Kenapa harus aku?
-Dua Sisi-
"Hadeh, capek banget gilak!"Jino duduk didekat Januar yang lagi-lagi ditemukan sibuk mengerjakan tugas di meja kantin. Di samping Januar ada Bambang dan Yogi yang tengah mabar mobile legend. Ada juga Chandra yang menggunakan setelan olahraga karena baru saja latihan tengah sibuk dengan dunianya sendiri.
"Tumbenan lo kesini?"tanya Januar.
"Habis gedung fakultas gue jauh dari sekre ya gue kesini aja,"jawabnya santai sambil menyedot jus jeruk yang baru dia beli.
"Kampus emang mau ada acara apa?"tanya Chandra yang biasanya tak tertarik akan urusan anak organisasi. Tapi lain kali ini, pasalnya Rose juga anak organisasi. Dia hanya ingin tau.
"UKM musik sih lebih tepatnya yang ada acara, tapi anak BEM juga ikut andil juga. Oh iya, Rose juga eum Jayden juga. Engga tau deh kenapa dia bisa jadi panitia padahal bukan anak BEM apalagi anak musik,"jelas Jino panjang tau jika sebenarnya Chandra bertanya hanya untuk tau kabar terbaru tentang sang mantan kekasih.
"Gue engga tanya,"sahut Chandra.
"Heleh, telek lo Chan! Lo nanya gitu kan biar Jino bahas Rose juga sok engga ngaku lagi,"timbrung Januar.
Chandra mendengus, "udah sih ngerjain tugas ya ngerjain aja. Engga usah banyak tingkah."
"Yee, kenapa jadi maneh yang sensi?"
Jino cuma bisa geleng-geleng kepala tak ingin menimbrung bahkan melerai pertikaian antara Januar dan Chandra.
"Kasian tau neng mawar, tugasnya banyak. Dia kebagian jadi seksi acara. Pasti capek banget tuh. Sibuk ngurus ini itu dari pagi sampe malem."
"Gue bilang gue engga nanya!"
"Yaudah sih, engga usah ngegas juga kali!"kesal Januar.
"Bangsat! Berisik bener anjir. Kagak bisa konsentrasi gue,"ucap Yogi yang sudah memasang wajah kesal setengah mati.
"Eh, Chandra. Lo mau kemana?"tanya Bambang yang sadar Chandra akan pergi.
"Pulang,"jawabnya dingin lantas bergegas pergi.
"Buset, sensi amat dah tuh bocah. Jangan-jangan pms dia,"duga Yogi yang langsung dapat toyoran kepala dari Bambang.
"Bukan. Itu efek denger nama Jayden. Dia sensi karena itu,"ucap Bambang.
"Lah tumben lo bener?"sahut Januar.
"Iyalah!"bangga Bambang dengan wajah tengilnya.
Januar mendengus malas.
"Jayden itu musuh dalam selimut, pinter banget dia bikin strategi. Dia tuh bergerilya waktu hubungan Chandra sama Rose merenggang terus setelah mereka putus baru deh dia berani main terang-terangan,"timpal Jino.
Januar mendengus lagi, "kok gue kesel ya sama si Jayden-Jayden itu. Bukannya dia pernah nolak Rose. Kok sekarang malah ngejar-ngejar sih?"
"Gue malah kasian sama Chandra,"sahut Jino setelahnya hening. Tak ada yang berani bersuara.
***
Chandra sengaja menghentikan Rosemary didekat gedung milik anak UKM. Melihat Rose dari jarak yang cukup jauh. Bohong jika dia tidak cemburu. Bohong jika dia bilang tidak peduli.
"Eh, bentar deh,"ucap Chandra pada seorang perempuan.
"Iya, kenapa? Kak Chandra ya?"
"Kok tau nama saya?"heran Chandra. Dia kembali menolak ingat jika dia amat dikenal.
"Siapa sih yang engga tau sama atlet berbakat kayak kakak di kampus ini? Semua orang tau kali, kak,"jawab perempuan itu.
