Setelah aku menjauh darinya atau terhindar dari kekesalannya. Aku pun mulai menyimpan nomor ponselnya. Kuberi nama Calon Istri karena aku percaya bahwa sebuah nama adalah doa dan sedangkan mulai detik ini, aku mulai mendoakannya dan berusaha untuk mewujudkan doaku.
Aku mencoba untuk mengirim pesan lebih dulu kepada Desi, calon istriku. "Malam Des, kamu sedang apa? Coba deh keluar," pesan singkatku kepadanya. Tidak perlu menunggu lama, aku mendapatkan balasan, "ini siapa?" katanya.
"Aku Randy, yang tadi siang minta nomor ponselmu. Maaf ya kalau udah buatmu kesal. Coba kamu keluar dan lihat bulan sama bintang di sana," balasanku.
Aku sudah membalasnya secepat mungkin. Sedangkan dirinya membalasnya jika perlu. Aku masih menunggu. Menatap layar ponselku hingga terjatuh di atas muka. Sakit. Perih. Sudah sejam aku menunggu balasannya dengan melihat status teman sendiri yang telah membuat karya Puisi di Line. Aku melihatnya dan mempelajari karya tersebut, namun tidak ada satu pun yang kusuka dari diksi-diksinya karena begitu terbuka sehingga mudah terbaca arahnya kemana, sedangkan aku menyukai yang tersembunyi karena ada daya tarik tersendiri untuk menafsirkannya.
Sudah dua jam menunggu. Akhirnya pesanmu bergetar di ponselku. Aku melihat dan membacanya. "Daritadi aku sudah berada di luar kok," balasmu. Aku pun sedang memikirkan kata-kata untuk membalas pesan tersebut.
"Terima kasih sudah menyapa pesanku yang telah kukirim lewat malam ini. Ada bintang yang berpijar menandakan aku sedang bahagia dan ada bulan yang menerangi menandakan aku melengkapi kekuranganmu. Lalu kegelapan malam itu masa lalumu yang akan kuterangi dan mengganti dengan kebahagiaan," balasanku, yang memiliki tujuan untuk menaklukan hatinya.
"Gajelas," singkatmu untuk mengakhiri pesanku. Di satu sisi, aku sedang bersikeras untuk memikirkan kata apa yang ingin kukirim kepadanya. Aku memang lemah di saat berhadapan dengan satu kata yang menyakitkan, namun hati ini terus membicarakan dirinya. Hingga pada akhirnya, kubiarkan saja beberapa menit dengan melihat catatan sajakku di buku tulis, yang kuharap dapat memberikan ide cemerlang hanya untuk membalas pesan singkat yang padat.
Aku masih membuka halaman demi halaman untuk menemukan kata yang tepat. Hingga aku menemukan sajak yang berjudul Pertemuan:
"Setelah kubaca balasanmu bagaikan aku sedang menatap cermin. Aku dapat melihat dan mengetahui diriku sendiri. Namun, setelah kupergi; kamu datang untuk menyentuh secara perlahan dan serentak. Aku pun kembali pulang untuk melihat keadaanku yang kini hanya melihat luka di hadapan kaca yang retak."
Sajak tersebut aku ketik ulang untuk dikirim ke nomor ponselnya. Kuharap dia membalas sajak yang kukirimkan. Atau setidaknya menyukai dengan memujinya, karena pujian itu dapat menumbuhkan rasa semangat untuk berkarya. Namun bagiku, kritikan juga sama halnya dengan pujian hanya beda konteks saja; satu manis dan satu lagi pahit. Sama-sama membangun.
Aku telah mengirim pesan tepat pukul 22.37 WIB, namun sudah menginjak 23.49 WIB belum ada balasannya juga. Aku pun bertanya pada diriku sendiri, "Apakah dirinya sengaja? Atau mungkin saja sudah terlelap tidur?". Pertanyaan itu menghantui isi kepala. Kaki ini tidak bisa diam diri. Mondar-mandir dengan menatap layar ponsel. Hingga aku lelah bolak-balik seperti orang khawatir atau cemas, padahal hanya menunggu pesan singkatnya saja.
Pesanku tetap belum dibaca. Aku pun memutuskan untuk main game agar bisa menenangkan diri. Namun, sudah beberapa menit bermain, tidak ada satu pun pesan masuk. Hanya saja pesan operator yang memberitahu masa tenggang nomorku sampai esok hari.
