#Wira Point of View#
“Ti-Ti-Tia?!” kulihat wajahnya memberikan senyuman terbaiknya dan kudengar pertanyaannya yang sedikit menggantung. Walau sempat merasa ada yang aneh, perasaan itu menjadi hilang seketika karena diriku masih syok mendapati seseorang yang dulu gagal kulindungi kini berdiri tegak didepanku. Kuamati dirinya lekat-lekat dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Masih sama!, batinku tak percaya. Dia tidak pernah berubah, termasuk luka itu!
“Bang Wira!” sontak aku terkejut mendengar namaku dipanggil begitu galaknya. “Bang Wira denger gak tadi aku tanya apa?” telingaku mendengar suara keluh kesah yang berasal dari Pande.
“O-Oh, iya. Aku denger kok.” jawabku berbohong.
“Tsk. Apanya yang denger kalau matanya dari tadi ngeliatin kakak cantik ini.” ejek Lisa padaku.
“Eh, bocah! Kenapa giliran Tia kau memanggilnya dengan sebutan kakak cantik sedangkan aku dengan sebutan om-om perjaka?!”
“Om-om...perjaka?” menyadari jika pertanyaanku menjadi senjata makan tuanku sendiri, buru-buru kuberalih pandangan dan mulai menjelaskan pada wanita yang seumuran denganku.
“Uh, itu...jangan dipikirkan. Aku bukan om-om—”
“Iya, dia itu om-om perjaka.” cela Lisa membuatku naik pitam.
“Kurang ajar kau, bocah sialan!”
“Masa di usianya yang mulai beranjak tua dia masih perjaka? Setidaknya dia—”
“A-Anu, maaf jika teman kami kurang sopan saat berbicara.” kulihat Pande segera membungkam mulut Lisa dan meminta maaf pada khalayak ramai atas perkataannya barusan. Dia memang sempat memberontak tapi setelah mendengar ancamanku akhirnya Lisa menyerah juga.
“Kalau kau tidak bisa diam, aku tidak akan memberikan jatah makananku padamu.” bisikku di telinga kirinya. Spontan saja Lisa langsung kembali jinak.
“Maaf jika perkataanku tadi tidak sopan.”
“A-Ah, iya-iya.” kata Tia nampak kebingungan membalas pernyataan Lisa.
“Astaga~ Dia lucu sekali!” kata Bu Ratih gemas. Terlihat dari sikapnya yang mulai mencubit kedua pipi Lisa.
Yah, kuakui memang wajah Lisa itu sangat imut seperti anak kecil berusia 5 tahun. Tapi anehnya, dari penampilan Lisa antara wajah dan gaya berpakaiannya tidaklah harmonis. Bayangkan wajah imutnya yang mirip anak kecil berusia 5 tahun dipadukan dengan gaya berpakaiannya yang seperti anak laki-laki. Makanya jarang ada orang yang percaya jika dia itu anak preman. Ditambah suaranya yang bisa berubah dari rada-rada berat menjadi imut mirip suara anak kecil—jurus ini akan dikeluarkan jika keinginannya tidak dapat terpenuhi atau mencari belas kasihan kepada orang lain. Emang licik banget bocah yang satu ini.
“Andai kata kau itu anak kami...”
“U-Uh, Bang Wira, ibu itu gak salah ngomong kan?” bisik Pande padaku. Kubalas bisikannya di tengah-tengah mataku yang masih terpaku menatap suami-istri itu yang sibuk memanjakan Lisa.
“Enggak kok. Kita saja yang salah cerna kalimatnya. Mana mungkin ada orang tua yang mau menjadikan bocah sialan itu sebagai anak angkat mereka.”
“Bagaimana kalau anak ini kita jadikan sebagai anak angkat kita?” tanya Pak Nakamura meminta restu dari orang-orang disekitarnya.
“Setuju!” aku dan Pande langsung terkena serangan jantung mendengar jawaban yang dikeluarkan oleh Bu Ratih dan Tia.
“Jangaaann!!!” tak mau kalah, kami segera berteriak kencang menolak reklamasi yang diungkapkan Pak Nakamura. Bisa kurasakan tatapan heran bercampur bingung dari suami-istri itu dan Tia, bercampur tatapan tajam menusuk bagai belati dari Lisa mengarah padaku dan Pande tentunya.
“Memangnya kenapa?” tanya Bu Ratih membuka suara.
“Da-Daripada membahas anak angkat, bagaimana kalau kita membahas tentang pekerjaan yang kalian berikan pada kami?” segera kuberi acungan jempol pada anak buahku yang terlihat sangat culun.
Kau hebat, Pande!, seruku melalui kontak mata padanya. Kulihat cengiran lebar dari wajah culunnya.
Hehe! Siapa dulu dong orangnya.
“Iya, benar juga.” samar-samar kudengar Pak Nakamura berbicara entah pada siapa. “Nak Tia, tolong antarkan tamu kita ke kamar mereka masing-masing ya. Setelah itu, tolong bawa mereka berkeliling pemandian air panas dan jelaskan tugas mereka.” jelas Pak Nakamura memberi tugas bejibun banyaknya pada Tia. Mungkin jika aku jadi dirinya, aku sudah pingsan di tempat. “Maaf, aku tidak bisa menemani kalian karena masih sibuk mengurus keperluan pemandian air panas.” sambungnya terdengar merasa bersalah.
“Aku juga minta maaf termasuk padamu, Nak Tia.” imbuh Bu Ratna sedih.
“Eh?”
“Aku harus pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan untuk makan malam nanti. Kau bisa mengurusnya sendiri kan?”
“Tentu. Serahkan padaku.” kulihat senyumnya mengembang seperti yang dia berikan padaku.
“Aku harap kalian betah tinggal disini.” ucap Bu Ratih ramah pada kami bertiga.
“Anggap saja rumah sendiri.” sambung Pak Nakamura tak ketinggalan.
“Kami permisi dulu.”
“Terima kasih untuk semuanya.” ucap kami bertiga kompak kepada pemilik pemandian air panas sebelum mereka pergi meninggalkan tkp.
“Ah, maaf jika aku lupa memperkenalkan diri.” ucap Tia meminta maaf. “Namaku Putu Tia Jayanti. Aku temannya dia.” tunjuk Tia kearahku. Sebenarnya aku ingin protes padanya namun tak lama perasaan tak enak mulai menggangguku. Kuperhatikan wajah tidak percaya terpampang jelas di wajah Lisa dan Pande.
“Kalian masih tidak percaya jika aku ini temannya Tia?” tanyaku geram. Dan jawaban yang kuterima menusuk urat nadiku.
“Enggak.” jawab mereka berdua kompak datar.
“Kenapa?!”
“Jangankan pria, wanita saja tidak akan sudi menjadi teman yang punya sifat malas dan sombong tingkat dewa sepertimu.”
“Wajar Kak Tia tidak mau menyebut namamu. Mengakuimu sebagai seorang teman saja dia terpaksa apalagi menyebut namamu.” aku benar-benar sakit hati dikatai kata-kata jahat seperti itu.
“Heh, bocah sialan! Cowok culun! Kalian tidak tahu ya? Aku ini—”
“Maaf.” baru saja aku ingin marah-marah, suara Tia mengacaukan semuanya. “Bukannya aku ingin memotong tapi, sebaiknya kita bergegas. Pekerjaan yang menumpuk akan cepat selesai jika kita segera menyelesaikannya.”
Yang dikatakannya ada benarnya juga. Daripada kami menghabiskan waktu dan kubuang energiku yang sia-sia, kami putuskan untuk mengakhiri pertengkaran tak penting ini dan mengekori Tia yang mulai menjelaskan sembari menunjukkan beberapa ruangan yang ada disini.
**********
“Ini tempat kamar para tamu yang ingin menginap disini, sedangkan kamar kalian ada di belokan berikutnya.” jelas Tia pada kami bertiga.
“Nanti malam aku boleh tidur denganmu, Kak Tia? Kalau di tempat baru aku tidak bisa tidur. Butuh adaptasi yang sangat lama—”
“Heh, bilang saja kamu takut tidur sendiri, Lis.” ledek Pande menyatakan fakta yang sesungguhnya.
“Sembarangan saja kalau ngomong! Aku memang gak bisa tidur kalau di tempat baru!”
“Iya-iya, percaya aja deh.” balas Pande malas.
“Iih, awas kau ya, cowok culun!”
“Apa kau bilang, bocah sialan!” sempat terjadi adu pandang yang sengit antara Lisa dan Pande. Tia yang melihatnya hanya bisa memandang mereka berdua pasrah.
“Hei-hei, gak baik lho kalau bertengkar terus.” dan bla bla bla. Sisanya aku tidak mendengarnya lagi.
Memang kedua mataku yang mirip kelereng ini tengah memandangi mereka yang berada didepanku tapi, tak satupun dari tingkah laku konyol bahkan penjelasan dari Tia yang masuk ke dalam telinga dan diteruskan diotakku untuk kuingat. Bukannya aku terlalu malas untuk meladeni kedua anak buahku dan menghapal semua penjelasan dari Tia, hanya saja dirinya itu lho yang tidak dapat lepas dari pandanganku!
Entah itu rambutnya, tatapan matanya, bibirnya, senyum dan tawanya, bekas jahitan di mata kirinya, tubuhnya yang terlihat kurus dari sebelumnya, kulitnya yang putih pucat tak bisa hilang dari ingatanku. Mungkin saking rindunya aku pada dirinya yang sudah tidak bertemu selama 20 tahun sejak perang itu, aku sampai terpana melihat dirinya. Seakan-akan aku melihat malaikat yang nyasar ke bumi. Saking tidak berkonsentrasinya diriku karena dia, sejenak lamunanku dibuyarkan karena kurasakan ada seseorang yang menarik bajuku.
“Bang Wira! Bang Wira!” kutoleh kepalaku dan mendapati Lisa sedang menarik-narik bajuku. Pandangannya lurus ke depan, mulutnya sedikit terbuka, matanya berbinar seperti orang kepo. Kutanya dia baik-baik.
“Kenapa, Lis?”
“Bang Wira, coba lihat disana!” kepalaku gantian jadi menoleh kedepan sesuai instruksi jari telunjuknya. “Benda apa itu?”
Mata kami melihat ada sebuah benda yang berukuran besar, dicolok ke listrik, berbentuk persegi panjang, kira-kira tingginya 160 cm, dan memiliki satu pintu. Penasaran, kami langsung mendekatinya.
“Ngomong-ngomong, kita dimana, Lis?” tanyaku tersadar saat kulihat ada beberapa rak berisi panci, piring, dan kompor tersusun di sudut ruangan.
“Lagi di dapur, Bang.”
“Ngapain?”
“Gak tahu. Palingan Bang Wira disuruh cuci piring.” balas Lisa tak menggubris tatapanku yang setajam silet. Kedua bola matanya masih memandangi benda misterius itu namun kali ini lebih teliti. “Aku belum pernah melihat benda seperti ini.” katanya kembali ke topik. “Kalau Bang Wira gimana?” kutatap benda misterius itu ragu.
“Hm, entahlah.”
“Apa ini pintu kemana saja? Kayak di kartun Dorae—”
Plok!
“Bukan, bego! Ini bukan pintu kemana saja!” potongku sembari memukul kepalanya. “Pintu kemana saja gak ada dicolok ke listrik!”
“Kalau gitu ini apa dong? Aduh!” tanyanya kembali sembari menahan rasa sakit yang didapatkannya dariku.
“Coba kau buka.” perintahku mengulur waktu sembari memikirkan jawaban yang masuk akal. Ketika Lisa membukanya, ada lampu terang dan udara dingin keluar dari benda misterius tersebut.
“Wah, Bang Wira, didalam rasanya dingin!” seru Lisa seperti anak kecil. Aku yang merasakannya juga tertegun melihatnya.
“Kau benar.”
“Jadi, Bang Wira sudah tahu benda apa ini?”
“Eh?” pertanyaan Lisa tadi begitu memojokkanku.
Sialan nih bocah! Dia sengaja berkata seperti itu karena dia tahu aku gak tahu nama benda itu kan?!, batinku menahan emosi yang makin membludak. Benda ini juga, kenapa harus nongol di waktu yang gak tepat sih?!
“Jadi, gimana Bang Wira?” pertanyaan terakhir Lisa makin membuat keringat dingin dan rasa gugupku keluar dari sarangnya.
“I-I-Itu...namanya—”
“Kulkas.” kudengar suara Pande dari arah belakang kami menjawab dengan cepat.
