"Hei hei, Pak Tua! Cepat bayar uang iurannya sekarang! Aku tidak mau ada yang berhutang satu sen pun padaku!" teriak Wira seperti biasanya.
Maret 1967. Sudah 2 tahun berlalu sejak peperangan di Desa Banjar, tepatnya di Pemandian Air Panas Nippon-Indoneshia milik Nakamura Sougo terjadi. Wira beserta kedua anak buahnya kembali menjalani aktivitas mereka seperti sebelumnya, dimana Wira menjadi seorang preman, Lisa bekerja di sebuah salon, dan Pande yang bekerja diperbankan. Kedua anak buah Wira sempat kaget mengapa mereka tidak dipecat padahal sudah tidak masuk kerja selama kurang lebih sebulan. Alasannya sih bermacam-macam, ada yang kekurangan ketenagakerjaanlah, ada yang mengatakan perusahaan akan rugi jika harus memecat seorang pegawai yang teliti dan pintar—seperti Pande contohnya dan lain-lainnya. Wira sendiri bersyukur anak buahnya masih memiliki pekerjaan tetap dan tidak dipecat.
Mungkin sudah dari lahir memiliki sifat keras kepala, Pande dan Lisa terkadang menyempatkan diri menjadi seorang preman untuk membantu Wira di pasar. Kedatangan mereka bertiga 2 tahun yang lalu disambut gembira oleh penduduk desa setempat, bahkan sampai dibuat perayaan besar-besaran—mengingat kehadiran mereka di tempat ini sangat berpengaruh dalam menciptakan kedamaian suasana desa dari para penjahat yang datang.
Kadek Ari sempat dibuat bungkam oleh Wira lantaran dirinya sudah membayar hutang-hutangnya kepada pemilik ibu kos sampai lunas, bahkan diberikan bunga lagi. Jadi, untuk beberapa waktu ke depan, Wira bisa menjadi orang kaya walau hanya untuk sementara.
"Aku hanya punya uang segini. Aku tidak bisa membayar lebih." jawab Pak Tua bercelemek merah muda pasrah sembari menyerahkan uang iurannya pada Wira dengan wajah tertunduk lesu.
"Hm, ya sudahlah! Kau tidak usah membayarnya kali ini." balas Wira lalu pergi meninggalkan lawan bicaranya malas.
"Terima kasih banyak, Mas Wira!" teriak Pak Tua itu senang.
Sejak Wira menjadi orang kaya baru, beberapa kali Wira sempat tidak menagih uang iuran pasar pada penduduk setempat. Bahkan niatnya untuk memalak diurungkan lantaran melihat kondisi ekonomi penduduk Desa Suka Mundur yang terkadang suka naik turun. Karena sifat baru Wira ini muncul, beberapa kali orang-orang di pasar suka menggodanya dengan cara menggosipi dirinya.
"Wah-wah, sepertinya ada yang lagi mabuk berat nih!"
"Apa mungkin karena baru kaya mendadak, Mas Wira jadi baik gini ya sama kita?"
"Ehem-ehem!" Wira sempat tersinggung mendengar berbagai macam ocehan mengenai dirinya keluar begitu saja. "Ibu-ibu, bapak-bapak, dan saudara-saudariku sekalian, bukankah kita sudah sepakat untuk tidak membicarakan hal ini?"
"Kapan kita pernah sepakat untuk tidak membicarakan hal ini?" goda Ibu K jahil.
"Oh iya, Mas Wira kan sekarang sudah kaya. Wajarlah jika dia berbaik hati tidak meminta uang iuran pasar lagi pada kita semua!" imbuh Ibu D senang.
"Harusnya kalian itu bersyukur sekarang ini aku tidak ada meminta uang iuran pasar pada kalian semua! Bukannya terheran-heran dan malah menggodaku! Ahh, taplak!!" ucap Wira akhirnya kekesalannya keluar juga.
"Bukannya kami tidak senang akan sifat baru Mas Wira, hanya saja kami khawatir padamu." Wira mendengar suara Ayu, si penjual ikan angkat bicara.
"Khawatir bagaimana?"
"Bisa saja kan, Mas Wira bersikap baik pada kami sebagai kenang-kenangan manis atau perbuatan baik Mas Wira pada kami untuk yang terakhir kalinya sebelum Mas Wira dipanggil sama Yang Maha Kuasa."