Chandra menggaruk belakang kepalanya. Merasa kikuk. Lantas ingat tujuannya memanggil perempuan itu.
"Bisa minta tolong engga?"
Perempuan itu mengangguk, "bisa."
"Tolong kasihin ini ke cewek itu ya, jangan kasih tau ini dari saya,"ucap Chandra sambil memberikan plastik kecil berlogo market terkenal pada perempuan yang diyakininya adik tingkat itu.
"Nanti kalau ditanya dari siapa. Saya harus jawab apa?"
"Bilang aja kamu beli satu gratis satu, inget ya cewek yang disana itu, yang paling cantik pokoknya,"jelas Chandra.
Perempuan itu tersenyum geli, "iya saya tau. Engga usah diperjelas kali kak. Kak Rose kan maksud kakak?"
Chandra jadi salah tingkah membuat adik tingkatnya itu tak bisa untuk tidak tersenyum geli.
"Kalau masih sayang pertahanin kali Kak jangan malah diputus. Nanti kalau kakak masih sayang tapi dianya udah pindah ke lain hati, baru deh berasa nyeselnya."
Chandra bungkam. Perkataan adik tingkatnya itu terasa menohok ulu hatinya.
"Eh, Kak maaf. Saya engga ber-"
"Engga papa kok, kamu bener. Saya yang salah,"potong Chandra.
Merasa tak enak hati, perempuan itu pamit pergi.
"Ya sudah, saya duluan."
Rose menyeka keringkatnya yang bercucuran. Masih sibuk mengurus persiapan panggung dan segala atributnya. Baru saja dia ingin istirahat sejenak seorang adik tingkat memanggil namanya.
"Capek ya kak?"
Rose mengangguk. Merasa tak dekat dengan perempuan itu tapi dia tetap tersenyum ramah.
"Nih, saya kasih minum biar capeknya ilang,"gadis itu kemudian menyerahkan plastik pemberian Chandra kepada Rose.
"Lho kok? eh engga usah."
"Ambil aja kak, ini bukan dari saya,"gadis itu mendekat,"tapi dari seseorang yang kakak pikir engga peduli nyatanya masih peduli,"bisiknya lantas bergegas pergi sambil menaruh plastik berisi sekotak susu perasa pisang disamping Rose.
"Dari siapa katanya? Sok misteri-Chandra?"
Rose tak sengaja melihat Chandra lewat sambil mengendarai Rosemary. Senyum gadis itu mengembang lebar. Hanya karena perhatian kecil itu sejenak dia lupa rasa lelahnya.
Dia senang, Chandra ternyata diam-diam masih peduli.
***
"Sini biar gue aja yang bawa,"Jayden datang dan langsung mengambil alih kardus berisi air mineral dari tangan Rose.
"Eh, Jay?"
"Kenapa engga minta tolong yang lain aja sih? Inikan berat,"ucap Jayden lagi.
Rose menggeleng,"engga mau ngrepotin, yang lain juga udah capek sama tugas masing-masing. Lagian cuma bawa air doang kok."
"Tapi kalau masih ada cowok yang tenaganya lebih banyak dari cewek, kenapa engga minta tolong aja sih?"
"Eh?"Rose berdiri kikuk ketika Jayden tampak emosi entah karena apa, "ya maaf deh,"ucapnya lagi. Bingung sendiri kenapa meminta maaf.
Pandangan Jayden melembut, dielusnya rambut Rose.
"Lain kali jangan sungkan minta bantuan ya?"
Rose mengangguk patuh.
Jayden tersenyum lebar,"pinter."
"Ya udah, gue bawa ini ke sekre dulu ya?"
Rose mengangguk lagi membuat Jayden gemas sendiri. Diacaknya lagi rambut Rose lantas setelahnya berjalan pergi.
Bruk!
"Eh, maaf."
