Di perjalanan, mereka banyak berbincang-bincang mulai dari kegiatan sekolah, pelajaran-pelajarannya, sampai ke dosennya juga. Tanpa sengaja, Aldi melirik kaca sepion motornya. Ada seorang yang mengikuti dirinya dan Muti. Sepeda kencana berwarna merah, yang di tunggangi pria berjaket coklat dengan helm berwarna biru tua.
"Mut, di belakang kaya ada yang ikutin kita?" tanya Aldi.
"Emang iya? Mana?" ucapnya kaget.
"Itu, lo lihat kaca sepion. Tapi lo jangan nengoke ke belakang, orang yang naik motor itu kayanya gue kenal".
(Tama) umpatnya dalam hati.
"Hmm. Itu Tama Di.”
"Oh dia, pantes."
"Lo risih ya? Sorry !! Kita berhenti dulu, biar gue yang ngomong sama dia biar engga ikutin kita."
"Eh, engga kok. Biarin aja."
Muti menoleh ke belakang, tapu pura-pura tidak melihat ke arahku.
“(Cuma ini yang bisa gue lakuin buat lo, maaf banget kalo lo terusik karena gue).” Bisiknya di dalam relung hati terdalam.
Sore-sore seperti ini sedap sekali menyantap nasi bebek hangat dan es teh manis di pinggir jalan, di temani deru suara bising yang berlalu lalang di sekelilingnya. Ada yang berukuran besar, sedang bahkan kecil dan yang berroda dua.
Mereka menyantap nasi bebek itu dengan lahapnya, dengan nikmatnya, dengan serunya, dengan santainya sampai-sampai mereka kekenyangan.
"Yang bayar lo kan?" tanya Aldi tiba-tiba.
Mata Muti langsung melotot ke arah Aldi, matanyapun hampir keluar.
"Lo gila?" ucap Muti sekenanya.
"Gue engga bawa dompet, ketinggalan".
"Sadis." Muti memasang wajah panik sekaligus bad moodnya dia.
"Boong-boong, kiding gue. Jangan di tekuk gitu bibirnya." Ucap Aldi tertawa terbahak-bahak.
"Lo?” Muti mengeluarkan wajah ganasnya. Langsung saja Aldi di cubitin sama Muti.
"Udah.. Udah.. Sakit.. Sakit.. Entar engga gue baya nih !!" keluhnya.
"Eh, iya deh iya. Tapi jangan gitu lagi ahh lokan tahu gue engga bawa uang." Peringatan Muti pada Aldi.
"Hmmm." Aldi hanya berdeham.
Muti hanya menggerutu.
***
Dari kejauhan Tama hanya mampu memandang keakraban antara dia dan Aldi tak ada kecanggungan. Semua santai bersendau gurau. Ia hanya ingin Muti bersamanya.
"Apakah aku bisa seperti itu? Bahagia bersamamu?" keluhnya.
Setelah tiba di rumah. Muti langsung melaksanakan kewajibannya kepada Sang Khaliq. Selepas dari itu Muti membuka buku, dan mempelajari pelajaran yang akan di bahas besok. Kumandang adzan terdengar kembali, segeralah Muti mensucikan diri dan bersujud kepadamu.
Rasa lelah mulai menghampiri raga Muti, dan ia memutuskan untuk merebahkan punggungnya di atas bantalan empuk, terpejam sudah matanya. Kalau sudah begini tidak ada yang bisa menggugat apa lagi membangunkannya, untung saja besok tidak ada tugas yang harus di kerjakan.
Sejak tadi handphone Muti terus berbunyi, tak ada yang mengangkat. Sunyi, hanya ada seorang wanita cantik yang terbujur pulas dengan selimutnya. Fey? Fey tidak ada di kostan kadang ia pulang sekitar jam 9 atau jam 10 tergantung situasi dan kondisinya.
Sudah 30 panggilan tak terjawab, aku tak bisa menghubungi tidak ada yang mengangkat. Tama semakin gelisah, bingung, merasa takut, merasa aneh terhadapnya.
"Fey, Muti lagi sama lo?" suara pria itu dari sebrang sana.
"Engga Tam, gue baru sampe di kostan nih. Emang kenapa?"
"Dari tadi gue telphone engga di angkat, gue takut dia kenapa-kenapa !!"
"Pantes aja ini udah jam 9, pasti dia udah tidur." Jelas Fey.
