Tahun 2011, desember.
Ikanaide.. ikanaide, senpai!*
Lantai yang dingin menusuk sampai tulang, padahal aku sudah beralaskan karpet berbulu yang cukup tebal. Malam ini aku kembali tertidur di bawah dan membiarkan tempat tidur tak terpakai. Dengan tubuh meringkuk seperti bayi dalam ovarium, tanpa bantal dan selimut aku tertidur. Di sekelilingku buku-buku yang tertutup, terbuka, menumpuk dan berceceran memenuhi lantai.
Dan sama seperti sebelumnya, aku merasa jika seolah-olah rohku jatuh sebelum masuk ke dalam tubuh. Rasanya langit-langit kamar seakan berputar, lalu dengan cepat seakan sedang dijatuhkan dari atap gedung atau tebing yang tinggi. Dadaku berdetak dengan kencang dalam beberapa detik. Aku mencoba membuka mata untuk melihat pukul berapa saat ini, tetapi rambut panjangku menghalangi pandangan. Saat aku mencoba untuk menyingkirkan sebagian rambut diwajah, jariku meraba sesuatu diujung mata. Lagi-lagi, ini air mata.
Mimpi yang selalu datang berulang itu, tentang seseorang yang selalu ingin aku ubah takdirnya. Dan karena itu pula rasa bersalahku padanya kembali muncul. Mimpi itu sudah tidak pernah datang lagi sejak setahun lalu, tapi entah kenapa malam ini kembali datang dan tampak lebih nyata. Dalam mimpi yang selalu berulang itu, dia selalu tersenyum di tempat terakhir kami bertemu sambil mengatakan “Sayonara*”, tapi malam ini sedikit berbeda, dia tersenyum seperti biasanya, lalu, “Jya, mata ashita*.” Apa maksudnya dia mengatakan itu padaku? Aku tidak mengerti, tapi aku rasa tidur di bawah seperti ini yang selalu membuatku bermimpi buruk. Bukan buruk karena dia selalu muncul, tetapi itu menjadi buruk saat rasa bersalah yang sudah lama tersimpan datang lagi.
Waktu itu di stasiun tempat terakhir aku melihatnya, dia melambaikan tangannya sembari tersenyum dari dalam kereta hingga pintu tertutup. “Terimakasih sudah memberitahu ku tempat yang bagus untuk membuatnya. Jya, ne... Korin.” Itu adalah saat pertama dia memanggil nama depanku. Dan juga terakhir.
Suara ketukan pintu yang berulang memaksaku untuk bangun dari posisiku yang tidak berubah sejak aku mulai membuka mata beberapa menit lalu. Suara ibu yang memanggil di balik pintu semakin keras, mungkin karena aku belum menyahut.
Aku membukanya tanpa mengatakan apapun pada ibu, misal meminta maaf karena membuatnya mengetuk pintu dan memanggilku terlalu lama. Efek dari mimpi itu selalu membuatku menjadi seperti ini, bahkan sejak sekitar dua tahun lalu saat pertama aku bermimpi hal yang sama.
“Korin, apa kamu masih sakit? Kalau masih merasa tidak baik ibu akan menelepon sekolah untuk meminta ijin.” Setelah aku membuka pintu ibu segera masuk kamarku dan memeriksa suhu tubuhku dengan punggung tangannya. Tanpa mengatakan apapun, aku hanya menggeleng dan memberi ibu senyuman.
“Kalau begitu cepat bersiap-siap dan segera turun untuk sarapan.” Kata ibu berjalan menuju tangga yang ada disamping pintu kamar.
Setelah aku selesai besiap-siap, aku ingat hampir meninggalkan sesuatu yang seharusnya selalu ku bawa ke manapun pergi. Aku mencari benda itu dan menemukannya berada diantara buku-buku yang berserakan. Benda berwarna hitam ini adalah sesuatu yang bisa dibilang dirinya titipkan atau berikan padaku, jam saku milik orang yang selalu mengunjungiku dalam mimpi. Entahlah, aku tidak begitu mengerti dengan perkataannya saat itu, “selama tidak ada yang mengambilnya kembali, itu milikmu.” Aku segera membersihkan sedikit debu yang menempel dan memasukkannya ke saku blazer kemudian berlari turun.
“Lihat, sepertinya kamu akan terlambat. Jadi cepat habiskan sarapanmu dan...”
