Julie mengetuk-ngetukkan puntung rokok di asbak sambil sesekali melirik ke arah pintu masuk Lunar dengan gelisah. Ia sedang merokok di bilik khusus area merokok, di mana letaknya agak jauh dari pintu sehingga ia tidak terlalu bisa melihatnya dengan jelas.
Tapi ia mengenali sosok Ben dengan jelas. Cowok tinggi dengan rambut gelap dan kulit pucat itu akhirnya tiba juga di Lunar setelah ia menungguinya sejak tiga puluh menit yang lalu dari waktu yang dijanjikan karena terlalu paranoid kalau-kalau Ben tidak datang. Cowok itu mengambil tempat duduk kosong di sebuah booth di sudut lain dan memesan sesuatu kepada Jamie.
Julie menaruh sisa rokoknya di asbak dan beranjak dari duduknya di situ untuk menghampiri Ben, yang sekarang telah menyadari kehadirannya.
“Apa kau sudah datang sejak tadi?” tanya Ben kaget.
Julie mengangguk seraya duduk di hadapan cowok itu. “Kau bilang kalau kau mau menyampaikan sesuatu yang penting.”
Ben mendesah. “Ayahmu menemuiku hari ini di kantor. Dan ia memberiku ini.”
Ia meraih dua buah amplop putih dari saku jaketnya dan menggesernya ke hadapan Julie sembari menjelaskan mengenai pembicaraannya dengan Clint tadi pagi.
Ketika cerita Ben selesai, Julie memandangnya dengan khawatir. “Aku tidak menyangka kalau ia akan menemuimu hanya untuk menyuruhmu menjauhiku. Kelihatannya dia tidak main-main.”
“Kau tahu kenapa aku tidak mendengarkan peringatannya? Bukan karena aku tidak menyukainya, Julie,” jawab Ben serius. “Tapi karena aku mengkhawatirkanmu.”
“Aku? Kenapa memangnya?” tanya Julie yang benar-benar bingung.
“Ayahmu sama sekali tidak tahu apa yang telah kau lalui atau bagaimana perasaanmu saat ini. Apa ia bahkan tahu kenapa kau bisa sampai insomnia atau jatuh sakit beberapa minggu yang lalu? Apa ia pernah peduli?”
Julie otomatis langsung tersinggung mendengarnya, tetapi ia menahan perasaannya dan mulai berpikir mengenai perkataan Ben.
Dengan wajah ayahnya yang muncul di benaknya, Julie seperti biasa merasa gelisah dan tertekan di bawah tatapannya yang tegas dan berwibawa itu. Sekali lihat saja, orang-orang pasti tahu kalau ayahnya adalah sosok penting yang serius dengan apa yang ia jalani. Sekali lihat saja, Julie sadar bahwa fasad mengintimidasi itu telah lama menggantikan kehangatan yang ia terima saat masih kecil dulu. Seakan hilang tak bertitik.
Dalam hati ia mulai ragu apakah mungkin yang Ben katakan benar adanya.
“Tidak ada orang tua yang tidak peduli dengan anaknya,” ucap Julie pada akhirnya. “Lalu apa yang akan kau lakukan dengan tawaran papaku?”
“Aku tidak akan berbohong. Aku sangat tertarik dengan penawarannya, Julie.”
“Apa kau akan mengambilnya?”
Ben menangkap sorot khawatir dan kecewa dari ekspresi gadis di hadapannya itu.
“Kau sudah lama menantikan ini. Lebih baik kau mengambilnya.”
Entah kenapa Ben merasa tersentuh. Julie tahu kalau mereka berdua sudah sampai sejauh ini untuk mengungkap apa yang terjadi kepada kedua saudara mereka, tetapi ia juga mengerti seberapa putus asa dirinya berjuang selama ini untuk mendapatkan pekerjaan di Washington, D.C.
Ben memegang kembali kedua amplop itu, menimbang-nimbang sejenak.
