Read More >>"> The Difference (Chapter 16) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Difference
MENU
About Us  

Selesai makan, kami menuju parkiran apartemen untuk naik mobil Dion. Keluar apartemen Dion, jantungku berdetak kencang, entah mengapa. Rasanya ini benar-benar tidak mungkin. Mengelilingi kota termahal kedua di Amerika bersama mantan tersayang. Pertama kami sampai di Venice, Dion memarkir mobilnya. Setelah itu, kami berkeliling sebentar jalan kaki sambil foto pemandangan. Setelah itu, kami menyewa perahu untuk keliling daerah Venice lebih dekat. Walaupun siang hari yang cerah, tapi di Los Angeles tidak terasa panas, udaranya sejuk. Di perahu itu hanya ada 3 orang. Aku, Dion, dan mas-mas perahunya, haha bukan mas-mas sih, dia bule. Tadinya kami hanya terpesona melihat daerah sekitar, tetapi lama-lama jarak duduk kami semakin dekat, aku menoleh ke Dion dengan penuh perasaan, Dion juga seperti itu. Sekarang mata kami saling bertatapan. Aku rasa, ini bukan di LA, tetapi ini di surga.

                “Kayaknya ini ada yang berubah deh.”

Dion melihat sekitar pemandangan di Venice. Aku jadi ikut melihat sekitar.

                “Apa, On?”

                “Waktu gua sama mama gua ke sini berdua, gak seindah ini, pas sama lu kok indah banget ya.” puji Dion menghadapku dan menatap mataku.

Ya ampun Dion, haha. Cukup menarik bibir ini untuk tersenyum.

                “Haha apa coba, On.”

                “Serius, tapi kalo kita masih pacaran bakal lebih indah lagi.”

Dion menatap mataku lebih dalam. Ya, aku tau Dion masih belum ikhlas kalau kita putus karena aku juga menyesali itu. Namun, apakah kita bisa balik lagi?

Aku hanya terdiam dan tak menanggapi perkataan Dion.

                “Menurut lu, lebih nyaman di samping gua atau Davin?”

You.

                “Apa sih, On. Gak enak ah di denger sama mas-mas di belakang.” aku berusaha mengalihkan pembicaraan karena aku tidak tau apa jawaban yang tepat.

                “Aduh, Diana. Mas-mas yang di belakang juga gak ngerti kali kita ngomong apa.”

Dion mengelus rambutku. ADUH! BAPER.

                “Oh iya lupa, hahaha.”

Selesai memutari Venice naik perahu, kami kembali ke parkiran mobil dan berangkat ke Beverly Hills. Perjalanannya hampir setengah jam. Sesampainya di Beverly Hills, kami melakukan hal yang sama seperti di Venice. Kami berkeliling sambil membeli cemilan, foto-foto, dan membeli sesuatu yang menarik mata. Di Beverly Hills, kami sudah mulai akrab dan sudah kembali normal, tidak canggung lagi. Aku sangat senang, aku dirangkul Dion sepanjang jalan, kadang ia mengusap rambutku, kadang ia mencubit pipiku. Ini relationship goals, sayangnya kami adalah mantan jadi ex-relationship goals.

                Pulang dari Beverly Hills, sudah jam 4 sore. Kami berangkat ke Santa Monica, perjalanannya juga hampir setengah jam, tetapi di mobil tidak terasa lama karena kami sudah akrab.

                “Gimana ya, kalo mama gua tau kita ternyata udah putus?” tanya Dion.

Aku menoleh ke Dion.

                “Kalo bisa sih jangan, nanti mama lo kecewa.”

                “Kenapa kita harus bohong sih kalo bisa beneran?” pertanyaan yang cukup menjebak, On.

Maksudnya ‘bisa beneran’ apa ya, On?

                “Hah? Maksudnya?” pertanyaanku sok polos, padahal aku juga menginginkan itu.

                “Haha, enggak.”