Jika ibu tidak mengingatkan aku akan sangat terlambat pergi ke sekolah. Aku menyambar roti yang ada di atas meja dan segera berangkat dengan tergesa-gesa. Aku beruntung memiliki ibu yang sangat perhatian walaupun agak sedikit keras. “Ibu, aku minta maaf dan terimakasih untuk sarapannya. Ittekimasu*.” Kataku.
Diantara udara dingin aku masih belari sambil menghindari jalanan licin yang terlapisi es tipis. Jalan yang berlapis es seperti ini memang sangat berbahaya jika terinjak oleh pejalan kaki atau bahkan pengendara mobil dan motor sekalipun. Kendaraan akan segera mengganti ban rodanya saat memasuki musim dingin supaya tidak tergelincir, dan para pejalan kaki akan selalu berhati-hati dengan langkahnya. Dan itu sudah biasa. Tapi bagaimana dengan manusia yang tidak memiliki kata berhati-hati dalam kamus hidupnya? Mungkin kata “memperhatikan sekeliling” bisa menjadi kuncinya.
Kadang aku bertanya-tanya, apa musim dingin bisa membuat seseorang menjadi sedikit ceroboh dan mudah melakukan hal bodoh? Atau, bukan musim dingin, tapi orang bodoh itu memang ceroboh? Mungkin dia adalah orang bodoh yang ceroboh, yang mau menolong orang asing tanpa menghawatirkan dirinya dan masa depannya. Musim dingin selalu mengingatkanku akan hal buruk dan penyesalan.
Aku harap hari ini aku mendapat sebuah cerita menarik yang membuatku tidak bosan dan sedikit melupakan hal buruk atau hal yang menghawatirkan di sekolah. Mungkin itu bukan suatu harapan yang hebat di pagi hari ini. Tapi mungkin bisa menyingkirkanku dari mengingat mimpi semalam.
Pagi yang sibuk. Aku masih berlari dan menabrak beberapa orang sebelum sampai di tempat mesin penjualan tiket kereta. Setelah mendapat tiket, aku melewati mesin wicket dan mengantri di belakang orang-orang yang sudah datang terlebih dulu di peron stasiun. Aku merogoh jam saku dalam saku blazer, mengeluarkannya dan menatap seperti biasa penutupnya sebelum membukanya. Di permukaan bawah jam saku yang berwarna hitam itu terdapat ukiran seekor burung merpati yang seolah sedang terbang dengan mengepakkan sayap. Aku membuka dan mengelap permukaan kacanya dengan ibu jari. Dari situ aku sadar, jam saku yang selalu menjadi penunjuk waktu kemanapun dan kapanpun aku pergi, terlambat sekitar 20 menit dari waktu yang seharusnya. Aku ingat ibu yang pagi ini menunjuk jam dinding, kemudian berterimakasih dalam hati pada ibu karena sudah mengingatkanku. Jika aku melihat jam saku seperti yang selalu kulakukan, aku akan sangat terlambat. Akhirnya aku menyamakan jam saku dengan jam yang ada di stasiun.
Aku masih memandang jam saku hitam, “Senpai, aku...” aku benar-benar tidak bisa mengatakan apa yang aku rasakan walaupun hanya pada benda pemberiannya. Aku benar-benar ingin mengatakannya. Kalau saja aku bisa bertemu sekali lagi dengannya. Kalau saja aku bisa kembali ke waktu di mana dia masih ada.
Tiba-tiba seorang wanita yang juga mengantri di belakangku memberi tahu kalau antrian yang ada di depanku sudah berjalan masuk ke dalam kereta. Aku meminta maaf dan cepat-cepat melangkah masuk ke dalam kereta.
Tapi betapa terkejutnya aku ketika langkah pertama kakiku menginjak gerbong kereta dan aku mendongak, “di mana orang-orang yang sebelumnya mengantri di depanku?” Padahal sangat jelas aku berada di belakang para penumpang sebelumnya dan mengikuti mereka masuk. dan saat kulihat ke arah belakang, tidak ada seorangpun dari para penumpang yang mengikutiku masuk ke dalam kereta.