Memangnya aku ini terlihat seperti mau mati besok apa?! Punya penyakit parah apa aku ini, huh?!" teriak Wira tak terima dirinya dikira seperti mau mati besok oleh penduduk desa. Sayang dirinya tak sadar jika sedang digoda oleh orang-orang sekitar.
"Tapi, sekalipun Mas Wira punya penyakit parah, aku bersedia kok!" balas Ayu malu-malu, tak perduli dengan amukan pujaan hatinya barusan.
"Heh? Bersedia apaan nih?" tanya Wira panik melihat gelagat Ayu yang tidak seperti biasanya.
"Bersedia itu..." kata Ayu mulai mendekati sang target. Tangannya mulai bergerilya mencari tangan Wira sedang satunya lagi sibuk memegang baju kaos pujaan hatinya. Ditambah dengan suaranya yang terdengar menggoda membuat Wira salah tingkah dan pikiran negatif pun berkelebat diotaknya.
"We-we-we! Tunggu dulu, nona cantik! Maksudmu apaan nih pegang-pegangan tangan sama tarik-tarik bajuku?" tanya Wira salah tingkah.
Belum lagi suaranya..., sadar jika dirinya sedang digoda oleh iblis buru-buru Wira membuyarkan lamunannya.
Enggak-enggak! Ini gak boleh terjadi! Dia itu masih gadis sedangkan aku sudah dewasa. Mana mungkin aku mengajaknya untuk mela—??????eh, bukan itu yang harusnya kupikirkan sekarang! Ayolah, Wira! Aku tahu dirimu butuh seorang wanita untuk menemani hari-harimu nanti. Tapi bukan Ayu juga kan orangnya?!
"Mas~" panggil Ayu lagi menggoda jiwa dan batin Wira. "Mas Wira mau kan jadi—"
"Om perjaka!"
"Apa?!"
“Akhirnya tuh bocah datang juga!" gumam Wira sujud sembah penuh syukur lantaran mendengar suara Lisa berteriak memanggil namanya.
"Aduh! Padahal sedikit lagi!" gumam Ayu kesal rencananya gagal total untuk menggoda pujaan hatinya. Dengan secepat kijang Lisa berlari menghampiri Wira dan Ayu untuk memberitahukan sesuatu khususnya pada bosnya itu.
"Om perja—"
Bug!
"Aduh, sakit!" ucap Lisa meringis kesakitan mendapat pukulan keras dari Wira.
"Aku ini punya nama ya! Jadi jangan memanggilku dengan sebutan seperti itu lagi!" potong Wira galak.
"Baik-baik, aku mengerti!" balas Lisa patuh.
"Ada apa kau mencariku?"
"Itu, Bang Wira dipanggil sama Mbok Dek Ari."
“Ngapain?" tanya Wira syok. "Jangan bilang pasti kita disuruh bersihin kolam lagi ya? Atau kita mau dimanfaatin lagi?!"
“Enggak, Bang. Enggak!" cela Lisa tak ingin membuat kesalahpahaman yang baru. "Katanya ada orang yang cariin Bang Wira."
"Ada yang mau nyariin aku?" beo Wira bingung.
"Iya. Tuh, lagi ditungguin di warteg." jawab Lisa santai.
***
“Mbok Dek Ari yakin Bang Wira mau dijodohin?" tanya Pande resah di warung makan milik Kadek Ari.
"Orang itu harus mau kalau dia ingin cepat-cepat punya keturunan!" jawab Kadek Ari santai sambil mengelap cucian piring yang ada dihadapannya.
Saat ini Pande bersama dengan pemilik warung makan ditemani seorang pria macho nan misterius tengah sibuk membicarakan soal perjodohan yang diikuti oleh Wira tanpa persetujuan dan sepengetahuan orang yamg bersangkutan. Kebetulan hari ini tanggal merah, jadi Pande dan Lisa bebas melanglang buana kemanapun mereka inginkan. Karena tanggal merah pula warung makan milik Kadek Ari sempat dibanjiri para pengunjung dari pagi sampai berakhirnya jam makan siang. Untung saja ada Pande yang membantu Kadek Ari melayani para pelanggan sedari tadi. Kini mereka tengah beristirahat dari pekerjaan mereka untuk memulihkan tenaga sebelum memasuki kloter kedua, yakni saat jam makan malam.
"Tapi kita gak ada kasi tahu dia lho! Kalau Bang Wira tolak gimana?"
"Justru itu—"
"Aku ingin bertanya pada kalian semua!" sontak kedatangan Wira yang mendadak tanpa mengucapkan salam membuat penghuni warung makan hampir terkena serangan jantung.
