Pandangan Julie masih terarah ke jendela kaca Lunar yang mengarah ke bagian luar diner itu, ketika matanya menangkap mobil keluarganya yang biasa dinaiki mamanya jika ingin keluar dari kantor Stone, Inc. Mamanya memiliki supir sendiri agar tidak merepotkan papanya jika ia ingin pergi ke tempat yang berbeda dengan mamanya.
Gadis itu menenggak sisa birnya dengan cepat dan kemudian menaruh botolnya di bawah meja agar mamanya tidak melihatnya minum alkohol di siang bolong begini. Pagi ini mamanya meneleponnya untuk menanyakan kabarnya setelah beberapa hari ini ia tidak berada di rumah. Ia juga membujuk Julie untuk kembali ke rumah agar mereka bisa menjelaskan semuanya pada gadis itu, tetapi Julie membalas bahwa ia bahkan sudah takut untuk kembali ke rumahnya sendiri dan kepada dua orang yang seharusnya paling ia percayai di dunia ini.
Ia butuh waktu, dan mamanya tidak mengacuhkan itu.
Karena mamanya bersikeras dengan alasan bahwa ia ingin melihat wajah putrinya agar setidaknya ia tahu bahwa ia baik-baik saja, Julie pun mengiyakan untuk bertemu sebentar di Lunar. Ia sudah menyelesaikan kelasnya untuk hari ini, dan ia tidak punya kegiatan apapun sampai malam nanti. Rencananya ia ingin pergi bersama Ken dan teman-temannya ke Cresthill untuk bersenang-senang di Cresthill Monument Building yang saat ini sedang diramaikan oleh adanya acara food festival tahunan. Kegiatan itu diselenggarakan oleh wali kota Cresthill, dan mereka sudah sering main ke sana untuk mencicipi segala jenis kuliner lezat yang dijual di sana.
Oleh karena itu, ia akan membuat percakapan ini berakhir dengan cepat.
Mamanya membuka pintu Lunar dan segera menangkap sosok putrinya duduk di salah satu booth yang ada di dekat jendela. Dari sekali lihat saja, ia bisa melihat kantong hitam samar di bawah kedua matanya, meskipun mamanya sudah menutupnya dengan banyak concealer. Tetapi wanita itu masih terlihat cantik seperti biasanya.
Gadis itu memandangi kedatangannya dalam diam dan lekat, seakan-akan mempersiapkan diri dulu. Ia tahu bahwa dirinya bukan pihak yang bersalah di sini, tetapi entah kenapa ia selalu merasa demikian.
Mamanya kemudian duduk di hadapan Julie dan memberinya senyuman kaku. “How are you doing?”
“Hai, Mom,” balas Julie pelan. “Kau hanya ingin memeriksa keadaanku kan? Aku baik-baik saja.”
Mamanya cepat-cepat menahan gadis itu yang hendak beranjak dari duduknya. “Julie, kumohon.”
Julie merasakan hangatnya sentuhan tangan mamanya, dan ia teringat pada saat-saat di mana ia dirangkul, dipeluk dan dilindungi oleh wanita itu.
Julie melepaskan tangannya pelan-pelan dari tangan mamanya dan duduk kembali di tempatnya dalam diam, tidak menatapnya sama sekali.
“Aku akan menjelaskan semuanya.”
Julie berusaha keras untuk tidak meninggikan suaranya kepada mamanya sendiri. “Bukannya semua sudah jelas? Orang tuaku kemungkinan besar adalah pembunuh.”
“Kami tidak pernah menginginkan semua ini terjadi, Julie,” balas mamanya yang matanya mulai membasah. “Bisakah kau mendengarku dulu?”
Julie memandangnya dengan rasa terluka yang kentara. “Silakan bicara, Mom.”
“Pesan teks dari Billy saat itu adalah puncak dari kemurkaan kami terhadap kakakmu dan dirinya,” ucap mamanya lagi. “Tulisan Billy seakan-akan mengontrol kakakmu, menyuruhnya untuk datang menemuinya. Jika Owen tidak datang, sesuatu yang buruk akan terjadi, entah pada Billy atau pada orang lain. Dan tentunya, terlepas dari kebencian kami terhadap keluarga Easton, kami sebagai orang tua dari seorang putra yang kami sayangi di dunia ini tidak mau melihatnya diperlakukan seperti itu. Owen terlalu berharga untuk berteman dengan seseorang yang tidak memberinya pengaruh positif seperti Billy Easton. Dan walaupun aku belum pernah bertemu dengannya secara langsung, aku tahu kalau Billy mungkin pernah menjadi remaja yang dipenuhi dengan luka dan kesedihan, setidaknya itu yang beberapa kali kudengar dari Owen. Orang-orang yang tidak mengatasi hal itu dengan pandangan positif akan berakhir menghancurkan orang lain yang ada di sekitarnya.”
Julie memandangnya lekat. “Kau tidak tahu itu, Mom.”
“Julie, aku juga seorang ibu,” balas mamanya pelan, tapi tajam. “Aku juga ibu dari seorang putra dan putri yang baru melewati masa remaja. Dan aku tahu bagaimana rasanya jika ada yang salah dengan anak-anakku sendiri.”
Julie memandang mamanya dengan sedih. Untuk pertama kalinya ia melihat mamanya tidak sebagai sosok berkuasa Mrs. Meredith Stone yang merupakan istri Mr. Clint Stone, melainkan sebagai seorang wanita biasa berkepala empat yang hanya menyayangi anak-anaknya dan rela melakukan apapun untuk memberikan segalanya pada mereka.
“Mom... beritahu aku mengenai malam kecelakaan itu,” kata Julie kemudian. “Aku ingin tahu puzzle terakhir untuk kejadian itu.”
Mamanya menatapnya untuk beberapa saat sebelum menghela napas. “Baiklah. Tapi aku akan membelikanmu makan siang dulu. Lihat betapa kurusnya tubuhmu, Julie.”
Gadis itu memperhatikan mamanya yang berdiri dari duduknya untuk menghampiri Jamie dan mengucapkan pesanannya. Ia sebenarnya tidak lapar, tapi ia tetap membiarkan mamanya saja.
Mamanya pun duduk kembali di kursinya tadi, seraya mereka menunggui staff Jamie menyiapkan pesanan mereka berdua.
“Julie, kau tinggal di mana sekarang?” tanya mamanya khawatir.
“Aku tinggal di tempat yang aman.”
“Julie...”
“Silakan, Mom. Jelaskan,” potong Julie pelan. Jika orang tuanya sampai tahu ia tinggal di mana saat ini, ia bisa membayangkan mereka mencari segala cara untuk menariknya kembali ke rumah. Belakangan ini, ia selalu berhati-hati. Ia memperhatikan sekelilingnya untuk melihat apakah ada orang aneh yang mungkin mengikutinya dan melihat seluruh aktivitasnya untuk akhirnya dilaporkan kepada kedua orang tuanya.
“Baiklah,” ucap mamanya pasrah. “Ketika aku menemukan ponsel Owen di kamar, aku tanpa sengaja melihat pesan Billy masuk di layar depan ponsel kakakmu. Karena kakakmu tidak memasang kata sandi atau pengaman apapun di ponselnya, aku pun bisa membuka pesan itu dan membacanya. Dan aku segera menghubungi Clint, meminta sarannya mengenai apa yang harus kulakukan. Apa aku harus menghubungi Owen atau membiarkannya begitu saja. Aku tahu bahwa pesan itu sangat mendesak, dan mungkin lebih mendesak dari apa yang ia maksud.”
Seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka, grilled cheese sandwich dengan sup jamur, salad buah, bacon, telur mata sapi dan segelas jus jeruk. Kedua mata Julie membesar melihat semua makanan itu.
“Mom, ini terlalu banyak untukku,” kata Julie. “Please have some.”
Mamanya tersenyum singkat ketika melihat putrinya mulai memisah-misahkan semua makanan itu ke piring kosong di hadapannya. Ia sangat merindukan putrinya itu, dan tidak ada yang lebih menyakiti hatinya daripada melihat Julie terluka dan menyimpan semua kesedihannya sendiri.
Dan seperti yang ia bilang, luka dan kesedihan yang diperbaiki dengan pandangan positif tidak akan membuat seseorang menghancurkan orang lain.
Setelah Julie menggigit beberapa bagian dari sandwich-nya, ia kebingungan melihat mamanya hanya memandangnya dalam diam. “Mom? Apa ceritamu sudah selesai?”
Mamanya menggeleng. “Oke... tadi kita sampai di mana? Oh, oke,” kata mamanya yang sedikit berpikir dulu tadi. “Clint memintaku untuk membiarkan pesan itu karena Owen sebentar lagi akan kembali ke rumah. Dan aku saat itu tidak tahu kalau ayahmu akan menghubungi seseorang untuk... menyingkirkan Billy. Literally.”
Kunyahan Julie melambat seiring kepalanya memproses semua itu.
“Aku tidak tahu dari mana ia mengenal Mr. Stanford, tetapi malam itu ia mengambil keputusannya dalam amarah, sehingga papamu tidak sadar bahwa ia akan melukai Owen,” lanjut mamanya. “Owen dan kau kembali ke rumah, dan aku ingat kalau kalian naik ke kamar kalian untuk membicarakan pertandingan tadi. Dan sejam kemudian ketika aku mengajak kalian turun untuk makan malam, Owen sudah tidak ada di kamarnya. Ia pergi menemui Billy di coast bridge, persis seperti apa yang ditulis Billy di dalam pesan ponselnya.”
“Bagaimana Owen bisa tahu ke mana ia bisa bertemu dengan Billy?”
“Entahlah, Julie. Billy mungkin mengajaknya untuk membunuh dirinya sendiri, karena setelah itu kita menemukan catatan bunuh diri kakakmu di dalam tasnya,” jawab mamanya dengan suara pecah. Ia mulai terisak pelan, sementara Julie terperangah.
Tidak... Owen tidak pergi ke sana karena ia ingin bunuh diri, batinnya dalam hati. Owen pergi ke coast bridge waktu itu untuk menyelamatkan Billy dari upaya bunuh dirinya.
Ia menaruh sandwich-nya di piring, duduk diam untuk menenangkan dirinya.
Ya... tidak salah lagi. Billy pasti telah menaruh catatan itu beberapa hari sebelum pertandingan Owen, mungkin untuk mengantisipasi jika Owen tidak membaca pesan teksnya.
Namun Owen mungkin telah terlambat saat itu. Mungkin saat itulah mereka berkelahi di coast bridge, dan ketika mobil Mr. Stanford lewat dengan kondisi supirnya yang sedikit mabuk, Billy pun tertabrak, persis seperti apa yang papanya inginkan. Kejadian itu juga merenggut nyawa Owen, yang jatuh terpelincir ke tepi jembatan dan kemudian jatuh ke dalam arus laut.
Julie memberikan beberapa lembar tisu kepada mamanya, yang mana langsung mengusap sudut dan kantung matanya dengan pelan.
Ia memandang wanita di hadapannya itu dengan dilema. Apa sebaiknya ia memberitahu mamanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi? Tapi ia sudah berjanji dengan keluarga Easton. Jika ia membatali perjanjian mereka, usahanya untuk menyelesaikan kekacauan ini tidak akan menemui hasil apapun.
“Mom... kenapa kau harus menuruti semua perkataan papa?” tanya Julie bingung. “Papa pasti memintamu untuk tidak memberitahu siapapun bahwa ia merencanakan kecelakaan Billy saat itu. Papa menyuruhmu untuk tidak memberitahu Owen mengenai pesan dari Billy. Papa juga mensabotasi bisnis keluarga Easton agar ia bisa membangun bisnisnya sendiri, dan kau tidak melakukan apa-apa. Kenapa, Mom? Kenapa kau terus berpihak padanya?”
Mamanya memandangnya tajam. “Ia adalah suamiku, Julie. Dan ingat, ia masih ayahmu.”
Julie memandangnya dengan tidak percaya. “Ia merenggut nyawa orang lain,” bisik Julie sama tajamnya. “Apa itu kurang jelas bagimu?”
Mamanya menangkup kedua tangannya di atas meja, pandangannya tidak berubah.
“Tapi ia melakukan itu demi keutuhan keluarga kita.”
Julie memundurkan tubuhnya untuk menyender ke sandaran bangku, membiarkan tubuhnya melemas dengan pasrah.
Ia akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menyembuhkan semua luka di hatinya ini.
“Dan yang harus ia bayar adalah nyawa Owen,” balas Julie yang sudah basah kembali pipinya berkat aliran air matanya. “Mom, aku akan mengulangi ini sekali lagi. I’m beyond disappointed in you and Dad.”
x-x-x
Julie berjalan memasuki sebuah lumbung peternakan besar berdinding kayu cokelat kokoh dengan atap berwarna merah bata yang dilengkapi dengan jajaran pagar untuk menjaga para ternak keluar dari tempat mereka. Karena sudah cukup sore, ia tidak merasa kepanasan berada di sana sekarang. Ia menghampiri beberapa anak sapi kecil yang lucu-lucu dan memberikan mereka beberapa lembar dedaunan hijau yang segera mereka gigiti dengan semangat. Beberapa ekor mendekatinya untuk mengedus setiap sisi tubuhnya, sehingga ia jadi tertawa geli.
“Hei.”
Julie menoleh dan melihat Ben berjalan mendekatinya. “Hei,” balasnya sambil memberikan senyuman lebar pada Ben. “Apa kau sudah memberi mereka makan?” tanyanya sambil memisahkan diri dari anak-anak sapi itu dengan hati-hati.
“Tentu saja. Bukannya seharusnya kau sudah paham rutinitas di peternakan kami?”
“Baiklah, baiklah. Aku akan belajar lebih cepat lagi,” ucap Julie pura-pura kesal.
Ben tersenyum. “Bagaimana pertemuan dengan ibumu kemarin?”
“Cukup informatif. Kami bicara banyak hal,” jawab Julie. “Kita bisa mendiskusikannya setelah makan malam, dengan secangkir teh jasmin, selai dan assorted cookies yang kubeli dari festival makanan di Cresthill kemarin.”
“Apa tidak ada makanan lain?”
“Bisakah kau berterima kasih saja?”
Mereka berdua tertawa kecil.
“Bagaimana denganmu? Apa kau masih bersedih karena Karen?” tanya Julie hati-hati. Ia sudah tahu mengenai Ben dan Karen, dan ia turut menyesal dengan apa yang terjadi.
“Aku baik-baik saja.”
Jawaban singkat itu membuat Julie tidak berani bertanya-tanya lagi. Tetapi ia masih tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
“Ayo kita pergi ke rumah kakek dan nenekku,” kata cowok itu sambil melepas sarung tangan dan sepatu botnya.
Julie pun melakukan hal yang sama dan kemudian mengikutinya ke arah utara di mana sinar matahari lebih sulit menjangkau mereka berkat rindangnya pepohonan yang melindungi area itu. Ia kemudian melihat sebuah rumah bergaya Tudor dengan atap segitiga di bagian depan yang dan aksen potongan kayu yang dipahat rapi. Rumah tua itu tetap terlihat elegan meskipun telah berdiri dari jauh sebelum orang tua Ben bahkan lahir mungkin.
“Sebagai informasimu, rumah bergaya Tudor dulu sangat populer di lingkungan yang populasinya lebih banyak dipenuhi oleh orang lebih tua di seluruh Amerika Serikat. Kau bisa melihat karakteristik rumah ini dari garis atapnya yang sangat curam dan setengah fasad kayunya. Dan rumah seperti ini mengingatkan kita pada rumah-rumah abad pertengahan Eropa di Inggris. It’s like being in a book,” jelas Ben sambil mengajaknya memasuki area pekarangan.
“Sekarang aku mengerti kenapa ayahku sangat ingin membeli rumahmu ini,” ucap gadis itu yang masih terkesima. “Rumah sebagus ini ditambah dengan dataran kosong yang mengelilingi tempat ini sejauh bermil-mil? Ya, papaku tidak akan melewatkannya begitu saja,” lanjutnya sarkastik.
Ben membukakannya pintu ke dalam rumah itu, dan ia pun melanjutkan tur kecil-kecilannya itu sambil menjelaskan Julie ruangan-ruangan dan perabotan di dalamnya yang masih terawat dengan baik seperti bagian luarnya. Ben mengatakan bahwa ia atau ibunya sering menyempatkan waktu untuk membersihkan rumah ini walaupun memang tidak ada lagi yang menghuninya. Mereka ingin tetap menyimpan memori tentang kakek dan nenek Ben dan menjaganya seperti itu selamanya.
“Kau dari mana saja sebelum datang ke sini?” tanya Ben padanya ketika mereka sedang naik ke lantai atas.
“Aku habis mengunjungi makam Owen,” jawab Julie sambil memasuki kamar utama yang luasnya cukup luas. Ia pun memperhatikan jajaran foto-foto lama kakek dan nenek Ben yang terpajang di nakas. “Aku meminta maaf padanya dan mengatakan bahwa aku sangat merindukannya.”
“Aku juga berencana untuk mengunjungi makam Billy lagi. Jika kau ingin ikut, bilang saja padaku.”
Julie mengangguk. “Aku sudah memberitahu Billy semuanya.”
Ben menoleh padanya dengan khawatir. “Bagaimana reaksinya?”
“Terkejut. Takut. Sedih. Cemas,” jawab Julie yang masih melihat-lihat foto-foto tadi. “Apa yang kau dan aku rasakan mungkin tidak akan sebanding dengan yang dirasakan oleh Billy.”
“Apa yang akan terjadi jika Billy telah menemukan apa yang ia cari?” tanya Ben.
“Ia bilang bahwa ia akan naik ke Gate of Decision. Katanya sih itu seperti gerbang penentuan apakah seorang roh akan masuk ke surga atau neraka.”
Ben mengangguk-angguk. “Aku ingin sekali berpamitan padanya sebelum ia naik ke sana, tetapi apa daya aku tidak bisa melihat sosoknya.”
“Tenanglah, aku akan menyampaikan salammu padanya,” ucap Julie. Kemudian ia memandang Ben dengan lekat. “Kenapa kau percaya padaku, Ben? Tentang Billy? Aku memang tidak berbohong, tetapi rasanya tidak mungkin bagi seseorang untuk percaya soal ini begitu saja.”
“Someone with similar pain will not lie to the other about such thing.”
Julie mengerutkan kening. “Maksudnya apa?”
“Kita berdua, Julie,” jawab Ben sambil mendudukkan dirinya di dekat tembok jendela dan memandang gadis itu dalam-dalam. “Kita berdua memiliki luka yang sama, dan kita berjuang untuk menyembuhkannya sebelum kita mati.”
Julie memandangnya dalam diam untuk sesaat. “Lagipula, masalah kita terlalu serius untuk dijadikan bahan candaan, bukan begitu?”
Mereka saling terdiam.
“Tentang Owen dan Billy. Lalu kita berdua.”
Mereka kemudian keluar dari kamar utama untuk memasuki study room dan ruang cuci baju. Di situlah Julie merogoh sesuatu dari saku jaket panjangnya dan menyerahkannya pada Ben.
Ben memandang amplop putih tebal di tangannya itu dengan kaget. “Apa ini?”
“Itu adalah seperempat dari tabunganku untuk menebus apa yang telah hilang dari milik kalian,” sambung Julie cepat. “Gunakan itu untuk mengobati ternak yang sakit dan membeli yang baru lebih banyak lagi. Tanam lebih banyak jenis sayuran dan buah-buahan agar kalian bisa menjadi sumber pangan utama kembali di kota ini.”
Ben terperangah. “Julie, aku tidak bisa menerima ini.”
“Setidaknya ini yang bisa kulakukan untuk kalian,” ucap Julie tulus. “Setelah semuanya yang telah papaku lakukan, aku berharap bahwa aku memiliki lebih banyak kekuatan dan kekuasaan untuk berdiri menghadapinya sehingga ia bisa mendapat ganjarannya. Tapi aku tidak bisa menjatuhkan Green City atau mensabotase bisnis papaku. Tapi aku masih bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat papaku, di mana salah satunya adalah aku yang akan membantu kalian bangkit kembali.”
Ben melihat ekspresi gadis itu menyendu.
“Aku minta maaf untuk semuanya, Ben.”
“Julie, kau sudah mengatakan itu berkali-kali,” kata Ben mencoba menenangkannya.
“Tidak, Ben. Aku akan menggunakan segala upaya untuk memperbaiki ini,” balas Julie tajam. “Sudah waktunya bagi orang tuaku untuk mengerti... konsekuensinya.”
x-x-x
Beberapa hari kemudian di suatu pagi, Julie sedang menuruni tangga rumahnya dengan balutan kemeja dan setelan jas rapi berwarna abu-abu, siap untuk sarapan bersama kedua orang tuanya untuk pertama kalinya sejak konfrontasinya terhadap mereka dua minggu lalu.
Ketika ia kembali ke rumah semalam dan melihat kedua orang tuanya, hanya mamanya yang berlari ke arahnya untuk memeluk tubuhnya, sementara ayahnya hanya memberinya pandangan singkat sebelum akhirnya beranjak dari sofa ruang tengah untuk kembali masuk ke study room-nya.
Sepanjang malam itu, ia tidak bisa tertidur lagi di kamarnya dan malah berakhir membuka laptopnya untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang terbengkalai belakangan ini.
Namun ia merasa tidak memiliki jiwanya sendiri walaupun ia telah berada di dalam kamarnya, di dalam rumahnya yang merupakan tempat ia dibesarkan selama dua puluh satu tahun ini.
Dan sekarang ia akan sarapan bersama mereka layaknya keluarga normal.
Ketika suara sepatu hak tinggi Julie menyapu lantai ruang makan dan akhirnya ia tiba di hadapan kedua orang tuanya, mereka segera berhenti berbicara dengan satu sama lain dalam suara rendah agar tidak terdengar oleh Julie. Gadis itu memandangi mereka berdua untuk sesaat sebelum akhirnya menarik bangku di ujung meja yang cukup jauh dari mereka berdua, tetapi masih berada dalam jangkauan jarak yang baik untuk berbicara.
“Tidak apa-apa, Mom, Dad,” kata Julie tanpa memperhatikan mereka dan langsung meraih selembar roti tawar yang segera ia oleskan dengan selai kacang dari atas meja. “Lanjutkan saja pembicaraan kalian tanpa perlu mengkhawatirkan keberadaanku.”
Papanya berdehem. “Julie, aku dengar dari mamamu bahwa kau sudah berbicara dengannya beberapa hari yang lalu.”
“Jika kau ingin berbicara tentang Ben Easton, tidak perlu khawatir,” balas Julie tidak peduli. “Aku telah memberikannya sebuah penawaran menarik.”
Julie menggigit sedikit rotinya, sementara kedua orang tuanya saling memandang dengan bingung.
“Apa kau masih menemui Benny Easton?” tanya papanya.
Julie menelan kunyahannya sebelum menjawab. “Aku tidak akan berhenti berteman dengan Ben.”
“Dan apa maksudmu dengan penawaran, Julie?” tanya mamanya sekarang.
Dan Julie pun menggigit lagi rotinya dan mengunyahnya untuk beberapa saat sebelum ia menelannya.
“Jika papa bisa menawarkan mereka sesuatu, aku juga bisa.”
Julie pun menaruh rotinya di atas piring sebelum meraih gelas air putih di sisinya dan menenggaknya. Walau kedua orang tuanya masih memandangnya dalam kebingungan, mereka menunggunya untuk melanjutkan ucapannya.
“Aku telah membeli rumah dan dataran peninggalan kakek dan nenek Ben, dalam jumlah yang sama yang kau tawarkan pada mereka.”
Tepat setelah ia mengatakan itu, papanya beranjak dari duduknya sambil menggebrak meja, sementara mamanya cepat-cepat menahan lengan papanya untuk mencegahnya menghampiri Julie.
