Siang itu, Julie sedang duduk di ayunan yang ada di taman yang ada di depan rumahnya, bersender di sana seraya membiarkan angin semilir menghembus tubuhnya dengan kesejukannya. Saat itu ia sedang tidak ada kelas di kampus, sementara kedua orang tuanya sudah pergi dari rumah sejak pagi tadi.
Setelah kemarin ia menjatuhkan bom mengenai pembeliannya terhadap properti milik keluarga Easton, mama dan papanya sudah sibuk menghubungi dan bepergian kesana kemari untuk mencari cara bagaimana transaksi itu dapat dibatalkan. Hari ini mereka juga masih melakukannya.
Julie merasa bulu kuduknya berdiri, dan ia langsung tahu bahwa Billy ada di situ. Ia menoleh ke arah barisan semak bunga aster mamanya dan melihat sosok Billy yang memakai kemeja putih yang disetrika sangat rapi, dan rambutnya diberikan gel agar terlihat klimis dari kejauhan.
Persis seperti pertama kali ia bertemu cowok itu. Tapi kali ini ia sangat bahagia melihatnya.
“Billy.”
“Hai,” balas Billy dengan senyuman lebar.
“Aku tidak tahu kau masih di sini,” ucap Julie terkesima.
“Oh, aku sebentar lagi harus naik,” kata Billy sambil menghampirinya. “Jade sudah menungguku.”
“Jade?”
“Oh, dia seorang malaikat maut yang menjagaku selama ini,” jawab Billy. “Setiap roh orang yang meninggal dijaga oleh satu malaikat maut. You know, seperti semacam babysitter hingga roh itu dapat memasuki Gate of Decision.”
Julie bahkan tidak merasa aneh lagi mendengar semua ucapan Billy. “Kenapa roh harus melewati gerbang itu?”
“Untuk diadili sesuai apa yang mereka lakukan di dunia ini,” jawab Billy sambil berjalan melewati semak-semak bunga aster tadi.
Julie mengangguk-angguk. “Kelihatannya cukup menegangkan.”
Billy mengangkat bahu. “Entahlah, aku juga tidak begitu peduli. Lagipula aku sudah menemukan apa yang kucari berkat bantuanmu. Apapun yang terjadi setelah itu adalah cerita lain.” Kemudian wajahnya menjadi sumringah. “Julie, aku bisa membantumu menyelesaikan puzzle terakhir.”
Julie memandangnya dengan bingung.
“Tentang bagaimana aku dan Owen bisa berteman hingga ajal menjemput kami berdua,” tambah Billy. “Jadi kami bertemu saat—”
Julie cepat-cepat mengangkat tangannya dengan seruan untuk menghentikan cowok itu, sehingga Billy langsung terdiam.
“Aku rasa... aku lebih baik tidak mendengarkannya.”
Billy menatap Julie dengan kaget. “Kenapa?”
Julie menggelengkan kepalanya. “Aku masih membutuhkan waktu untuk mencerna semua yang telah terjadi belakangan ini. Aku rasa aku tidak akan siap untuk mendengar kepingan cerita itu.” Ia kemudian memberi pandangan menyesal pada Billy. “Maaf, Billy.”
“Oh, baiklah. Seharusnya aku tahu bagaimana perasaanmu sebelum berucap,” balas Billy.
Mereka pun terdiam di tempat masing-masing.
“Tapi dari mana kau tahu soal itu?” tanya Julie kemudian.
“Dari Jade,” jawab Billy.
“Oh, jadi selama ini Jade tahu?”
“Mungkin. Entahlah,” jawab Billy.
“Bayangkan jika Jade memberitahukanmu semuanya,” balas Julie sambil menerawang. “Mungkin kau tidak akan menghampiriku, dan mungkin aku dan Ben tidak akan pernah sampai di sini.”
Billy hanya tersenyum tipis. “Jika kau juga tahu, tidakkah kau ingin memberitahu kakakku?”
“Percayalah padaku, Billy, ia adalah orang pertama yang kupikirkan. Tapi... aku rasa aku akan melewatinya ,” jawab Julie lelah. “Tidak mudah untuk menerima fakta bahwa orang tuaku sendiri terlibat dalam percobaan pembunuhan, dan yang lebih buruknya lagi, aku masih menutup hal itu dari Ben.”
Billy memandangnya dengan prihatin.
“Aku hanya tidak siap melihat reaksinya.”
Julie mengangkat kepalanya dan melihat Billy memandangnya dengan seulas senyuman tipis yang tidak seperti biasanya ia berikan pada Julie. “Apa?”
“Aku senang Ben memiliki seseorang yang peduli padanya, sepertimu.”
Julie mengerutkan alisnya dengan senyuman geli. “Apa maksudmu?”