Kulihat sekeliling sambil berpikir. Walaupun aku berbalik untuk turun itu sudah terlambat, karena selang beberapa detik setelah aku masuk, pintu langsung menutup. Saat aku memeriksa rute tujuan kereta yang aku naiki, aku yakin jika aku tidak salah menaiki kereta dan... aku membiarkan apa yang sedang terjadi dengan duduk di dekat pintu keluar, mengeluarkan buku dan meneruskan apa yang sedang aku pelajari untuk ujian yang sebentar lagi akan datang. Aku sudah tertinggal cukup banyak pelajaran karena absen dari sekolah beberapa hari. Sepertinya aku sudah tertinggal cukup banyak dari teman-temanku yang lain yang juga akan mengikuti ujian. Aku seperti sedang mengejar waktu... atau dikejar waktu?! Entahlah.
Seperti seorang yang kurang peduli dengan apa yang sedang terjadi pada diri sendiri? Tidak, jika aku sudah yakin dengan sesuatu, aku hanya perlu tenang dan membuktikannya. Aku memang tidak tahu dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi, dan aku kurang berminat unuk mencari tahu ada apa dengan kereta ini, atau orang-orang di dalam kereta ini yang bisa dihitung dengan jari.
Seorang gadis datang padaku selang beberapa menit, “Hei, sepertinya umur kita tidak berbeda jauh. Aku Lanna dan yang di sana Lena, adikku. Salam kenal.” Katanya menunjuk seorang gadis yang tampak bermain... puzzle...?? di dalam kereta! Dia memperkenalkan diri dengan ramah dan tersenyum lebar.
Aku menutup buku dan mencoba untuk memperhatikannya. Gadis dengan dress panjang berlengan pendek khas musim panas berwarna biru muda, cat kuku dengan warna biru tua, boater, dan sandal berhak. Sedang adiknya yang memakai pakaian yang sama dengannya berwarna hijau muda. Mereka seperti hendak pergi ke pantai di musim panas. Terlihat sangat aneh karena di luar sana musim dingin. Aku berpikir apa mereka tidak kedinginan?
Aku agak ragu untuk meresponnya, tapi aku tidak ingin dianggap tidak sopan. “Mizuki Korin desu. Kochirakoso*.”
“Apa ini perjalanan pertamamu? Sepertinya aku baru pertama melihatmu di kereta.” Dia mengambil duduk di sampingku tanpa sungkan.
“Tidak juga. Aku memang kadang menggunakan kereta ini. Tapi lebih sering dengan kereta yang lebih awal.” Aku tidak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakannya. Apa ada seseorang yang menanyakan pertanyaan seperti itu pada orang yang baru pertama ditemuinya?
“Tapi...”
Grap!
Gadis dengan dress berwarna hijau menarik lengannya, “Apa?! Kakak juga jarang naik kereta ini, kan?! Maaf, kakakku memang seperti itu, tolong jangan pikirkan kata-katanya barusan.” Mereka pergi dan duduk di tempat mereka, tetapi perdebatan masih terdengar dari dua bersaudara itu.
“Tolong bantu aku menyusunnya atau aku tidak akan mengajak kakak pergi lagi!” sepertinya Lena lebih dewasa dan berkuasa dari kakakknya.
“Ch~!”
“Jangan memasang wajah menjengkelkan!”
Berkat mereka, mataku tidak bisa untuk tidak memperhatikan orang-orang yang ada di dalam gerbong dan mengacuhkannya seperti sebelumnya. Jika diperhatikan mereka memang memiliki keanehan seperti Lanna dan Lena. Keanehan menonjol dari pakaian dan penampilan mereka.
Di bagian ujung gerbong duduk menyendiri seorang pria paruh baya dengan pakaian mantel jas panjang berwarna hitam dan topi fedora. Penampilannya seperti seorang mafia dalam film tahun lima puluhan yang kadang ayah tonton lewat DVD di rumah. Beliau tampak tenang membaca sebuah koran, yang halamannya belum juga di balik selama aku mengamatinya. Di depannya seorang wanita berambut pirang yang digulung simpel dan pakaian merah menyala ala pekerja kantoran duduk dengan laptop di pangkuannya. Ia tampak anggun dan profesional.
Tidak jauh dari dua bersaudara berdiri menyandar pada tiang seorang pria awal tiga puluhan dengan tubuh tinggi dan rambut sebahu serta pakaian ala rocker. Dengan tangan dilipat di depan dada dan mata yang menutup seperti seseorang yang sedang tertidur, benar-benar seperti seorang model dalam majalah yang selalu Saya-temanku bawa ke sekolah. Pakaian serba hitam, beberapa tindik dan benda panjang yang tampak seperti gitar ia bawa di sebelah bahu. Mungkin dia seorang musisi.