Rose terkejut setengah mati ketika seseorang tiba-tiba menubruk tubuhnya hingga sedikit oleng. Namun ketika Rose hendak meminta maaf sekali lagi. Orang itu telah berjalan pergi dan terlihat sangat buru-buru.
"Eum, itu apa?"
Sebuah kertas tampak jatuh setelah insiden tabrakan. Merasa benda itu mungkin saja milik seseorang yang menabraknya. Jadi Rose memungutnya.
Jalang, mati saja kamu! Cewek kegenitan kayak kamu itu engga pantes hidup!
Rose meremas kertas itu, matanya membola dengan tangan yang gemetar menahan gejolak rasa takut. Dengan setengah keberanian yang dia miliki, dikejarnya orang yang beberapa menit lalu menabrak dirinya tapi dia kehilangan jejak. Orang itu tak terlihat lagi.
Ting!
+628233xxxx
Penasaran ya gue siapa? Engga usah repot cari tau. Anggep aja gue orang yang engga suka sama lo. Yang pengin lo lenyap dari dunia ini.
"Sakit jiwa,"ucap Rose dengan nada gemetar. Seumur hidup baru pertama kali dia diteror. Selama ini Rose selalu menjaga sikap, sebisa mungkin menjauhi keributan. Dia bukan tipikal orang pembenci apalagi sampai memiliki musuh. Lantas siapa peneror ini? Ada dendam apa dengannya? Rose yang teramat kalut berlari menuju toilet. Masuk kedalam salah satu bilik lantas duduk diatas toilet duduk sambil meredam rasa takut yang menjalar dalam dirinya.
Clap!
Tiba-tiba lampu toilet padam.
"Ada orang diluar?"paniknya.
Sunyi.
Tak ada yang menyaut pertanyaannya.
"Hei jangan bercanda! Lo itu siapa?! Kenapa lo neror gue?"
Tak ada jawaban.
Suasana begitu hening hanya terdengar suara air yang jatuh dari keran yang tak tertutup sempurna.
"Jangan teror gue lagi! Dasar psiko!"
Rose sudah amat terasa ketakutan, karena tak mau didalam sana terlalu lama diapun berlari keluar toilet.
"Rose?"
"Hua! Jay.. Jayden?"ucap Rose masih dengan nada gemetar.
"Lo engga papa?"tanyanya. Tampak khawatir dengan wajah pucat Rose.
Rose menggeleng, airmatanya tiba-tiba turun. Sudah tak sanggup lagi berpura-pura kuat. Nyatanya dia sudah sangat ketakutan.
"Rose, kok nangis?"
Jayden yang kebingungan dan tak tau harus berbuat apa pada akhirnya memilih mendekap tubuh gemetaran Rose.
"Udah diem ya jangan nangis lagi, kan ada gue."
Ting!
+628233xxxx
Selamat, dear.
Lo yang memulai maka lo juga yang harus nanggung.
***
"Kak tolong bukain pintu!"panggil ibu yang tengah sibuk di dapur.
Rose yang tadinya sibuk belajar didepan tv, duduk lesehan dikarpet dengan cemilan sebagai teman itupun bangkit dan mematuhi perintah ibu.
"Iya sebentar."
Rose membuka pintu tapi tak ada satu orangpun yang ditemuinya.
"Kok sepi? Orang iseng ya?"
Duk!
Tapi kakinya yang akan berjalan masuk terkantuk sebuah dus kecil. Dahi Rose berkerut bingung, setahunya dia tak membeli barang online. Kenapa ada paket? Tapi jika iya itu paket, kenapa kurirnya menaruh paket itu didepan pintu?
"Bu! Ibu beli barang di olshop ya?"tanyanya pada Ibu.
"Apa kak?!"sahut ibu dari dalam rumah.
"Ada paket bu?! Ibu pesen olshop ya?!"
"Engga teh. Ibu engga beli apa-apa. Sharon mungkin teh!"
"Sharon?"gumamnya. Setau Rose, adik bungsunya itu tak suka belanja online. Karena terlanjur penasaran. Rose pun membuka kotak itu.