“Akan ada waktu yang tepat untuk ini. Tapi sekarang bukan saatnya.”
Julie menjadi kaget. “Kenapa? Bukannya ini impianmu sejak lulus?”
“Aku hanya memiliki prinsip, itu saja,” jawab Ben. “Lagipula kita masih belum menyelesaikan apa yang kita mulai.”
Sebuah senyum terulas di wajah jelita Julie. Dan untuk sesaat, ada kehangatan menjalari mereka berdua.
Dalam hati Ben membenarkan keputusannya. Jika ia benar-benar pindah ke Washington D.C., ia tidak akan bisa menjamin kalau Clint tidak akan menemui orang tuanya, bahkan dengan kontrak yang tadi ia jelaskan. Clint pasti memiliki kesepakatan lain untuk mereka. Mungkin ia akan melakukannya dengan cara yang serupa seperti ia menyuruh Ben pergi dari Dalevoux. Bagaimana jika orang tuanya menyetujuinya juga? Dengan mengusir Ben pergi dari sini, Clint mungkin akan lebih leluasa meyakinkan orang tuanya untuk mengikuti apa yang ia minta. Dan jika itu terjadi, Ben won’t be around to talk them out of it.
Seorang pelayan menghampiri meja mereka untuk membawakan pesanan Ben: dua botol bir dan sekotak kentang goreng porsi sedang.
Ben jadi teringat sesuatu. “Karen menitipkan salam padamu. Ia kadang-kadang masih bertanya padaku apa kau pernah jatuh pingsan lagi setelah waktu itu.”
“Oh, that’s very sweet of her,” balas Julie yang sedikit terkejut mendengarnya. Sepanjang yang ia ingat, ia tidak begitu dekat dengan Karen Gifford meskipun beberapa kali pernah bertemu dengannya saat kedua orang tuanya melakukan perjamuan pesta di rumah. “Syukurlah aku tidak perlu berkali-kali ambruk di tempat umum seperti saat itu.”
“Apa kau masih berhalusinasi melihat Owen?”
Julie menggeleng. “Di satu sisi aku sebenarnya lega karena aku tidak perlu teringat dengan kejadian malam itu. Tapi di sisi lainnya aku juga sedih karena jadi tidak bisa melihat sosoknya lagi.”
Ben hanya mengangguk-angguk. “Maybe it’s for the best.”
“Bagaimana kau dan Karen bisa bertemu, jika aku boleh tahu?”
“Mamaku yang mengenalkan kami,” jawab Ben, yang kemudian ia lanjutkan dengan cerita singkat mengenai awal hubungannya bersama Karen.
“Kalian sepertinya sudah sangat serius,” komentar Julie setelah ia selesai.
“Bagaimana denganmu? Apa kau juga sedang menjalani hubungan serius?”
“Well, tidak untuk saat ini. Sepertinya aku terakhir pacaran saat SMA. Setelah itu, pikiranku dipenuhi oleh kakak dan kedua orang tuaku.”
Sembari mengunyah kentang-kentang goreng lezat di hadapannya, pandangan Julie jadi terarah lagi ke dua amplop putih tadi. “Washington, D.C. ya? Apa yang membuatmu begitu tertarik bekerja di sana?”
“Well, aku sejak dulu selalu ingin tahu bagaimana rasanya tinggal di pusat pemerintahan Amerika Serikat. Sejak kecil aku suka membaca biografi orang-orang penting di negara ini. Presiden, ibu negara, wakil presiden, anggota majelis, kongres, dan lain sebagainya. Tinggal di Washington, D.C. membuka peluang besar untukku bertemu orang-orang penting seperti ini. Apalagi ada banyak kesempatan kerja untuk orang-orang muda seperti kita. Itulah kenapa aku tidak pernah menyerah mencari pekerjaan di sana.”
Julie jadi merasa termotivasi melihat ekspresi sumringah cowok itu. “Gaji orang-orang yang kerja di sana pasti sangat bagus.”
