“Benarkah kau akan selamanya bersamaku pangeran?” tanya Aretta yang berperan sebagai Putri Cinderella.
“Kita akan hidup selamanya, percayalah.” Sang pangeran itu adalah Zidan, ia berlutut dan memakaikan cincin indah di jari manis Aretta.
“Pangeran dan Putri Cinderella pun hidup bahagia selamanya,” tutup Levina, salah satu anak eskul drama yang berperan sebagai narator di drama ini. Tirai tertutup, sedetik kemudian terbuka lagi dan seluruh pemain sudah berdiri seraya tersenyum manis disana. Lalu mereka semua saling berpegangan, dan menundukkan badan sebagai tanda penghormatan.
Suara tepukan tangan meriah menggema pada ruangan luas tersebut, mereka semua tersenyum simpul merasa baper sendiri terhadap adik kelas mereka. Setelah tepukan tangan mereda, suara siulan, berserta ledekan massal mencocokkan pemeran Cinderella dan pangeran tak dapat dihindari. Hampir dari mereka semua tak menyangka pemeran pangeran akan jatuh kepada seorang Zidane Khairan, pasalnya ia begitu dingin dan menyebalkan. Tak tanggung-tanggung Zidan menggandeng Aretta sebagai lawan mainnya, karena biasanya dua orang ini selalu menyembunyikan hubungan mereka dan bersikap layaknya teman biasa yang malu-malu kucing. Chemistry dan aura keduanya benar-benar kuat dan luar biasa.
Pamor Zidan dan Aretta tak perlu diragukan lagi di sekolah, sehingga nama mereka mungkin tak asing di telinga kakak kelasnya. Untunglah drama berakhir, dan tirai yang menjulang di hadapan Aretta tertutup rapat. Jika tidak, mungkin kakak kelas mereka itu secara sukarela akan menambah ledekan karena wajah Aretta yang merona mirip tomat rebus serta Zidan yang terlihat sok cool tapi salah tingkah.
Lucunya, Aretta sendiri belum tau statusnya apa, dia bagaikan digantung oleh Zidan. Aretta tidak pernah menuntut ini itu pada Zidan, itu yang membuat keduanya nyaman, karena mereka saling berusaha mengerti satu sama lain. Bagi Aretta, bila Zidan jodohnya Alhamdulillah. Kalau tidak, ya Alhamdulillah, berarti itu jalan yang terbaik bagi mereka.
Zidan melepas jasnya, ia merapikan rambutnya yang basah karena keringat. Hal itu mengundang seluruh perhatian orang-orang di backstage, kecuali Aretta, semuanya menelan salivanya susah payah karena tingkat ketampanan Zidan yang bertambah berkali-kali lipat, menggoda iman, istighfar woy!
Sejujurnya dari awal drama, ritme jantungnya sudah jedag-jedug, seperti ngajak dangdutan, perasaan gugup dan senang bercampur aduk, apalagi tema drama yang romance sangat menguras emosi dan menguji nyali tentang perasaan. Jangan lupakan Zidan yang pintar mengatur emosi dan ekspresi, sialnya Zidan tak sanggup melihat wajah Aretta yang benar-benar serius dan gugup, tangannya Aretta juga dingin. Makanya, saat di panggung ia mati-matian menahan tawanya yang mau meledak.
“Muka lo lucu, gugup banget ya?” Zidan menghampiri Aretta yang baru keluar dari ruang ganti dan sedang memakai jaket denimnya, ia menaikkan turunkan alisnya, menggoda Aretta, Lalu ia tertawa terbahak hingga terpingkal-pingkal, mengeluarkan tawanya yang ditahan selama drama berlangsung.
Aretta mengernyit heran, “Elo juga kali bro, jantungnya dar-der-dor, kan? Cuma jago ngontrol ekspresi aja,” balas Aretta menohok Zidan, seketika Zidan diem tak berkutik.
“Gilaa, keren banget akting kalian. Chemistry-nya kerasa banget! I'm so proud!!” Samara tiba-tiba datang memeluk Aretta girang. “You're really like a Real princess, Aretta!!” ia melepaskan pelukannya dan mengajak Aretta berjabat tangan.
