Setelah aku tertidur hampir lebih dari 10 jam, aku terbangun. Saat aku terbangun, ternyata AKU SUDAH SAMPAI DI LAX tepatnya jam 2 siang!!! It’s a heaven in the world! It’s my dream! Oh my God! Akhirnya aku sampai juga di LAX! Setelah turun dari pesawat dan menuju imigrasi, aku mengirim kabar ke mama, papa, dan Davin. Tidak lupa juga aku memberi kabar kepada Dion jika aku sudah sampai di tempat pertemuan pertama kita nanti. Ini hari pertengahan antara hari pertama dan hari kedua. Setelah mengantri koper di imigrasi dan pengecekan visa, paspor, dan lain-lain, aku keluar dari imigrasi. Di situ, ada banyak orang yang memegang tulisan nama seseorang yang mereka cari. Aku mencari Dion dan tidak memperdulikan papan nama itu karena tidak mungkin Dion memakai papan nama untuk mencariku. Saat aku berjalan sambil melihat-lihat, ada sesuatu yang menarik perhatianku untuk melihatnya. Seorang cowok yang sedang menunduk sambil memainkan ponselnya memegang papan yang bertuliskan “Searching for my Ex-Girlfriend from Indonesia”. Ia menelpon seseorang dari telepon gengamnya. Tiba-tiba ponselku bergetar menandakan ada telepon masuk. Benar saja dugaanku, itu adalah Dion. Oh my God, Dion. Ya aku tau kita sudah menjadi mantan, tetapi apakah harus ditampakkan seperti itu?
Aku segera menghampiri Dion yang masih sibuk menelponku dan tidak sadar jika aku sedang menghampirinya. Kalau aku masih pacaran dengannya, pasti aku sudah memeluknya sangat erat sambil berlinangan air mata. Sayang sekali kami sudah menjadi mantan, jadi saat bertemu malah keadaannya menjadi canggung.
“Hai.” sapaku canggung.
“Hallo, udah lama ya gak ketemu. Jadi, sekarang mau kemana dulu?” ujar Dion dengan dingin.
Dion sangat berbeda di sosial media dan di sini, atau ini faktor hubungan kami?
“You told me that you have a plan.”
“Mmm, yes, we must be back to my apartement first.”
Aku dan Dion pergi ke parkiran mobil. Kami berhenti di depan satu mobil yang super keren menurutku, warnanya merah menyala dan hanya memiliki 2 pintu. Dion menekan tombol di kunci mobilnya lalu mobil yang baru saja aku lihat itu terbuka. Jadi ini mobil Dion? Wow! Dion membawa mobil itu sendiri. Kami masuk ke mobil. Aku duduk di bangku depan karena memang bangkunya hanya ada di depan. You’re so cool, Dion!
Di perjalanan, aku hanya mendengar lagu dari radio, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku atau Dion. Aku sudah seperti diculik pangeran tampan. Ingin menolak, tetapi tidak bisa. Ingin memulai, tetapi takut. Ya sudah lah, apa salahnya mencoba memecahkan suasana yang hening bagaikan gurun pasir ini.
Aku menoleh ke Dion yang sedang fokus menyetir mobilnya. Aku jadi sedikit mengurungkan niatku karena tidak kuat melihat ketampanan mantanku yang sedang fokus ini.
“Kok lo boleh bawa mobil sih?” tanyaku dengan sedikit gugup.
“Ya, kenapa gak boleh?” jawab Dion dingin.
“Ya kali aja.”
“Lu beres-beres aja dulu nanti. Apartemen gua ada 3 kamar kok, satu emang khusus buat tamu.”
“Kenapa gak di hotel aja?”
“Lu mau di hotel sendirian 4 hari?” pertanyaan Dion menjebak dan menoleh kepadaku.
Tatapan matanya spontan membuatku kaget. Aku sangat rindu akan tatapan ini, tetapi mengapa sekarang sudah berbeda? Sudah tidak lagi menandakan kasih sayang.
“Ya, enggak sih.” jawabku membuang pandangan dari Dion.
“Ya udah.”
Dion sangat dingin, berbeda dengan Dion yang sebelumnya saat kami masih berpacaran. Mengapa aku jadi merasa menyesal sekarang?
