#Wira Point of View#
"Sudah kubilang kan, kau tidak boleh mati, Wira. Wira!"
Huh? Suara ini...sepertinya pernah kudengar...
Mendadak kurasakan napasku tercekik begitu eratnya. Tubuhku juga merasakan ada seseorang diatas tubuhku. Rasanya tidak berat tapi tetap saja membuatku serasa susah untuk bernapas. Kuyakini berat ini milik seorang wanita tapi aku tidak tahu siapa gerangan. Mataku terlalu malas untuk dibuka. Lama-lama telingaku juga makin tuli mendengar seorang wanita heboh berteriak memanggil namaku.
"Wiraaa!!!"
"He-Hei hei! Bisa gak manggilnya biasa aja? Aku gak tuli kok!"
Sekuat tenaga kubuka mataku dan bangkit dari pembaringan. Saat kuterbangun, seketika tubuhku terasa tersengat listrik lantaran luka-luka ditubuhku ini menjalar kemana-mana.
"Adududuh! Sakit jug—"
Cup!
"Wira! Hiks! Hiks! Hiks!"
Seketika tubuhku mematung tak bergerak. Napasku mendadak berhenti selama 5 detik bukan karena pelukan dari temanku yang sangat erat ini, melainkan karena rasa kagetku saat ini. Kurasakan bibirku memanas, pipiku memerah, mataku melotot tajam. Kulihat dari kejauhan Lisa tengah terbaring diatas tanah. Pande, Pak Nakamura, dan nenek tua itu memandangiku dan Tia secara bergantian. Sebenarnya disini aku tidak ingin menyombongkan diri lho ya, karena ini fakta! Dan mereka bertiga yang menjadi saksinya. Sungguh, aku masih tidak percaya jika tadi itu, aku...di—
"Syukurlah!"
"Uh?"
"Syukurlah!" ucap Tia melonggarkan sedikit pelukannya lalu mengelus salah satu pipiku lembut dengan tangannya yang kulihat ada lilitan kain berwarna merah. Kulihat matanya berair cukup banyak, mirip seperti genangan banjir di ibukota! Tatapan matanya juga begitu teduh, senyum manisnya dia berikan sebagai pereda jantungku yang sudah berdegup sangat kencang. Kuharap dia tidak mengetahuinya.
"Apa kau...baik-baik saja?"
"Tentu saja!" jawabnya antusias. "Aku bisa baik-baik saja...karena kau juga baik-baik saja."
***
3 minggu pun berlalu. Keadaan Desa Banjar saat ini sudah kembali normal. Aktivitas sehari-hari mulai rutin dijalankan hanya saja sebagai tambahan, sebagian penduduk Desa Banjar, TNI, dan utusan dari pemerintah bahu membahu membangun kembali rumah-rumah penduduk yang sepertiganya hancur berantakan dan tempat Pemandian Air Panas Nippon-Indoneshia.
Masalah mengenai Pak Nakamura yang seorang mata-mata Jepang akhirnya terkuak juga di mata pemerintahan Indonesia dan Jepang. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, kedua negara ini sepakat untuk memberitakan kepada media massa jika hancurnya rumah-rumah penduduk Desa Banjar akibat ulah teroris yang dirahasiakan identitas aslinya. Pemerintah hanya memberi informasi jika para teroris itu berasal dari Jepang dan memiliki tujuan untuk merebut seluruh dunia dan ingin menjadi penguasa atasnya. Terdengar kekanak-kanakan memang, tapi semua orang percaya akan berita itu. Pemerintah Jepang juga meminta maaf kepada Indonesia khususnya kepada keluarga Pak Nakamura karena dendam yang lama bangkit kembali. Sebagai gantinya, pemerintah Jepang memberikan dana bantuan untuk membiayai perbaikan bangunan, infrastruktur jalanan, uang pemakaman bagi keluarga yang ditinggalkan dan biaya pengobatan bagi para korban, termasuk aku, Tia, dan Lisa didalamnya. Mereka sampai memberikan dokter hebat yang diakui dunia. Buktinya, dalam waktu kurang dari 2 minggu kondisi kami bertiga sudah pulih kembali. Kami bahkan sempat ikut membantu para penduduk dan yang lainnya memperbaiki tempat tinggal dan pemandian air panas ini tentunya.
Sedangkan di mata pemerintahan Indonesia sendiri, Pak Nakamura, Bu Ratih dan juga Tia dianggap ikut campur dalam hal ini atas kebohongan dan tetek bengeknya diberikan sanksi hukuman berupa penjagaan ketat untuk masa percobaan selama 5 tahun. Jadi, tiap kali Pak Nakamura, Bu Ratih atau Tia ingin bepergian akan diawasi oleh satu atau dua anggota TNI yang menyamar. Pak Nakamura dan Bu Ratih juga dilarang untuk bepergian keluar negeri selama belum ada keputusan dari pemerintah Indonesia. Ditakutkan Pak Nakamura beserta keluarganya akan kembali melakukan pemberontakan untuk yang kedua kalinya.
