Ketika aku membuka pesan masuknya, ternyata itu dari Dion.
“Di sini jam 00:00. Happy Failed Mensiversary 6 months, ya. Semoga kita bisa bahagia dengan kebahagiaan masing-masing. Tapi kayaknya dari avatar lu, lu udah bahagia ya, hehe.”
Senyum di bibirku yang berlangsung dua jam ini berubah seketika menjadi linangan air mata. Mengapa dia muncul di saat aku sedang bahagia seperti ini? Aku melihat avatar dan header Dion masih bersamaku di bandara. Aku jadi kembali merasa bersalah atas keputusan mendadak yang salah itu, tetapi aku takkan bisa balik bersama Dion dengan keadaan seperti ini.
“Hai, kok bengong? Jawab aja chat-nya.”
“Mm, nanti aja. Makan mie dulu aja di halaman depan.” ujarku mengalihkan pembicaraan.
Aku menaruh ponselku di atas meja ruang tamu, lalu aku dan Davin membawa mangkuk yang berisi mie ke halaman depan. Kami duduk di halaman depan sambil makan mie yang tadi kami buat. Tiba-tiba ada seseorang yang membuka pagar rumahku, yaitu seseorang dengan motor yang memiliki tas-tas di samping jok motornya, sepertinya itu adalah tukang pos. Aku dan Davin segera menghampiri tukang pos itu.
“Ini dengan rumah Diana, bukan?” tanya tukang posnya sambil membaca suatu paket berbentuk amplop.
“Iya, saya sendiri.”
Sepertinya aku tidak memesan barang apapun. Apa ini pesanan Ka Elvi atau Ka Lia? Namun, mengapa namaku yang disebut?
“Ini ada paket, tanda tangan dulu ya.”
Tukang posnya memberikanku suatu amplop coklat dan selembar kertas untuk tanda tangan. Setelah tanda tangan, aku kembali ke dalam rumah sambil membawa amplop coklatnya. Saat aku membaca siapa pengirimnya, itu dari United States of America dan pengirimnya adalah Dion! Waktu kirimnya 7 hari yang lalu, tepatnya tanggal 17 Januari. Oh my God, 2 hari sebelum aku putus dengan Dion. Aku dan Davin segera membuka isi dari amplop itu. Di situ ada kertas, kaset DVD, dan amplop lagi. Aku membaca tulisan di kertasnya terlebih dahulu, dan tulisannya adalah...
“Hallo, Diana. How are you? Mungkin paket ini nyampenya telat atau kecepetan dari hari mensiversary keenam kita ya. Mungkin kalo ini udah lewat dari hari H nya, aku udah ngucapin panjang lebar ke kamu hehe. Aku gak sabar banget kamu ke LA nih. Maaf ya, aku cuma bisa ngasih ini dan gak dateng langsung ke rumah kamu hihi. Di kaset DVD itu ada video kenangan kita, foto-foto kenangan kita, juga ada beberapa lagu yang aku cover pake gitar buat kamu. Amplop itu, kamu buka paling belakang ya. Soalnya ini yang paling penting. Hehe, udah ya segini dulu bye bye, semoga kita langgeng sampai nanti kita nikah, wait for me to come home next 2 years 6 months. -Love Dion.”
Aku langsung merasa sakit, ini sakit, sakit untukku, untuk Dion, dan untuk Davin. Oh my God, mengapa ini bisa terjadi. Ini sangat telat, hubunganku dengan Dion sudah putus, tetapi paket ini baru sampai pas di hari H mensiversary keenam kita. Aku segera mengambil laptop di kamar dan menyetel DVD itu di laptop. Aku dan Davin menonton video-video yang Dion kasih di laptop. Di situ ada foto-fotoku bersama Dion saat ia masih di Indonesia, tepatnya seminggu sebelum ia ke Amerika. Lalu foto-foto dan video saat kami di bandara, termasuk video yang waktu itu mama rekam. Ada juga chat kami yang ia screenshot. Durasi videonya hampir 4 menit dengan backsound lagu Photograph- Ed Sheeran. Setelah itu, ada video Dion sedang bermain Gitar di Santa Monica beach. Ia menyanyikan lagu Simple Plan – Jet lag.
