Keesokan harinya adalah hari Selasa, aku duduk seorang diri, Gita belum datang. Davin masuk kelas beberapa menit sebelum bell jam pertama, sedangkan Gita belum juga datang, mungkin ia sakit atau izin. Jadi hari ini aku duduk sendiri. Pelajaran pertama adalah agama. Bu Fatimah masuk kelas, Davin bangun dari tempat duduknya sambil membawa beberapa buku dan tempat pensilnya, ia berjalan menuju tempat duduk Gita lalu ia pindah ke tempat duduk Gita yang kosong.
“Aku di sini aja ya, aku males ke ruang agama, boleh kan?”
“Terserah kamu aja.”
Aku tidak menyangka gaya bahasa kami sekarang sudah aku dan kamu, haha. Davin duduk di sampingku dan mengikuti pelajaran Agama Islam. Bu Fatimah menerangkan tentang BAB toleransi. Davin memperhatikan penjelasan Bu Fatimah dengan serius. Padahal aku sendiri biasa saja.
“Vin, serius banget sih.” tegurku sambil menyenggol tangan Davin.
“Diem dulu, aku mau tau tentang apa.” Davin masih fokus ke papan tulis.
Haduh, masa iya pacarnya dicuekin. Tak apalah, kali saja ia tertarik untuk pindah, hehe.
Istirahat pertama, aku dan Davin sama-sama membawa bekal, kami makan bersama dengan Daffa juga. Aku dan Davin suap-suapan mesra. Yah, ini mengingatkanku saat Dion di bandara. Untuk pertama dan terakhir kalinya ia melakukan adegan romantis denganku. Daffa selesai makan terlebih dahulu karena dia jomblo, haha maksudnya ia tidak berlama-lama. Ia keluar kelas untuk membuang sampahnya. Tiba-tiba, ia balik ke kelas dengan ekspresi panik dan lari ke mejaku dan Davin.
“Eh, Otar mau lewat sini!”
Aku dan Davin ikut menjadi panik. Davin langsung menutup bekalnya dan duduk di tempatnya semula dengan Daffa, sedangkan aku pindah ke anak-anak cewek yang sedang makan di depan kelas. Tak lama kemudian, Otar masuk ke kelasku. Ia hanya melihat sekeliling lalu pergi lagi. Jantungku kembali berdegup normal, perasaanku sudah tenang. Huft, hampir saja ketauan. Aku dan Davin kembali ke tempat dudukku dan Gita. Kami lanjut makan.
“Huft, hampir aja.” Davin menghela napas lega.
“Haha makasih, Daf.”
“Yoi, sama-sama.”
Entah sampai kapan harus seperti ini, tetapi ini seru. Aku menyukai tantangan, mungkin itu sebabnya Allah memberikanku jalan seperti ini karena aku dilahirkan untuk tertantang, haha.
Pelajaran setelah istirahat tidak ada guru, jadi kita free class lagi. Aku dan Davin keluar kelas lalu duduk di koridor.
“Nanti kamu jangan lupa salat zuhur.” ujar Davin lembut.
“Iya.”
“Kan biasanya kamu sama Gita ke musholanya, tapi sekarang Gitanya gak masuk. Nanti aku yang temenin kamu ke mushola sekolah, ya?” tawaran Davin penuh toleransi, mungkin karena tadi sudah dijelaskan oleh Bu Fatimah.
“Mmm, nanti kalo ada Otar gimana?”
“Enggak, kita bisa ngeles lagi kan haha.”
“Hmm, oke.”
Aku menyandarkan kepalaku di pundak Davin, tangan Davin merangkul bahuku. Menurutku ini sangat romantis, entah karena aku yang tak pernah merasakan ini saat dengan Dion atau memang karena ini romantis. Aku sangat nyaman seperti ini, tidak ingin pindah, tidak ingin bergerak, rasanya tidak ingin melakukan apapun, seperti ini saja sudah cukup membuatku bahagia.
“Na, aku mau bilang sesuatu deh.” Davin menatapku.
“Apa tuh, Vin?” aku membalas tatapannya sambil tersenyum.
Davin terdiam sejenak melihat tatapanku.
“Apa?” tanyaku lagi.