Mengenai mayat mie soba dan anak buahnya—Tia sudah menceritakan semuanya padaku bagaimana Lisa membunuh seluruh anak buahnya dengan sadis—sudah diurus oleh pemerintah Jepang. Diharapkan, dengan adanya kejadian ini akan menjadi pelajaran bagi negara-negara yang lain khususnya Negara Indonesia dan Negara Jepang agar dapat menjalin hubungan baik satu dengan yang lain.
Membicarakan bagaimana caranya aku bisa membunuh mie soba dan aku bisa hidup kembali setelah Tia memanggil namaku, aku hanya bisa menjelaskan salah satunya saja. Mengenai mie soba, aku bisa membunuhnya karena mie soba menurunkan tingkat kewaspadaannya untuk menyerangku. Belum lagi jebakan yang kubuat untuk mengulur waktu dalam mencari kesempatan emas untuk menyerangnya dan pancinganku agar Tia memanggil namaku rupanya berhasil. Aku akui karena faktor umur staminaku jadi melemah tapi, jangan remehkan semangat membara yang tertanam pada diri orang yang sudah tua! Hal itu tidak memandang umur baik muda maupun tua. Makanya aku bisa membunuh mie soba dengan gerakan cepat bagai kilat dan sekali tusukan, dia langsung terkapar di tanah. Sebenarnya, aku sempat merasa takut alih-alih aku beneran mati entah itu ucapan dukun sialan itu yang menjadi kenyataan, sumpah serapah yang kubuat sendiri ataupun gerakan mie soba yang 0,1 detik berhasil mendahuluiku. Tapi aku benar-benar bersyukur pada Tuhan jika serangan mie soba waktu itu MELESET dari sasaran.
Kalau soal ucapan dukun sialan yang dibicarakan Tia, aku tidak bisa menjelaskannya. Bagiku itu diluar akal sehat mengingat dukun sialan itu berhasil membangkitkanku dari kematian dan mengaku pada Tia aku akan mati lagi jika Tia memanggil namaku. Yah, biarlah yang tahu kebenarannya hanya rumput yang bergoyang. Karena aku sangat bersyukur masih bisa diberi napas kehidupan hingga saat ini—kutarik kata-kataku yang pernah kukatakan pada Bli Ngurah waktu dulu. Bahkan akan lebih sempurna lagi jika aku diberi cewek cantik dan seksi sebagai jodohku! Pasti romansa cintaku akan lebih bagus daripada romansa milik romeo dan juliet.
Ah! Aku juga sempat penasaran kemana Bu Ratih pergi selama perang berlangsung.
"Tante Ratih lagi pergi ke rumah kerabatnya di kota. Mungkin sekalian ngumpul bareng keluarga atau lagi arisan sama ibu-ibu disana, makanya Tante Ratih lama balik pulang ke rumah."
"Oh~" anggukku paham setelah mendengar penjelasan dari Lisa yang sibuk memakan donat gula yang dibelinya di pasar tadi.
Sempat-sempatnya tuh, tante-tante pergi keluar desa, padahal di tempat tinggalnya sendiri sedang terjadi perang besar-besaran dan itu menyangkut soal nyawa pula. Belum lagi tempat tinggal dan tempat penghasilan yang sudah dibangunnya bersama suami tercinta sempat hancur akibat tembakan basoka dari mie soba itu. Tapi, untung saja dia tidak marah-marah pada kami semua yang sudah memporak-porandakan tempat berharganya.
Jika dibandingkan dengan Bu Cerewet, Bu Ratih orangnya terbilang sangat—bahkan terlalu—baik jadi manusia. Tidak pernah marah-marah apalagi mengomel pada semua orang. Jika saja ibu-ibu kos di seluruh dunia mempunyai kepribadian seperti dirinya, alangkah beruntungnya kami anak-anak kos yang tinggal.
Ketakutanku belum berakhir sampai disitu saja. Yang paling kutakutkan sekarang yakni sifat kepribadian ganda yang dimiliki oleh Lisa. Seperti yang diceritakan Tia tempo hari, Lisa membunuh sadis semua anak buah mie soba tanpa ampun. Disatu sisi aku makin meningkatkan kewaspadaanku akan dirinya jika mulutku tak sengaja berkata kasar padanya, seperti memanggilnya bocah. Bisa-bisa aku berakhir seperti anak buah mie soba yang lainnya. Tapi aku sempat membayangkan, jika saja Lisa lahir di jamanku, mungkin bangsa Indonesia akan menjadi negara yang paling ditakuti lantaran memiliki tentara seperti Lisa yang melakukan pembunuhan dengan amat brutal dan sadis. Hm, sepertinya julukan yang cocok untuk Lisa seperti, Si Bocah Sadis atau—
"Kenapa kau memandangiku seperti itu?" tanya Lisa penuh selidik padaku. Tanpa sadar kupandangi dirinya begitu lama saking terlarut akan dunia khayalku sendiri.
