membalas uluran tangannya. Aku memutar bola mataku tanda kesal.
“Baiklah. Tidak ada berjabat tangan.” Dia akhirnya menyerah dan menarik tangannya pergi.
Sensei sudah memulai penjelasannya di depan tentang berbagai macam kata bantu dalam kalimat bahasa jepang. Sedang Aku mulai mengantuk di tempatku sekarang.
Kepalaku mulai rendah menuju meja. Pandanganku bahkan sudah tidak fokus lagi ke papan tulis.
“Bangun..” seorang berbisik padaku sambil menggoyangkan bahuku pelan. “Bangun astaga..” ucapnya lagi.
“Saya ngantuk.” Jawabku cepat.
Dia menatapku kesal. Matanya tiba-tiba mewanti wantiku untuk duduk dengan tegap. Aku tak paham maksudnya dan melanjutkan proses tidurku.
“Yang ngantuk boleh ke kamar mandi. Cuci muka sampai gak ngatuk lagi.” Ucap seseorang samar-samar di telingaku.
Dukk…Duk…Duk…
Suara meja yang diketuk cukup keras membuatku sedikit terlonjak dari tidurku. Inilah sebab kenapa Aku tidak ingin duduk di deret depan. Aku pasti akan kehilangan jam tidur siangku setiap hari kamis mulai sekarang.
“Ken, temenin kyra cuci muka ya.” Ucap sensei. Sial.
Aku berdiri dari mejaku dan berjalan dengan cepat menuju pintu. Keanu sudah berdiri dari kursinya dan segera mengejarku.
“Kamu mau ikut masuk ke toilet cewek?” Tanyaku kesal.
“Kenapa enggak. Lagian toiletnya kosong.”
“Gila.” Desisku pelan.
Benar saja. Dia mengikuti masuk ke toilet wanita yang saat itu benar-benar kosong.
“Bersih banget. Gak kaya toilet cowok.” Ucapnya.
Aku tidak meresponnya. Aku melanjutkan kegiatanku yakni mencuci muka.
“Masih lesu aja habis cuci muka.” Komentarnya sambil memperhatikan wajahku yang masih basah.
“Namanya juga ngantuk. Cepet keluar.” Kataku sambil menarik tangannya.
Setelah keluar dari toilet, Aku dengan cepat melepas tangannya. Kita berjalan dalam diam sampai akhirnya dia memulai percakapan lagi.
“Beneran mau balik ke kelas?” Tanyanya.
Aku menatapnya bingung dan curiga. Dia menawarkanku untuk membolos.
Kami sekarang sudah ada di atap sekolah. Matahari sangat terik, tapi sangat teduh di sini. Ya, pohon-pohon rindang ini tentu sangat berperan besar.
Seseorang seperti sudah lebih dulu sampai di tempat ini. Dia terlihat sangat nyaman tertidur di atas rumput taman atap. Wajah benar-benar damai. Tak tampak sedikitpun rasa cemas dari wajaahnya yang sedikit lebih gelap dari Keanu, seseorang yang memegang tanganku saat ini.
“Disini enak banget buat tidur.” Ucap Keanu.
“Kamu gak takut dimarahin sensei?” tanyaku.
“Saya pikir kamu orangnya pemberani.” Rautnya menjelaskan bahwa ia kecewa.
“Saya pikir kamu anaknya berbakti.” Jelasku.
“Bisa aja.” Dia terkikik pelan. “ Ini pertama kalinya saya bolos lintas minat jepang, tapi kalau pelajaran lain seringlah.” Tuturnya dengan nada bangga.
“Kalau dia?” tanyaku sambil menunjuk lelaki yang sedang terkapar di atas rumput.
“Jangan tanya berapa kali dia sudah absen.”
“Nama mencerminkan orangnya ternyata.” Gumamku pelan.
“Kamu kenal dia?” Tanya Keanu.
“Cuma tau.”
Keanu duduk sambil bersandar di pohon rindang di belakangnya. Aku yang masih berdiri hanya menatap kedua orang tersebut menikmati suasana tempat ini. Mereka berdua terlihat damai dan sejuk. Sesejuk semilir angina yang baru saja menerpa rambut coklatku.
“Sampai kapan mau berdiri?” Tanya Keanu akhirnya.
“Baru aja mau duduk.” Aku berjalan menyusulnya bersabdar di batang pohon.
“Tidur aja, nanti kalau udah pulang Aku bangunin.” Katanya santai
“Gimana saya bisa percaya kamu gak bakal lakuin hal buruk ke saya?” Aku menatapnya dengan tatapan memperingatkan.
“Kamu gak harus percaya saya. Percaya aja yang kamu mau percaya.” Jawabnya.
“Kalau begitu saya percaya Tuhan.” Ucapku dan segera berbaring di atas rumput hijau.
“Ini, tutupin kaki kamu.” Dia menyerahkan sweater birunya.
“Makasi.”