“Ah, aku lupa. Lagi kamu pake senyum sih, jadi pikiranku buyar.” ujar Davin sambil tersenyum.
Davin, ternyata bukan hanya wajahmu yang manis, tetapi juga kata-katamu.
“Haha, salting ya.” ledek Davin.
“Yee, apa sih, haha.”
“Enggak, enggak. Aku mau serius. Aku janji sama kamu. Biarpun ada perbedaan di antara kita, aku gak akan bikin kamu pindah. Aku gak akan ngehasut kamu buat pindah keyakinan, malah sebaliknya. Aku akan terus dukung kamu untuk keyakinan kamu. Aku bakal sering ingetin salat, pokoknya aku gak akan bikin kamu ragu sama keyakinan kamu, aku bisa jaga keyakinan aku sendiri. Jadi jangan biarin perbedaan memisahkan kita, kamu kalo ada apa-apa bilang ya.”
“Iya, Vin. Aku janji.”
Tiba-tiba ponselku bergetar dari dalam kantong baju. Aku mengambilnya dan melihat layar ponselku. Itu adalah panggilan video dari Dion. Aku segera berdiri dan belari ke dalam kelas lalu duduk di pojokan kelas, baru mengangkat video callnya.
“Hai.”
“Hallo, Dion.”
“Kamu lagi free class ya?”
“Iya, kok kamu tau?”
“Iya tadi Otar ngasih tau.”
Jangan-jangan Otar melihatku dengan Davin?!
“Otar tau darimana?”
“Tadi dia ada pelajarannya juga, terus gak ada gurunya. Makanya dia tau kamu free class.”
Alhamdulillah. Huft, panik.
“Oalah, ya udah deh, On. Aku mau ngerjain tugas ini ada tugas.”
“Oke, semangat ya!”
“Ya.”
Maaf ya, On. Aku berbohong.
Aku kembali ke depan koridor menghampiri Davin.
Saat keluar pintu kelas, ada Otar sedang lewat di depan kelas dengan satu temannya. Aku memutar otak untuk berpura-pura membuang sampah. Setelah Otar lewat, Davin masuk kelas. Kami duduk lagi di tempat dudukku dan Gita.
“Tadi Dion ya?” tanya Davin dengan ekspresi sedih.
“Hehe, iya.” jawabku ikut sedih.
Suatu bunyi terdengar dari dalam tas Davin. Ternyata ponsel Davin berbunyi karena ada panggilan masuk. Saat Davin ingin mengangkat teleponnya, teleponnya sudah mati.
“Siapa, Vin?”
“Itu nenek aku, kenapa ya dia tumben banget telepon.”
“Telepon lagi aja daripada nanti ada apa apa.”
“Tapi aku gak ada pulsa.”
Aku mengambil ponselku dari kantong baju dan memberikannya ke Davin.
“Nih pake handphone aku aja.”
“Iya deh yang LDR kan harus punya pulsa dan paketan.”
“Haha apa sih, ya udah telpon aja.”
Davin mengambil ponselku dan segera menelpon neneknya.
Tak lama kemudian, neneknya mengangkat telepon dari Davin.
“Hallo nek? Ada apa nelpon aku?”
“Oh gitu, oke siap nek.”
Davin mematikan teleponnya dan mengembalikan ponselku.
“Ada apa, Vin?”
“Kamu hari ini bisa gak temenin aku ke bandara? Mama sama papa aku udah pulang dari luar negeri. Sekitar jam 4-an kita udah di bandara, jadi pulang sekolah langsung.”
“Kita ke sana naik apa?”
“Nanti abang aku jemput naik mobil. Jadi kita bertiga ke bandaranya.”
“Mm, aku tanya orang tuaku dulu ya.”
“Oke.”
Akupun mengirim pesan kepada papa.
“Assalamualaikum, Pa. Aku nanti pulang sekolah boleh ikut nganterin Davin jemput orang tuanya gak di bandara? Naik mobil sama abangnya kok, pulangnya dianter sampe rumah.”
“Boleh. Asal pas pulang orang tuanya suruh ke rumah nemuin papa sama mama, bisa gak?”
Papa….