"E-Eh, enggak kok! Gak ada apa-apa!" jawabku buru-buru.
"Aku cantik ya?" tanyanya penuh pengharapan.
"Huek! Cantik darimana?" balasku pura-pura muntah dihadapannya. "Kalau dilihat dari Monas melalui sedotan baru kau kelihatan cantik. Tapi, itu untuk versi bocah sih!"
"Iih, Bang Wira!" teriak Lisa marah padaku.
Eh, mampus! Aku buat anak orang ngambek. Pulang nanti bisa-bisa badanku jadi potongan dadu lagi!
"A-Ah, bercanda kok, Lis. Bercanda, ahahaha!" jawabku segera mengubah kembali suasana hatinya supaya menjadi lebih baik lagi.
Hari ini jam 10 pagi aku, Lisa, dan Pande sedang berada di Stasiun Buleleng menunggu kedatangan Tia dari loket yang sibuk membelikan kami tiket pulang menuju ke Desa Suka Mundur. Membicarakan soal pulang, tiba-tiba aku merindukan kasur empukku di kamar kos, rindu dengan suasana pasar dan orang-orangnya, rindu dengan Pak Tua bercelemek merah muda karena sudah lama aku tidak mengejeknya, rindu dikasi makanan gratis dan rindu dengan suara teriakan Bu Cerewet jika aku telat membayar uang sewa. Mungkin untuk waktu lama aku tidak akan mendengar suara cerewetnya karena aku akan membayar lunas semua hutang-hutangku padanya. Tapi, jika aku kembali pulang ke desa, Tia tidak akan ikut bersama—
"Ini tiketnya!" Tia menyerahkan 3 lembar tiket kereta api masing-masing pada kami bertiga. "Maaf membuat kalian menunggu lama."
"Maaf juga sudah membuatmu kerepotan, Mbak Tia." balas Pande menggaruk-garukkan kepalanya. Kulihat senyum mengembang diwajah pucatnya.
"Tidak. Kamilah yang sudah membuat kalian kerepotan!" jelasnya buru-buru. "Sekali lagi terima kasih banyak!"
"Kak Tia~”
"Howaa!" Tia nampak kaget mendapat pelukan mendadak dari Lisa. "Kau ini, mengagetkanku saja!"
Entah kenapa aku juga ingin mendapat pelukan darinya. Aku tak yakin sejak kapan aku mulai terserang penyakit baper tiap kali berada didekatnya.
"Aku akan sangat merindukanmu!" ucapnya terdengar seperti suara anak kecil.
"Aku juga akan sangat merindukanmu!"
"Kira-kira orang-orang disini ada yang merindukanku tidak ya?" tanyaku mulai memberi kode. Tapi sialnya malah bocah culun ini yang menjawabnya.
"Gak bakalan ada!" jawab Pande ketus.
Tia melonggarkan sedikit pelukannya agar bisa melihat wajah cemberut Lisa. "Oh iya, aku punya satu permintaan untukmu."
"Apa itu?
"Kalau aku kembali ke Desa Suka Mundur, berjanjilah padaku kau akan menjadi wanita yang baik dan tidak menunjukkan mode sadismu kepada siapapun. Janji?"
"Aku janji!" jawab Lisa semangat 45. Aku sendiri sempat melamun mendengar ucapannya barusan.
Dia bilang dia akan kembali ke Desa Suka Mundur? Itu berarti...
"Wira." panggilan pertamanya tak kujawab sampai akhirnya dia berteriak kesal memanggil nama lengkapku. "Gede Wira Pratama!"
"Ya-Ya, ini aku!"
"Astaga, kau ini...apa yang sedang kau pikirkan?" tanyanya kesal bercampur khawatir.
"A-Aku berpikir apakah kau akan kembali pulang ke desa atau memilih tetap tinggal disini." untuk beberapa menit lamanya aku tidak mendengar jawabannya. Dalam hati aku sangat menyesal mengucapkan kata-kata pahit sebagai salam perpisahan.
"Itu semua tergantung sih."
"Eh?"
"Harapanku sih, akan ada seorang pria yang mengajakku untuk tinggal bersama dengannya di Desa Suka Mundur. Tapi, jika itu tidak terjadi mungkin aku harus mencobanya sendiri. Yah, dengan para pesaingku tentunya."
"Ja-Jadi, maksudmu itu...kau—"
Tuut! Tuut! Tuut!