“JULIE STONE!” seru papanya murka.
Jika papanya adalah sebuah petir, bisa Julie katakan bahwa ini adalah petir terhebatnya selama dua puluh dua tahun mengenalnya.
Tapi ia kali ini sudah tidak takut lagi.
Dengan santai, Julie menggigit kembali lagi rotinya, sementara mamanya masih mencoba menahan suaminya untuk mendekati Julie. Julie tahu bahwa papanya tidak akan berani memukulinya, tetapi dengan kemarahan yang melandanya saat itu, ia bahkan tidak tahu lagi apa yang akan papanya lakukan.
“Julie, apa kau sudah gila?!” tanya mamanya frustrasi dengan suara meninggi. “Dari mana kau bahkan mendapatkan uang untuk itu?!”
Julie menggigit rotinya lagi, tidak peduli. “My trust fund,” jawabnya datar. “Aku sudah berusia 21 tahun, sehingga dana itu sudah cair kepadaku, bukan begitu?”
“Apa kau sudah gila?!” teriak papanya yang sudah duduk kembali di bangkunya, diikuti mamanya.
Julie hanya menggigit sandwich-nya kembali, membiarkan mereka meluapkan semua amarahnya.
“Julie, kau pasti hanya bercanda,” ucap mamanya pias.
“Entahlah. Aku memang hanya seorang gadis gila. Gila karena kepergian kakakku yang paling kucintai di dunia ini. Gila karena ternyata kedua orang tuaku adalah kriminal. And so, I lose my mind already.”
“Julie, hentikan semua kekacauan yang kau buat itu sesegera mungkin, atau kau akan menyesal jika mendapati apa yang akan kami lakukan,” ucap mamanya.
“Apa? “Kekacauan”?” ulang Julie tidak percaya. “Mom, aku justru membersihkan kekacauan yang telah kalian buat. Dan aku tidak takut dengan apapun yang akan kalian lakukan. Kalian mau mengusirku? Silakan saja. Sebab aku tidak akan membatalkan kesepakatanku dengan keluarga Easton.”
“That trust fund... is for your future,” kata papanya tajam.
“Aku lebih percaya untuk menjadi seorang manusia daripada monster, Dad,” balas Julie sama tajamnya. “Apa kalian tahu? Jika papa tidak pernah menyuruh Mr. Stanford malam itu, mungkin Billy dan Owen masih akan hidup sekarang.”
“Julie—”
“Tapi kalian tenang saja,” potong Julie. “Aku tidak menceritakan Ben soal itu.”
Kedua orang tuanya terkejut lagi.
“Aku tidak melakukan itu karena aku peduli dengan kalian. Aku melakukan itu karena keluarga Easton telah menderita berkat perbuatan kalian, dan aku hanya berusaha mencegah mereka mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Karena jika perang berikutnya benar-benar terjadi di antara kedua keluarga kita, aku tidak akan ikut membantu kalian.”
Julie kemudian menggigit rotinya lagi, kali ini lebih cepat mengunyah, dan ia pun segera menelannya.
“Since the Easton house and land are mine now, that means I have started my first business too,” lanjutnya. “Dan aku tidak akan mendapatkan nafkah dengan membuat orang lain menderita dan kemudian menawarkan mereka sesuatu yang lebih buruk hanya untuk keegoisanku sendiri.”
Papanya meraih ponselnya di atas meja, disusul mamanya, dan berikutnya mereka berdua telah beranjak dari duduk masing-masing untuk berbicara dengan orang-orang kepercayaan mereka seperti pengacara keluarga, pengacara Tech, Inc., konsultan hukum keluarga Stone, sekretaris papanya, dan masih banyak lagi. Sebisa mungkin mereka mencari cara agar kepemilikan Julie berubah saat itu juga.
Tapi Julie hanya melanjutkan menyantapi rotinya, membiarkan kedua orang tuanya.
Karena apapun yang mereka lakukan, rumah dan dataran keluarga Easton telah sah menjadi miliknya.
mampir juga di ceritaku yaa...
Comment on chapter Introduction