“Vin, baca pesan papa aku deh” perintahku menunjukkan pesan masuk dari papa.
“Hmm, bilang aja iya.” jawab Davin ragu.
“Beneran?”
“Iya udah.”
Aku membalas pesan papa sesuai dengan apa yang dikatakan Davin.
Setelah pulang sekolah, aku dan Davin dijemput oleh abangnya Davin di belakang sekolah karena kalau di depan sekolah nanti ketauan Otar. Aku duduk di belakang sendiri, sedangkan Davin duduk di depan menemani abangnya menyetir. Kami bertiga mulai akrab dan membahas apa saja yang ingin kami bahas. Mereka menceritakan tentang keluarganya kepadaku. Davin adalah anak tunggal, ibu kandungnya meninggal saat Davin berumur 12 tahun. Davin sangat menyayangi ibunya, ia tidak rela ayahnya menikah lagi, tetapi apa boleh buat, ibu tirinya juga sangat baik dan menolong mereka dalam keterpurukan. Orang tua Davin kembali setiap 3 bulan sekali dan berada di Jakarta selama 2 minggu.
Banyak sekali informasi tentang Davin dan keluarganya yang aku dapat. Sampai aku tidak sadar sekarang kami sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Aku jadi ingin segera bertemu dengan ibunya Davin. Aku juga teringat terakhir kali aku menginjakkan kaki di tempat ini. Rasanya air mata ini dengan lancar mengalir, tetapi aku masih bisa menahannya. Perasaanku sekarang sudah mulai tergantikan. Mungkin percobaan ini akan berhasil. Ya, aku lebih memilih orang yang selalu ada di sampingku, bukan hanya lewat layar kaca. Aku berpacaran dengan orang nyata, bukan tersenyum seperti orang gila sambil menatap layar ponsel.
Kami bertiga menunggu hampir sejam di bandara. Sampai akhirnya, Mama dan Papa Davin keluar dari imigrasi. Yang paling aku bingung adalah saat aku melihat mama tirinya Davin memakai hijab, sedangkan papanya Davin memakai kalung salib. Aku jadi berpikir, jika aku dengan Davin nanti, apakah aku juga akan seperti itu?
Mama Davin yang bernama Tante Alissa menghampiri kami dengan penuh senyuman.
“Hallo, anak-anak.”
Davin memeluk mamanya.
“Hallo, mama. Kenalin ini cewek aku, namanya Diana.”
“Hallo, Diana.” senyuman manis dari bibir Tante Alissa.
“Assalamualaikum, tante.”
“Waalaikum salam, apa kabar sayang? Senang bertemu dengan kamu.” ujar Tante Alissa dengan lembut.
MasyaAllah, walaupun ia ibu tiri Davin, ia terlihat sangat menyayangi Davin dan peduli terhadapnya. Aku sangat senang bertemu dengan dia.
Sesampainya di rumahku, baru jam 6 lewat. Aku pamit kepada mama dan papanya Davin lalu turun dari mobil. Tante Alissa memegang tanganku dan menahanku untuk turun dari mobil.
“Tante boleh ketemu orang tua kamu?” tanya Tante Alissa sambil memegang tanganku yang hendak turun dari mobil.
Oh iya! Hampir saja lupa, papa kan bilang kalau aku ikut menjemput orang tua Davin di bandara, orang tua Davin harus menemui papa.
“Boleh kok tante, boleh banget.”
Aku, Davin dan Tante Alissa turun dari mobil. Aku membuka pintu rumah. Mama dan papa yang sedang menonton TV di ruang tamu, seketika langsung menoleh ke pintu masuk.
“Assalamualaikum, Ma, Pa. Ini Mamanya Davin.”
“Assalamualaikum, Pak, Bu. Maaf tadi Diana ikut jemput saya dan suami. Mungkin kalian juga udah tau kalo anak kita berdua udah punya hubungan. Jadi mungkin kita bisa ngobrol sebentar sebelum saya pamit.”
Waduh! Mama sama papa kan belum tau kalau aku dan Davin sudah jadian.
Ekspresi wajah mereka berubah menjadi bingung melihat Tante Alissa.
Aku dan Davin menunggu di halaman depan sambil mengobrol sejenak.