Kereta api menuju Desa Suka Mundur sudah membunyikan belnya. Itu tandanya aku, Lisa, dan Pande harus cepat masuk kedalam kereta agar tidak ketinggalan.
"Cepat-cepat! Keretanya sudah mau jalan!"
"Tapi—"
Sekeras apapun kucoba untuk berbicara, Tia makin bersikeras mengalihkan pembicaraan. Dia bahkan berhasil memaksa kami bertiga untuk masuk kedalam kereta sebelum pintunya ditutup.
"Tia! Pembicaraan kita belum selesai!" teriakku dari dalam kereta. Tak lama kurasakan kereta api mulai bergerak perlahan-lahan.
"Sampai jumpa!" ucap Pande dan Lisa kompak melambaikan tangannya pada Tia yang berlari kecil mensejajarkan langkah kakinya dengan laju kereta api yang mulai bergerak cepat.
"Hati-hati dijalan ya!" balasnya ikut melambaikan tangannya pada kami bertiga.
"Tia!”
"Kalau sudah sampai kirimi aku surat ya!"
"Baik!" jawab Pande dan Lisa terdengar begitu senang. Berbeda denganku yang memasang wajah cemberut.
"Dasar wanita tak bisa diharapkan!" gumamku jengkel.
"Bang Wira, kalau kau memasang wajah ngambek ala abg, wajahmu makin terlihat jelek!" kata Pande antara sengaja mengejekku atau sekedar menghiburku.
"Iya, Pande benar. Kau yang sekarang tidak seganteng waktu kau masih muda seperti di fo—"
"Apa tadi kau bilang, Lis?" tanyaku heran mendapati Pande tengah membungkam mulut Lisa dengan kedua tangannya.
"Tidak kok! Tidak jadi!"
"Kau yakin?" kutatap wajahnya penuh selidik. Bocah sialan itu hanya mengangguk seakan-akan meyakinkanku agar aku tidak menaruh curiga padanya.
"Ngomong-ngomong, untuk sementara pikiranku teralihkan dan jadi teringat akan sesuatu."
"Ada apa, Bang?" tanya Pande penasaran.
"Kalian pernah lihat foto cowok masih muda lagi berdiri dibawah pohon mangga depan rumah orang. Rambutnya dipotong pendek kayak tentara gitu, pakai baju putih lusuh, celana panjang tentara sama dia ada bawa bambu runcing dan bendera merah putih. Pernah lihat?"
Selama sesi penjelasan, kuperhatikan raut wajah kedua anak buahku menunjukkan hal-hal yang mencurigakan. Mulai dari berkeringat, gugup, pandangan matanya memperhatikan yang lain bukannya memperhatikanku sampai dengan gigit jari. Dari tindakan aneh mereka, tidak ragu bagiku untuk menginterogasi kedua orang tersebut.
"Kalian pasti pernah lihat foto cowok itu ya?" tanyaku tajam.
"Ti-Ti-Tidak kok! Sumpah!"
"Kami belum pernah melihat foto itu sama sekali! Pernah megang aja enggak!" jawab Pande dan Lisa grogi. Tapi rasa penasaranku masih belum cukup untuk melepaskan mereka sebagai seorang tersangka.
"Jangan bohong! Pasti kalian tahu jika foto itu—"
"Wira!"
Lagi serius-seriusnya menginterogasi si bocah sialan dan si cowok culun ini, tiba-tiba saja kudengar suara Tia berteriak memanggil namaku. Sontak kualihkan pandanganku sejenak untuk melihatnya.
"Wira! Hosh! Hosh!" tak henti-hentinya wanita itu memanggil namaku dengan keras dan senangnya. Terbukti dari raut wajahnya yang nampak berseri ditambah lagi sebelah tangannya seperti memegang selembar kertas—mungkin?—berbentuk persegi melambai-lambai di udara.
"Itu kan..." tak lama kusadari benda apa yang sedang dipegang olehnya.
"Sampai jumpa!" ucapnya dan tak lagi mengejar kami lantaran laju kereta api yang sudah melaju kencang bagai kecepatan angin. Tanpa sadar, aku malah tersenyum sendiri dibuatnya.
"Bang Wira?" panggil Lisa bingung.
"Hm? Ada apa?"
"Harusnya kami yang bertanya seperti itu." balas Pande silih berganti dengan Lisa. "Kau tadi senyam-senyum sendiri."
Tak ingin dicap sebagai orang gila, kuhapus sejenak ekspresi senyumku dan memutuskan untuk masuk kedalam kereta mencari tempat duduk sesuai pesanan tiket.
"Paling kalian salah lihat." jawabku acuh tak acuh. "Sudahlah, ayo kita masuk!"
"Baik." jawab mereka berdua patuh dan mengekoriku dari belakang.