Oktober 1965. Sudah 20 tahun lamanya Indonesia terbebas dari para penjajah dan kemerdekaannya diakui oleh negara di dunia. Jika dulu rakyat selalu melihat darah berceceran, tumpukan mayat entah itu dari pihak musuh maupun dari pihak negara sendiri, senjata api, bambu runcing, panah, dan pedang tersebar di atas rerumputan kering, mendengar suara ledakan bom, tembakan pistol, jerit tangis dukacita, keputusasaan, ketakutan menguasai aktivitas mereka, semua itu kini hilang sirna.
Dengan semangat membara, kerjasama, saling percaya, mementingkan kebersamaan, adanya persatuan dan kesatuan yang utuh, rakyat Indonesia akhirnya terbebas dari rantai keterpurukan kaum penjajah dan kehidupan mereka mulai berubah. Dengan dipimpin oleh seorang presiden dan wakil presiden yang begitu peduli terhadap tanah air dan rakyatnya, mereka dapat hidup aman, damai, sukacita penuh canda tawa, dan memiliki semangat untuk tetap hidup dan ingin menjadikan bangsa Indonesia menjadi yang lebih baik di mata dunia. Bagi para pahlawan yang sudah rela berkorban demi tanah air tercinta diberikan penghargaan, penghormatan, dan pemakaman yang layak. Bahkan nama mereka masuk didalam sejarah—baik itu bagi yang sudah wafat ataupun yang masih hidup.
Siang hari di bulan Oktober ini, semua orang menjalani aktivitas sehari-hari mereka begitu juga dengan penduduk Desa Suka Mundur yang terletak di selatan wilayah Indonesia. Dari atas langit, nampak segerombolan umat manusia yang berlalu lalang di satu tempat kecil di Desa Suka Mundur. Jika dilihat lebih dekat, tempat kecil yang selalu ramai dikunjungi saat jam makan siang dan makan malam adalah warung makan milik Kadek Ari.
Wira, Lisa, dan Pande yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh pemilik warung makan akhirnya menampakkan batang hidung mereka. Usai makan siang—yang diberi gratis untuk kali ini saja oleh si pemilik warung makan—dan pelanggan yang sudah kembali ke habitatnya masing-masing, Kadek Ari segera menjelaskan alasan mereka bertiga dipanggil ke tempatnya.
“Aku memanggil kalian karena aku mendapat pesan dari temanku kalau mereka meminta tolong kepada kalian untuk menyelesaikan satu tugas.”
“Kayaknya kita terkenal banget ya.” bisik Wira pada teman sebelahnya.
“Iyalah! Bang Wira baru sadar?” balas Lisa berbisik.
“Tugas apa itu, Mbok?” tanya seorang pria bertubuh tinggi, kurus, culun berkacamata yang bernama Pande.
“Membersihkan kolam Pemandian Air Panas Nippon-Indoneshia[1].”
“Apa?!” teriak mereka bertiga kaget.
“Kenapa harus kami? Kenapa harus kolam? Karyawan mereka kan bisa! Dan juga—”
“Kalian akan dibayar, baik itu tiket pulang pergi kereta api, uang makan dan akan diberi gaji sesuai dengan pekerjaan kalian.” jelas Kadek Ari panjang lebar sembari memotong omelan Wira yang terlihat begitu tak suka.
Namun, belum sampai 5 menit dengan rasa tak suka akan pekerjaan barunya, wajah Wira langsung berseri mendengar kata ‘uang’ dan ‘diberi gaji’ yang menggema di telinganya. Tanpa pikir panjang dan mendengar penjelasan lebih detail dari sang informan, dengan semangat 45 Wira bergegas keluar warung menuju tempat kerjanya yang baru.
“Baiklah! Kalau begitu jangan buang-buang waktu lagi. Kita harus ke—”
Bug!
“Adududuh! Sakit tahu, bocah sialan!” teriak Wira mendapati pukulan keras di bagian perutnya dari anak buahnya yang perempuan.
“Heh, om perjaka. Emangnya kau tahu pemandian air panasnya dimana?!” bentak Lisa kasar.
“Pemandian Air Panas Nippon-Indoneshia?” beo Pande bingung. “Memangnya di Indonesia ada pemandian air panas? Setahuku enggak deh.” Kadek Ari menghela napasnya sebelum bercerita panjang lebar.
