“Are you scared, Julie?”
Kekagetan Julie memudar menjadi ketidakpedulian. Ia cukup akrab dengan halusinasi, dan lagipula hampir tidak ada lagi hal normal baginya yang pantas untuk dipedulikan. “Hantu biasanya bisa melayang di udara. Prove it.”
Billy menaikkan kedua alisnya. “Serius?”
Julie mengangguk bosan. “Aku hanya ingin ini berakhir sesegera mungkin.”
Gadis itu mulai bertanya-tanya dalam hati apakah mungkin halusinasinya sekarang terjadi berkat campuran alkohol dan rokoknya beberapa jam yang lalu. Tapi ia tidak merasa mabuk ataupun pusing, dan penglihatannya juga masih jernih di waktu selarut itu. Tubuhnya sudah kebal dengan semua asupan tersebut yang bahkan melebihi makanan sehari-hari yang seharusnya ia cerna.
Ia memperhatikan dengan lekat saat Billy tidak hanya melayangkan tubuhnya saja tetapi juga terbang menuju bangku taman yang tadi ia duduki dan melewatinya begitu saja seperti baluran asap.
“Oke, dengan ini, aku secara resmi telah menjadi lebih dari gila,” ujar Julie pada dirinya sendiri. “Billy, aku tidak tahu apa rencana dan tujuanmu, tapi ada pesta yang mesti kuhadiri dan kemungkinan aku tidak pulang malam ini. Jadi carilah manusia atau makhluk lain untuk menemanimu bermain atau... whatever you want.”
Senyuman Billy menghilang dalam sekejap, dan ia segera melesat ke depan gadis itu, membuat jantung Julie hampir terlepas dari rongganya saking kagetnya untuk kesekian kalinya.
“Julie, aku mendatangimu karena aku diberikan perintah oleh atasanku!”
Sekarang Julie terbengong.
“Umm, maksudku “atasan” adalah roh yang lebih senior dariku dan—”
“Aku tidak peduli bagaimana alam baka bekerja,” potong Julie kesal. “Kalau tidak ada lagi yang mau kau ucapkan, aku mohon kau memberikanku jalan, dan sebaiknya kita tidak bertemu lagi satu sama lain.”
Billy berdehem. “Oke, aku akan melanjutkan. Aku ingin kau membantu mencari tahu bagaimana kematianku terjadi.”
Julie melipat kedua tangannya, masih mendengarkan.
“Menurut, umm... atasanku, aku harus menampakkan diri di depanmu dan meminta bantuanmu. Hanya itu yang mereka beritahukan padaku." Billy membuat gestur seakan menghela napasnya, meskipun tidak ada apapun yang keluar ataupun terdengar. "Aku sudah meninggal dan berkeliaran tanpa tujuan selama dua tahun ini. Aku tidak ingat dengan diriku sendiri apalagi keluargaku. Ketika kesempatan ini datang, aku langsung menghampirimu malam ini. Aku benar-benar putus asa."
Julie memandangi roh di depannya itu dengan sedikit intrik yang cukup asing baginya. Baginya, ia sendiri sudah tidak punya tujuan apa-apa semenjak kepergian kakak laki-lakinya dua tahun yang lalu, di mana ia meninggalkan note terakhir di dalam tasnya yang bertuliskan kata-kata terakhirnya dan dua belas jam kemudian berita kematiannya muncul di televisi lokal. Julie masih ingat jelas betapa hal itu mengguncang dirinya dan membuatnya mengurung diri di kamar selama seminggu, dan setelah itu, orang-orang bilang ia berubah.
"Apa yang kau tahu hanya itu? Bahwa kau meninggal dua tahun yang lalu?" tanya Julie.
Billy mengangguk.
“Kakakku juga meninggal dua tahun yang lalu,” kata Julie kemudian. “Namanya Owen.”
Billy melemparkan pandangan sedih. “I’m sorry.”