"Aakh!"jeritnya ketakutan dan reflek melempar kotak itu.
Tangan Rose masih gemetaran lalu dengan tenaga yang tersisa menutup kotak itu lagi. Didalam kotak itu terdapat bangkai tikus yang kepalanya hampir terputus sedang darah sudah bercecetan disekitarnya. Rose jadi merasa mual.
Kring...
Ponselnya berbunyi. Ada panggilan masuk dari nomor yang sengaja di privasi.
"Ha-halo?"ucapnya ragu.
"Jadi gimana? Paketannya sudah sampai?"
"Lo-lo siapa?"
Rose sama sekali tak bisa menebak suaranya. Karena sepertinya orang tersebut sengaja menggunakan sesuatu untuk menyamarkan suaranya.
Dari balik telepon, peneror itu tertawa.
"Dari orang yang pengen lo lenyap."
"Sakit jiwa."
Peneror itu kembali tertawa. Rose jadi merinding.
"Mau lo apa sih?! Kalau gue punya salah sama lo. Kita bisa bicarain itu secara baik-baik,"ucap Rose lagi.
"Hahaha, iya lo punya salah sama gue. Maaf aja engga cukup. Dan mau gue apa? Mau gue lo lenyap. Gue muak liat wajah sok cantik lo!"
Rose menelan ludahnya susah payah. Suara penelpon membuatnya takut. Karena disamarkan suara penelpon jadi seperti suara penjual curang yang suaranya juga disamarkan pada acara tivi yang dulu sering ditonton sang ibu.
"Udah dibuka paketannya? Selanjutnya giliran lo yang nasibnya kayak tikus got itu. Tunggu aja."
"Salah gue a-apa sih sama lo?!"sahutnya takut. Baru kali ini dia diteror apalagi membawa kata lenyap.
"Banyak Rose. Dan kata maaf aja engga cukup buat gue. Jadi tunggu aja. Gue selalu ngawasin lo. Jaga sikap aja. Sewaktu-waktu gue bisa ngelakuin hal lebih nekat lagi. Ayolah, Rose. Jangan celingukan. Gue tau lo coba cari keberadaan gue."
Rose berhenti melihat ke sekitar. Wajahnya sudah pucat. Bulu kuduknya berdiri. Dia sudah tidak tahan lagi.
"Cukup! Lo siapa sih?! Tolong jangan ganggu gue!"
Tawa si peneror kembali meledak seolah puas karena berhasil membuat Rose ketakutan.
"Bye. Rose. Bukan sekarang gue lenyapin lo. Engga elit kalo lo tiba-tiba mati karena ketakutan."
"Sa-sakit jiwa!"
"Kak Rose!"
"Astaghfirullah!"Rose hampir saja menjatuhkan ponselnya karena Sharon tiba-tiba memanggil namanya.
"Teteh kenapa teriak-teriak?"tanya Sharon.
"Ah, engga. Engga kenapa-napa kok. Shae."
Sharon menatap kotak dilantai.
"Terus itu kotak apa?"
Rose buru-buru mengambil kotak itu hendak dia buang ke tempat sampah.
"Ko-kotak sampah. Iya, sampah. Mau kakak buang,"Rose berjalan kearah depan rumah lantas menaruh kotak itu di tong sampah.
"Kak Rose kok pucet? Sakit ya?"
Rose menggeleng, "engga papa. Kakak ke kamar dulu ya."
Sharon mengangguk walau dia masih menatap bingung. Merasa kakaknya sedikit aneh. Dia jadi sedikit mencurigai sang kakak. Karena penasaran, Sharon pun mengikuti kakaknya hingga kamar dan terkejut mendengar suara isakan dari dalam sana. Setaunya sang kakak itu tidak mudah menangis. Sang kakak selalu pandai menyembunyikan rasa sedih. Jelas saja Sharon makin dibuat khawatir.
"Pokoknya gue harus nyari tau. Engga biasanya teteh kayak gini. Feeling gue engga enak."