“What time is it where you are? I miss you more than anything and back at home you feel so far, waitin’ for the phone to ring. It’s gettin’ lonely livin’ upside down, I don’t even wanna be in this town, tryin’ to figure out the time zones makin’ me crazy. You say good morning when its midnight going out of my head alone in this bed, I wake up to your sunset and it’s driving me mad I miss you so bad. And my heart. heart, heart is so jet lagged. Heart, heart, heart is so jet lagged. Heart, heart, heart is so jet lagged, is so jet lagged.”
Aku menahan rasa sedihku sebisa mungkin, tetapi mataku tidak mampu menahannya. Dion sangat menyayangiku, tetapi ia salah. Yang terakhir ada di dalam folder sendiri, itu adalah video. Saat aku membuka video itu, ternyata itu adalah video yang aku buat waktu aku bikin scrapbook. Dion masih menyimpan video itu, padahal menurutku video itu sudah sangat lama. Bahkan, akupun lupa kalau aku pernah membuat video itu.
Davin tau mataku sudah berkaca-kaca. Ia merangkul memelukku dari samping yang membuatku lebih ingin menangis.
“Coba liat yang di amplop.” perintah Davin.
Di amplop ada tulisan lagi,
“I wish you will really excited to know the contain of this envelope. Aku tau aku bawel banget suka ngajakin kamu ke LA mulu, tapi kamu selalu bilang nanti kalo punya uang. Aku udah itung waktu yang tepat, aku udah itung semuanya. I wish you will here with me soon.”
Tanpa panjang lebar, aku langsung membuka amplopnya dan ternyata isinya...
STRUK PEMBELIAN TIKET PESAWAT PULANG PERGI KE LOS ANGELES!
DION ARE YOU CRAZY? THIS IS SO EXPENSIVE!
Lagi-lagi di situ ada tulisan...
“Sekarang, kamu tinggal bikin paspor dan visa. Paspor 3 hari juga jadi, kalo visa ya anggep aja 2 minggu. Kalo udah ada tiket pesawat pasti bisa deh. Oh iya, sekalian lengkapin datanya, itu di belakangnya ada kertas lagi dan itu link tempat aku mesen tiketnya dan kamu lengkapin datanya di situ. Aku berharap banget kamu ke sini secepatnya ya. Maaf aku cuma beliin kamu satu, itu soalnya aku nabung dari 5 bulan yang lalu dan dapetnya cuma segitu, aku udah bikin plan kita mau kemana aja, tenang aja soal uangnya, aku udah ada semua kok buat kita berdua. Aku akan ngurus semuanya kalo kamu jadi ke LA. Aku beliin ini cuma buat kamu, aku harap kamu ngerti kalo aku bener-bener sayang sama kamu.”
Kali ini, aku tidak bisa menahan air mata lagi. Aku menangis sejadi-jadinya tak peduli pacarku berada di sampingku. Davin memelukku kencang dan berusaha menenangkanku. Aku benar-benar tidak tau harus bagaimana, masa iya aku pergi ke LA sedangkan sekarang hubungan aku dan Dion tak lagi sebagai pacar. Waktunya juga sangat pas, ketika anak kelas 12 sedang melaksanakan UN dan di sana sedang Autumn Holiday tanggal 9 April-14 April. Berarti, kalau aku berniat menyusul ke sana, ya aku harus bikin visa dan paspor bulan Febuari. Mengapa ini sangat mendadak, sih? Tinggal 3 bulan lagi, belum lagi izin ke mama papanya. Kalau aku sendiri pasti belum tentu boleh. Pastinya aku tidak tega kalau tiketnya aku jual karena ini uang tabungan Dion selama 5 bulan. Aku hanya bisa memeluk Davin sambil menangis. Ya Allah, aku harus apa?
“Terserah kamu aja gimana, kalo kamu mau nyusul ya gak papa.”
Aku melepas pelukanku dari Davin lalu mengambil ponselnya di dalam rumah. Aku mengirim pesan kepada Dion.