Untuk beberapa saat, Julie menatap sosok Billy dengan lekat, dan kemudian sebelah tangannya terangkat ke arah perut cowok itu dengan sedikit harapan agar jari-jarinya menyentuh kain kemeja dan kemudian otot perut manusia di balik bajunya, sehingga Julie bisa berhenti mempercayai kata-kata Billy dan mempunyai alasan kuat untuk memukul kepala bocah itu hingga ia kehilangan kesadaran. Tetapi tidak. Tangannya merembes begitu saja, dan ia membiarkannya di sana untuk sejenak sembari meregangkan jemarinya untuk merasakan sensasi dingin yang berasal gumpalan kabut tubuh Billy. Ia merasa seperti pembunuh yang sedang mengaduk-aduk isi perut Billy dalam posisi tersebut, sehingga ia segera menarik tangannya kembali dengan sedikit ketakutan yang mulai merambat di hatinya.
Ia tidak berhalusinasi sama sekali.
Billy sendiri membiarkannya tanpa mengucapkan apapun. Ia ingin meyakinkan gadis di hadapannya ini dengan cara apapun jika diperlukan.
“Jika aku bilang kalau aku akan membantumu, berikutnya apa?"
Kedua mata Billy membesar saking senangnya ia dengan ucapan gadis itu. “Benarkah? Thank you! So much!” Kemudian ia berkeinginan untuk memeluk Julie, tetapi tangannya hanya melewati cewek itu seperti bangku tadi. Walaupun sedikit kecewa, Billy tetap memamerkan senyumannya. "Aku awalnya tidak yakin kau akan langsung setuju."
"Aku tidak bilang kalau aku setuju. Aku pun tidak percaya kalau aku akan mentah-mentah menerima permintaanmu," balas Julie cuek. "Tapi kurasa hidupku memang sudah membosankan, dan normal bukan lagi konsep yang familiar bagiku. Mungkin tidak ada salahnya jika aku melakukan ini."
Billy hanya mengangguk-angguk.
Julie kemudian mengibas-ibaskan tangannya. “Sekarang, will you excuse me? Aku sudah sangat terlambat untuk menemui teman-temanku.”
Billy mengangguk. “Kau tahu aku di mana jika ingin berbicara lagi.”
Julie mengerutkan kening ketika melihat Billy melangkah ke arah hutan alih-alih memilih untuk melayang. “Kenapa kau tidak terbang saja?”
“Aku lebih senang berjalan daripada terbang,” jawab Billy dari kejauhan sambil mengangkat bahunya. Dan beberapa menit kemudian, punggungnya pun menghilang di balik pohon-pohon pinus tersebut.
Dan yang lebih anehnya lagi, sekarang udara di sekitar Julie sudah tidak sedingin tadi. Tetapi hatinya masih berdebar.
x-x-x
Dokter Octa baru saja tiba di parkiran mobil klinik praktiknya ketika ponselnya berdering menandakan telepon masuk. Dilihatnya layar ponsel untuk menemukan bahwa ternyata itu Julie.
“Halo, Julie.”
“Hai, Dokter Octa.”
Wanita itu membuka pintu mobilnya dan menguncinya sebelum melangkah masuk ke pintu lobi. “Apa ada yang bisa kubantu?”
“Aku ada satu pertanyaan singkat. Kuharap kau sedang tidak sibuk.”
“Aku baru sampai klinik, jadi aku masih punya waktu untukmu sebelum menemui pasienku.”
Ada hening sejenak sebelum Julie melanjutkan lagi.
“On second thought... tidak apa-apa. Lupakan saja. Terima kasih, Dokter.”
Sambungan telepon terputus, meninggalkan Dokter Octa yang kebingungan dengan percakapan itu.
Julie sendiri hanya mengusap wajahnya dengan frustrasi, karena ia masih tidak bisa menarik logika dari pertemuannya dengan Billy semalam.
“Apa aku sudah benar-benar gila sekarang?” ujar Julie pada dirinya sendiri. Pertama kali ia berhalusinasi adalah ketika ia melihat sosok Owen di beberapa penjuru rumahnya beberapa minggu setelah kematiannya. Dan alih-alih merasa takut, Julie malah senang dengan apa yang ia saksikan. Setidaknya ia masih bisa melihat wujud Owen meski dalam keadaan halusinasi. Hanya saja, ia tidak pernah bisa mendekati Owen. Setiap kali ia menghampiri atau memanggil sosok Owen, hal berikutnya yang ia tahu adalah bahwa tidak ada siapapun di sana dan kemudian perasaannya terluka lagi persis seperti saat ia mendengar kabar kematian Owen.