Dan di depanku seorang gadis yang mungkin umurnya lebih muda dariku duduk bersama perempuan berambut pendek dan pakaian yang membuatnya terlihat seperti pria. Gadis itu tampak sedih dengan mata yang sembab. “Menangis akan menguapkan perasaanmu, tapi juga menguras banyak energi. Makanlah, sesuatu yang manis akan memberimu energi yang lebih.” Sebuah permen dikeluarkannya dari kantong jaket kulit yang dipakai perempuan berambut pendek untuk diberikan pada gadis itu.
Kereta berhenti di salah satu stasiun yang harus kulewati. Lalu pria dengan pakaian rocker turun dari kereta dan digantikan dua pemuda dengan pakaian casual yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Bahkan mungkin dalam majalah fashion yang sering Saya bawa ke sekolah. Terlihat lebih modis. Mereka tampak sangat keren.
Sebelum stasiun pemberhentian selanjutnya tempat ku akan turun, wanita yang selalu sibuk dengan laptop yang dibawanya itu meninggalkan tempat duduknya. Dan kembali dengan penampilan, gaya rambut, dan pakaian yang sangat berbeda. Kemeja lengan pendek dengan banyak kancing, yang ia masukkan kedalam rok berlipit panjang hingga bawah lutut, lalu handbag yang terlihat kuno. Tampak seperti wanita era... mungkin 80’an.
Dan juga, setelah kedua pemuda sebelumnya masuk ke dalam gerbong. Mereka langsung berjalan kepintu penghubung gerbong lain. Lalu kembali dengan pakaian yang selalu kulihat kemanapun aku berjalan saat pergi keluar bersama Saya. Pakaian kekinian.
Pengumuman pemberhentian selanjutnya sudah diumumkan, aku segera bersiap dan kembali memasukkan buku ke tas. Lalu kedua bersaudara kembali menyapaku dari tempat mereka duduk.
“Apa kau turun sekarang?”
“Tidak mengganti pakaianmu?” tanya keduanya beruntun.
Aku tidak mengerti dengan pertanyaan kedua itu, jadi aku hanya menjawab yang pertama, “Iya.” Dengan suara yang mungkin terdengar aneh ditelinga mereka, bahkan ditelingaku sendiri jika kupikir ulang.
“Sampai jumpa, hati-hati dijalan.”
“Jangan sampai tersesat, ya...”
Aku tidak menoleh lagi saat mereka berdua mengatakan hal itu, tapi dari kata-katanya sepertinya aku tau siapa yang mengatakan kalimat tidak normal itu lagi. Karena tentu saja, aku tidak akan tersesat.
Dan lagi-lagi. Aku benar-benar terkejut ketika pintu kereta terbuka dan melangkahkan kakiku turun menginjak peron. Orang-orang yang sebelumnya tidak ada dibelakangku berjalan melewatiku untuk turun, serta beberapa dari mereka mengatakan permisi seraya terburu-buru mendahuluiku. Kereta yang selalu sibuk di jam ini kembali terlihat. Bahkan beberapa orang yang tadi terlihat mengantri denganku ada yang juga ikut turun bersama.
Kulihat gerbong tempat dimana sebelumnya aku masuki dari luar jendela kereta. Tidak seorangpun yang terlihat olehku. Maksudku, beberapa orang serta kakak-beradik yang selalu bertanya pertanyaan aneh, mereka tidak terlihat dari tempatku berdiri. Yang ada hanya para pekerja kantoran dan orang-orang yang sering kulihat distasiun yang sedang berdesakan di dalam kereta.
Sekejap keringat dingin keluar dan bulu kudukku hampir bediri. Jika saja aku tidak segera sadar untuk melihat kembali jam saku dan akhirnya berlari terburu-buru menuju sekolah karena hampir terlambat.
Tembok gerbang sekolah bercat hitam kemerahan itu terlihat. Masih ada lima menit sebelum bel pertama berbunyi. Aku mempercepat kaki untuk segera melewati gerbang, dan melewati tembok pagar. Aku bahkan tidak ingin melihat kearah sana, karena bahkan di atas tembok pagar sekolah itu, jejak kenangan dirinya masih tetap terlihat.
“Ohayou*, Korin-chan.” Sapa Saya sebelum aku sempat menaruh tas dan duduk di bangku yang sudah beberapa hari ini tak ditempati.
“Selamat pagi juga, Saya.”
“Kamu sudah sembuh? Padahal rencananya aku mau menjengukmu lagi hari ini.”
“Terimakasih. Aku sudah merasa lebih baik sekarang.”
Ikeda Saya adalah teman sekelas yang paling dekat denganku sejak pertama kami masuk sebagai murid baru sekolah ini. Dia gadis cantik dengan tinggi 170cm, berambut blonde bergelombang indah serta berkulit putih seperti porselen. Mirip manekin atau model yang selalu kami lihat dalam majalah fashion. Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti dunia model atau entertain seperti Saya atau siswa lain disekitarku, aku tidak terlalu suka menonton tv. Ditambah lagi, wajah Saya sedikit kebaratan, atau lebih tepatnya memang ada darah eropa mengalir dalam tubuhnya.
“Ohayou! Mizuki, Saya...” kali ini Ichi ikut menyapa kami sambil mengacak-acak rambut Saya.
Yang baru saja datang adalah seorang anak lelaki yang selalu bersikap jahil pada Saya. Tidak ada yang berani berbuat seperti itu pada Saya kecuali dia. Karena bisa saja Saya memelintir tangan orang yang berani berbuat jahil padanya seperti pertama kami masuk dulu. Walaupun sikapnya sangat feminin dan bisa masuk dalam kategori ojou-sama*, Saya bisa sedikit beladiri. Yang anehnya selalu bisa ditangkis oleh Ichi. Mereka dua orang normal yang kadang terlihat aneh dimataku. Dari kombinasi keduanya apapun yang dilakukan selalu bisa menghibur orang di sekitar mereka.
Dan aku pikir harapanku untuk mendapat sesuatu yang menarik pagi ini ternyata cepat sekali terkabul. Bahkan sepanjang hari ini di sekolah aku mendapat banyak hal “menarik” yang bisa mengalihkan ingatan tentang mimpi dan kereta pagi ini.
Diantara lorong yang sepi karena saat ini pelajaran masih berlangsung, aku berjalan menuju toilet. Dan suara decitan sepatu yang bergesekan dengan lantai linoleum terdengar sekali. Dari permukaan lantai yang mengkilap tidak jauh di depanku, bayangan seseorang terlihat berjalan terburu-buru. Dan ujung dari coat panjang berwarna gelap terlihat diujung mataku. Lalu menghilang diujung lorong, tepat menuju tempat yang akan ku masuki. Karena tidak mungkin seorang siswa atau guru memakai pakaian seperti itu di lingkungan sekolah, naluri untuk mengikutinya meningkat. Karena, jika aku sudah penasaran dengan sesuatu yang ada di depan mata, aku akan mencari tahu hingga aku puas dengan jawabannya. Bisa saja itu adalah hantu bayangan yang baru saja Saya dan Ichi ceritakan padaku.
Saat jam istirahat...
Istirahat makan siang selalu menjadi jam sibuk Saya untuk menceritakan semua keluhan dan pemikirannya tentang apapun yang ada di dunia ini. Dari sekolah, rumah dan dunia entertain yang selalu diperhatikannya. Dan selalu, aku menjadi pendengar setia Saya walaupun sebenarnya sering kali tidak tertarik dan selalu membuatku tau banyak hal hanya dari mendengarnya.
“Korin-chan, kamu sudah dengar?”
“Dengar apa? Dari ekspresimu sepertinya itu berita menarik.” Tanyaku yang selalu membuat Saya semakin termotivasi dan menggebu dalam bercerita. Entah kenapa aku selalu memprovokasi Saya saat ia ingin bercerita dengan matanya yang terlihat berbinar.
“Selama satu minggu ini, berita ini menjadi trending topik sekolah karena beberapa siswa sudah melihat dengan mata kepala sendiri.” Saya menghentikan gerakan tangannya yang sudah menggenggam sendok.
“Aku tidak mengerti. Ini berita tentang apa?” tanyaku yang sudah mulai mengunyah makan siang suapan kedua.
“Hantu bayangan.” Tiba-tiba Ichi datang dan menyela Saya yang hendak menjawabnya. Ia ikut duduk bersama kami. Dan kali ini wajah Saya yang kulihat sudah masam dan mulai memakan bento miliknya dengan brutal sambil melirik Ichi.