Aretta mengulurkan tangannya untuk bersalaman, “Thank you, kak,” Aretta tersenyum simpul. Ia kemudian menyampirkan slingbag-nya dan bergegas mendekati Zidan. “Ayo, Dan nanti kita dicari yang lain!!” ajak Aretta berjalan duluan dengan Zidan yang mengekor dibelakangnya.
Samara berteriak seraya melambaikan tangannya, “See you my Lil princess,”
“See you too, kak!” Aretta menaikkan suaranya agar Samara bisa mendengarnya, ia ikut melambaikan tangannya seraya menyunggingkan senyum lebarnya. Lama kelamaan Samara mulai terlihat kecil karena jarak yang berjauhan.
Zidan dan Aretta berjalan cepat menembus gerombolan kakak kelas yang mengobrol ria. Langkah mereka tak lepas dari tatapan menggoda, serta ledekkan-ledekkan receh dari kakak kelas. Beberapa dari mereka tak segan mengajak Zidan dan Aretta berfoto bersama sebagai kenang-kenangan. Kata geng cewek-cewek insta, nanti fotonya mau di post pakai caption ala-ala quote gitu.
“Dan, sini bentar elah buru-buru banget!!” panggilan dari Marvin, salah satu kakak kelas most wanted yang sering nongkrong bareng bersama Zidan dkk.
“Tau nih, ada doi, kawan dibuang ke sungai, Hayati lelah,” celetuk Zie dramatis.
Zidan terkekeh geli, kepalanya menoleh ke arah berlawanan, tempat Aretta dikerubuti kakak kelas yang mengajak foto bareng.
Matanya melotot saat menyadari Aretta dirangkul seenaknya oleh si ketua OSIS yang baru menjabat tahun ini, Damar. Mereka bergaya bersiap untuk foto, Aretta tersenyum canggung, ia mengangkat kedua jarinya, dan disampingnya Damar nyengir kuda dengan satu tangan bertengger di bahu Aretta. Kayak pasangan goals, cie.
Zidan menghampiri Aretta dan menariknya ke pintu utama. Ia tak menghiraukan umpatan Damar karena acara foto-fotonya diganggu, hasil fotonya pun estetik gagal karena Arettanya ngeblur, goyang.
“Lah bocah ngapa?” celetuk Aretta heran.
“Mau ke Rumah Jeje atau foto sama Damar?!” sentak Zidan ketus.
“Ya foto dulu, menghargai orang, Dan. Baru ke Rumah Jeje..,” jawabnya santai, toh cuma fotbar doang. Oh Aretta kamu salah ngomong sayang.
Zidan mengumpat dalam hati, ia memutar bola matanya malas. “Ya udah sana foto, gue duluan,” bebernya. Ia tinggal menancap gas untuk meninggalkan Aretta, namun rasanya berat sekali.
Zidan merubah taktik, ia memaksa Aretta melepas jaket denimnya yang ia kenakan, karena wajah Zidan sangat mengerikan, Aretta terpaksa melepas jaket denim kesayangannya dan menyisakan kaos hitam polos bertangan pendek pada badannya. Aretta galau, stylenya rusak soalnya kalau jaketnya dilepas.
Kemudian Zidan memberikan Aretta jaket kulitnya, dan menyuruh Aretta mengenakannya. Aretta cemberut memelas.
“PAKAI!!” perinta Zidan memasang muka senganya sepanjang masa. Aretta otomatis bagai prajurit yang menuruti komandannya, dengan posisi Zidan yang menjadi komandan.
Alis Aretta bertaut, “Lu kenapa sih? Gajelas amat, cemburu ya?” tanyanya gondok, tersirat kekesalan pada pertanyaannya.
Zidan mendelik tajam, dan ia langsung menancap gasnya meninggalkan Aretta Malang. Jantung Aretta mencelos, nafasnya memburu. Ia menunduk, merutuki kebodohannya. Ponsel Aretta yang ada dalam genggamannya bergetar, ada Line dari cowok yang tadi baru saja melengos pergi tanpa dosa pergi meninggalkannya.
Gue pesenin lo taksi online, mau hujan. Nanti gue nyusul ke Rumah Jeje naik mobil. Jaket lo mau gue laundy, banyak kumannya bekas tapak tangan si bazeng.