“Pemandian Air Panas Nippon-Indoneshia terletak di kaki Gunung Lempuyang. Jika ingin kesana harus naik kereta api dari Stasiun Singaraja sampai Stasiun Buleleng. Setelah itu masuk ke Desa Banjar. Disanalah letak Gunung Lempuyang dan kalian bisa menemukan pemandian air panasnya di kaki gunung itu.”
“Baiklah! Karena rutenya sudah dikasi tahu, sebaiknya kita segera ke—adududuh!”
“Om perjaka!” teriakan Wira yang masih membara kembali dihentikan dengan jeweran yang didapatkannya dari Lisa.
“Apakah pemandian air panas itu cukup terkenal?” tanya Pande lagi yang disambungnya dengan gumaman tak jelas. “Harusnya sih terkenal. Mengingat mungkin itu satu-satunya pemandian air panas yang ada di—”
“Tempat itu tidak hanya terkenal di kalangan para militer dan pejabat tinggi saja. Para turis dari dalam maupun dari luar juga tahu hal itu.” ditatapnya Wira yang masih mengaduh kesakitan dengan datar. “Harusnya bos preman kalian juga tahu berhubung tempat itu sudah berdiri selama 25 tahun.” tatapan datar dari Kadek Ari pun serempak diikuti oleh Pande dan juga Lisa. Namun, yang sedang ditatap hanya menjawab dengan mengangkat kedua bahunya.
“Aku tidak pernah mendengar ada pemandian air panas, apa itu namanya? Ni...ni...nihomo?”
“Nihon, bego!!” teriak Pande dan Lisa frustasi.
“Ah, ngomong-ngomong, Wira.” Kadek Ari mengalihkan topiknya sejenak. “Sebelum aku lupa, bayar uang sewamu sekarang!”
“Aduh, Mbok ini! Saya lagi gak punya uang.” jawab Wira antara jujur dan bohong.
“Jangan coba-coba menipuku. Tiap minggu aku selalu melihatmu membawa bahan makanan yang enak-enak. Seperti minggu lalu, kamu ada bawa ayam. Sekarang ada bawa ikan laut. Itu berarti kamu lagi banyak punya duit kan? Biasanya kan kamu makan mie instan.”
“Eh, Bu Cerewet! Sejak kapan saya punya banyak duit? Dan juga, mentang-mentang saya pulang bawa bahan makanan yang enak-enak ibu pikir saya lagi banyak duit?!” balas Wira jengkel setengah nyawa.
“Kalau begitu, selama ini kamu dapat uang untuk beli itu darimana?”
“Jangan tanyain saya dong, Bu! Tanya saja sama rumput yang bergoyang!!”
“Uh, anu, Bang Wira?” suara Pande memecah keributan yang diciptakan oleh Wira dan Kadek Ari. Kedua orang tersebut menoleh ke asal suara. “Sebenarnya aku tidak ingin mengganggu acara debat kalian, hanya saja...”
Tahu pembicaraan ini terdengar serius dan mengarah kemana, Wira akhirnya memutuskan untuk menyudahi acara berdebat dengan ibu kosnya. Ditatapnya anak buah laki-laki culun yang ada dihadapannya dengan tajam.
“Jadi, kalian berdua bagaimana?”
“Tentu saja kami akan membantu mereka!”
“Berhubung kita dibayar, pasti upahnya besar.” jawab Pande dan Lisa tak kalah semangatnya dengan bos mereka.
Sudah menjadi langganan bagi mereka bertiga selama menjadi preman, mereka selalu dimintai bantuan baik itu dari warga sekitar maupun dari tetangga desa yang berada diseberang sana. Kerjasama dan kekuatan mereka sangat diakui banyak orang. Walau bekerja sebagai preman, tindakan mereka tidak menunjukkan hal itu, bahkan yang terjadi malah sebaliknya. Sebagai gantinya, mereka akan meminta uang iuran kepada para penduduk atas kerja keras mereka membantu orang lain. Terdengar tidak ikhlas memang, tapi ada kalanya mereka tidak meminta uang iuran kepada para penduduk dilihat dari situasi dan kondisi sang klien.
Namun tak lama, kebersamaan mereka untuk bekerja sebagai preman sempat terhenti sementara lantaran Pande dan Lisa sudah menemukan pekerjaan baru mereka. Wira tidak berniat mencari pekerjaan lain karena dia lebih suka dengan pekerjaannya sekarang dan dia bangga akan hal itu—yah, walau sempat mengaku miris juga sih.
“Lalu, pekerjaan kalian?” pertanyaan dari Wira sempat membuat kedua anak buahnya bungkam. Mereka berdua nampak sulit untuk membuang suara. “Apapun yang terjadi, kalian harus tetap bekerja sesuai dengan pekerjaan kalian masing-masing. Entah itu bekerja di salon ataupun di bank.” Wira mulai menceramahi kedua anak buahnya seperti biasanya. “Kalian tahu, mencari pekerjaan itu sangat sulit apalagi di jaman sekarang. Harusnya kalian bersyukur dengan pekerjaan baru kalian.”
“Tapi, Bang Wira—”
“Tiap bulan kan kalian digaji. Gak kayak jadi preman yang belum tentu digaji dan bisa makan tiap hari.” potong Wira malas. “Bahkan bayar uang kos saja gak bisa.” Kadek Ari memalingkan wajahnya mendapat sindiran dari Wira. “Sekarang kalian punya bos baru. Ikuti perintah bos baru kalian. Jangan sampai—”
“Kami lebih memilih bekerja denganmu daripada bersama dengan bos kami yang sekarang.” pengakuan Lisa membuat mata Wira terbelalak kaget. “Entah kenapa, kami lebih nyaman bekerja dengan Bang Wira.”
“Yah, walaupun kita sering bertengkar, kalang kabut cari uang untuk makan, gak pernah digaji. Tapi, jika bekerja bersama dengan orang yang tidak sehati dan sejalan dengan kita, sama saja membuang-buang waktu kan?” sambung Pande semangat 45. “Daripada kami mati di usia muda karena stres dengan bos baru kami, lebih baik kami bekerja dengan Bang Wira. Kami merasa nyaman jika bos kami adalah kau!”
“Iya! Jadi, mari kita bekerja seperti dulu lagi!” tak lupa Lisa menambahkan. “Hanya Bang Wira yang membuat kami nyaman jika bekerja bersamamu!” mendengar pengakuan tak terduga dari kedua anak buahnya, Wira hanya bisa menampakkan seringai iblisnya yang tak dimengerti oleh kedua anak buahnya.
“Yah, jika kalian yang meminta.” balas Wira segera melangkahkan kakinya keluar dari warung makan milik Kadek Ari.
“Bang Wira!” seru kedua anak buahnya kompak begitu senang sembari mengekori bosnya dari belakang.
“Tapi, jangan salahkan aku jika kalian nanti dipecat.”
“Ah, itu mah gampang! Nanti balik lagi jadi preman.” ucap Lisa santai sembari mengekori bosnya dibelakang.
“Cih! Siapa juga yang mau menerima bocah ingusan sepertimu.”
“Apa? Mau ngajak ribut lagi ya, om perjaka?!”
“Apa kau bilang?!”
“Hei, sudahlah, kalian berdua.” lerai Pande terlihat pasrah.
“Pande!” teriak Kadek Ari dari kejauhan. Segera saja orang yang dipanggilnya berbalik arah mendekati pemilik warung.
“Ada apa, Mbok?”
“Ini.” Kadek Ari menyerahkan 3 lembar tiket kereta api pada lawan bicaranya. “Besok kalian berangkat jam 7 pagi. Kira-kira lama perjalanan 2 jam. Suruh bosmu yang kurang ajar itu dan Lisa untuk mempersiapkan semuanya dan jangan sampai terlambat!” jelas Kadek Ari panjang lebar.
“Baik. Terima kasih banyak, Mbok Dek Ari. Kami pergi dulu!”
Percakapan panjang mereka dari siang hingga sore hari pun berakhir. Dari kejauhan Kadek Ari memperhatikan ketiga punggung lebar, kokoh, dan kuat mereka dengan perasaan campur aduk antara senang dan merasa bersalah.
“Maafkan aku, semuanya.”
**********
Keesokan harinya. Jam 9 pagi.
“Akhirnya sampai juga~” ucap Pande setelah keluar dari gerbong kereta api.
Namun, belum saja mereka melangkahkan kaki menuju Gunung Lempuyang, udara dingin pegunungan menyapa kedatangan mereka. Otomatis tubuh mereka menggigil kedinginan disambut seperti ini.
“Kampret! Sebenarnya kita lagi di kutub utara atau di gurun sahara sih?!” keluh Wira sembari memeluk tubuhnya sendiri. “Bu Cerewet itu gak bilang-bilang lagi kalau kita bakalan disambut sama udara dingin kayak gini.”
“Bahkan mataku yang sedari tadi merem selama perjalanan saja langsung melek. Gak jadi deh lanjut tidurnya.” imbuh Lisa menambahkan dengan sedih.
Saat ini mereka tengah menginjakkan kaki di Stasiun Buleleng yang jaraknya hanya 1 km dari Desa Banjar. Dari stasiun saja mereka sudah disambut udara dingin Gunung Lempuyang. Jika mereka masuk lebih dalam apalagi menginjakkan kaki di Gunung Lempuyang, udara dingin bagai salju akan menusuk tulang rapuh mereka. Para penduduk disini sudah terbiasa menghadapi suhu dingin seperti ini apalagi saat mereka sedang bekerja hanya dengan bertelanjang dada—khususnya bagi para lelaki—mereka tidak akan masuk angin dan pulang minta dikerok oleh istri tercinta.
“Sudahlah, ayo jalan. Aku gak mau mati kedinginan disini.” Wira mengakhiri keluh kesah mereka dan segera pergi meninggalkan stasiun menuju Desa Banjar.
Keindahan Desa Banjar patut diacungi jempol. Bagaimana tidak, keindahan alam yang tergambar mulai dari sawahnya yang berundak-undak, berbagai jenis tanaman obat, sayuran, buah, pohon-pohon rindang menghiasi pekarangan penduduk desa, rumah-rumah kayu yang memiliki pahatan burung garuda menjadi ciri khas Desa Banjar. Air sungainya pun begitu jernih. Saking jernihnya bisa melihat bebatuan dan ikan-ikan kecil yang tinggal disana. Tak jarang banyak anak-anak yang menghabiskan waktu mereka untuk bermain disana dan orang-orang yang hobi memancing menjadikan sungai itu sebagai tempat mereka untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Dengan keindahan alam diimbangi dengan kesadaran hukum penduduk desa untuk menjaga dan melestarikan karya Sang Pencipta, membuat desa ini tetap terjaga kelestarian dan kebersihannya.
Di Desa Banjar sendiri memiliki satu tempat khusus bagi para militer Indonesia untuk dijadikan sebagai tempat pelatihan dan tempat pemandian air panas yang sangat terkenal. Tempat khusus bagi para militer untuk berlatih ini ada disekitaran Gunung Lempuyang dan sudah didirikan sejak Jepang menjajah Indonesia. Namun karena sudah angkat kaki, tempat ini sekarang menjadi milik Indonesia. Karena Desa Banjar dan Gunung Lempuyang sudah dibuka untuk umum, ada beberapa lokasi yang terpaksa dilarang untuk dikunjungi para wisatawan karena merupakan wewenang pihak militer Indonesia.
“Apa? Hari ini tutup lagi?” ucap pria militer A terkejut setengah mati.
“Iya, maaf ya. Untuk sementara kami belum bisa buka.” balas seorang ibu-ibu berkepala lima, berparas cantik, dan memiliki wajah oriental kepada pria militer yang ada dihadapannya.
“Memangnya ada apa sampai tempat pemandiannya harus ditutup?” tanya pria militer B yang merupakan teman seangkatan pria militer A.
“Kolam pemandiannya harus dibersihkan dulu. Butuh waktu lama untuk membersihkannya. Soalnya kolamnya kan cukup luas.” jelas ibu itu murah senyum.
“Yah, apa boleh buat.” jawab pria militer A pasrah.
“Kalau begitu kita kembali ke camp saja.” usul pria militer B yang disetujui oleh temannya.
“Baiklah. Bu, kami permisi dulu ya.” ucap pria militer A pamit undur diri diikuti temannya.
“Oh~” suara berat seorang pria lain sedikit mengejutkan ibu-ibu berkepala lima yang asyik menyapu halaman depan usai meladeni kedua pria militer tadi. “Jadi, ini yang namanya Pemandian Air Panas Nihomo-Indoneshia?”