Ya, aku tau, On. Kamu menyesali hubungan kita yang kandas di tengah jalan. Namun, aku lebih menyesalinya karena aku yang memutuskan hubungan kita.                                                                                                                    

                Setengah 5 sore, kami sudah sampai di Santa Monica. Rencana Dion adalah kami melihat sunset di sini. Namun, karena masih 1 setengah jam lagi, kami naik biang lala. Ketika sudah sampai di titik teratas biang lalanya, terlihat semua yang ada di Santa Monica dengan sangat jelas. Langit berwarna biru cerah dan sedikit awan-awan tipis juga deburan ombak di pinggiran pantai yang benar-benar membuat semuanya semakin indah. Seindah-indahnya pemandangan yang aku lihat dari atas biang lala, masih jauh lebih indah saat aku melihat seseorang yang duduk di depanku ini. Jika kebahagiaan bisa diukur, mungkin aku sudah sampai langit ketujuh. Alhamdulillah, aku bisa melihat pemandangan seindah ini dengan seseorang yang spesial di hidupku.

                “An, gua minta maaf ya, yang masalah Otar sama Davin itu.”

Apa? Aku saja lupa dengan Davin, ya ampun.

                “Ya ampun, On. Selow aja lagi. Otar udah minta maaf kok.”

                “Oh oke deh kalo gitu. By the way, besok kita ke Disneyland.”

                “Demi apa? Yey!”

                “Haha, eh ini lama banget sih jalannya, keburu sunset.

                “Gue seneng, sunset kita sama, biasanya gue sunset lo sunrise.

                “Haha iya sih, ya udah lah masa lalu.”

Masa lalu? Jadi Dion sudah menganggapku masa lalu? Hmm, oke, On.

                Di biang lala, kami berfoto dan membuat rekaman video tentang keindahan di sini. Kami sudah seperti pasangan muda yang baru menikah, sayangnya tidak, dan mungkin tidak akan. Setelah kami turun dari biang lala, Dion langsung menarik tanganku menuju pinggir pantai untuk menyaksikan sunset. Kami duduk berdua di pasir pantai dengan suara ombak yang tenang dan langit yang semakin lama semakin gelap membuat suasana menjadi sangat romantis. Rasanya sayang kalau aku dan Dion hanya menyaksikan sunset sambil duduk di pasir pantai, tetapi aku juga tidak tau apa yang harus aku lakukan selain diam dan menyaksikan.

                Matahari turun dengan perlahan membuat mataku terlena dengan pemandangannya yang indah, sinarnya terpantul ke permukaan air laut membuat suasana semakin indah. Saat matahari sudah terbenam, aku dan Dion kembali ke mobil untuk pulang ke apartemen. Aku sangat puas dengan semua pemandangan yang aku lihat tadi. Rasanya ini semua balasan dari apa yang sudah berhasil aku lewati semasa aku susah, sedih, dan banyak masalah. Aku serasa bebas dari semua masalahku.

                Sesampainya di apartemen Dion, aku langsung beres-beres lalu mandi. Selesai mandi, aku menelpon panggilan video ke Davin. Aku mengirim fotoku sendiri di Venice, Beverly Hills, dan di Santa Monica. Aku tidak menceritakan semuanya. Hanya beberapa yang aku lakukan di sana, bukan dengan Dion.

                Keesokan harinya, aku dan Dion pergi menuju ke Disneyland Anaheim, California. Dion membeli tiket masuk yang harganya lebih dari satu juta kalau dirupiahkan. Pertama, kami ke Hollywod Land, ke museum Mickey, Princess, pokonya kami berfoto sepuasnya! Di situ, kami foto selfie berdua, tak hanya foto berdiam diri, tetapi kami saling bergaya. Ada yang gaya alay, gaya sok asik, gaya sok imut. Gaya yang paling aku suka adalah saat Dion merangkulku, Dion menggendongku di belakang, Dion memelukku dari belakang, lalu gaya ketika kami saling bertapapan, juga ada foto Dion mencium pipiku, itu foto yang paling spesial! Kami foto memakai ponselku. Setelah foto, kami menaiki wahana roller coaster, yaitu California Screamin’. Aku takut, tetapi di samping Dion rasa takutku hilang begitu saja. Rasa takut naik roller coaster kalah dengan rasa takut kehilangan Dion 'lagi'.