Halusinasi Owen ini menjadi siklus beracun tanpa henti. Tetapi, setidaknya Julie tahu bahwa yang ia alami tidak nyata.
Bagaimana ia menjelaskan apa yang terjadi semalam? Billy benar-benar membuktikan bahwa ia datang dari dunia yang berbeda dari Julie. Apa yang ia rasakan kemarin bukan sebuah halusinasi. Namun, kenapa Billy datang kepadanya? Dan apa maksudnya dengan meminta bantuan Julie untuk mencari tahu soal kematiannya?
Julie sekarang menyesal karena ia tidak bertanya-tanya lebih lanjut padanya semalam.
Ia tahu bahwa orang-orang mengatainya di belakang sejak penyakit insomnia dan kesehatan mentalnya terungkap ke seluruh sudut kota, tetapi Julie tidak mengacuhkannya karena mereka tidak tahu sedikitpun mengenai dirinya. Namun jika ia sekarang sudah bisa melihat dan berinteraksi dengan hal yang normalnya tidak nyata oleh orang lain, mungkin ada sesuatu di dalam dirinya yang salah.
Dan mungkin sudah saatnya ia benar-benar serius dengan pemeriksaannya selama ini dengan Dokter Octa. Wanita itu pasti bisa memberinya perawatan tepat untuk menghilangkan seluruh gejala halusinasinya, for good and forever. Ia bahkan rela jika otaknya berhenti membuatnya melihat sosok Owen. Hanya saja... entah kenapa ia masih belum siap.
Ia menepis pikiran-pikiran aneh di kepalanya dan mulai merogoh tasnya untuk mencari-cari sisa batang rokok untuk melepas kepenatannya. Karena ia tidak menemukan apapun, ia lalu berjalan menuju minimarket di dekat kampusnya untuk membeli rokok baru.
“Semuanya 20 dolar,” ucap si kasir minimarket.
Julie mengeluarkan kartu kredit dari dompetnya dan mengopernya ke kasir tersebut.
“Maaf, kartu ini ditolak. Apa ada kartu yang lain?”
Julie kemudian mengeluarkan tiga kartu kredit lainnya satu per satu. Ternyata semuanya ditolak juga. Pada akhirnya ia tahu bahwa kartu-kartu kreditnya sudah diblokir oleh mamanya. Ia mengerang kesal walaupun tahu bahwa cepat atau lambat orang tuanya pasti akan melakukan ini padanya, setelah sebelumnya memberi ancaman beberapa kali walau tidak pernah ia dengar.
“Apa kau tetap mau membeli?”
Julie memandang bungkus-bungkus rokok di depannya itu dengan perasaan getir, dan ia hendak membatalkan pembeliannya.
“I’ll pay for hers. And mine.”
Julie menolehkan kepala pada seorang cowok bertubuh tinggi dengan kemeja biru dongker dan celana khaki yang disetrika rapi di sebelahnya. Entah sejak kapan ia berdiri di situ, tetapi jika ia melihatnya sekilas, Julie jadi teringat pada Billy.
Si kasir pun menyelesaikan pembayaran belanja mereka berdua setelah menerima kartu kredit cowok itu. Sedikit canggung, Julie berdiri menunggui rokoknya tanpa berani membuat kontak mata dengan orang di sebelahnya.
Ketika cowok itu mengambil plastik belanjaannya yang rata-rata terdiri dari makanan ringan dan minuman kaleng dan kemudian berjalan pergi seakan-akan tidak habis melakukan sesuatu yang aneh, Julie cepat-cepat mengejarnya.
“Apa yang barusan kau lakukan?” tanya Julie sekeluarnya mereka dari minimarket.
Cowok itu berhenti melangkah dan menunjukkan bungkus plastik di tangannya. “Membayar makanan dan minumanku.” Kemudian ia memperhatikan Julie dengan datar. “Kau jelas-jelas menghambat antrian tadi, sementara aku tidak mau sampai terlambat bekerja gara-gara seorang bocah kelamaan membayar belanjaannya di minimarket.”