“Hantu bayangan?!” aku pikir ini cukup menarik.
Dan mereka berdua bercerita bergantian padaku tentang hantu bayangan itu. Hantu yang dikabarkan sudah terlihat sehari sebelum aku absen karena demam kurang dari seminggu yang lalu sudah menampakkan diri pada beberapa siswa dan guru disekolah ini. Hantu itu hanya terlihat diantara lorong sekolah yang sepi, dan lebih sering dilorong menuju toilet. Serta saat jam pelajaran sedang berlangsung. Cuma orang-orang tertentu saja yang melihat hantu bayangan, meraka yang berjalan diantara koridor atau lorong yang sepi ketika pelajaran berlangsung. Saat aku bertanya kenapa mereka menyebutnya hantu bayangan dari pada hantu toilet atau hantu lorong, Saya dan Ichi menjawabnya hampir bersamaan, “karena yang terlihat dari hantu itu memang cuma bayangannya.” Mereka berdua memang kadang terlihat kompak. “dan istilah hantu bayangan itu lebih keren, tau!” lanjut Saya. “bisa kita hentikan dulu pembicaraan tentang itu?! hahh...” katanya mendesah melirik makanannya dengan wajah tanpa nafsu. Walaupun pada awalnya dirinya sendiri yang membuka mulut untuk menceritakannya.
Flashback end...
Dan sekarang aku merasa aneh karena sedang membuntuti hantu itu, yang dari bayangannya terlihat berhenti berjalan dilorong, diantara belokan sebelum toilet seperti yang Saya dan Ichi katakan. Kalau dipikir-pikir, kenapa aku harus menyamarkan langkah dan berjalan berhati-hati hanya untuk memastikan benar atau tidak berita itu? Perutku yang sudah tidak bisa mentolerir rasa mules malah mendadak hilang, berganti dengan rasa penasaran terhadap hantu bayangan. Walaupun masih banyak kemungkinan lain apakah banyangan itu benar-benar hantu atau bukan. Karena kupikir, memangnya sesosok hantu bisa memiliki bayangan, ya?! oh, benar! yang terlihat cuma bayangan. Tapi bagaimana sebuah bayangan bisa membuat suara decitan?
Aku melongokkan wajah dan melihat sekeliling lorong yang hantu itu lalui. Dilorong bagian ujung depan pintu toilet perempuan kulihat bayangan itu berbelok ke arah sana. Dari pantulan bayangannya yang ada di dinding terlihat hantu itu masuk dengan cepat.
Dengan hati-hati aku masuk mengikutinya, atau lebih tepatnya karena aku juga memiliki kepentingan pribadi. Tidak ada seorangpun di dalam, jadi aku membuka satu persatu bilik disana. Terlihat sepi dan tidak ada suara apapun. Dan sebelum sempat membuka bilik terakhir yang berada paling ujung, tepat di depan pintu itu seseorang keluar hingga kami saling terkejut sambil berhadapan, bersitatap.
Mungkin karena aku menghalangi jalannya, maka gadis bertubuh kecil dan lebih pendek dariku mendongakkan kepala, “ano, apa kau bisa minggir? Aku mau lewat.” Katanya dengan ekspresi yang polos tetapi terlihat dingin, juga tatapan mata yang terus menatap mataku tanpa sungkan. Dari wajah serta tubuhnya, gadis itu terlihat seperti siswa SMP, tapi mungkin ia siswa tahun pertama. Karena aku sepertinya belum pernah melihat wajahnya, atau karena aku tidak terlalu mengenali satu persatu wajah siswa tahun pertama.
“Maaf.” Kataku memberi jalan.
Dia melangkah pergi tanpa mengatakan apapun lagi.
Sekarang cuma ada diriku sendiri di dalam toilet perempuan, masih kuamati setiap pojoknya dari tempatku berdiri. Kubasuh wajahku dengan air, lalu dengan malas menghela napas. Walaupun sebelumya ada sesuatu yang aneh disepanjang lorong, dan membuat diriku menjadi aneh karena terus mengikutinya. Mungkin aku salah paham karena cerita konyol itu dan salah mengira pada bayangan juniorku sendiri. Yah, itu benar, tidak semua yang kau lihat itu seperti apa yang ada dalam pikiranmu. Aku merasa dibodohi oleh hantu bayangan yang baru saja ‘debut’ hampir seminggu yang lalu. Dan merasa konyol karena menjadi seorang stalker yang mengikuti adik kelasnya! Hm?! Tapi bagian dari ujung coat yang sebelumnya ku lihat itu apa?
