BAB 15
***
"Bisakah aku menyebut kesalahan yang aku perbuat adalah khilaf."
***
"Langit!"
Langit yang baru saja ingin keluar dari ruang guru setelah disuruh mengantarkan buku-buku tugas Kimia ke meja Bu Laila---guru pengajar Kimia--- langkahnya harus terhenti saat hampir mencapai pintu.
Ia menoleh ke belakang, tampak seorang pria paruh baya dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih tengah membawa sebuah proyektor.
"Iya, Pak Bara?"
Pria yang Langit tau adalah guru Sejarah kelas 10 bernama Bara menghampiri Langit. "Bapak boleh minta tolong?"
"Iya, Pak." Jawab Langit ramah.
"Tolong kamu bawakan proyektor ini ke gudang. Soalnya sudah rusak waktu saya mau gunakan saat mengajar tadi." Kata Pak Bara seraya menyodorkan sebuah proyektor berwarna hitam pada Langit. Langit pun menyambutnya dengan mudah.
"Iya, Pak. Tentu." Langit tersenyum tipis.
"Ya, sudah. Bapak terima kasih sama kamu." Langit mengangguk.
Kemudian, Langit berjalan keluar dari ruang guru dengan proyektor rusak di tangan. Melangkah menuju sebuah ruangan yang terletak di ujung dekat perpustakaan, yaitu gudang sekolah.
Langkahnya menggema di koridor yang sepi. Sepi karena kelas-kelas masih melakukan kegiatan belajar mengajar.
Dan di sana, pintu ujung sana dengan plang putih bertulisan 'GUDANG SEKOLAH' sudah terlihat oleh mata tajamnya.
Ia tau gudang sekolah kalau masih jam sekolah memang jarang di kunci, jadi ia memutuskan ingin langsung membukanya saja. Tangannya yang bebas terulur pada knop pintu dan membukanya.
Pintu terbuka secara perlahan, Langit pun menginjakkan kakinya memasuki ruangan bernama gudang ini. Ada beberapa rak yang berisi karya-karya seni siswa-siswi yang tak begitu layak lagi, beberapa meja tampak tersusun bertumpuk dan beberapanya lagi dibiarkan terisi barang-barang tak terpakai lainnya. Semua tampak berdebu.
Langit memasuki lebih dalam sambil melihat ke kanan kirinya, mencari celah di mana kiranya ia bisa menaruh proyektor rusak ini. Ia berjalan ke arah kanan gudang dimana ada dua rak yang membentuk tiga celah semeter di sana. Ia melewati celah bagian kiri, di sana tidak terlalu banyak barang yang bertumpuk, ia juga melihat ada satu meja yang merapat di dinding yang ada di hadapannya, tampaknya meja itu cukup panjang dan kosong---cuma sebagian meja yang terlihat karena tertutup rak lain.
Ia berjalan semakin jauh menuju meja itu, namun sebuah suara terdengar makin jelas setiap langkahnya mendekat.
Sebuah suara yang terdengar tersengal-sengal.
Langit yang awalnya tak peduli, malah dibuat penasaran. Ia memperlambat langkahnya namun tetap maju menuju meja panjang itu.
"Sayang..."
Suara itu ... Langit tau.
Kedua tangannya yang memegang proyektor tampak bergetar.
"Hhhhahhh..."
Suara yang ia kenal itu semakin tersengal-sengal, atau lebih tepatnya ... mendesah.
Langit ingin berhenti dan berbalik menjauhi tempat itu, tapi entah dorongan dari mana, kakinya membuatnya terus mendekat hingga sebuah pemandangan di hadapannya membuat ia terbelalak.
"Hahhhhh... sayang..."
"Ke--Keisha?"
***
MAAF PENDEK, HEHE
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG