#Flashback
Tangerang, 20 Oktober 2010
Kita tidak sengaja dipertemukan di sebuah tempat kopi sederhana yang letaknya tidak jauh dari pusat kota. Rambutmu yang masih basah akibat terkena hujan. Kita meneduh.
Aku menatap ke arahmu. Sedangkan dirimu menikmati tetesan demi tetesan tangisan langit. "Mampukah aku mengenalkan diri ke dirinya?" gumamku dalam hati.
Secangkir kopi yang kuseruput dipadukan dengan manisnya dirinya yang ada di depanku. Meskipun hanya melihat setengah wajahnya saja sudah merubah kopi ini menjadi minuman termanis yang pernah kutemukan. "Sial. Aku kena diabetes," ucapku dengan lantang dan menjadikanku pusat perhatian orang-orang yang sedang menikmati hidangan maupun menunggu hujan reda; termasuk kamu, selalu senyum.
"Ya ampun. Ini manisnya ditambah lagi," teriakku, menggaruk-garuk kepala dengan kedua tangan. "Kak, manisnya kelewatan. Aku udah nggak kuat," lanjutku.
Serentak semuanya terdiam. Tatapan liar makin menggila. Semakin tajam. Aku tertunduk pada kepanikan, "Siapa yang manisnya kelewatan?" tanya salah satu pengujung di tempat ini.
"Siapa saja yang merasa. Hehe," jawabku dengan menyengir. Lalu orang tersebut tampak kebingungan dengan apa yang kuucapkan. Kakak-kakak manis itu masih tersenyum manja ke arahku.
Tubuhku semakin tak berdaya. Hati ini berdegup sangat kencang sekali. Seolah tak ada nyawa lagi yang menyatu di dalam tubuh ini. Namun, perlahan hati kecil ini menyadarkan diri untuk memperkenalkan diri sebelum dirinya pergi.
"Hey kak! Aku Randy," ucapku. Menyerahkan tangan ke arahnya untuk berjabat.
"Iyah terus?" jawabnya. Dalam perasaanku, "Ini cewek judes banget tapi manis juga," tangan ini tetap merasa sendiri karena Ia tak menjabat tanganku yang malang. Lalu aku menurunkan tangan.
"Pasti kamu Desi ya?"
"Loh kamu tahu?" tampak kebingungan.
"Itu ada di nametag," pungkasku.
Sosok yang manis. Dengan kulit yang putih langsat, alis yang tebal hitam merona, hidungnya bisa dijadikan perosotan dan bibirnya yang imut. Lesung pipi yang tiada henti-hentinya membuat lubang seperti ingin menanam bibit-bibit baru di sana. Aku menatapnya dengan pandangan kosong. Aku baru tersadar bahwa Tuhan menciptakan bidadari tidak hanya di Syurga melainkan di dunia juga. Lalu seketika itu pula Desi membiarkanku menikmati raut wajahnya. Aku terpukau. Orang-orang sekitar menatapku dengan tatapan aneh.
"Tunggu dulu Des. Kamu mau pergi kemana?"
"Pulanglah. Lagipula hujannya udah agak reda."
"Tapi kan.. Masih gerimis"
"Lebih baik kehujanan daripada harus bicara orang yang nggak jelas," pungkasnya. Seketika itu pula Desi pergi meninggalkanku dan orang-orang yang mendengarnya pun tertawa. Namun salah satu di antara mereka menyuruhku untuk mengikutinya, "Kejar mas. Jangan dilihatin aja. Minta nomornya mas!". Dari perkataan tersebut menumbuhkan semangatku untuk mengetahui tentang dirinya lebih spesifik lagi. Aku mengejarnya.
Langkah ini mengikuti jejak langkahmu pergi. Gerimis tetap setia menemani setiap kaki ini melangkah. Dalam diam-diam, dirinya merasa bahwa aku telah mengikutinya. Ia berjalan dengan cepat. Aku pun mengikutinya.
"Kamu ngapain ikuti aku?" ucapmu yang secara tiba-tiba berhenti lalu menghampiriku. Seketika itu pula, aku panik dan mencari ide agar dirinya percaya bahwa aku tidak mengikutinya.
"Mungkin saja. Kita searah. Jangan kepedeaan kamu," ucapku dengan gaya elegan dan aku kembali melanjutkan perjalanan dengan mendahuluinya agar dirinya percaya bahwa aku sedang tidak mengikutinya. Ketika aku mendahuluinya, terlihat raut wajahnya merah sepertinya menahan kesal. Aku tetap menghiraukannya.
Aku berjalan sangat lambat agar Ia mendahuluiku karena tidak sabar berada di belakangku yang berjalan lambat. Namun saat aku berhadapan dengan persimpangan jalan, di saat itu pula aku bingung untuk memilih jalan yang mana; kiri, kanan atau lurus. Yang jelas aku ingin jalan yang kupilih adalah searah dengan dirinya. Hingga akhirnya hati ini pun mengatakan bahwa jalan yang benar itu kiri. Aku mengikutinya.
Nampaknya sudah cukup lama berjalan dengan santai. Namun dirinya tidak mendahuluiku juga. Aku pun berhenti sejenak untuk berpura-pura memutar musik dari ponsel supaya aku dapat melihat situasi di belakangku; apakah ada dirinya atau tidak. Namun mirisnya, pilihanku adalah salah. Aku kehilangan jejak langkahnya.
Pada akhirnya aku memutuskan untuk kembali pada persimpangan untuk memilih kembali jalan yang dilalui olehnya. Setelah berada di sana, Tuhan pun memberikan petunjuk bahwa jalan dari segala kebenaran itu lurus sehingga aku memutuskan untuk mengikuti petunjuk tersebut.
Aku telusuri jalan yang baru. Tengok ke kanan dan ke kiri untuk melihat keberadaan dirinya. Namun tak ada satu pun petunjuk yang menunjukkan keberadaannya. Aku pun berhenti di salah satu toko untuk beristirahat sejenak karena kaki ini tidak sanggup untuk melangkah. Gerimis pun perlahan menghilang, dan kini yang tersisa hanya hujan yang turun dari tubuhku lalu membasahi baju bagian belakangku. Sedangkan aku harus tetap mencari keberadaannya agar tidak ada yang harus disesalkan.
Dalam keadaan duduk pun aku masih melihat ke kanan dan ke kiri agar kuyakin bahwa dirinya berada di sekitar sini. Di seberang sana, aku melihat seorang wanita berambut pendek dengan kemeja putih dan celana biru gelap itu tampaknya sosok yang sedang kucari saat ini, ia keluar dari tempat makan dengan membawa makanan yang cukup banyak karena kedua tangannya berisi makanan yang terbungkus. Aku pun berdiri dan mulai mengikutinya.
"Hey tunggu!" ucapku ke arahnya. Lalu ia tetap melanjutkan perjalanan. Aku menganggapnya dirinya tidak mendengar karena suaraku yang cukup pelan. Aku pun berlari untuk mendahuluinya.
"Desi tunggu," ucapku dengan berdiri di depannya. Aku menarik nafas lalu buang karena berlari begitu hebatnya.
"Tuh kan. Kamu ngapain daritadi ikuti aku?"
"Aku minta tolong dong!"
"Tolong apa?" balasnya dengan menaruh rasa curiga terhadapku lebih dulu karena tatapannya yang begitu menyakitkan mata dan menusuk hati. Tajam.
"Tolong hubungi nomor ini. Aku kehabisan pulsa, mau beli tapi tidak punya uang," ucapku dengan memberikan nomor kartuku sendiri.
"Ini nomor siapa?" balasnya dengan menaruh rasa curiga. Aku pun terdiam. Dirinya pun lanjut berjalan. Aku pun mengejarnya dan berdiri di hadapannya, "Itu nomor keluarga. Sms aja aku pulang malam dari Randy," ucapku. Aku pun memohon padanya agar dapat mengirim pesan, "Bantu aku dong," lanjutku.
Akhirnya dirinya berhenti lalu mengikuti perintahku. Seketika, ponselku pun bergetar di saku celana. Aku yakin itu sms darinya.
"Sudah di sms?"
"Sudah kok."
"Oke terima kasih ya nomornya," pungkasku. Aku pun pergi dengan berlari, sedangkan dirinya tampak kesal karena saat aku melihatnya ke arah belakang, tangan dan kakinya seolah berkata lalu mulutnya pun menahan kekesalannya. Aku hanya bisa tersenyum dengan riang. Karena telah mendapatkan nomornya agar aku bisa mengetahui kabarnya setiap waktunya dan bertemu untuk melepaskan rindu. Aku juga berdoa agar Tuhan kembali mempertemukanku dengannya.