###
Preview
Seorang pria berjalan diantara lorong dengan terburu-buru sambil sibuk bermain ponsel. Dengan data yang sibuk diperhatikannya, ia tetap waspada dengan sekelilingnya. Ia berbelok menuju sebuah ruangan dengan lebih mempercepat langkah. Tepat setelah ia masuk, seseorang sudah menunggunya dan berdiri melipat tangan dengan wajah kesal.
“Osoi*. Sudah dapat datanya?” gadis kecil dengan rambut diikat pita setengah bagian kebelakang itu mengulurkan sebelah tangan.
“Maaf. Ini datanya. Dan sekarang dia sedang membuntutiku.” Katanya menyerahkan sebuah data berbentuk hologram dari ponselnya yang kemudian hanya dilihat foto dan namanya oleh si gadis. Sedang data yang lain diurungkan karena si gadis merasa harus cepat mengeluarkan pria itu dari tempat mereka bersembunyi. Yang sebenarnya adalah toilet perempuan.
“Tapi kenapa kita harus bersembunyi di sini? Kenapa tidak di ruang yang lain seperti sebelumnya? Gara-gara ini aku mendapat julukan aneh!” Lanjut si pria.
“Apa?! Kau mau protes? Bukankah lebih baik disebut ‘hantu bayangan’ dari pada hantu ecchi*?!”
“.....”
“Yasu, cepat pergi.” Katanya lirih tanpa melihat lawan bicaranya dan menatap bawah pintu.
“Aku mengerti. Sampai bertemu ditempat biasanya, ya... Aika.” kata Yasu dengan suara yang ikut dipelankan sebelum masuk salah satu bilik dan menghilang. Aika segera membuka pintu bilik itu yang sekarang sudah kosong. Untuk menyembunyikan diri.
Lalu Aika mengintip dari tempatnya bersembunyi. Dari bawah pintu yang sejak tadi diperhatikannya terlihat bayangan seseorang. Aika menutup pintu tempat dirinya berada, sebelum pintu itu terbuka dan seseorang masuk.
Aika yang hendak pergi seperti Yasu sebelumnya, mengurungkan niat dan memilih keluar dari tempat itu dengan normal. Karena gadis itu berpikir akan lebih baik jika seseorang keluar dan menunjukkan diri untuk menjawab pertanyaan dari orang yang mengikuti Yasu sebelumnya. Ia keluar untuk menghapus keberadaan Yasu.
Dan tepat saat ia membuka pintu, seseorang sudah ada didepannya. Hampir mengagetkannya, tapi Aika masih tampak tenang dengan ekspresi dingin yang sering diperlihatkannya. Ia bahkan memperhatikan wajah gadis itu tanpa hawatir kalau orang yang ditatapnya merasa aneh atau risih.
“Ano, apa kau bisa minggir? Aku mau lewat.” Kata Aika tanpa mau mengalihkan pandangan. Saat ini pikirannya masih tefokus pada data dan seseorang yang ada dihadapannya.
“Maaf.” Kata seorang gadis yang tingginya melebihi Aika hampir 20cm hingga membuatnya sedikit mendongak.
Setelah Aika keluar dan merasa aman tak ada seorangpun yang melihatnya, dikeluarkannya kembali ponsel miliknya. “Pencarian sukses.” Gumamnya. Lalu mengeluarkan sebuah jam saku dengan tangan satunya dan menghilang di depan lorong itu.
---------------------cat.kaki:
*Ikanaide: jangan pergi
*Senpai: senior/kakak kelas
*Sayonara: selamat tinggal
*Jya, mata ashita: dah, sampai besok.
*Ittekimasu: diucapkan oleh seseorang yang akan keluar rumah. Secara harfiah “aku akan pergi dan datang kembali.”
*Mizuki Korin desu. Kochirakoso: saya Mizuki Korin. Salam kenal juga.
*Ohayou: selamat pagi
*Ojou-sama: tuan putri (dari keluarga kaya)
*Osoi: lambat/lama.
*Ecchi: penyebutan untuk huruf “H” di jepang. Berasal dari huruf depan kata “hentai”. Namun ecchi tidak sampai pada tahap seksual.