"Apaan sih, tadi gue telphone dia itu sekitar jam setengah 8 tadi masa iya udah tidur. Jangan boong ke gue deh !!" selidiknya.
"Siapa yang boong sih Tam. Kalo dia lagi kecapekan pasti tidurnya di bawah jam 9 kadang juga suka abis isya dia langsung tidur. Gue tahu sifat Muti Tam." Jelasnya.
"Yang bener nih? Dia engga kenapa-kenapakan? Apa mungkin dia engga mau angkat telphone dari gue?"
"Dia engga mungkin kaya gitu Tam, gue tahu Muti. Dari pada lo engga percaya, tunggu deh gue masuk ke kostan dulu gue mau pastiin dia lagi tidur."
"Oke, kalo kaya gitu".
3 menit kemudian.
"Tuhkan, gue bilang apa dia lagi tidur. Pules banget. Lo lihat deh?"
"Aduh Fey Fey, mana bisa gue lihat. Guekan lagi di rumah".
"Oh iya gue lupa, gue kirimin fotonya sekalian deh biar lo puas."
"Iya deh."
Tut... Tut... Tut... Tut...
Tamapun mengakhiri pembicaraaannya.
Fey take photo Muti yang sedang tertidur sangat-sangat pulas. Masih tetap ia memakai kerudung seperti biasa.
Cissss. Send.
"Gimana Tam? Udah puas lo, percayakan? Muti lagi tidur." Fey mengirim pesan singkat.
"Iya gue puas. Thanks Fey ;)"
Esok pagi, Muti berangkat tanpa Aldi. Tak seperti biasanya Muti berangkat pagi. Tama sudah standby di depan gerbang. Tiba-tiba,,
"Muka lo lucu kalo lagi tidur !!" ucapnya yang mulai menggoda Muti.
"Maksudnya?" ucap Muti tak mengerti apa yang dibicarakan olehnya.
"(menunjukkan foto Muti yang tertidur pulas). Ini lo kan yang lagi tidur?", Mutipun menoleh.
Seperti biasa, Muti selalu memelototkan matanya jika ada sesuatu tak mengenakan menimpa dirinya.
"Dapet dari mana lo?" ucap Muti ganas.
"Dari Fey !!"
"Fey? Ya ampun", ucap Muti menepuk jidatnya.
Muti langsung pergi begitu saja dari hadapanku. Tangan ku bergerak menahannya.
"Mau kemana?"
"Bukan urusan lo."
"Lo malu sama foto ini, santai aja lagi."
"Malu lo bilang? Sorry cuma kaya gitu doank gue engga bakalan malu. Dan gue peringatin sama lo jangan temuin gue lagi, jangan deketin gue lagi, jangsan sms atau telphone gue apalagi ngomong sama gue lagi. Ngerti?" jelas Muti tanpa titik dan koma.
"Hah? Gue engga ngerti Mut? Kenapa lo kaya gini? Lo marah? Lo benci sama gue? Tapi apa alasan lo bilang kaya gitu?" Ucap Tama bertanya-tanya.
"Lo engga usah banyak tanya alasannya kenapa gue nyuruh lo kaya gitu. Ini satu-satunya cara buat gue selametin lo".
"Apa sih maksud lo? Satu-satunya cara buat selametin gue. Apa sih gue ngerti."
Muti lari sekencang-kencangnya untuk menjauh darinya. Tama masih bingung kenapa ia seperti itu. Ia memutuskan untuk mencari alasannya.
Setiap malam aku memberikannya pesan singkat, tapi tak kunjung di balas. Di telphone selalu Fey yang mengangkat dan Fey berkata ia tak mau menerima telphone dariku.
“Di kampus ia selalu menghindariku dan terus menjauh. Sulit untuk ku gapai. Sampai pada akhirnya aku kembali pada dunia gelapku yang waktu itu. Kelam, sunyi, tak beradab, jauh dari kata mulia, mabuk-mabukan, make obat-obatan lagi, pulang malam lagi, frontal lagi, dan kesepian lagi.” Ia berfikir begitu jauh.
“Sudah 3 minggu, tak ada kabar yang kuterima dari Muti lenyap bagai ditelan bumi. Di kampus aku tak pernah bertemu dengannya, walaupun aku tahu ia selalu rajin ke kampus. Akupun semakin hancur tanpanya. Frustasi. Itu yang aku rasakan saat ini.” Tama berucap di hatinya.
@ReonA masih baru bngt ini hehe. Makasih :)
Comment on chapter Prolog