“On....”
“Paketnya udah sampe, ya?”
“On.... Ini lo beneran gak sih? Ini lo... ya ampun, Dionnn”
“Ya... karena hubungan kita udah kayak gini, jadi terserah lu mau pergi, mau jual atau mau kasih tiket itu. Terserah lu mau digimanain tiketnya. Itu udah jadi hak milik lu.”
Mengapa kamu melakukan ini, Dion? Kamu semakin membuatku merasa sangat bersalah dan berpikir aku adalah manusia yang sangat tidak berguna di muka bumi ini.
“Gimana dong, Vin?”
“Kamu bilang sama orang tua kamu aja dulu, kalo emang orang tua kamu setuju. Ya nanti aku anterin kamu bikin visa sama paspornya.”
“Tapi, kamu ngebolehin?”
“Ya kenapa enggak? Kamu liburan kan di sana?”
“Tapi pasti seluruh liburan aku ya sama Dion. Aku gak tau apa-apa di sana.”
“Ya, aku sih boleh aja. Terserah kamunya gimana.”
“Aku pikir-pikir dulu, deh.”
Aku sangat ingin pergi ke Los Angeles bukan hanya karena Dion, tetapi memang dari dulu aku ingin ke sana. Aku takkan bisa ke sana kalau tidak bersama Dion yang sudah paham dengan budaya dan kehidupan di sana. Ya Allah, tolong aku. Aku bertawakal harus bagaimana.
Saat mama dan papa sudah pulang, aku langsung menghampiri mereka, tetapi aku belum bisa menceritakan apa yang barusan terjadi karena bibirku masih terbata-bata.
“Apa sih? Kamu tenangin dulu baru cerita” ujar mama.
“Coba Davin kamu ceritain Diana kenapa” bujuk papa.
Aku, mama, papa, dan Davin duduk di sofa ruang tamu.
“Jadi gini, Om, Tan. Kan Diana sama Dion udah putus, nah barusan ada paket dari Amerika, dari Dion. Dion itu ngasih Diana tiket ke Los Angeles buat tanggal 9 April sampai 14 April. Diana mau ke sana, tapi dia masih bingung karena suasananya lagi kayak gini. Dia minta saran dari om sama tante secepatnya karena harus bikin paspor dan visa dulu”
Mama dan papa terdiam, suasana sangat hening.
“Kalo papa sih terserah kamunya aja, kalo kamu niatnya liburan ke sana ya liburan aja.”
“Tapikan di sana kamu sendiri, kamu gak ngerti apa-apa. Kalo sama Dion, kan kamu udah putus sama dia.” sambung mama.
“Loh? Emang kenapa kalo udah putus? Kan masih temenan.”
Papa dan mama malah saling bantah-membantah.
“Ya terserah sih gimana. Kalo mama sih bilang gak usah, kalo emang maksa ke sana ya minta temenin, sama mama gitu.”
Lah, mama malah kode.
“Ye, itumah mama yang mau jalan-jalan juga.” ledek papa.
“Hehe.”
Mama sama papa debat. Mama menyarankanku untuk tidak pergi, sedangkan papa menyarankanku untuk pergi. Entahlah, aku lelah mendengarnya, masih 3 bulan juga. Nanti saja aku mengambil keputusannya. Kan kata Davin gak boleh mengambil keputusan dalam keadaan marah, sedih, panik atau bingung. Jadi jalanin dulu aja.
Satu sisi aku merasa tidak enak dengan Davin jika aku pergi, artinya aku masih peduli dengan Dion dan tidak sepenuhnya sayang dengannya. Namun, satu sisi lain aku sangat tidak enak kepada Dion yang sudah rela menabung selama 5 bulan hanya untuk membelikanku tiket pulang pergi ke Los Angeles dan sudah mempunyai rencana apa yang kami akan lakukan selama aku di sana. Mengapa semuanya mempunyai pilihan yang sama-sama sulit untuk dipilih. Ya, hidup itu memang pilihan. Sekali kita salah di satu pilihan, mungkin masih ada kesempatan untuk membenarkan kesalahan itu. Aku berharap kali ini aku tidak salah untuk menentukan pilihan.