Julie melemparkan bungkus rokok di tangannya ke dada cowok itu, mengagetkannya walau ia cukup refleksif menangkap kotak itu. “Well, anggap saja itu milikmu karena kau yang membayarnya, bukan begitu?”
Julie pun melangkahkan kaki dari sana, frustrasi karena paginya yang seharusnya cerah malah menjadi buruk gara-gara bertemu orang aneh seperti itu, dan juga karena ia tidak bisa merokok hari ini. Dan juga karena ia masih memikirkan soal apa yang terjadi semalam.
Cowok itu sendiri hanya memandang punggung Julie yang mulai menjauh darinya, dan ia menjadi kebingungan ketika melihat punggung itu berbalik dan kembali ke arahnya untuk merebut bungkus rokok tadi dari genggamannya.
Julie tidak memberikan sedikitpun pandangan atau kata-kata pada cowok itu, karena seberapa malunya ia akan kejadian itu sampai-sampai ia bersumpah melihat sekilas ekspresi cowok itu yang sedang mencoba menahan tawanya, Julie membutuhkan rokok itu lebih dari apapun.
x-x-x
Terdengar suara ketukan pada pintu ruangan Miss Roselett, dan wanita itu lega karena menemukan sosok yang ingin ia temui hari ini di daun kaca pintu tersebut.
“Silakan masuk.”
Julie berjalan masuk dengan mata terpaku ke pemilik ruangan. Seperti biasa, meja Miss Roselett memiliki papan kaca bertuliskan “Blair Roselett”, dua buah pigura foto yang menghadap Miss Roselett sehingga Julie tidak dapat melihat isi foto yang ada di dalamnya, segelas cangkir putih dengan kepulan asap dan aroma kopi hitam terbakar yang menyebar ke seluruh ruangan kecil itu, komputer dengan kibor dan mouse-nya, tumpukan berkas dan map dalam warna dominan biru sebagai warna departemen Psikologi, beserta perlengkapan tulis-menulis yang tersusun rapi di dalam wadahnya masing-masing.
Ciri khas dosennya, sejak pertama kali Julie mengenalnya.
Julie mengeluarkan sebuah makalah terjilid rapi dari dalam tasnya sebagai tugas mandiri yang ditugaskan ke kelasnya seminggu yang lalu. Sebenarnya tenggat waktu pengumpulannya masih lama—beberapa minggu lagi, tetapi ia sudah terbiasa mengerjakan tugas-tugasnya di awal agar kelak ia tidak perlu kewalahan mengejar deadline seperti yang banyak dilakukan teman-temannya.
Julie tahu bahwa karakternya itu setidaknya adalah hal yang disukai para dosennya, tetapi masih banyak yang memandangnya sebelah mata. Begitu juga kedua orang tuanya. Dan semua ini selalu kembali ke dua tahun yang lalu.
Tanpa ucapan salam apapun, ia mendekat, menaruh berkas itu ke atas meja Miss Roselett, dan bersiap untuk pergi.
“Julie, bisa bicara sebentar?”
Ucapan dosennya itu membuatnya menghentikan langkah dan berbalik perlahan untuk memandangnya kembali. “Ada yang bisa saya bantu?”
Miss Roselett membentuk gestur melalui tangannya untuk mempersilakan Julie duduk di depannya. “Silakan duduk.”
Julie menurut dan duduk tanpa bicara apa-apa.
Miss Roselett menatapnya sesaat sebelum mengalihkan pandangan ke tugas makalah Julie yang tergeletak manis di depannya. “Kau adalah mahasiswi yang pintar, Julie, kau tahu itu?”
Julie tidak menjawabnya.
“Apa kau tahu kenapa aku meminta waktumu sekarang?”
Julie mengangkat kedua bahunya. “Tidak tahu sama sekali.”