“Julie, kau jelas-jelas punya perasaan untuk Ben,” jawab Billy dengan raut wajah serius sekarang. “Dari semua cerita dan interaksimu dengan Ben, kurasa bukan hanya aku yang akan mengatakan hal demikian.”
Julie tertawa rikuh. “Tidak, Billy. Aku peduli padanya karena ia temanku. Seperti aku peduli padamu, oke?”
“Baiklah, silakan katakan apapun yang kau mau. Tapi aku ingin kau bahagia setelah ini, Julie. Kau sudah melewati banyak hal.”
“Entahlah, Billy. Meski semuanya sudah berakhir, aku merasa bahwa semua ini hanyalah permulaan dari sesuatu yang lain. Sesuatu yang baru, dan mungkin sesuatu yang lebih gelap.”
“Kau terlalu overthinking. Rileks.”
Billy sekarang berdiri di hadapan gadis itu, sehingga Julie pun mengangkat kepalanya.
“Julie... terima kasih untuk semua yang sudah kau lakukan,” kata cowok itu. “Sekarang aku bisa pergi dengan tenang.”
Julie mengangguk.
“Sampaikan salam terakhirku untuk keluargaku sendiri, terutama Ben,” tambahnya lagi.
“Aku ingin sekali memelukmu,” kata Julie sedih. “Sampai jumpa, Billy. Kuharap apapun yang terjadi padamu di atas sana, kau tetap bisa menemukan ketenangan terakhir yang kau cari.”
Billy mengangguk, dan kemudian setiap tubuhnya seakan-akan terkelupas kecil-kecil, dan potongannya berterbangan ke atas langit. Ketika wajahnya hampir menghilang, ia memberikan senyuman terakhir pada Julie sebelum akhirnya sepenuhnya menghilang, naik ke atas sana.
Billy Easton sudah benar-benar pergi sekarang.
Masih menyenderkan punggungnya ke ayunan, sekarang Julie menggunakan kakinya untuk sedikit menggoyang-goyangkan ayunan itu. Pandangannya terarah kosong ke arah bunga aster mamanya, dan ia jadi ingat lagi dengan kedua orang tuanya dan Owen.
“Julie.”
Gadis itu menoleh dan melihat Ben berjalan menghampirinya dengan ekspresi khawatir.
“Ben!” panggil Julie. “Apa yang kau lakukan di rumahku?”
Ben menunjukkan ponselnya. “Aku berusaha menghubungimu dari tadi.”
Julie segera teringat kembali bahwa ia ada janji dengan Ben lagi hari ini. “Maaf, sepertinya aku memasang mode diam pada ponselku.”
“Ayo, kita ke rumahku sekarang,” kata Ben sambil memberinya gestur untuk mengikutinya.
Dan Julie pun beranjak.
x-x-x
Setibanya di sana, mereka pun turun untuk langsung menuju ke rumah kakek dan nenek Ben untuk menemui kedua orang tua Ben. Bicara soal Mr. dan Mrs. Easton, mereka sebenarnya masih tidak rela menjual properti peninggalan keluarga mereka kepada orang Stone, apalagi untuk pebisnis amatir seperti Julie. Walau mereka tahu bahwa mereka tidak seharusnya membenci Julie karena ia tidak memiliki kaitan apa-apa dengan semua yang telah dilakukan oleh orang tuanya, tetap saja mereka merasa murka setiap kali melihat orang-orang dengan juntaian rambut merah ada di hadapan mereka.
Tetapi Julie akan ada di situ untuk sekali lagi mendapatkan kepercayaan mereka.
“Selamat siang, Mr. dan Mrs. Easton,” sapa Julie, yang tidak dibalas oleh mereka berdua. Ia menoleh pada Ben, dan cowok itu mengangguk padanya untuk memberinya kekuatan dalam menghadapi kedua orang tuanya.
Julie pun berdehem dan berucap lagi. “Pertama-tama, aku akan menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya kepada keluarga kalian tentang apa yang dilakukan oleh orang tuaku,” kata Julie. “Aku tahu kalau apa yang telah mereka lakukan kepada kalian adalah hal yang sangat fatal dan tidak bisa dimaafkan. Tetapi aku tidak akan berhenti meminta maaf dari kalian untuk ini, dan aku juga akan berusaha memperbaiki kesalahan yang telah dibuat oleh ayahku.”
“Miss Stone, apa yang bisa kau lakukan?” balas Mr. Easton tajam. “Kau memang telah membeli seluruh properti kami, tetapi kau masih bagian dari keluarga Stone. Bagaimana kami bisa tahu kalau kau tidak hanya datang kemari karena disuruh oleh ayahmu dan kemudian membeli semua ini dengan uangnya?”
“Karena tidak seperti ayahku, Mr. Easton, aku memiliki solusi untuk memperbaiki keadaan finansial kalian,” jawab Julie sambil menyerahkannya sebuah berkas biru berisikan kertas-kertas yang telah disusun rapi di dalamnya. “Itu adalah proposal bisnis yang telah kusiapkan. Ide awalnya adalah milik ayahku, tetapi aku mengubahnya sedikit.”
Mr. Easton dan istrinya pun membuka map itu dan langsung terperangah ketika melihat barisan ide-ide bisnis yang akan dilakukan oleh Julie di dalamnya.
“Rumah kakek dan nenek Ben ini bisa kita kembangkan sebagai semacam homestay resort, berkat suasananya yang sangat nyaman dan kekeluargaan,” jelas Julie. “Ayahku pada awalnya ingin membangun sebuah motel berbintang untuk tempat singgah para pelancong yang sering melewati perbatasan kota. Tetapi aku tidak ingin menjadikan rumah ini sebagai tempat menginap yang hanya dikunjungi sekali-dua kali begitu saja. Aku ingin membuat tempat ini dikenang oleh banyak orang saat mereka menginap di sini, dan mereka akan kembali lagi untuk menginap lebih lama bersama keluarga mereka. Mereka tetap akan menemukan suasana kekeluargaan di sini meskipun mereka sedang tidak ada di rumah.”
Mr. dan Mrs. Easton perlahan-lahan mulai terlihat senang dengan ide Julie tersebut. Ben sendiri sudah tersenyum bangga di sebelah gadis itu.
“Ide-ideku lainnya bisa kalian baca di dalam map itu. Jika ada yang menurut kalian bisa dijadikan potensi penambah bisnis selain ideku tadi, kita bisa membicarakannya lagi,” ucap Julie dengan senyuman mengembang. “Untuk dana awal, aku akan menggunakan dana trust fund-ku sendiri dulu. Kalian bisa fokus kembali mengurusi ternak dan tanaman kalian hingga situasi kalian membaik lagi.”
Mrs. Easton menggelengkan kepalanya. “Miss Stone... kami tidak ingin meminta uangmu lebih jauh lagi.”
Julie terkejut.
“Kau telah menyelamatkan kami dari krisis ini dengan membeli properti kami, dan uangmu itu sudah lebih dari cukup untuk membantu kami bangkit dari kejatuhan kami.”
Ben berjalan ke arah Julie dan menarik tangannya untuk mengembalikan amplop putih yang Julie berikan padanya beberapa hari yang lalu. Gadis itu makin terkejut dan sekarang melihat ke arah tiga orang Easton itu.
“Kami juga tidak sepenuhnya tidak bersalah di sini,” tambah Mr. Easton. “Kami menyembunyikan fakta bahwa catatan bunuh diri itu adalah milik Billy, sehingga kau harus menanggung kesedihanmu terhadap kematian saudaramu yang kau pikir meninggal karena membunuh dirinya sendiri. Dan kami mengerti bagaimana perasaanmu. Ketika kami tahu kalau Billy telah merencanakan untuk melakukan itu, kami juga tidak bisa menerimanya,” kata pria itu sedih. “Kami tidak bisa percaya bahwa putra kami yang paling ceria dan baik itu memiliki keinginan untuk menghapus dirinya sendiri dari dunia ini. Kami merasa kalau kami telah gagal menjadi orang tuanya.”
Julie menggigit bibir bawahnya untuk mencegah dirinya terisak lagi.
“Jadi, Miss Stone, kami rasa kami juga harus ikut andil dalam membantu ikhtikad baikmu ini,” tambah Mrs. Easton. “Kami tidak ingin kau sendirian menghadapi ini sendirian. Jika kau bisa datang kepada kami dengan upaya berdamai, kami juga bisa melakukannya.”
Julie tersenyum, benar-benar tersentuh. “Terima kasih, Mr. dan Mrs. Easton.”
“Dan kami juga berterima kasih terhadap bantuanmu pada Ben,” ucap Mr. Easton sambil memandang putra sulungnya itu dengan bangga. “Ia akhirnya berhasil juga mendapat pekerjaan di Washington, D.C., berkat dukunganmu.”
Julie mengangguk. “Dia berhak mendapatkannya.”
“Apa ayahmu tidak akan marah jika ia tahu soal ini?” tanya Ben sedikit khawatir. “Bagaimanapun juga, tawaran pekerjaan ini pada awalnya datang dari ayahmu. Dan aku tidak ingin mendapatkan pekerjaan ini hanya karena bantuan koneksi semata.”
Julie menggeleng. “Firma hukum yang kelak akan kau datangi telah me-review ulang berkas aplikasi pekerjaanmu, dan mereka mengakui bahwa kau adalah kandidat yang tepat untuk posisi lowong itu. Tanpa bantuan pun, kau memenuhi syarat dan memiliki kualitas yang mereka cari. Jadi kau tidak diterima karena koneksi keluargaku, tetapi karena keterampilan dan usahamu sendiri.” Ia pun menambahkan. “Kalaupun ayahku tahu, ia tidak akan bisa menarik kembali keputusan ini. Aku akan tetap mengawasi ayahku untuk ini, jadi kalian bisa tenang saja.”