                Sesudah menaiki California Screamin’ yang membuat jantung serasa terlepas dari raga, kami juga masuk ke dalam dunia Cars di Radiator Springs Racers, terbang di Flik’s Flyers, berputar-putar di atas ketinggian di Golden Zephyr, basah-basahan diGrizzly River Fun, menikmati indahnya Disneyland dari atas Mickey’s Fun Wheel, dan masih banyak lagi. Ketika sudah lelah, kami membeli makanan dan membeli barang-barang yang menarik di Disneyland. Sekarang sudah jam 4 sore, kami sudah selesai belanja. Ngomong-ngomong, aku dan Dion cukup lama ya di Disneyland dari jam 9 sampai jam 4, haha. Sebelum kembali ke apartemen, aku dan Dion membeli minuman untuk minum di mobil.

                Di tengah perjalanan menuju apartemen Dion, minumku sudah habis. Aku memegang botol minuman yang kosong dengan muka melas.

                “Yah abis.” eluhku.

                “Take my drink.” tawaran Dion.

                “No thanks, it’s yours.”

                “But, you’re mine too.”

Hah? Apa? Bisa diulang? Hahahaha, ‘You’re mine  too’ ulala. Sepertinya ada yang melempar tomat di wajahku.

                “Gak usah senyum-senyum, An. Mending lu kirimin foto yang tadi di hp lu.”

                “Ye geer, gue senyum gara-gara minumannya bukan lo nya. By the way foto yang mana?  Banyak banget nih sampe memori penuh.”

Aku menutupi kebenaran bahwa aku memang masih mengharapkan Dion.

                “A photo when I kiss your cheeks.”

Oh my God, it’s my special photo too.

Aku memilih foto itu lalu aku kirim. Saat aku kirim, sepertinya ada yang salah. Aku mengirim foto itu kepada obrolan yang baru saja terkirim, sedangkan aku tidak mengirim pesan kepada Dion.

                “Eh! Tunggu, kayaknya ada yang salah....”

Aku mulai panik ketika melihat layar ponselku, display name yang aku kirim foto itu bukan nama Dion…

Tetapi Davin.

JADI AKU SALAH KIRIM FOTO ITU KE DAVIN?!

                “What the....”

Seketika aku sangat panik. Posisi dudukku yang tadinya bersandar di kursi mobil menjadi tegang. Dion jadi ikut panik, padahal ia belum tau apa sebabnya.

                “What’s wrong, Ana?”                                                                                                                 

                “Gue salah kirim foto itu ke Davin woy!” ujarku panik.

                “Kok bisa sih?” tanya Dion ikut panik.

                “Gak tau! Yah gimana dong! Mana fotonya gitu lagi!”

                “Tenang, tenang. Lu minta maaf aja sama dia.”

Aku menarik napas dan membuangnya secara perlahan. Setelah aku cukup tenang, baru aku mengirim pesan kepada Davin kalau itu salah kirim dan aku meminta maaf atas foto itu, tetapi belum dibaca karena di sana masih jam 3 pagi.

                Malam harinya, kami makan malam lagi bersama Tante Pollie di apartemen lantai bawah. Di tengah-tengah suasana makan malam yang santai, tiba-tiba ponselku bergetar dari dalam tas. Saat aku mengambilnya, ternyata itu panggilan video dari Davin. Aku segera menelan makanan yang sedang dikunyah lalu minum. Aku izin kepada Tante Pollie untuk mengangkat telepon.

                “Tante, permisi ya aku mau angkat telepon dari mama.”  ujarku berbohong.

                “Oh okay, silakan.”

Aku berlari ke dekat kamar mandi yang sepi, lalu aku mengangkat panggilan videonya.

                “Ana, kamu di mana?”

                “Aku lagi makan malam, maaf ya soal foto yang tadi, maaf banget.”

                “Iya, An. Gak papa.”

                “Ya udah, nanti malem aku telepon lagi ya. Gak enak lagi makan malem sama mamanya Dion.”

                “Iya.”

Aku mematikan panggilan videonya lalu kembali ke meja untuk melanjutkan makan.

                Setelah makan malam, kami kembali ke kamar apartemen. Aku duduk di ruang tamu sambil bermain ponsel, Dion datang dari kamarnya dan duduk di sampingku.

                “Tadi mama lu telepon?”

                “Enggak, itu tadi Davin.”