Miss Roselett mengangguk perlahan. “Julie, kau sudah bukan remaja SMA lagi. Kau adalah seorang mahasiswi yang sudah dewasa dan mengerti mana yang benar dan salah. Tetapi kenapa kau mempersulit masa-masa kuliah ini dengan memberontak dan bersikap tidak baik? Kau pintar, selalu mengumpulkan tugas dan tidak punya catatan buruk selama kuliah. Well... mostly,” katanya sembari mengenang suasana tidak mengenakkan saat seminar departemen beberapa hari lalu. “Hanya saja kau tidak menghargai teman-temanmu, para dosen atau siapapun yang ada di sekitarmu. Kau tidak aktif di kelas, dan kau hanya peduli pada dirimu sendiri di setiap tugas kelompok.”
Miss Roselett sedikit mengerutkan alisnya ketika melihat Julie melepaskan tawa kecil bernada rendah sambil menundukkan kepalanya. Ia tidak tahu apa itu maksudnya, karena ia mengakui bahwa menganalisa kepribadian Julie belakangan ini sangatlah sulit. Ekspresi gadis itu menghantarkan beragam makna, dan Julie menjadi jauh lebih berbahaya saat tidak ada siapapun yang bisa menebaknya.
“Ada yang lucu?”
“Oh, tidak,” jawab Julie cepat, “tetapi izinkan saya menyimpulkan perkataan Anda, Miss Roselett,” ucap Julie yang sekarang kembali menatap dosennya itu. “Anda mengeluh hanya karena saya menyebalkan.”
“Julie, bukan itu maksud—”
“Tidak apa-apa, Miss,” potong Julie dengan senyuman lebar. “Saya lebih suka orang-orang yang mengutuk saya terang-terangan begini, daripada orang-orang lain yang hanya bisa membicarakan dari belakang.”
Julie kemudian mengalihkan pandangan ke arah kuku-kukunya yang dicat merah gelap dan meneliti setiap celanya akan adanya bagian yang terkelupas. Sepertinya ia tidak tertarik lagi dengan apa yang akan dikatakan oleh dosennya itu, tetapi Miss Roselett tetap melanjutkan.
“Julie, ini sudah dua tahun. Mungkin sudah saatnya dirimu berhenti melakukan ini dan kembali kepada dirimu yang sebenarnya.”
“Maaf? ‘Diri saya yang sebenarnya’?” Gadis itu kemudian memberikan pandangan marah. “Memangnya Miss Roselett tahu apa?!”
Untuk sejenak mereka berdua terdiam sambil memandangi satu sama lain.
“Saya dengar dari orang tuamu kalau insomniamu masih belum sembuh. Dan walaupun semua ini sulit, insomnia bukanlah alasan untukmu mengubah seluruh karakter dan sikapmu 180 derajat. Jangan mengorbankan kuliah dan masa depanmu seperti ini, Julie. You have huge potential. Dan saya tahu kalau kau tidak bahagia walaupun kau menutupinya dengan bersikap seperti ini.”
“Jangan menganalisa saya, Blair,” kata Julie sambil memajukan badannya dengan nada mengancam. “Anda mungkin adalah dosen dan pemikir terkenal di dunia psikologi, tapi saya tidak sudi dijadikan objek penilaianmu yang tidak berdasar apa-apa.”
Miss Roselett memandangnya dengan sedih. “Julie.”
“Selama kuliah saya tidak terganggu, saya tidak peduli jika semua orang di kota ini membenci saya. Saya hanya ingin pergi secepatnya dari tempat ini,” ucap Julie sambil berdiri dari duduknya. “Tapi jangan mencoba bersikap bahwa Anda peduli atau tahu mengenai apa yang terjadi pada saya. Terakhir kali Anda melakukannya, semuanya hanya dusta.”
Ia membalikkan badan untuk menuju pintu dan berjalan keluar dari sana.
Namun, tanpa diketahui Miss Roselett, untuk kesekian kalinya kaki Julie menjejakkan langkah di ruangan itu, kedua bola matanya selalu otomatis berair dan ulu hatinya sakit seakan diinjak oleh sepatu berduri. Apalagi jika ia ingat seberapa percayanya dirinya dulu dengan tempat itu, dan dengan Miss Roselett.
mampir juga di ceritaku yaa...
Comment on chapter Introduction