Ketika mata mulai naik turun, tiba-tiba ponselku bergetar. Saat itu pula aku langsung melihatnya. Kekhawatiran ini terbayarkan, karena balasannya pun datang.
"Maaf, kita baru saja mengenal. Jangan ganggu waktuku. Aku sedang sibuk. Aku tidak peduli dengan sajakmu. Kuharap kamu mengerti," balasanmu yang bernada kesal itu semakin membuatku berani dan sangat menantang. Saat itu pula aku membalas pesanmu, "Maaf sudah mengganggu. Aku juga sedang sibuk kok," balasku.
"Yasudah kalau lagi sibuk. Kenapa masih kirim pesan?"
"Kesibukanku hanya memikirkanmu,"
"Terus?"
"Aku ingin kita bertemu," balasanku ini menjadi akhir pesan singkat kita. Sudah 2 jam lebih dirimu tak kunjung membalas dan lagipula hari ini sudah menunjukkan pukul 02.47 WIB. Kuyakin bahwa dirinya tertidur dengan nyenyak. Di saat itu pula, aku berharap bahwa dirinya memimpikan kehadiranku lalu saat aku terbangun nanti, ia mau menerima permintaanku untuk bertemu.
Tepat pukul 03.00 WIB, aku menuliskan sajak untuk orang yang kusayangi saat ini. Aku seperti binantang jalang yang mudah jatuh cinta, namun tidak ada satu pun yang berhasil menaklukan hatinya. Kukira dengan bermodal pintar bermain kata-kata dapat mengubah rasa seseorang menjadi cinta. Tetapi nyatanya, mereka lebih mencintai karya penulisnya dibanding sosok di balik karya tersebut. Aku pun menulisnya.
Kesederhanaan Cinta
Di balik gubuk tua tanpa pintu ini, ada sosok yang sedang menyusun kerajaan yang megah untuk disinggahi oleh Putri. Di balik gedung bertingkat ini, ada gubuk tua yang sedang mengelilinginya; yang nantinya gedung dilenyapkan karena kerajaan sedang dibangun oleh cinta dan kasih sayang seseorang untuk sang Putri.
Aku hanya perlu merangkai sajak selama 15 menit. Setelah itu, aku simpan sajak ini untuk dikembangkan di kemudian harinya ataupun diperlombakan untuk menambah biaya hidup di kota orang, karena aku orang perantau dengan modal keberanian akan sukses di sini. Namun, kota yang kusinggahi ini terlalu kejam untuk dinikmati. Di sisi lain, aku tidak pernah menyesal, karena kota ini memiliki inspirasi yang luar biasa untuk diriku tetap berpikir tentang apa yang terjadi di sini. Aku bahagia meskipun menderita.
Aku memutuskan untuk tidur setelah adzan Subuh memanggil karena menurutku tidak baik jikalau tidur menjelang Subuh. Sebab, saat itu pula, kita akan susah terbangun atau Setan pintar menggoda manusia dan bisa jadi manusia sudah berhasil menipu setan? Entahlah. Sambil menunggu waktu Subuh, aku memutuskan untuk baca buku yang belum tuntas kubaca. Aku asyik membaca. Beberapa menit kemudian. Ponselku bergetar. Aku menghentikan bacaanku. Aku melihat ponsel dan membaca pesan masuk yang membuat hatiku terguncang dan bahagia. Seperti aku sedang bermimpi. Dirinya menerima permintaanku. Aku bahagia.
"Oke deh, nanti kita bertemu di tempat kemarin jam 8 malam kan?"
"Iyah," pungkas pesan singkatnya. Adzan subuh sudah terdengar, waktunya aku melakukan ibadah dan bersyukur kepada yang maha kuasa telah memberikan kesempatanku untuk bertemu padanya. Aku bersyukur dan setelah itu aku pun tidur, karena waktu telah pagi. Setiap harinya bagaikan kelelawar yang siang diganti malam dan sebaliknya. Badanku makin menipis, namun aku bahagia karena terlahir dengan kegantengan, menurutku.
Lampu kamar telah meredup. Mata sudah makin sayup. Waktunya aku mimpi Desi bukan indah.