Aretta manatap layar itu datar, pantesan Zidan ngotot jaketnya harus dibuka. Ternyata cemburu toh gara-gara Damar, Aretta tak kaget lagi diperlakukan begitu jika Zidan sedang ngambek. Beberapa menit menunggu, taksi yang dipesan Zidan pun datang dan setelah Aretta menaikinya, mobil itu melesat meninggalkan area perpisahan kelas 12. Bersamaan itu rintik gerimis mulai turun membasahi Kota Jakarta.
———
Dirumah Jeje, semuanya sudah berkumpul cemas. Mereka bersiap berangkat ke Rumah Belva. Karena Sera mendapat SMS dari Satpam Kampret alias Pak Dadang, katanya Belva gak mau keluar kamar selama beberapa hari terakhir. Sera dan Pak Dadang memang tukeran nomor sejak tragedi penyanderaan dadakan.
Sedangkan yang lain tidak banyak bertanya mengapa Sera bisa dapet nomor satpamnya Belva, hanya Iyan yang bertanya yang Sera respon dengan jawaban super asal.
“Leh, elo kok tau itu SMS dari Satpamnya Belva? Dia juga kok tau nomor lo?” Iyan menyerobot dan merebut ponsel Sera. Pertanyaan bernada sewot dan serius kepada Sera. Namun tiba-tiba ia malah tertawa terbahak-bahak karena kontak Pak Dadang dinamai Satpam Kampret total.
“Iya gue gebet, masalah emang? Kenapa? Lo suka sama gue?!” Sera menjawab tak kalah sewot dan ngegas, ia merebut kembali ponselnya ketika Iyan asyik menganga tak menyangka.
“Iya gue suka sama lo,” tak ada angin tak ada hujan, ucapan itulah yang keluar mengiyakan ucapan Sera. Iyan langsung menyadari, dan membekap mulutnya sendiri.
Sera mendelik, “Apaan?!” ia sebenarnya mendengarnya tapi ia bawa santai aja. Sera yakin, Iyan berniat menggoda dan memberikannya prank.
“Gak, gue suka aja sama masakan emak lo, Ser,” sergah Iyan salah tingkah.
“Pret dut! Gak nyambung lo tae, masakan emak gue, nenek lo dangdutan! Lo aja gak pernah dimasakin sama emak gue!!” Sera mencebik, dan segera pergi menjauhi Iyan. Lama-lama ia bisa frustasi dekat-dekat Iyan.
“Nenek gue emang suka dangdutan kok lo tau? Suka karaokean pula!!” Iyan menyeletuk meski ia tau Sera mengabaikan.
Iyan menghela nafas lega, melihat Sera yang sepertinya tak mendengar ucapannya.
“Alhamdulillah, saya takut dia malah ngejauh dari saya,” gumam Iyan seraya tersenyum kecut.
Mereka semua terdiam menikmati rintikan hujan. Mereka sedang menunggu kedatangan Zidan dan Aretta. Beberapa menit menunggu, mobil Zidan memasuki pekarangan Rumah Jeje, tetapi tanpa seseorang yang bernafas pada jok penumpang. Baju Zidan basah kuyup karena terkena air hujan yang deras ketika turun dari mobil.
“Jih Aretta mana?” Feyra yang bertanya duluan.
“Dia gue suruh naik taksi,” jawab Zidan keras agar suaranya tak teredam hujan, Zidan berlari ngibrit ke pelataran rumah Jeje agar tak terlalu basah kuyup.
“Asaan lo biasa bawa motor deh mau ujan mau panas, bro?” Azra membuka suaranya.
“Biasa ada Tuan Putri yang harus dilindungi,” kekeh Zidan seraya merapikan rambutnya yang basah, sangat meningkatkan tingkat ketampanannya. Tapi malah menjijikkan di mata teman-temannya, tentu saja.
TIN TIN TINNN
Taksi Aretta datang selang beberapa menit setelah Zidan datang. Zidan segera meminjam payung dan bergegas lari memayungi Aretta agar tidak basah kuyup. Tak bisa dipungkiri, Aretta tak bisa menahan senyumannya ketika Zidan berlaku manis seperti itu.
“YUK OTW, NAEK MOBIL ZIDAN SAMA NOLAN YA!” Feyra riuh berteriak-teriak, untuk mengatur teman-temannya seraya mengejar waktu agar mereka sampai tak terlalu malam.
“Heh mau kemana?” Aretta bertanya heran.