"Bang Wira!" panggil Pande matanya terbelalak bagai melihat hantu bergentayangan didepannya.
"Eh, somplak! Kalau masuk bisa ketuk pintu atau mengucapkan salam tidak sih?" omel Kadek Ari tak tahan.
"Heh, Bu Cerewet! Harusnya disini saya yang ngomel-ngomel! Maksudnya mau ngejodohin saya apaan? Berniat ingin ganti profesi jadi mak comblang?"
“Kakaknya kemana?" disela-sela bosnya mengomel—Wira tahu dirinya akan dijodohkan dari cerita anak buahnya—Lisa mencari seseorang yang lain disana.
"Kalau mau ganti profesi, wartegnya kasi saya aja!" Wira tak ingin kalah memberi omelan pada ibu kosnya itu.
"Dasar tidak tahu berterima kasih nih bocah!" umpat Kadek Ari kesal. "Dengar ya, aku begini karena aku kasihan diumurmu yang sudah tua begini kamu masih saja belum mendapatkan pendamping hidup!" sambungnya berkacak pinggang. Sejenak acara mengelap cucian piringnya ditinggalkannya sebentar.
"Memangnya kau ini siapa? Ibuku? Toh juga tuh cewek seriusan mau sama saya? Enggak kan?"
"Jangankan kamu, aku saja bingung kenapa tuh cewek masih ngotot mau sama kamu! Gak waras kali tuh cewek!" balas Kadek Ari menyetujui sebagian ucapan lawan bicaranya. "Gak mungkin ada cewek yang mau kawin sama kamu kecuali dia gila!"
“Heh, Bu! Gini-gini saya dulu jadi incaran banyak cewek ya!" cela Wira tak terima dihina seperti itu pada ibu kosnya.
"Ayolah, Kak, keluar! Bang Wiranya udah datang tuh!" seru Lisa nampak menarik lengan kurus seorang wanita dari balik pintu masuk warteg Mbok Dek Ari. Namun wanita itu bersikeras tak ingin menampakkan batang hidungnya kepada orang banyak termasuk kepada orang yang dicarinya sedari tadi.
"Tidak usah, Lisa! Wiranya sendiri yang gak mau dijodohin sama aku. Gak mungkin kupaksa kan?"
Eh, suara itu sepertinya pernah kudengar. Tapi dimana?, batin Wira lupa.
"Tapi kan, Bang Wira belum lihat siapa calon pasangannya. Jadi, masih ada kesempatan buat Kak Tia untuk unjuk gigi!" paksa Lisa lagi sukses menarik tangan Tia keluar dari sarangnya.
Betapa terkejutnya Wira saat melihat teman lamanya datang menginjakkan kaki di tanah kelahirannya dulu.
"Ti-Tia?!" Wira mulai terlihat salah tingkah dihadapan teman lamanya.
"Ha-hai!" balas Tia kikuk.
"Ja-Jadi, wanita ini yang ngotot ingin dijodohkan denganku?" tanya Wira masih tak percaya jika temannya sendiri yang memaksa ingin dijodohkan olehnya.
"Iya, dia orangnya." jawab Kadek Ari datar. "Dia datang kesini untuk mencarimu. Dia juga meminta tolong padaku agar bisa menjodohkan kalian berdua."
"Menjodohkan...kami berdua?" nampak wajah Wira tersipu malu mendengar semua penjelasan ibu kosnya. Tia sendiri masih bungkam, tak ingin membuka mulut.
"Harusnya kau senang ada yang mau jadi pendamping hidupmu, Bang Wira." imbuh Pande yang diikuti oleh ledekan dari Lisa
“Sudahlah, buruan kawin! Biar gak jadi om-om perjaka lagi!"
"Berisik!" umpatan Wira terdengar diseluruh penjuru ruangan.
"Sekarang sih, terserah padamu mau dijodohin sama wanita itu atau enggak. Aku tidak bisa memaksa dan maaf saja, sepertinya aku hanya bisa sampai disini. Untuk membuat orang ini jatuh cinta padamu aku tidak bisa." perkataan panjang lebar terakhir Kadek Ari ditujukan untuk Tia.
"A-Ah, iya. Terima kasih banyak untuk bantuannya!" jawab Tia gagap.
Untuk beberapa detik lamanya terjadi adu pandang antara Wira dengan Tia. Tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkan dan tidak ada yang berani mengganggu mereka berdua. Sebelum akhirnya mereka berdua memberanikan diri membuka mulut.