Mereka semua pun beralih ke rumah Ben untuk membantu cowok itu membawakan koper-kopernya yang telah berjejer rapi di teras depan. Orang tuanya akan mengantarnya ke bandara siang ini, sementara Julie menawarkan diri untuk menjaga rumah dan ternak mereka.
Mr. dan Mrs. Easton telah naik ke dalam mobil, menunggu Ben selesai bicara dengan Julie.
“Kau yakin kau tidak ingin ikut kami ke bandara?” tanya Ben sedikit sedih.
Julie menggeleng. “Jika aku pergi juga, siapa yang akan menjaga tempat kalian ini? Belum lagi, ini sudah hampir waktunya mengeluarkan kambing-kambing dari kandangnya.”
Ben tersenyum. “Kau benar-benar sudah berdedikasi untuk berbisnis di sini, bukan begitu?”
Mereka kemudian saling memandang dalam diam.
“Jika rumah kakek dan nenekmu sudah sukses menjalani bisnisnya, aku akan segera mengabarimu. Dan sempatkan waktu untuk kembali ke Dalevoux, oke?”
“Tentu saja.”
Julie menatapnya dengan ragu. “Apa kau yakin tidak ingin bertemu Karen dulu sebelum pergi?”
Ben menggeleng. “Karen adalah cerita lama. Dan aku ingin fokus ke masa depan untuk saat ini.”
“Benar. Washington D.C.”
Julie berusaha menyembunyikan perasaan terlukanya dengan menundukkan kepala, tidak ingin Ben menangkap sorot matanya.
Ben meraih pergelangan tangan Julie untuk menariknya ke dalam pelukannya.
“Terima kasih, Julie Stone,” ucapnya dengan senyuman mengembang. “Aku, Billy dan kedua orang tuaku sangat senang telah mengenal seseorang sebaik dirimu.”
Julie membalas pelukannya dengan ragu. Ini pertama kalinya ia berdiri sedekat ini dengan Ben, dan ia mulai memikirkan perkataan Billy barusan mengenai perasaannya pada kakaknya.
“Aku juga berterima kasih padamu. Semoga beruntung di Washington D.C.,” kata Julie pelan.
Mereka pun melepaskan pelukan masing-masing, dan Ben pun memberinya lambaian tangan terakhir sebelum membalikkan badan untuk berjalan ke mobil ayahnya.
“Ben.”
Ben menoleh dan melihat Julie berdiri sambil memainkan jari-jarinya. “Ya?”
“Aku akan mengunjungimu di Washington D.C. kapan-kapan. Oke?”
Ben mengangguk. “Tentu saja.”
Dan ia akhirnya pergi.
Julie memandang mobil yang menjauh itu dengan senyuman yang perlahan-lahan memudar, dan sekarang kesedihan menyergapi dadanya.
Ia kemudian berjalan menuju kandang ternak keluarga Easton, ketika ia mendengar suara mobil mendekati pekarangan itu lagi, sehingga ia pun menolehkan kepalanya.
Sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan rumah Ben, dan keluarlah seorang pria bertubuh tinggi dalam setelan jas hitam rapi yang membawa sebuah koper hitam di tangan kanannya.
Julie mengenal orang itu. Ia adalah Brian, sekretaris ayahnya.
“Selamat siang, Miss Stone.”
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Mr. Stone menyuruhku untuk membantu Anda terkait masalah administrasi dan teknikal dari bisnis Anda di sini,” jelas Brian.
Julie melipat kedua tangannya. “Brian, beritahu ayahku kalau aku hanya akan bertemu dan berurusan dengannya soal bisnis ini dalam waktu dan tempat yang telah dijanjikan saja. Ia tidak bisa tiba-tiba meminta sekretarisnya datang kepadaku seperti ini dan menyuruh ini-itu. Oke?”
Brian mengejar Julie yang melanjutkan langkahnya lagi. “Tapi, Miss—”
“Oh, dan juga... ,” potong Julie. “Beritahu padanya bahwa aku akan belajar membangun homestay resort ini dengan usahaku sendiri. Aku tidak perlu mensabotase bisnis orang lain untuk mencapai tujuanku itu.”
Dan Julie pun membalikkan badannya, tidak mempedulikan Brian yang sekarang terbengong di tempatnya.
Jika ia memang harus berhadapan dengan orang tuanya, fine.
She’s Julie Stone. There’s nothing she can’t do.
THE END
mampir juga di ceritaku yaa...
Comment on chapter Introduction