“Ke Rumah Belva, Belva gak mau keluar kamar selama lima hari!” Sera menimpali.
“Anjrit!” umpat Zidan refleks, matanya melebar bagai ingin keluar dari kelopaknya. Zidan mengangguk cepat, “Yan, kunci motor!! Jagain Aretta ya! Gue duluan!!” pintanya cepat, mereka pun bertukar antara kunci mobil dan motor , lalu tanpa ba-bi-bu, dan kondisi yang hujan deras, ia berlari ke kencang ke arah motor Iyan, dan menancap gasnya kencang seperti orang kesetanan.
Ngepotin banget tuh anak!! Batin Zidan berteriak.
———
Badan Zidan menggigil, ia menggosokkan kedua telapak tangannya dan menekan-nekan bel Rumah Belva. Pintu terbuka, dan sosok wanita paruh baya yang terlihat cantik berdiri disana. Tubuh Zidan membeku, jantungnya meledak-ledak bagaikan dicengkeram erat, nafasnya memburu, dadanya sesak seperti terpukul keras oleh sebuah godam, hatinya remuk sedemikian besarnya.
Kenyataan pilu itu kembali menampar kesadarannya, dan tergambar jelas di pikirannya. Kebencian itu menyeruak, tangisan, darah, dendam, menggelayut dalam benak. Sejuta pertanyaan muncul di benaknya, tak pernah terjawab hingga kini, dan menyakiti egonya secara sia-sia.
Atas nama masa lalu, Zidan benci wanita ini, tanpa tau alasan terbesarnya apa? Ia menggeleng pelan dan menenangkan dirinya. Ia bukan tipe laki-laki pendendam, ia sangat menghargai perempuan tapi wanita bertopeng kebaikan ini benar-benar memuakkan. Wanita yang dulunya panutan, kini menjadi wanita beraura kelam yang mencoba lari dari masa lalu.
“Maaf kamu siapa?” suara lembut itu membelenggu, namun semakin memuakkan, dan meningkatkan tembok pembatas Zidan.
Zidan mengontrol emosinya, syukurlah Aretta belum datang jika tidak pasti ia akan menangis sejadi-jadinya. Aretta tidak boleh melihat wanita ini, barang hanya siluetnya sekalipun. Karena sejujurnya, wanita ini bukan melakukan perbuatan keji itu kepada Zidan maupun keluarganya. Ia melakukan perbuatan itu pada keluarga Aretta.
Zidan menarik senyumannya dengan rasa sesak mengerubungi dada. Kalian juga pernah merasakan senyum saat hati remuk kan? “Saya temennya Belva, tante,” ia menyalami wanita paruh baya tersebut.
“Oh iya! Ayo masuk!” ekspresi sang wanita itu berubah dari kebingungan menjadi ceria. “Iya ini, Belva gak mau keluar dari kamar tante juga bingung..,” ia mulai berceloteh, pada kenyataannya raga Zidan memang disini tapi angannya tak tau dimana.
“Nak, tante boleh minta tolong?” tanya wanita itu manis, tapi kesannya malah membuat Zidan mau meledakkan rumah ini dengan bom, ia ingin berucap namun suaranya bagai tertelan bumi, terhisap kembali ke pita suara.
Zidan meneguk salivanya, sumpah, tolong sembunyikan ia dari nenek sihir ini. Ia berteriak-teriak memaki dalam hati. Matanya mendelik, karena amarah tertahan, jawabannya malah terdengar menggerutu marah. “Iya boleh kok, Tante..,” jika kalian liat muka Zidan sekarang, kalian pasti akan menyangka ia sedang mati-matian menahan hasrat ingin buang air besar alias nahan boker, padahal Zidan engga gitu deh suer.
Wanita itu tertawa, “Santai aja kali, nak. Kayak bicara sama calon mantu aja deh Tante jadinya. Apa bener.., kamu calon mantu saya ya? Cocok nih sama Belva. Tante titip Belva ya, tolong bujuk dia. Tante harus buru-buru kerja,” paparnya tertawa anggun, tapi ditelinga Zidan mirip tawa menggelegar nenek sihir.
HUEKK!! COCOK DARI SEGI APA?! Gue nyesel kesini, Sabarkan Zidan, ASDJHFKL..., Batinnya mengerang.
———