"Jika kau—"
"Kau tidak—"ucap mereka berbarengan.
"Ah, kau saja—"
“Ladies first, please!" suara permohonan Wira tak bisa ditolak oleh Tia. Jadilah dirinya yang membuka mulut terlebih dahulu.
"Jika kau tidak ingin dijodohkan olehku dan merasa terpaksa mengikuti hal ini, aku tidak keberatan."
Pengakuan Tia sempat membuat lubang kecil di hati Wira saat mendengarnya. Tia sendiri sebenarnya juga sakit hati tapi akan lebih sakit lagi jika orang yang dicintainya selalu berpura-pura dihadapannya.
"Aku tidak ingin memaksamu untuk—"
"Kali ini kau tidak ada mengunakan jampi-jampi, dukun, santet, atau saudaranya yang lain untuk membuatku jatuh hati padamu kan?" Wira segera memotong ucapan Tia. Ditatapnya teman lamanya dengan wajah serius.
"Tentu saja aku tidak ada menggunakannya! Aku sudah tidak percaya hal-hal begituan lagi!" jawab Tia mantap.
"Dan juga, ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan padamu."
"Apa itu?"
Wira menunjuk pria misterius yang sedari tadi berdiri didekat pintu masuk. Semua orang mengikuti arah tunjukan Wira.
"Pria misterius diseberang sana itu...siapa?" tanya Wira ragu sekaligus merasa sedikit tersaingi.
"Oh~ Dia salah satu anggota TNI yang ditugaskan untuk mengintaiku." jawab Tia santai.
“Bener nih dia bukan pacarmu?"
"Pengintaiannya masih berlanjut?" tanya Wira dan Pande saling bersahutan.
"Bukan-bukan! Sungguh dia bukan pacarku!" sambung Tia tersenyum senang. "Hari ini hari terakhir anggota TNI dan pemerintah mengintaiku karena mereka yakin jika aku tidak ada sangkut pautnya dengan Tuan Nakamura dan tidak dicurigai lagi sebagai seorang pemberontak."
"Jadi masa percobaan Kak Tia lebih singkat ya?" pertanyaan Lisa dijawab dengan anggukan kepala Tia.
"Syukurlah~ Aku kira sampai kawin kau akan terus-terusan diikuti kemana-mana. Bisa repot aku jadinya!" gumaman lega Wira sempat terdengar sampai ke telinga Tia.
"Tadi...kau bilang apa?" tanya Tia takut salah dengar.
“O-Oh, tidak kok! Aku tidak ada bilang apa-apa, ahahaha! Ahahaha!" tawa Wira terdengar memaksa.
Yah, aku kira dia serius, batin Tia harap-harap cemas. Huuh~ Aku harap dia mau menerimaku.
Tidak ada salahnya kan mencoba?, pikir Wira matang-matang. Siapa tahu rasa baperku ini menjadi awal dari romansa percintaanku dengan Tia.
"Sudahlah! Daripada berlama-lama mendingan langsung saja dimulai!" ucap Kadek Ari tak sabar.
"Dimulai apanya?" tanya Wira memasang wajah bloon.
"Tentu saja hubungan kalian, dasar bodoh!"
Bug!
"Aduh!" Wira terpaksa harus menerima jitakan keras dikepalanya dari ibu kosnya.
"Anggap saja kalian belum pernah bertemu dan tidak saling mengenal satu sama lain."
"Tapi aku sudah mengenalnya sejak—"
"Memangnya diri kalian yang dulu dengan yang sekarang sama? Enggak kan?!" Kadek Ari kembali memulai ritualnya untuk mengomeli Wira. Lisa pun tak mau tinggal diam dalam mengejek bosnya itu.
"Wajah yang dulu sama sekarang aja beda."
"Apa kau bilang?!" namun amarah Wira sempat mereda lantaran teman lamanya mulai memperkenalkan dirinya.
"Perkenalkan, namaku Putu Tia Jayanti."
Tia mengulurkan tangannya ke udara, bermaksud ingin berjabat tangan dengan pria yang ada dihadapannya. Walau perasaannya campur aduk antara malu, senang dan juga salah tingkah, Wira tetap membalas jabatan tangan Tia dan mulai memperkenalkan dirinya.
"Namaku Gede Wira Pratama." balasnya terdengar gagah sembari membalas jabatan tangan Tia.
"Salam kenal." ucap mereka berdua kompak.
Akhirnya hubungan percintaan mereka pun dimulai.
.END.