                “Oh.” jawab Dion singkat.

Ekspresi Dion berubah jadi sedikit tidak suka, maaf, On. Aku masih mengobrol dengan Davin tentang masalah foto tadi, Davin masih marah kepadaku. Jawabannya singkat-singkat. Ya sudah lah mungkin memang ditakdirkan seperti itu, soalnya itu benar-benar tidak disengaja.

“Davin I’m so so so so sorry about the photo.”

“Y.”

“Vin, I’m serious L.”

“Iya.”

“Davin please forgive me, I promise I won’t do that again.”

“Iya, Na.”

“Vin....”

Yah dia tidak membacanya lagi.

                Keesokan harinya adalah hari yang paling aku tunggu-tunggu! Hollywood!!! Aku tidak menyangka mimpiku bisa jadi nyata. Parah! Aku tak henti-hentinya membaca Alhamdulilah. Aku tidak pernah telat sholat, aku sangat bersyukur atas nikmat yang Allah kasih kepadaku. Sekarang jam 10 pagi, aku dan Dion sedang di perjalanan menuju Hollywood Hall of fame karena kata Dion kalau mau ke Hollywood Hills dan foto di Hollywood Sign jangan pas siang hari karena panas, jadi sore aja. Karena kami belum sarapan, jadi sebelum ke Hollywood Hall of Fame kami mencari makan di daerah sekitar Hollywood. Setelah itu, kami ke Hollywood Hall of Fame, di lantai itu banyak bintang dengan nama-nama aktor, aktris, penyanyi dan orang-orang berjasa lainnya. Kami berfoto lagi di situ. Kali ini di handphone Dion karena aku takut salah kirim lagi, haha. Setelah itu, kami keliling lagi untuk membeli oleh-oleh. Aku membeli tas untuk Davin, tas untuk mama, sepatu untuk Ka Elvi dan Ka Lia, baju untuk Gita dan Daffa. Aku juga membeli jajanan seperti coklat dan permen untuk teman-teman sekelas. Sebelum kami naik ke Hollywood Hills, aku menaruh semua barang belanjaannya di mobil, baru kami pergi ke Hollywood Hills.

                Jam 3 siang, kami sudah mulai menuju ke Hollywood Hills, kami menanjak lumayan tinggi. Aku terus berpegangan dengan Dion. Akhirnya, setelah beberapa menit perjuagan menanjak, kami berdua sampai juga di Hollywood Sign meskipun tidak benar-benar di atasnya. Aku berfoto dengan bangganya di Hollywood Sign. Perjuangan memang tidak pernah mengkhianati hasilnya!

                Setelah puas foto-foto di Hollywood Sign, aku dan Dion cepat-cepat turun sebelum ketauan dan diusir sama helikopter katanya, haha. Di pertengahan Hollywood Hills, kami duduk di situ. Kami bisa melihat apa saja di sekitar situ dari atas Bukit Hollywood walaupun bukan benar-benar di atas. Aku dan Dion saling diam, jarak duduk kami agak berjauhan.

Tiba-tiba Dion memelukku di tengah-tengah keheningan. Aku sangat kaget dengan apa yang dilakukan Dion, aku juga tidak bisa berbuat apapun karena aku juga sebenarnya ingin memeluk Dion.

                “I don’t need a relationship to get my self close to you.”

Dion, oh my God. You are the most special person in my life.

                “But, I don’t need the difference for our relationship.”

Perkataan yang keluar dari hati langsung tanpa disaring. Benar-benar dari dalam hati. Dion melepas pelukannya setelah aku mengatakan itu.