Setelah parkir, papa dan abangnya Davin turun dari mobil dan ikut duduk di kursi halaman depan.
“Mmm, Vin. Aku mau ambil minum dulu ya.”
“Boleh.”
Aku masuk rumah melewati mama, papa dan Tante Alissa di ruang tamu. Di dapur, aku membuat teh sambil mendengarkan apa yang dibicarakan oleh mama, papa dan Tante Alissa di ruang tamu. Suara Tante Alissa paling mendominasi jadi aku bisa mendengarnya dengan jelas.
“Gimana ya, saya sih gak masalahin sama agama karena saya dan suami saya juga beda agama. Tapi kita tetap menjaga keyakinan masing-masing.”
“Ya, tapi kita sangat peduli dengan agama.” bantah papa.
“Kalo saya terserah aja gimana.” sahut mama.
Mereka membicarakan apa ini?
Sejam kemudian, mereka pamit pulang. Aku kembali ke dalam rumah sambil membawa gelas-gelas teh bekas minum di halaman depan. Saat aku berjalan melewati mama dan papa yang sedang duduk di sofa, mama memanggilku.
“Diana, sini duduk dulu.”
“Bentar, Ma. Mau beresin gelas.”
“Udah duduk dulu aja.” perintah papa sedikit memaksa.
Aku menaruh gelas-gelas itu di atas meja ruang tamu lalu duduk di tengah-tengah mama dan papa.
“Kok kamu gak bilang kalo kamu udah pacaran sama Davin?” tanya papa dengan nada tidak suka.
“Ehm, gimana ya, Pa. Aku baru juga kemarin jadian, jadi belum sempet bilang, hehe.”
“Kamu udah putus dong sama Dion?” tanya mama dengan nada panik.
“Belum sih, Ma. Aku bingung gimana.” jawabku menunduk.
“Papa sih jauh lebih setuju kamu sama Dion aja. Meskipun dia jauh di dunia, tapi dia bisa deket di akhirat nanti karena keyakinannya sama.”
“Tapi Davin udah janji kok dia akan memperkuat keyakinan aku dan gak akan bikin aku ragu sama keyakinan aku.” pembelaanku.
“Iya, mama juga lebih setuju sama Davin, dia bisa selalu ada di samping kamu kalo kamu lagi seneng ataupun sedih, gak cuma dari handphone.” pembelaan mama.
“Tapi di mana-mana yang seagama itu lebih penting. Walaupun dia bikin kamu taat sama agama kamu, tapi tetap aja nanti di akhirat kalian gak bisa bersatu karena keyakinan kalian beda. Terus kalo mau dibawa serius, kasian anaknya nanti bingung. Jadi, mendingan jauh di dunia yang sementara tapi deket di akhirat yang kekal atau sebaliknya?” pertanyaan papa menjebak.
Aduh jangan disangkutkan kepada masalah itu dong, Pa, kan jadi takut. Namun, ya bagaimana, aku sudah terlanjur sayang dengan Davin. Ya sudah lah, let it flow, biar waktu yang menentukan siapa seharusnya yang aku pertahankan.
Malam harinya hujan deras, aku tidak bisa tidur karena udara di kamarku sangat dingin. Meskipun sudah 2 selimut, tetap saja dingin ini seperti menusuk tulang. Biasanya kalau aku tidak bisa tidur, aku melakukan panggilan video bersama Dion, tetapi sekarang aku sudah lupa dengan kegiatan itu. Jadi aku hanya menyalakan TV sampai aku tertidur. Paginya, aku merasa pusing, sepertinya karena semalam kedinginan. Aku tidak niat masuk sekolah, tetapi kalau aku tidak masuk, nanti aku tidak bisa bertemu dengan Davin haha, masuk sajalah lumayan dapat uang jajan.
Saat pelajaran, aku hanya tidur-tiduran di meja, semakin lama semakin pusing dan suhu badanku semakin panas. Sampai waktu istirahat, kepalaku masih tergulai lemas di atas meja. Badanku sangat lemas, rasanya menggerakkan tangan saja susah. Tiba-tiba seseorang merangkulku dari samping, ketika aku mengangkat kepalaku dan menoleh ke orang itu, ternyata itu adalah Davin. Davin panik saat melihat wajahku yang pucat dan tergulai lemas.