“Kulkas?” beo Lisa tidak begitu kugubris karena kini aku sedang sujud sembah berterima kasih kepada Pande yang sudah menyelamatkanku dari bahaya yang mengancam—aku benar-benar tidak sujud sembah didepannya lho ya! Aku sujud sembah melalui khayalan yang kubuat sendiri!
“Atau nama lainnya lemari es, sama saja. Kedua nama itu memiliki arti yang sama.” balas Tia menjawab pertanyaan beo Lisa.
“Oh, begitu.”
“Darimana kau tahu?” tanyaku penasaran.
“Darimana aku tahu, ndasmu! Harusnya itu kau yang tahu, bukannya aku!” teriak Pande frustasi.
“Aku kan dari kalangan bawah, mana mungkin mengetahui yang namanya alat canggih. Bahkan TV saja aku tidak punya.”
“Memangnya kau itu semiskin apa sih, Bang?” tanya Pande tak mengerti.
“Fungsi dari kulkas ini apa, Kak Tia?” tanya Tia beralih mencari seorang informan yang dapat dipercaya.
“Fungsinya untuk menyimpan makanan beku, minuman, sayuran dan buah-buahan. Kira-kira seperti itulah.” jelas Tia penuh perhatian.
“Wah, hampir semua bisa disimpan ya!” seruku masih tertarik akan benda yang bernama kalkus atau lemari berisi es atau apalah namanya. “Kalau semua bisa disimpan, kira-kira hatiku yang dilanda panas membara ini bisa didinginkan tidak ya?” padahal aku bertanya pada Tia, namun tak kusangka rupanya ada orang lain yang membalasnya.
“Bang Wira, kamu lagi ngegombalin siapa?” pertanyaan pertama yang menusuk di dada datang dari Lisa. “Inget, Bang, kulkas itu benda mati. Gak bisa dikawinin.”
“Jangankan hatimu, otakmu yang sengklek saja bisa didinginin disana.” pernyataan kedua datang dari Pande.
“Tsk. Asal kalian tahu, otakku ini gak sengklek-sengklek amat!”
“Gak mungkin. Buktinya sama yang namanya kulkas saja gak tahu. Padahal kau lahir jauh sebelum kami.” ejek Pande mempertahankan argumennya.
“Cih, jangan sombong mentang-mentang kau sudah tahu segalanya.” jawabku acuh tak acuh.
“Bang Wira sendiri bukannya suka berlagak sombong?” Pande masih membalas tak mau kalah.
“Kau...! Berani-beraninya sama orang—”
“Ppfftt!” kudengar suara tawa tertahan berasal dari mulut Tia. Tampak kedua bahunya berguncang naik turun, tangan kirinya memegang perut sedang tangan kanannya menutup mulutnya sendiri. Tidak hanya aku saja, Pande dan Lisa juga bingung melihatnya.
“Ti-Tia...” panggilku ragu.
“Kau ini, dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah ya, W—” aku begitu terkejut mendapati dirinya kembali menutup mulutnya erat. Sebelumnya aku yakin, Tia pasti ingin menyebut namaku tapi, kenapa dia tahan?
“Tia, kau kena—”
“Ah, sebaiknya kita bergegas. Ada satu tempat lagi yang belum aku tunjukkan pada kalian semua.” katanya lalu pergi meninggalkanku dan Pande berdua di dapur.
Lisa sendiri sempat diajak pergi olehnya, walau raut wajahnya sempat menunjukkan tanda tanya, “Apa yang harus kulakukan?”, pada kami. Dengan cepat kuberi satu isyarat tangan padanya yang berarti, “Pergi saja. Nanti kami menyusul.” Dan akhirnya, tersisalah kami berdua di ruang dapur dengan suasana yang sunyi mencekam.
“Bang Wira, apa kau—”
“Tidak.” jawabku cepat. “Aku tidak baik-baik saja.” sambungku lalu melangkahkan kedua kakiku gontai sembari menundukkan kepalaku dalam-dalam. Saat ini aku tidak peduli lagi akan beribu tatapan yang ditunjukkan Pande padaku. Entah kenapa, baru kali ini aku merasa kecewa akan sikap yang ditunjukkan Tia padaku.