Kami berhenti di suatu apartemen yang lumayan megah. Setelah parkir mobil, aku dan Dion berjalan menuju lobby apartemennya. Saat pintu apartemen itu terbuka, aku serasa ada di hotel bintang 5! Tidak terlalu berbeda jauh sih dengan Indonesia, tetapi mungkin ini dibuat lebih nyaman karena rata-rata orang Amerika tinggal di apartemen. Kami menaiki lift ke lantai 4. Aku dan Dion hanya saling diam dan tidak pernah saling memandang. Aku serasa bersama orang asing yang baru saja aku kenal. Kami menuju kamar apartemen Dion. Aku berjalan bersama Dion di lorong-lorong apartemen yang sepi sambil terus menunduk dan tidak berani menatap Dion. Aku sangat ingin memulai pembicaraan dengannya, tetapi entah mengapa aku tidak berani melakukan itu ‘lagi’.
Sesampainya di kamar apartemen Dion, isinya ada ruang tamu, 1 kamar mandi, dan 3 kamar tidur. Dapurnya hanya ada kompor, kulkas, dan wastafel. Ruangan Dion ada di pinggir bangunan apartemennya, jadi aku bisa melihat pemandangan dari jendela samping sofa ruang tamu. Di sana, kami hanya berdua. Aku membereskan semua barangku di kamar khusus tamu. Kamarnya mungkin sudah disiapkan oleh Dion sebelumnya, soalnya kamar ini sangat bagus dan rapih. Semuanya ada di sini, termasuk international charger karena stop kontak di Indonesia dan Amerika itu berbeda.
Selesai beres-beres, aku duduk di sofa ruang tamu sambil melihat samping kanan ke luar jendela apartemen. Aku masih tidak menyangka, sekarang aku di Los Angeles. Tempat yang dulu aku idam-idamkan. Dion duduk di sampingku. Aku sadar ia duduk di sampingku, tetapi aku tidak ingin menoleh kepadanya, hanya berpura-pura tidak sadar. Aku masih bertahan menghadap ke jendela dan mengabaikan keberadaan Dion.
“Udah sore, An. Lu mau jalan sekarang atau besok?” tanya Dion memecahkan suasana.
Akupun menoleh kepadanya.
“Terserah, emangnya kalo mau jalan sekarang kemana?”
“Sekarang jam 5, kalo lu capek ya mulai besok aja jalannya.”
Sudah putus, tetapi masih perhatian ya.
“Ya udah besok aja, by the way where’s your mom?” aku mencoba mencari topik.
“My mom still working, she will comes back at 8 pm.”
Suasana menjadi hening, ini sangat canggung. Benar kataku, ini akan menjadi liburan yang sangat canggung.
“Oh ya, boleh liat plan kita kemana aja?”
“Kalo gua belom buang ya, soalnya waktu itu gua kira lu gak akan ke sini.” Dion berdiri lalu berjalan ke kamarnya.
‘Kalo gua belom buang ya’ sepertinya ia sangat pasrah kalau aku takkan pergi.
Dion kembali dari kamarnya membawa selembar kertas panjang yang sudah lecak, selembar kertas putih yang masih kosong, dan sebuah pulpen. Ia menghampiriku lalu duduk di sebelahku.
“Ini, ternyata masih ada keselip di lemari gua.” Dion memberikan kertas lecak itu kepadaku.
Saat aku melihatnya, itu memang daftar rencana kami selama 4 hari ini, tetapi sudah tidak terlihat dengan jelas. Yang jelas, di atasnya ada judul, dan judulnya adalah “Plan with My Lovely Girlfriend”. Oh my God.
“Tulis ulang lagi aja di kertas kosong” Dion memberikan kertas kosong dan sebuah pulpen.
Aku mengambil kertas kosongnya lalu aku tulis ulang semua rencana kami. Setelah aku salin, aku memberikan kertasnya kepada Dion, tetapi kertas itu belum ada judulnya.
“Kok belom ada judulnya?” Dion mengembalikan kertasnya.
Aku mengambil kertasnya lagi. Aku berpikir apa judul yang tepat untuk rencana ini. Tidak mungkin aku menulis ‘Plan with My Lovely Boyfriend’.
Aha! Judulnya“Plan with My Best Ex-Boyfriend” hahaha.
Setelah aku menulis judulnya, aku memberikan kertasnya kepada Dion. Dion membaca judulnya sambil tersenyum lalu menoleh kepadaku dengan tatapan penuh harapan.
“Plan with my best Ex-Boyfriend. Oh my God, haha. If you realize I’m the best for you, why were we broke up?”
“Haha, Dion. It’s just a title.”
“Ok, it’s just a title.” ia menekankan kembali omonganku.
Daripada aku menulis ‘Awkward Plan with My Awkward Ex-Boyfriend’ haha.
Setelah itu, aku masuk kamar karena aku berpikir kecanggungan ini akan terus berlanjut jika aku masih di sampingnya. Aku memainkan ponselku dan menelpon Davin dengan panggilan video.
“Hai, Diana. Gimana di sana?”
“Di sini enak banget, Vin. I’m serious. Kita bakal muter-muter LA 4 hari ini. Tadi dia ngasih aku kertas putih gitu, tapi judulnya plan with my lovely girlfriend, tapi tadi aku ganti jadi plan with my ex-boyfriend, hehe.”
“Haha, ya ampun. Kamu di sana sama siapa aja selain Dion?”
“Sama mamanya, tapi mamanya belum pulang.”
“Jadi kamu berdua aja? Sekarang Dionnya di mana?”
Ekspresi Davin langsung berubah khawatir saat aku bilang hanya berdua dengan Dion. Tenang saja Vin, Dion sayang sama aku kok, pasti ia akan menjagaku, hahaha pede sekali aku ini.
“Calm down, Vin. Dia di depan kok, aku di kamar tamu. Kamu tenang aja.”
“Oh, oke oke. Ya udah aku tunggu foto-foto kamu di LA ya, bye bye.”
“Byee.”
Aku mematikan panggilan videonya.
Malam hari sekitar jam 8-an, aku keluar kamar dan menonton TV di ruang tamu, Dion sedang mandi di kamar mandi. Ruang tamunya bersebrangan dengan kamar mandi. Ketika Dion selesai mandi, rambutnya masih basah dan wanginya sangat harum! Aduh, Dion... mengapa kamu sangat tampan! Ah, mengapa aku menjadi tambah menyesali ini! Dion harus tanggung jawab!!!
“An, sholat isya dulu. Di kamar gua aja, nanti gua yang imamin.” ajakan Dion yang membuatku benar-benar ‘meleleh’.
Dion! Aku baru menyadari bahwa aku bukanlah liburan ke Amerika, tetapi aku liburan ke surga HAHAHA. Aku segera mengambil air wudhu di kamar mandi, setelah itu menuju kamar Dion. Di kamar Dion, banyak sekali fotoku! Ada yang ditempel di dinding, di bingkai, dan sekadar ditaruh di meja. Aku benar-benar terdiam seribu bahasa! Dion ada apa denganmu?
Selesai sholat bejamaah, kami duduk di ruang tamu. Mengapa sholatnya sangat sebentar sih? Ayo dong cepat-cepat azan subuh, mau sholat lagi nih, haha. Bahagia, lega, canggung, semuanya jadi satu! Aku tidak bisa berkata apapun. Aku jadi ingat janjiku saat SMP dulu, kalau ada cowok yang mengimamiku sholat selain keluarga, aku akan berhijab. InsyaAllah saat kembali ke Indonesia aku akan memakai hijab, tetapi sepertinya aku tidak ingin kembali.
Tak lama kemudian, Tante Pollie pulang. Saat ia membuka pintu, ia melihatku seperti sangat tidak percaya.
“Loh? Diana? Kok di sini?”
“Iya tante, aku dibeliin tiket sama Dion ke sini.”
Tante Pollie segera menghampiri dan memelukku dengan sangat senang.
“Ya ampun!! I’m so excited!”
Aku merasa ia sudah seperti mama keduaku karena ia sudah sangat peduli kepadaku. Ya, walaupun aku dan Dion sudah jadi mantan.
“Okay, after I take a bath, we have to go dinner!” Tante Pollie melepas pelukannya lalu menuju kamarnya.
Aku dan Dion saling bertatapan. Sepertinya, Tante Pollie belum tau kalau aku dan Dion sebenarnya sudah putus. Kalau seperti ini, ia jangan sampai tau. Aku tidak ingin menyakiti perasaannya jika tau tentang ini.
Setengah jam kemudian, Tante Pollie sudah rapih memakai gaun pendek. Aku dan Dion juga sudah berganti baju formal. Di depan apartemen, aku berpikir. Mobil Dion hanya bisa untuk 2 orang, bagaimana caranya untuk 3 orang?
“Ma, kan mobilnya gak bisa.” ujar Dion.
“Aduh, kamu. Naik taksi dong. Diana pasti belum nyobain taksi di LA kan? We better use the public transportation.”
Yah terserah lah, namanya juga dibayarin.
Di dalam taksi, Tante Pollie duduk di depan, aku dan Dion duduk sebelahan di belakang. Kami sama sekali tidak berbicara, hanya ada suara radio yang memenuhi suara di dalam taksi. Aku hanya memainkan ponsel sambil mengobrol dengan Davin.
“Kok pasangan yang di belakang diem aja, sih?” sindir Tante Pollie dari jok depan.
Aku dan Dion saling bertatapan dengan canggung. Ya, aku tidak tau harus mengobrol apa?
“Diana capek, Ma. Biarin aja.”
“Oh iya, simpen energinya buat besok ya, Na.”
“Iya, siap tante!”
Aku tersenyum kepada Dion sebagai ucapan terima kasih. Ia juga membalasku dengan senyuman manisnya yang cukup membuatku terpana sampai lupa daratan.
Sesampainya di suatu restoran yang terlihat romantis, kami duduk di bangku pas di depan air mancur yang diberi lampu berwarna-warni yang menambahkan kesan romantis. Ini makan malam yang sangat romantis, sayangnya aku dan Dion sudah putus. Lagi-lagi aku menyesal. Di sana, kami membicarakan tentang hubunganku dan Dion. Tante Pollie itu sangat senang dan sangat mendukung aku dengan Dion.
“Diana, kamu tuh bener-bener cewek idaman tante banget! Apalagi mama papa kamu itu ustaz dan ustazah kan, pasti bisa membimbing kamu ke jalan yang benar, kalo kayak gitu kan kamu bisa ajak tante sama Dion ikut ke jalan yang benar.”
Aduh, Tan. Jadi tidak enak. Bagaimana ya, Tan. Aku dan anakmu sudah terlanjur putus.
“Hehe iya, Tan.”
“Dion, you have to keep your relationship with Diana. Aku tau, kalian berdua itu saling sayang, kalian harus jaga. Jangan mau dirusak sama jarak dan waktu.”
Aku dan Dion hanya mengangguk.
“Iya, Tan.”
“Yeah, always.” Dion tersenyum kepadaku.
Akupun ikut senyum kepada Dion dengan perasaan yang sangat malu karena kami sudah tidak memiliki status lagi. Aku dan Dion hanya mengiyakan apa yang dibilang Tante Pollie karena kami saling tidak ingin kalau Tante Pollie sampai tau jika sebenarnya kami sudah putus.
“Dion and me will live in here just for next 2 years. After that, we back to Indonesia. Dion akan mengambil S1 di Indonesia, sehabis itu kamu gak boleh lagi pacaran sama Dion.” ujar Tante Pollie yang membuatku bingung dan kaget.
“Hah? Kenapa tante?”
“Because... you will married with Dion.” jawaban Tante Pollie spontan.
What the... aduh! Aku tak pernah berpikir sampai ke sana, sekarang saja kami tidak ada hubungan apapun. Dion melihatku dengan sedikit malu. Aku tetap berusaha menerima apa yang dikatakan Tante Pollie.
Setelah makan malam, kami kembali ke apartemen. Sekarang sudah jam 10 malam, biasanya kalau di Indonesia jam segini aku sudah tidur, tetapi kali ini aku tidak merasakan kantuk sama sekali. Aku pergi ke ruang tamu untuk mengisi kekosonganku dengan menonton TV. Semua channel memakai bahasa Inggris semua, aku tidak seluruhnya mengerti. Tiba-tiba, Dion keluar kamar dengan muka bantalnya sambil membawa guling, memakai baju tidur dan duduk di sofa sampingku.
“Kok lu belom tidur?” tanya Dion dengan muka bantalnya.
Muka bantal saja masih ganteng gitu. Makin-makin deh rasa penyesalan itu tumbuh menggerogoti hatiku.
“Gak bisa tidur.”
“Pasti kena Jet lag, ya? Gua juga gitu kok pertama kali. Ya udah lu nonton TV aja, gua temenin lu di sini.”
Dion ingin menemaniku meskipun ia terlihat sudah sangat mengantuk? Aww.
“Selow, lo tidur aja. Gue di sini sendiri gak papa. Lagian kayaknya lo ngantuk banget.”
“Gak papa, kalo gue ketiduran juga di sini.”
Dion.... Sudah jadi mantan masih saja peduli.
Akhirnya, Dion menemaniku di ruang tamu. Tak lama kemudian, Dion tertidur di sofa, akupun juga tertidur dengan sendirinya.
Keesokan harinya, aku terbangun gara-gara suara Tante Pollie. Saat aku membuka mataku, Tante Pollie sedang berdiri di depanku dan Dion. Ia mengenakan baju kemeja yang rapih.
“Kok kalian tidur di ruang tamu?”
Aku segera bangun dari posisi tidur. Aku baru sadar posisi aku tidur itu duduk dan kepalaku bersandar di bahu Dion, sedangkan posisi Dion menyandar ke tembok. Aku buru-buru bangun dari sofa dan berdiri di depan Tante Pollie.
“Eh tante, rapih banget. Mau kemana, Tan?” tanyaku sekaligus mengalihkan pembicaraan.
“Tante mau kerja dulu, Na. Kamu hati-hati ya. Selamat bersenang-senang and welcome to Los Angeles” senyuman lebar Tante Pollie dan membentangkan kedua tangannya sebagai tanda selamat datang.
“Oke, Tan. Be careful.”
Setelah Tante Pollie pergi keluar kamar apartemen, aku ke kamar mandi untuk mencuci muka. Sehabis itu, aku masuk kamar tamu dan mengobrol dengan Davin.
“Vin, aku baru bangun tidur. Semalam aku gak bisa tidur. Kata Dion aku kena Jet lag. Soalnya jam segitu di Indonesia masih siang, jadi tubuh aku masih belum beradaptasi dan masih menyesuaikan waktu di Indo.”
“Sekarang kamu masih ngantuk dong? Terus gimana?”
“Ya aku masih bisa tidur sih.”
Kalau Davin tau aku tidur bersebelahan dengan Dion, beuh... mati sajalah aku.
“Oh iya, nanti kamu kemana?”
“Gak tau deh, nanti aku kirim fotonya aja.”
“Okay.”
Setelah mengobrol dengan Davin, aku mandi dan memakai baju rapih lalu kembali ke ruang tamu. Aku melihat Dion sudah bangun. Wajahnya sangat lucu, matanya masih sipit-sipit baru bangun. Ia segera menuju kamar mandi.
Selesai Dion membereskan ruang tamu dan kamarnya, kami keluar kamar apartemen dan menuju lantai bawah untuk sarapan pagi. Aku baru sadar, di apartemen kan ada restoran yang lumayan mewah juga, untuk apa segala ke luar naik taksi untuk mencari restoran?
Kami duduk di meja paling pojok samping kaca. Terlihat jalan raya dengan jelas, hanya dibatasi kaca. Dari mengambil makanan, bahkan dari bangun tidur, kami sama sekali tidak pernah berbicara, terdiam seperti jalan dengan patung, sangat canggung.
“Oh iya, gimana pacar lu sekarang?” Dion mencoba memecahkan suasana yang hening.
“Mm, fine.”
“If he’s better than me?”
Not really, but I dunno.
“Mm, I dunno, kan baru 3 bulanan.”
“Wow, setengahnya lagi ngelebihin hubungan kita ya, haha.”
“Ya, maybe.” aku bingung mau jawab apa, haha.
“Hari ini kita ke muter-muter ke Venice, Beverly Hills, terus terakhir ke Santa Monica.”
“Okay.”
Whoa, aku tidak sabar berjalan mengelilingi Los Angeles bersama angel ini.