“Kok muka kamu pucet? Kamu kenapa? Sakit? Mau di UKS aja?” tanya Davin panik.
“Hah? Gak papa aku cuma pusing.” jawabku lemas.
Davin mengukur suhu tubuhku dengan menempelkan tangannya di dahiku.
“Tuh kan panas, aku anterin UKS ya.”
“Gak papa, Vin. Aku di sini aja.”
“Enggak, kamu harus di UKS. Ayo sini berdiri, aku tuntun, atau mau aku gendong aja?”
“Enggak, aku bisa jalan kok.”
Akhirnya, Davin menuntunku menuju UKS. Karena ini waktu istirahat, jadi masih banyak anak-anak di luar kelas. Sesuatu yang bikin kami panik adalah jalan menuju UKS itu harus melewati Otar dan kawan-kawannya.
“Aduh, ada Otar lagi.” ujar Davin mulai takut.
“Ya udah, Vin. Gak usah, ayo ke kelas lagi.”
“Gak papa, udah selow aja.”
Sok berani ya, Vin?
Kamipun melewati Otar dan teman-temannya. Mereka melihat kami dengan sangat sinis.
“Ah, lu mah nyusahin gua aja sih. Gita kemana emang? Temen banget tuh anak. Sampai depan UKS gua tinggal ya, gua belom ngerjain fisika soalnya.” kebohongan Davin terucap dengan lancar.
Lancar juga otakmu, Vin.
“Elah, lo jadi orang jahat amat sih. Kalo ada Gita juga ogah gue minta tolong lo.”
Setelah drama sok tidak peduli itu, akhirnya kami bisa melewati Otar dengan aman.
Sesampainya di UKS, aku berbaring di tempat tidur UKS, sedangkan Davin duduk di kursi sebelah tempat tidurku. Karena tempat tidurku menghadap pintu dan jendela UKS, jadi aku dapat melihat di luar UKS lewat jendela.
Tiba-tiba Otar dan kawan-kawannya lewat. Aku panik dan bingung ingin berbuat apa.
“Davin! Ada Otar!” bisikku dengan panik.
Davin langsung mengumpat di kolong tempat tidur. Setelah Otar lewat, Davin duduk lagi di kursi.
Mengapa harus seperti ini? Sampai kapan akan seperti ini? Sebenarnya aku lelah, lelah menutupi kebohongan ini. Aku tau berbohong dan mengumpat itu dosa. Namun, ini untuk kebaikan kami. Ya Allah, aku sangat bingung.
“Vin, literally I’m tired. Aku capek harus menghindar dari situasi kayak gini.”
“Aku juga sih, Na, tapi ya gimana ya.”
“Emang kalo kita jujur kenapa?”
“Mungkin aku bisa lebih parah dari yang kemarin.” Davin menunduk takut.
“Kalo aku putus sama Dion gak akan ada kayak gini kan?”
“Jangan putus, malah semakin parah.” larangan Davin dengan keras.
“Tapi aku capek kayak gini terus.”
“Iya sih, aku tau. Nanti aku pikirin lagi deh gimana.”
Pikirlah dengan matang agar ke depannya akan lebih baik, Vin. Aku percaya kepadamu.
4 hari kemudian adalah hari Minggu, aku bangun pagi karena ada janji lari pagi bersama Ka Lia dan Ka Elvi. Kalau lari pagi, aku tidak pernah membawa ponsel. Sekarang sudah jam 11 lewat, aku baru saja sampai ke rumah. Aku masuk ke kamar, mataku langsung tertuju ke ponselku yang ada di atas laci. Ketika aku menyalakannya, aku melihat ada 2 pesan masuk.
Satu dari Davin
“Hai, jangan lupa salat zuhur yaa. Aku masih di gereja *Love*.”
Satu dari Dion
“Aku baru selesai sholat Isya nih, kamu jangan lupa sholat Dzuhur ya *Kiss*.”
Oh my God! Sepertinya aku benar-benar harus memilih salah satu antara perbedaan waktu dan perbedaan agama! Mengapa ini terjadi di waktu yang sama?!