                “Nah, itu. Gua ngajak lu ke Los Angeles bukan cuma buat lu seneng. Tapi buat ngebuktiin ke lu, mana yang lebih baik lu pilih. Gua bukan membela diri ya, tapi coba deh lu bayangin. Pas lu di Indonesia dan gua di sini, kita beda waktu, beda benua, beda negara. Tapi sekarang lu di Los Angeles bareng gua atau waktu itu gua di Jakarta bareng lu, gak ada perbedaan waktu, kan? Gak ada perbedaan negara dan benua, kan? Kita udah sama, gak ada perbedaan. Coba kalo lu sama Davin, mau lu ke Amerika, ke Jepang, atau kemana pun berdua, tetep aja ada perbedaan. Mau lu ke masjid yang sama atau gereja yang sama, tetep aja keyakinan kalian beda. Tetep aja ada perbedaan kemanapun kalian pergi dan apapun yang kalian lakuin. Ini gua mau ngasih tau ke lu, kalo perbedaan waktu dan negara itu bukan jadi masalah lagi kalo kita udah ketemu, tapi perbedaan agama gak akan selesai sampai salah satu ada yang ngalah dan pindah agama. Tapi sayangnya agama gak boleh asal pindah, agama itu pedoman hidup dan mati. Perbedaan benua dan negara bisa diselesaikan dengan uang yang banyak untuk ketemu, tapi perbedaan agama gak akan pernah selesai. Pilihannya cuma dua, ganti pacar atau ganti tuhan.”

Penjelasan Dion membuatku bengong dan sama sekali tidak terpikir soal ini. Aku sangat setuju dengan Dion, tetapi bagaimana dengan Davin?

Saat Dion mengatakan itu, aku benar-benar merasa menjadi orang yang bodoh. Lebih mementingkan dunia daripada akhirat. Air mata ini benar-benar tidak terbendung. Mungkin itu adalah keputusanku yang paling bodoh. Apa yang harus aku lakukan untuk mengubah keputusanku itu? Aku mengakui Dion memang sangat benar, tetapi lagi-lagi aku juga menyayangi Davin.

                “I know what you feel, Ana.”

Dion merangkul dan menepuk-nepuk pundakku.

                “Gue harus apa?  Gue udah terlanjur jadian sama Davin.”

                “Davin nembak lu nya gimana? Itu kan kita masih pacaran, gak mungkin dia terang-terangan nembak.”

Ya jadian.

Tetapi….

Sepertinya aku ingat. Saat aku ke rumah Davin untuk yang pertama kalinya, Davin bertanya kepadaku tentang perbedaan waktu dan negara atau perbedaan agama. Sampai sekarang aku belum menjawab pertanyaan itu, aku hanya bilang coba. Nah! Itu dia!

                “Hallo, kok bengong?” Dion melambaikan tangan di depan wajahku dan membuatku sadar dari pikiranku.

                “Apa, On?”

Aku seketika lupa dengan suasana.

                “Gimana?”

                “Nanti ya, gue pikirin lagi. Gue juga sayang sama Davin, tapi gue mikir kalo kita gak akan bisa nyatu.”

                “Loh emang kita bisa nyatu? Emang di dalam badan kita ada apa sampe kita bisa nyatu?”

                “Bodo ihhh! Bukan itu.” ujarku sedikit kesal.

                “Ututu, gak usah baper, ah”

Seketika Dion mencubit pipiku. Baper deh, On.

                Setelah dari Hollywood Hills, kami balik ke apartemen. Selesai mandi, aku duduk di sofa ruang tamu. Aku sangat sedih karena besok aku pulang ke Indonesia. Tak lama kemudian, Dion duduk di sampingku.

                “Yah, besok udah balik ya? Pagi lagi jam 11.”

Dion terlihat sedih. Aku juga sedih, sangat sedih sebenarnya.

                “Ya gimana ya, gue juga gak mau pulang, On, haha.”

                “Harusnya gua beliin tiket berangkat aja ya, biar lu gak bisa pulang.” pemikiran Dion licik, tetapi benar juga ya, haha.

                “Haha, ya janganlah. Urusan gue yang di Indo gimana.”

                “Oh iya, gimana Davin?”

Oh iya, hampir lupa! Aku kan harus menelpon Davin.

Aku mengambil ponselku di kamar lalu balik lagi ke ruang tamu. Dua kali aku telepon video tidak di angkat, ketiga kalinya baru Davin mengangkatnya.

                “Kenapa, Na?”

                “Davin, I’m so sorry to say this for you. But, do you remember what I said when I visited your home for the first time? Sampe sekarang aku belum jawab pertanyaan kamu yang tentang perbedaan waktu dan agama. Aku bilang, aku cuma nyoba ini, tapi sekarang aku tau apa jawabannya, Davin.”

Ekspresi Davin berubah sedih, aku jadi tidak tega untuk mengatakan ini.

                “Ya, aku tau kok apa yang bakal kamu bilang. Aku paham, aku tau. Aku udah firasat dari sebelum kamu berangkat. Sekarang kalo kamu mau bilang, bilang aja sama aku gak papa kok, aku udah belajar ikhlasin kamu. Aku juga mau cari yang satu agama biar semuanya gak terulang lagi.”

Tangisanku pecah saat Davin menjawabnya, aku tidak tega dengan Davin, tetapi ini untuk kebaikan kita juga. Ya Allah, maafkan aku jika aku salah lagi. Semoga kali ini tidak salah.

                “Sorry Davin, we break up.”

                “Iya, makasih atas 3 bulannya, ya. Aku bakal belajar ngelupain kamu, meskipun itu susah karena kita sekelas. Tapi aku harap kita masih bisa berteman kayak biasa ya.”

                “Iya, aku janji kita akan temenan kayak biasa. Makasih juga ya atas 3 bulannya.”

Davin mematikan panggilan videonya. Aku langsung memeluk Dion sambil menangis. Aku pikir, mengapa semuanya bisa terbalik seperti ini. Saat aku putus dengan Dion, aku memeluk Davin, sekarang sebaliknya.

                “Jadi gimana? Kita—“

                “Balikan.” jawabku spontan.

Dion langsung tersenyum lebar, begitu pula aku meskipun air mata ini masih menetes. Aku harus merelakan Davin, semoga aku cepat move on dari Davin dan kembali dengan Dion. Kami berjanji takkan mengulangi kesalahan yang telah lalu. Kami akan saling jujur dan menghargai perasaan seseorang yang suka sama kita. Kita tidak boleh jahat dengan orang lain meskipun dia adalah saingan kita.

                Keesokan paginya, aku, Dion, dan Tante Pollie sedang di perjalanan menuju bandara. Aku sudah membereskan semuanya. Aku sangat bahagia sudah menginjakan kaki di Los Angeles ini. Sesampainya di LAX, aku check-in dan berbagai macamnya, kami makan terlebih dahulu di bandara. Setelah itu, kami menuju ruang tunggu penumpang. 15 menit lagi aku masuk ke ruang tunggu. Kami bertiga berdiri di ruang tunggu. Dion selalu di sampingku dan selalu menggandeng tanganku seakan tidak ingin melepas.

                “Waktu itu, aku kasih kamu kalung dan masih kamu pake, sekarang aku mau kasih kamu gelang tapi kamu udah pake gelang, jadi aku kasih kamu cincin aja ya. Jangan diilangin.”  Dion memberikan cincin emas kepadaku.

Aku merasa kami sudah menikah dikasih perhiasan mulu. Aku juga baru ingat, ini gelang dari Davin masih aku pakai, ya sudah lah, sebagai kenangan yang terindah. Dion memakaikan cincinnya ke jari manisku. Aku merasa dilamar, haha.

                10 menit kemudian, aku sudah  harus masuk ke ruang tunggu penumpang. Namun, aku tidak ingin meninggalkan Dion, aku ingin terus di sini bersama Dion, tetapi bagaimana urusanku di Indonesia nanti.

                “Aku gak mau masuk ruang tunggu penumpang, On.” ujarku dengan mata berkaca-kaca.

                “Sekarang kamu tau kan rasanya jadi aku waktu kemarin-kemarin? Aku mau tinggal sama kamu di Indo, tapi gimana urusan aku di US.” curhat Dion sedih, bikin aku tambah sedih.

Lagi-lagi Dion memelukku untuk yang terakhir kalinya di bandara LAX. Tangisanku akhirnya pecah saat Dion memelukku. Aku membalas pelukannya dengan erat. Setelah itu aku memeluk Tante Pollie dan sangat berterima kasih atas 5 harinya ini. Aku sangat bahagia, ini tidak hanya sekedar liburan, tetapi ini adalah jawaban. Jawaban kisah cinta dan kehidupanku. Aku masuk ke ruang tunggu penumpang di bandara LAX dan menunggu pesawatku. Aku memberi kabar kepada mama papa untuk menjemputku 20 jam lagi di bandara Soekarno Hatta.

                Ketika aku sampai di bandara Soekarno Hatta, keluargaku sudah menyambut hangat kedatanganku. Aku senang bisa melihat mereka lagi, aku berlari dan langsung memeluk mama dan papa sambil menangis. Air mata kebahagiaan jauh lebih berharga dari air mata kesedihan. Di perjalanan, aku mengobrol dengan Dion dan memberi kabar kepada Dion kalau aku sudah sampai di Jakarta. Sekarang, nama Dion ada di statusku lagi.

                Di rumah, aku menceritakan semuanya, termasuk aku putus dengan Davin dan balikan dengan Dion. Aku cerita kemana saja aku dan Dion pergi. Aku menunjukan foto-fotonya, dan tak lupa juga aku memberikan oleh-oleh yang aku beli di sana. Aku dan Dion memakai header dan avatar yang sama lagi. Avatar kami adalah saat di Disneyland tepatnya saat Dion mencium pipiku, sedangkan header kami adalah kumpulan foto-foto saat kita di Los Angeles.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kenangan
578      353     1     
Short Story
Nice dreaming
Pantang Menyerah
202      175     0     
Short Story
Rena hanya ingin mengikuti lomba menulis cerpen tetapi banyak sekali tantangannya, untuk itu dia tidak akan menyerah, ia pasti akan berhasil melewati semua tantangan itu dengan kegigihan yang kuat dan pantang menyerah
Love is Possible
95      90     0     
Romance
Pancaroka Divyan Atmajaya, cowok angkuh, tak taat aturan, suka membangkang. Hobinya membuat Alisya kesal. Cukup untuk menggambarkan sosok yang satu ini. Rayleight Daryan Atmajaya, sosok tampan yang merupakan anak tengah yang paling penurut, pintar, dan sosok kakak yang baik untuk adik kembarnya. Ryansa Alisya Atmajaya, tuan putri satu ini hidupnya sangat sempurna melebihi hidup dua kakaknya. Su...
HER
539      306     2     
Short Story
Temanku yang bernama Kirane sering memintaku untuk menemaninya tidur di apartemennya. Trish juga sudah biasa membuka bajunya sampai telanjang ketika dihadapanku, dan Nel tak jarang memelukku karena hal-hal kecil. Itu semua terjadi karena mereka sudah melabeliku dengan julukan 'lelaki gay'. Sungguh, itu tidak masalah. Karena pekerjaanku memang menjadi banci. Dan peran itu sudah mendarah da...
Coklat untuk Amel
181      158     1     
Short Story
Amel sedang uring-uringan karena sang kekasih tidak ada kabar. HIngga sebuah surat datang dan membuat mereka bertemu
Tell Me What to do
435      304     1     
Short Story
Kamu tau, apa yang harus aku lakukan untuk mencintaimu? Jika sejak awal kita memulai kisah ini, hatiku berada di tempat lain?
Your Secret Admirer
2297      796     2     
Romance
Pertemuan tak sengaja itu membuat hari-hari Sheilin berubah. Berubah menjadi sesosok pengagum rahasia yang hanya bisa mengagumi seseorang tanpa mampu mengungkapkannya. Adyestha, the most wanted Angkasa Raya itulah yang Sheilin kagumi. Sosok dingin yang tidak pernah membuka hatinya untuk gadis manapun, kecuali satu gadis yang dikaguminya sejak empat tahun lalu. Dan, ada juga Fredrick, laki-l...
Give Up? No!
404      264     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.
KAMUFLASE KAMERA DAN CINTA
561      387     1     
Short Story
lelaki bertubuh besar berjaket hitam menunjukan senyum simpul yang khas .senyum yang membuat jantungku berdegup tak beraturan, dan senyum yang selalu mengingatkanku pada perpisahan di bulan Januari. Konflik antara Mas Pras dan Om Tegar tak kunjung usai ,Kamera lah yang membawa aku dan dia pada satu titik dan kameralah yang membuat kita....
Seperti Cinta Zulaikha
1773      1147     3     
Short Story
Mencintaimu adalah seperti takdir yang terpisahkan. Tetapi tuhan kali ini membiarkan takdir itu mengalir membasah.