BAB 14
***
"Langit bingung dan heran darimana rasa pedulinya pada Bulan itu datang."
***
"Bulan, ayo cepetan!" Ajak Raela yang menunggunya di muara pintu.
"Iya, bentar!" Balas Bulan yang baru selesai mengikat rambutnya seperti kuncir kuda.
Bulan berjalan cepat menuju Raela, lalu mereka berdua melangkah menuju lapangan basket untuk pelajaran penjaskes.
Teman-temannya yang lain juga sudah berkumpul di sana mulai membentuk barisan. Sang guru olahraga juga sudah stand by dengan peluit yang selalu tergantung di lehernya serta buku absen berwarna kuning di tangan.
"Cepet, cepet kumpul!" Ucap Pak Andi, guru penjaskes SMA Pancasila termuda, kira-kira umur Pak Andi itu sekitar dua puluh lima tahunan. Tampak tubuhnya yang tinggi dan atletis selalu menjai tontonan gratis para siswi---tidak termasuk Bulan.
Bulan dan Raela berlari kecil, membentuk barisan dengan teman-teman yang lain.
"Sebelum memulai, saya mau absen dulu." Ujar Pak Andi.
Seperti yang dikatakan, guru penjaskes itu pun mengabsen murid kelas XI IPA 1. Kemudian, sang guru mengintruksi untuk senam pemanasan bersama-sama yang di pimpin oleh beliau sendiri.
"Oke, karena kita udah senam. Sekarang waktunya lari keliling lapangan basket ini lima putaran." Ujar Pak Andi dengan tegas. "Jangan ada yang curang, larinya cuma tiga kali tapi ngakunya lima kali. Kalo sampe ketahuan, saya tambahin lima putaran lagi. Mengerti?"
"Mengerti, Pak!" Jawab seluruh murid XI IPA 1 serempak.
Setelah itu, mereka pun berlari mengelilingi lapangan basket sesuai perintah.
Bulan berlari beriringan dengan Raela. Namun, baru satu setengah putaran, langkah lari Bulan mulai melambat yang otomatis membuat Raela di sampingnya juga melambat dan menatap Bulan heran.
"Loh, lo kenapa, Lan?" Tanya Raela dengan bingung, ia bahkan langsung mengubah langkah larinya menjadi jalan untuk menyamai langkah lambat Bulan.
"Gak, gak pa-pa." Ucap Bulan dengan napas tersengal-sengal. Ia berhenti sebentar untuk mengatur napas lelahnya.
"Ayo, Bulan!" Raela menarik lengan Bulan pelan, menuntunnya untuk melanjutkan langkah lari mereka yang sudah tertinggal. "Lo pasti bisa! Masa baru segini udah capek?"
Bulan mengangguk kecil, ia langsung melangkahkan kakinya yang kurus itu untuk mengejar ketertinggalan. Raela pun juga setia di samping Bulan. Namun, baru beberapa langkah...
"Haduhh!" Bulan berhenti lagi, membuat Raela juga berhenti. Keringat bercucuran di pelipisnya. Kulitnya yang putih kekuningan juga tampak lebih pucat. "Gue, huh, gue gak, gue gak kuat..."
Bulan meneguk saliva dengan kasar, di sampingnya Raela menatap Bulan cemas. "Lo mending gak usah lanjutin, Lan. Muka lo pucet banget."
Bulan menatap Raela dengan sendu dan lelah. Ia menggeleng pelan, namun tetap diam, masih mengatur napas yang tak teratur. Beberapa murid lain juga sudah melewati Bulan dan Raela.
"HEI, KALIAN BERDUA! BULAN! RAELA!" Teriak Pak Andi dari pinggir lapangan yang menyadari keterdiaman mereka. "LANJUT LARINYA!"
"I--iya, Pak." Jawab Raela pada Pak Andi. Kemudian, matanya kembali menatap Bulan yang menunduk, kedua tangannya bertumpu pada lutut. "Bulan, lo mending berhenti aja."
Bulan mengangkat pandangannya, bibir pucatnya bersuara lemah, "Lo duluan, aja, Rae. Gue, gue, nanti nyusul."
"Beneran?" Tanya Raela ragu. Bulan mengangguk lemah.
"Lo, lo duluan aja. Nanti Pak Andi ma--marah." Ucap Bulan terbata-bata.
Raela menggigit bibirnya, ia merasa tak tega meninggalkan Bulan dalam kondisi seperti ini. Namun, Bulan tersenyum lemah, ia mencoba menyakinkan Raela dan akhirnya cewek bertubuh mungil itu mengangguk kecil.
Raela pun berlari seperti yang Bulan pinta, walau berat hati tentunya.
Bulan mencoba berdiri tegak, padahal matanya sudah sayu dan berkunang-kunang. Ia mengusap kasar peluh yang terus menetes di pelipisnya.
Bulan melanjutkan langkah larinya yang lemah, agak sedikit oleng sebenarnya. