Billy mengikuti arah pandangan Julie dan melihat sesosok pria tampan dengan kaus putih polos di balik jaket kulit hitam dan jins birunya berdiri memandangi Julie dengan terperangah. Kemudian ia melihat Julie yang masih berdiri di hadapannya dengan keterkejutan saat melihat pria itu.
“Apa kau mengenalnya?” tanya Billy bingung.
Tanpa menjawab Billy, Julie berjalan menghampiri Ben dengan kekesalan yang tidak bisa ia simpan.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Ben mengerutkan kening. “Tadi kau berbicara dengan siapa?”
“Aku menanyaimu duluan!” seru Julie. Sebenarnya ia lebih merasa cemas dengan reaksi Ben terhadap apa yang barusan ia lihat, karena tentunya Julie tidak bisa berbohong lagi soal itu.
Ben terdiam sejenak, lalu berdehem. “Aku ke sini ingin bertemu Clint Stone. Beberapa minggu yang lalu, ayahmu mendatangi kediaman kami. Ibuku bilang dia hanya menyampaikan pesan agar aku tidak mencari-cari tahu lagi soal kematian Billy dan Owen, tapi aku tahu jelas kalau ia memberiku ancaman secara tidak langsung.”
Julie terkejut mendengarnya. “Kau juga sedang menyelidiki kematian adikmu?” Selain itu, untuk apa papa menggunjungi rumah Ben?
“Tentu saja. Aku tahu kalau ada yang janggal pada kecelakaan Billy.”
“Lalu, apa sebelumnya kau mengenal kakakku?”
Ben menggeleng. “Aku hanya tahu mengenai kakakmu dari siaran berita kecelakaan saat itu saja.” Kemudian Ben teringat lagi. “Julie, apa kau baik-baik saja? Kau berbicara dengan siapa tadi?”
Ucapan Ben membuat Julie menggigit bibir bawahnya pelan, karena ia tahu bahwa pada akhirnya ia tidak akan mengelak lagi.
“Come on. Kita bisa bicara sambil sarapan di Lunar.”
Ben berjalan mengikuti Julie menuju jalan raya menuju tengah kota. Kali ini suara sepatu keduanya mendominasi keheningan tersebut untuk beberapa menit sebelum Julie melanjutkan.
“Belakangan ini, aku bisa melihat hantu,” ujar Julie sambil melemparkannya pandangan serius. “Dan anehnya, hanya satu sosok yang selalu muncul di hadapanku.”
Ben masih mendengarkan.
Julie memberikannya pandangan lekat untuk sesaat sebelum menjawab. “Adikmu, Billy Easton.”
Mendengarnya, Ben langsung mencengkeram sebelah pergelangan tangan Julie, yang otomatis menghentikan langkah mereka berdua.
“Apa?” tanya Ben dengan wajah yang kaget luar biasa. Dan juga raut yang Julie takuti: sedikit sirat rasa tersinggung.
Julie menarik napas panjang. “Aku bilang kalau aku belakangan ini sering bertemu dengan roh adikmu, Billy Easton.”
Ben memandang Julie dengan tajam. “Julie, jangan main-main denganku. Jika ayahmu menyuruhmu untuk menyerang mentalku seperti ini, katakan padanya bahwa ini adalah usaha yang menyedihkan.”
Kali ini giliran Julie yang menahan Ben yang hendak berjalan pergi dari hadapannya dengan wajah penuh kekesalan. “Ben, aku serius. Aku bisa membuktikannya.”
Ben memandangi kedua matanya dengan dalam.
“French cuff kemejamu,” jawab Julie sambil memelintir pergelangan kemeja Billy sekilas. “Bordiran kemeja kalian berdua sama persis bentuknya. Yang aku tahu, bordiran yang kalian miliki adalah ciri khas keluarga Easton sejak dulu. Nama depan diikuti simbol huruf ‘E’ yang telah dipatri oleh para buyut kalian. Memang, siapapun bisa membuat bordiran French cuff, tetapi hanya keluarga kalian yang memiliki bordir spesial dan konsisten setiap generasi. Dan saat Billy meninggal, sudah jelas ia mengenakan kemeja tersebut. Kenapa aku bisa tahu? Karena aku melihatnya dengan mataku sendiri.”