Dua bulan kemudian, aku sudah menentukan jawaban yang menurutku terbaik untukku, Davin, mama papa dan juga InsyaAllah terbaik menurut Allah SWT.
YA. Aku akan pergi ke Los Angeles dan menemui mantan kesayanganku, Dion. Aku sudah meminta izin kepada mama, papa, keluarga, dan juga Davin. Aku segera membuat paspor dan visa. Alhamdulillah semuanya lancar. Davin selalu ada di sampingku dan selalu menemaniku untuk bolak-balik membuat visa dan paspor. Aku tak tau apa yang aku rasakan sekarang, aku sangat bimbang, tetapi aku akan melewati semua ini yang sudah diatur dan ditata dengan rapih.
Dua minggu kemudian, aku tinggal menunggu 3 hari lagi untuk waktu keberangkatan. Semua sudah aku siapkan. Uang sudah aku tukar sebanyak 10 juta rupiah. Semua perlengkapan juga sudah lengkap, hanya kurang satu. 3 bulan ini, aku tidak pernah mengobrol apapun dengan Dion sama sekali, bahkan aku belum bilang kalau aku jadi pergi. Mungkin sekarang waktunya aku untuk mengatakan semua ini.
“Dion, gue jadi ke LA. Maaf ya mendadak banget. Gue harap lo masih inget hadiah 3 bulan yang lalu. Kalo emang gak mau nemenin di LA gak papa kok.”
“Haha, An. Gua beliin tiket ke LA buat ketemu lu kali, ya masa gua gak nemenin lu. Selow aja, gue pasti jemput lu di bandara kok.”
“Ok.”
Aku merasa lebih tenang, tetapi aku merasa kami sudah jadi orang asing. Aku takut di sana kami jadi canggung. Ya sudah lah jalanin aja dulu.
Tiga hari kemudian, semua penantianku mungkin akan terbalas. Jika aku masih mempunyai status dengan Dion mungkin aku sudah sangat bahagia, mungkin sekarang juga seperti itu, tetapi aku tidak ingin pacarku melihat kebahagianku yang sangat ‘meledak’ ini. Semua keluarga kecilku dan teman-teman dekatku ikut mengantarkanku ke bandara. Mengapa aku merasa aku akan pergi sangat lama?
“Kamu itu hati-hati di sana, inget loh kamu sendirian di sana. Dion itu orang lain buat kamu. Hati-hati ya.” pesan papa.
“Iya, Pa.”
“Jangan lupa sholat ya, kamu sering-sering video call ke sini.” saran mama.
“Iya, mama.”
Semua ikut mengucapkan hati-hati, kecuali Davin. Detik-detik aku masuk ke ruang tunggu penumpang, Davin malah berdiri di depanku tanpa mengucapkan satu katapun. Tiba-tiba, ia memelukku.
“Take care, aku percaya sama kamu.”
Aku merasa, ini pelukan Dion! Pelukan terakhir sebelum ia berangkat ke Amerika....
“Aku akan jaga diri baik-baik kok.”
Setelah itu, aku masuk ruang tunggu penumpang dan menunggu pesawat.
Di situ, aku merasa sendirian, tak ada siapa-siapa. Dengan waktu tempuh hampir seharian, aku hanya tiduran dan membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Beberapa jam kemudian, aku transit di Jepang, sekarang jam 7 malam. Aku sangat senang transitnya di Jepang, aku kira di Taipei. Meskipun aku sendirian, tetapi aku tidak merasakan kesendirian. Aku bahagia saja di tengah keramaian orang yang bahkan aku tidak mengerti bahasanya. Aku mengirim pesan kepada Dion untuk mengabarkan lokasiku sekarang.
“Dion, gue lagi transit di Japan.”
“Kalo udah sampai LAX bilang aja, apartemen gua gak jauh dari situ kok.”
“Ok.”
Setelah 2 jam aku menunggu di Bandara Narita, akhirnya aku meneruskan perjalananku ke Amerika.