“Nihon, Bang Wira. Nihon.” ralat Pande cepat.
“Ah! Pasti kalian temannya Dek Ari ya? Yang jadi preman di Desa Suka Mundur itu!” kata ibu-ibu berkepala lima heboh berbalik badan menunjuk Wira, Lisa, dan Pande secara bergantian.
“Y-Ya, itu benar.” jawab Lisa tak tahu harus membalas apa.
“Mari, masuk ke dalam. Kalian pasti sangat kedinginan.” ucap ibu-ibu berkepala lima itu mempersilahkan tamu yang ditunggu-tunggu olehnya.
Dalam waktu 45 menit mereka bertiga sudah sampai di depan halaman Pemandian Air Panas Nippon-Indoneshia. Ketika Pande, Lisa, dan Wira masuk ke dalam kediaman pemandian air panas, mulut mereka sontak menganga lebar mendapati ruangan interiornya begitu mewah dan unik dengan perpaduan budaya Jepang dan Indonesia.
“Silahkan duduk, silahkan duduk.” kata ibu itu lagi menyuruh mereka duduk di kursi sofa di ruang tamu.
“Tamunya sudah datang ya?” imbuh seorang pria tua bermata sipit memakai kimono berwarna biru tua sedang berdiri di depan meja resepsionis dengan buku dan pulpen di tangannya.
“Iya. Mereka orang-orang yang dibilang Dek Ari itu.” jawab ibu-ibu berkepala lima mengiyakan.
“Nak, tolong siapkan teh hangat dan snack untuk 3 orang ya!” teriak pria tua bermata sipit itu entah kepada siapa.
Para tamu yang masih terhipnotis akan desain interior tempat pemandian air panas ini mendadak terbangun dari lamunannya ketika mendengar pria dan wanita tua itu memperkenalkan diri mereka.
“Perkenalkan, saya Nakamura Sougo. Dan ini istri saya, Ratih.” jelas Nakamura yang berdiri di samping istrinya usai sibuk dengan pekerjaannya di depan meja resepsionis.
“Saya Anak Agung Ratih Dewi, salam kenal.”
“Kami pemilik dari tempat pemandian ini.” sambung Nakamura hampir lupa. Orang pertama yang merespon salam perkenalan suami-istri itu adalah Wira dengan tatapan tak percaya.
“Orang Jepang...bahasa indonesia juga...” gelak tawa sempat menghiasi situasi saat itu untuk sesaat.
“Iya, saya orang Jepang dan bisa berbahasa indonesia.”
“Wah, hebat sudah pasif!” sela Lisa memandang pria bermata sipit itu takjub.
“O-Oh, perkenalkan saya Pande. Wanita ini Lisa dan disebelahnya ada Bang Wira.” buru-buru Pande ikut memperkenalkan diri sebelum ketinggalan.
“Maaf membuat kalian menunggu lama.” mendengar ada seorang wanita lain yang bersuara membuat kelima kepala mereka menoleh menuju asal suara. Wanita itu akhirnya menampakkan batang hidungnya dihadapan semua orang sambil membawa nampan berisi 3 gelas teh hangat dan jajanan basah khas Indonesia.
Untuk kedua kalinya, Wira menatap wanita yang sedang sibuk menaruh gelas dan piring jajanan dihadapan mereka dengan wajah tak percaya. Rambutnya yang dipotong pendek model laki, kulit putih pucat dan bekas jahitan panjang di mata kirinya masih tetap sama seperti 20 tahun yang lalu. Saking tidak percayanya, Wira sampai berdiri menunjuk wanita berambut pendek model laki itu.
“K-K-Kau...!” kata Wira gagap. Semua orang terkecuali sang objek hanya memandang mereka berdua bergantian.
Walau jantung berdegup kencang, napas sempat tercekat, suara tak kunjung keluar, keringat dingin mengucur di pelipisnya, wanita itu tetap berusaha untuk bersikap tenang dihadapan Wira.
“Ti-Ti-Tia?!”
“Bagaimana kabarmu...?” ucap Tia memberi senyum terbaiknya sebagai ganti dari pertanyaannya yang sedikit menggantung.
[Catatan]
[1] Jepang-Indonesia.