Ben kali ini benar-benar terperangah dan terdiam untuk sesaat demi memproses rangkaian kejadian tidak masuk akal yang dialaminya hari ini. Julie sendiri hanya berdiri kaku di sebelahnya seperti habis tertangkap basah mencuri.
“Kau juga tahu kalau aku tidak pernah mengenal Billy sebelum ini. Ben, aku tidak bohong ketika aku mengatakan bahwa aku berbicara dengan roh Billy beberapa hari terakhir ini.”
“Bagaimana keadaannya...?”
Julie menjadi kaget. “Apa?”
“Bagaimana keadaannya?”
Julie mengeratkan pegangan pada tali tasnya. Sepertinya telinganya memang tidak salah dengar. “Dia kelihatan baik-baik saja, kurasa.” Kemudian ia memberi pandangan memohon pada Ben. “Kuharap kau jangan menceritakan ini pada siapapun, oke?”
“Mari kita diskusikan semua ini lebih lanjut di Lunar. Aku butuh beberapa gelas kopi setidaknya.”
x-x-x
Ketika mereka telah tiba di Lunar dan memesan pancake dan salad sebagai pesanan sarapan mereka, Julie pun melanjutkan obrolannya dengan Ben.
“Mengapa kau yakin kalau kematian adikmu janggal?”
“Tentu saja. Billy ditemukan meninggal di lokasi dan waktu yang sama dengan putra keluarga Stone. Tidak mungkin hanya kebetulan. Apa kau tidak curiga?”
Julie mengangkat bahu. “Mungkin memang tidak ada kaitannya sama sekali, Ben. Billy meninggal karena ditabrak mobil, bukan?”
Ketika Ben hendak menjawab, seorang pelayan datang mengantarkan pesanan mereka sehingga untuk sejenak mereka berterima kasih terlebih dahulu padanya sebelum melanjutkan.
“Ya. Tapi pengemudi mobil yang menabrak Billy juga meninggal di tempat, jadi tidak ada saksi yang bisa ditanyakan. Dan area tersebut tidak memiliki kamera pengawas sama sekali.”
Yang Julie ingat adalah bahwa lokasi kejadian naas tersebut terletak di coast bridge bagian selatan kota tersebut, yang mana jalan rayanya masih banyak dikelilingi hutan-hutan dan pegunungan, sehingga selain alami juga menawarkan nuansa alam yang eksotis. Namun lokasi itu juga sangat sepi dan jarang dilewati orang, sehingga jika ada musibah yang terjadi mungkin tidak akan langsung tahu.
Julie memotong pancake-nya sedikit dan kemudian mengunyahnya, diikuti Ben.
“Apa saja yang Billy katakan?” tanya Ben. “Apa ia mengingatku dan orang tua kami?”
Julie menggeleng. “Billy tidak ingat apapun selain fakta bahwa ia meninggal dua tahun yang lalu. Ia memerlukan bantuanku untuk mencari tahu bagaimana kematiannya terjadi. Setelah itu, barulah ia bisa pergi meninggalkan dunia ini dengan damai.”
Ben menjadi sedih mendengarnya.
“I’m sorry he doesn’t remember.”
Ben menggeleng pelan. “Aku akan sebisa mungkin membantumu kalau begitu. Jika itu memang permintaannya.” Kemudian Ben menatapnya tulus. “Terima kasih sudah berterus terang. Memberitahu sesuatu sebesar ini padaku tentu sangat sulit, bukan begitu?”
Julie menatapnya lekat tanpa menjawab apa-apa. Sepertinya Ben tidak tahu mengenai reputasinya di Dalevoux sebagai seorang gadis yang dicap memiliki gangguan jiwa. Cowok di hadapannya ini terlihat jujur, mempercayai dan menerima dirinya apa adanya, tidak seperti orang kebanyakan yang selalu memiliki tujuan lain mendekatinya.
Untuk sejenak hanya terdengar dentingan garpu dan pisau mereka yang mendominasi keheningan.
“Kudengar Owen menjatuhkan diri dari bibir jurang, benar begitu?” tanya Ben kemudian. “Aku ingat bahwa tempat kecelakaan Billy juga adalah di atas sebuah belokan jurang yang tajam.”