Ben mengangguk. “Jika aku sudah bekerja di sana, aku pasti bisa membantu orang tuaku mengatasi masalah peternakan dengan lebih cepat.”
“Apa yang terjadi?” tanya Julie cemas.
“Kami memiliki banyak masalah sejak tahun lalu. Ternak kami banyak yang mati karena sakit yang berkepanjangan dan kurang nutrisi. Hasil-hasil tanaman organik keluarga Easton juga tidak begitu laku lagi di pasar dan supermarket-supermarket di kota ini. Sejak ada Green City, penduduk Dalevoux lebih banyak berbelanja di sana. Jika disuruh memilih antara sebuah toko di tengah kota yang lebih cepat di-supply dan dijual dengan harga lebih murah atau produksi kami yang memburuk, aku juga pasti akan memilih Green City.”
Mendengarnya, tenggorokan Julie seakan tercekat sesuatu.
Hanya ada satu Green City di kota ini. Satu Green City yang jelas-jelas adalah miliknya.
“Karena pemasukan menurun, keluargaku tidak bisa membeli ternak baru sehingga kami pun mengalokasikannya sementara untuk meningkatkan kuantitas sayuran dan buah. Orang tuaku bahkan terpaksa harus menghentikan beberapa karyawan untuk menghemat pengeluaran. Harapannya, jika hasil jual tanaman kami kembali membaik di pasaran, kami bisa menyisihkan uangnya untuk memasok ternak lagi.”
Julie ingin menyampaikan simpatinya, tetapi ia tidak yakin ia pantas melakukannya.
Mereka menyesap kembali bir masing-masing, terdiam dalam pikiran masing-masing.
“Sebesar apapun keinginanku untuk pergi ke Washington D.C., aku tidak akan mengambil tawaran Clint,” tambah Ben. “Dengan kondisi keluarga kami seperti ini, kurasa yang lebih penting adalah agar kami tetap bersama menjalani apapun.”
Julie jadi memikirkan rumah keluarga Easton yang ditinggalkan dari generasi ke generasi. Dengan harga asetnya yang mahal, Ben sebenarnya punya alternatif lain untuk menyelesaikan masalah keluarganya. Tetapi Julie ingat betapa tegasnya Ben mengatakan bahwa properti keluarga Easton bukanlah untuk dijual kepada siapapun.
“Julie, sepertinya ada seseorang yang mengikuti kita.”
Gadis itu tersentak kecil dari lamunannya. “Di mana?”
“Tiga booth di belakang kita,” jawab Ben dengan suara rendah.
Julie merasa tubuhnya menegang. “Sekarang apa?”
Julie melihat pupil abu-abu Ben bergeser mengikuti gerak-gerik si pengintai, dan kemudian cowok itu menatap kembali padanya.
“Dia sudah pergi. Sepertinya ia sadar kalau kita sudah tahu.”
“Apa kau tahu siapa dia?”
Ben menggeleng. “Orangnya tinggi, sekitar enam kaki. Memakai baju serba hitam dengan kacamata gelap. Kulitnya kecoklatan dan tidak ada fitur tubuh yang menonjol.”
Julie menghela napas pasrah. Ada ratusan orang yang mungkin sesuai dengan deskripsi itu di kota ini. “Kurasa Lunar sudah tidak aman lagi untuk kita.”
“Aku akan mencoba mencari tempat baru kalau begitu,” balas Ben.
Julie mengangguk, masih dengan hati yang resah.
x-x-x
Pintu toko Green City berdenting, menandakan kedatangan pengunjung.
“Selamat siang! Selamat datang di Green City,” sapa beberapa petugas toko ramah pada Julie. Gadis itu pun menghampiri salah seorang di antara mereka, meminta tolong untuk dipertemukan dengan manajer atau otoritas tertinggi di toko itu.
Beberapa menit kemudian, seorang pria bertubuh tinggi dengan penampilan rapi dan aroma parfum menusuk hidung menghampiri Julie yang sekarang sedang duduk di salah satu kursi di dekat meja kasir. Gadis itu beranjak dan menyalami tangan pria itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Tanner Glimp, manajer Green City untuk pusat kota Dalevoux.
“Miss Stone, saya senang sekali dapat bertemu dengan Anda hari ini. Ayahmu banyak menceritakan tentang Anda padaku.”
Julie tersenyum. “Ada yang ingin kubicarakan dengan Anda, Mr. Glimp. Apa kau keberatan jika aku meminta waktumu sebentar?”
Mr. Glimp menggelengkan kepalanya. “Tentu saja tidak, Miss Stone! Kehadiran keluarga Stone selalu disambut di sini. Mari kita berbicara di kantorku.”
Mr. Glimp kemudian beralih kepada seorang staff pria yang ada di sana untuk menyiapkan mereka berdua teh, sebelum akhirnya mereka berjalan masuk ke bagian dalam toko untuk naik ke lantai atas yang terdiri dari stok sayuran dan buah-buahan dan beberapa ruangan administrasi. Di bagian ujung lantai itu ada sebuah pintu bertuliskan “Store Manager”, dan Mr. Glimp pun membukakan pintu untuk mempersilakannya masuk.
Julie pun duduk di sebuah sofa yang ada di ruangan itu, diikuti Mr. Glimp dan kemudian staff toko tadi yang membawakan mereka teh hangat.
Setelah berbasa-basi sejenak dengan Mr. Glimp, Julie akhirnya menanyakan apa yang sedari tadi ingin ia tanyakan. “Mr. Glimp, karena aku sebentar lagi akan mewarisi bisnis keluarga, aku berinisiatif untuk turun ke lapangan untuk mulai mengenal apa saja yang selama ini telah ia bangun. Bolehkah aku tahu bagaimana Green City dicetuskan di Dalevoux?”
Mr. Glimp mengangguk-angguk. “Kau benar-benar mirip dengan ayahmu. Kalian sama-sama memiliki tekad yang kuat untuk memulai sesuatu, bukan begitu?”
Julie tersenyum.
Mr. Glimp kemudian bercerita bahwa Green City bisa berdiri di kota ini berkat proposal bisnis dan investasi Clint Stone dua tahun yang lalu. Ia bahkan memperlihatkan Julie beberapa berkas bisnis pada waktu itu sebagai bukti, di mana Julie menjadi kaget.
Seluruh bisnis ini memang dijalankan oleh ayahnya, tetapi nama Julie tercantum sebagai CEO dan pemegang saham terbesar. Tidak ada satupun nama Owen di berkas-berkas itu.
Ia meneliti daftar pemegang saham dan melihat satu nama yang menonjol.
Karen Gifford. Apakah Ben tahu? pikir Julie.
Julie kemudian melihat timeline pengerjaan proyek Green City dan menyadari bahwa itu sudah dimulai hampir tiga tahun yang lalu, atau mungkin menjelang ayahnya yang mulai mendorong Owen untuk melakukan investasi pertamanya. Julie akhirnya ingat bahwa ayahnya juga sempat membujuk Owen melakukan itu dengan harapan agar ia tidak perlu repot-repot lagi mencari uang setelah lulus kuliah. Dengan grafik penjualan Green City yang luar biasa, pasti Owen sudah bisa menjadi miliader seperti ayahnya, jika kakaknya masih hidup tentunya.
Tapi Julie merasa bahwa ada cerita lebih di balik proyek ini. Timeline Green City terlihat begitu rapi, dan seakan-akan direncanakan.
“Penjualan kalian semakin baik sejak setahun yang lalu,” tambah Julie saat menilik kembali statistik penjualan.
Mr. Glimp mengangguk. “Banyak penduduk Dalevoux yang membeli di sini karena kualitas dan harganya, jika dibandingkan dengan kompetitor.”
“Apa maksudmu keluarga Easton?” tebak Julie.
Mr. Glimp mengangguk. “Kami dengar ternak mereka banyak yang sudah sakit-sakitan sejak dulu, dan mereka juga mengalami masalah finansial untuk produksi tanaman organik mereka.” Kemudian Mr. Glimp tersenyum. “Ayahmu datang kepada kami untuk menawarkan pembangunan Green City sebagai solusi untuk penduduk Dalevoux yang mulai banyak mengeluh dengan makin sedikitnya ketersediaan daging, sayur dan buah yang mereka butuhkan. Karena kami peduli dengan masalah ini, proyek pun dijalankan dengan dana investasi terbesar dari keluarga Stone.”
Julie mengerutkan kening. “What a timing.”
Mr. Glimp tersenyum mendengar komentarnya. “Seorang pebisnis yang hebat selalu bisa melihat kesempatan, bukan begitu?”
x-x-x
Suara ketukan di pintu ruangannya membuat Miss Roselett mengangkat kepalanya dari kegiatannya mengetik di atas kibor laptop. Dilihatnya siluet Julie di balik kaca pintu, di mana gadis itu sedang menunjukkannya sebuah jilidan laporan bersampul warna biru di tangannya.
“Silakan masuk.”
Julie membuka pintu dan mengambil tempat duduk di depan Miss Roselett. “Saya ingin mengumpulkan tugas kelas minggu lalu.”
Miss Roselett mengangguk dan menerima laporan itu darinya.
Julie memandangi dosennya itu dengan ragu sembari ia memeriksa isi laporannya. Tapi ia akhirnya membuka mulut lagi daripada ia pendam terus.
“Saya minta maaf untuk sikap saya sebelumnya, Miss.”
Miss Roselett menatap Julie dari balik kacamatanya, tetapi ia tidak mengucapkan apa-apa.
“Saya tidak seharusnya berucap seperti itu pada Anda kemarin. Bagaimanapun juga, Anda masih tetap dosen saya.”
Miss Roselett memberikan senyuman singkat. “Aku senang kalau kau menyadari itu.”
Julie menaut-nautkan jarinya di bawah meja tanpa berani bertemu pandang dengan mata Miss Roselett. Menyadari kegugupannya, Miss Roselett pun menutup laporan di tangannya dan memberikan perhatian sepenuhnya kepada gadis di hadapannya itu.
“Apa ada yang ingin kau katakan, Julie?”
Julie akhirnya menatapnya balik, walau masih dengan keraguan. “Apa saya boleh bertanya sesuatu?”
“Tentu saja.”
Julie terdiam sejenak sebelum melanjutkan. “Aku ingin tahu mengenai bagaimana sejarah keluarga Stone dan Easton. Apa kau tahu apa yang menyebabkan perang dingin ini terjadi selama berpuluh-puluh tahun?”
Miss Roselett melepas kacamatanya untuk menyeka sebentar permukaan kacanya sembari menjelaskan. “Pada tahun 1906, lima tahun sejak kota Dalevoux berdiri dan diresmikan, terjadi pertikaian kecil mengenai hirarki di antara founding families. Keluarga Easton menyampaikan ketidaksetujuan mereka terhadap keluarga Stone yang membentuk hirarki tidak tertulis di kota Dalevoux dan menempatkan mereka di atas semua orang saat itu. Keluarga Easton merasa bahwa kelas atau derajat seperti itu malah mencerminkan bahwa satu keluarga dianggap lebih powerful atau lebih tinggi derajatnya dibandingkan keluarga yang lain. Padahal, untuk membentuk sebuah komunitas yang sehat dan bebas diskriminasi adalah dengan menaruh semua orang pada posisi horizontal yang sama alih-alih kepemimpinan berskema piramid seperti itu. Setidaknya itu yang disampaikan oleh keluarga Easton.”
Julie masih mendengarkannya.
“Daripada keluarga Stone sibuk menetapkan diri sebagai pemegang kuasa tertinggi di kota Dalevoux, para founding families seharusnya lebih memfokuskan diri kepada pengembangan kota seperti infrastruktur, ekonomi dan tatanan pemerintah pertama. Dan kau tentu tahu bagaimana tabiat keluarga Stone, bukan begitu?”
“Mereka menolak pernyataan keluarga Easton,” jawab Julie.
“Mereka tidak hanya menolaknya, Julie,” kata Miss Roselett lagi. “Mereka tetap bersikeras bahwa hirarki itu penting untuk mencegah terjadinya kepemimpinan majemuk yang takutnya dapat memecah belah kepercayaan penduduk Dalevoux kepada lima founding families. Akhirnya keluarga Stone memutuskan untuk melakukan penarikan suara mengenai siapa yang benar dalam masalah ini.”
“Tapi tidak ada yang benar maupun yang salah sebenarnya dari pernyataan keluarga Stone dan Easton, bukan?” tanya Julie tidak percaya.
“Masing-masing memiliki prinsip mereka sendiri-sendiri,” jawab Miss Roselett. “Dan jika kau tetap berpegang teguh pada prinsipmu tanpa mendengarkan masukan orang lain, kau hanya akan berakhir dalam perang untuk membuktikan bahwa pemahamanmu adalah yang terbaik.”
“Jadi siapa yang memenangkan pemiihan suara itu?”
“Keluarga Stone, tentu saja,” jawab Miss Roselett. “Keluarga Stone adalah yang paling kaya dan berpengaruh di Dalevoux. Semua orang telah lama mengagung-agungkan mereka.”
“Lalu apa yang terjadi pada keluarga Easton?”
“Keluarga Easton memutuskan untuk pindah dari pusat kota untuk menetap di pinggiran atau dekat perbatasan kota, sementara keempat founding families lainnya tetap tinggal sampai sekarang di pusat kota. Dengan setiap karakter keluarga masing-masing, untunglah mereka masih saling bahu-membahu dalam membangun kota ini, walau semua orang tahu bahwa perselisihan di antara keluarga Stone dan Easton masih belum terselesaikan,” jelas Miss Roselett sebelum meneguk air putihnya.
“Sehingga sampai sekarang, seperti yang semua orang selalu tahu, keluarga Stone fokus pada pengembangan bisnis, sementara keluarga Easton membangun peternakan dan ladang tanaman untuk sumber pangan penduduk di kota ini,” simpul Julie. “Tapi apa yang membuat pertikaian ini berkepanjangan? Tidak adakah yang memberikan solusi setidaknya?”
“Seperti yang kubilang, karena tidak ada yang mau mengalah, akhirnya setiap generasi Stone dan Easton mengajarkan keturunan mereka untuk tetap mempertahankan ketidaksukaannya kepada keluarga lain.”
Apa mungkin perang di antara kedua keluarga ini makin memanas karena Owen dan Billy pernah berteman? pikir Julie dalam hati.
“Papaku saat ini sedang mencoba membujuk keluarga Easton untuk menjual rumah dan lahan peninggalan kakek dan neneknya Benny dan Billy Easton,” ucap Julie kemudian. “Apa menurut Anda, alih-alih menambah api perselisihan, papaku sebenarnya malah ingin menciptakan perdamaian?” tanya gadis itu.
Miss Roselett terdiam, sehingga Julie pun menambahkan.
“Saya tahu kalau Anda pasti tahu, Miss,” kata Julie. “Tidak mungkin papa tidak mengatakan soal ini pada Anda.”
“Julie, biarkan aku bertanya satu hal dulu padamu. Apa kau percaya kepada kedua orang tuamu?” tanya Miss Roselett dengan tatapan lekat. “Apa kau percaya kepada ayahmu?”
Tapi ia melihat Julie hanya diam saja tanpa menjawab pertanyaannya.
mampir juga di ceritaku yaa...
Comment on chapter Introduction