Julie menjadi sedih lagi jika mengingat-ingat saat itu. Meskipun dua tahun telah berlalu, rasanya masih seperti kemarin ia habis mengganggu kakak satu-satunya itu dengan celotehannya, dan jika Owen tidak tahan lagi, biasanya ia akan membelikan Julie es krim agar ia menutup mulutnya.
“Berikutnya kita beralih ke berita kecelakaan mobil di sektor 10 yang terjadi dini hari tadi sekitar pukul 4.07. Kecelakaan ini menewaskan dua orang di tempat, di antaranya ada satu pria berusia pertengahan 40-an yang merupakan pengemudi mobil dan satu korban lainnya adalah pria berusia 19 tahun yang...”
Suara penyiar berita itu terdengar lagi di benak Julie untuk kesekian kalinya.
Julie mencoba menahan air matanya yang hendak jatuh. Owen memang kakak laki-lakinya yang manis, tetapi caranya membunuh dirinya sendiri untuk pergi dari dunia ini bukanlah sesuatu yang Julie sukai. Malah, sekarang ia membenci Owen. Atau lebih tepatnya, ia memutuskan untuk membenci Owen.
“Ya, bunuh diri,” jawab Julie pelan. Digigitnya potongan pancake yang lain sambil merenung mengingati kakaknya.
Ben memandang sosok berambut merah di hadapannya itu dengan prihatin. “I’m sorry.”
“I’m sorry, too,” balas Julie dengan senyuman lemah. Jika dipikir-pikir lagi, mereka berdua masing-masing telah kehilangan saudara kandung yang paling mereka cintai. Mungkin landasan inilah yang membuat mereka mudah menerima keadaan satu sama lain.
“Aku tidak mengerti kenapa kau bisa bertemu dengan Billy, sementara aku dan keluargaku tidak. Apa kau memang bisa melihat makhluk halus?”
Julie menjadi sedikit tegang. Ia sedikit berkutat dalam hati, memutuskan apakah ia perlu menceritakan Ben soal penyakit insomnia dan halusinasinya soal Owen atau mengalihkan topik itu ke hal yang lain.
“Tidak apa-apa jika kau tidak mau cerita,” lanjut Ben lagi. “Aku tahu itu terlalu personal.”
Julie menggeleng. “Mungkin itu terjadi gara-gara insomniaku.”
Ben menatapnya sekilas sebelum fokus memotong buah raspberry di piringnya. “Apa kemarin kau tidak tidur sampai pagi? Makanya aku bisa menghampirimu di pagi-pagi buta begitu.”
Julie mengangguk. “Ini sudah dua tahun,” jawab Julie sebelum meneguk susunya. “Orang tuaku sudah sangat sering membawaku untuk perawatan, tetapi mungkin penyakitku ini sudah kebal. Aku rasa aku tidak akan sembuh lagi.”
“Ketika kau tidak bisa tidur, apa yang akan kau lakukan?” tanya Ben setelah menyeruput kopi panasnya. “Selain merampas bungkus rokok dari minimarket.”
Julie tersenyum geli mendengar lelucon ringan Ben, sementara cowok itu terkekeh pelan.
“Macam-macam. Terkadang aku masuk ke pesta-pesta di malam hari, ikut balapan motor, menyelinap ke kampus, atau sekadar nongkrong di sini atau di diskotik,” jawab Julie kemudian. “Pokoknya aku melakukan apapun yang dapat mengalihkan pikiranku dari stres tidak bisa tidur.”
Ben mengangguk-angguk. “Apakah insomniamu terjadi setelah kematian Owen?”
Julie membenarkan ucapannya. “Mungkin aku terlalu shock dan trauma.”
Untuk beberapa saat, keduanya fokus pada makanan masing-masing sebelum melanjutkan lagi.
“Kenapa aku tidak bisa mempercayai Max, Ben?”
“Karena aku yakin ada yang ia sembunyikan.” Ben kemudian menatapnya dengan serius. “Apa saja yang ia katakan padamu?”
Gadis itu kemudian mendekatkan badannya pada Ben untuk memulai kisahnya mengenai obrolannya dengan Max.
mampir juga di ceritaku yaa...
Comment on chapter Introduction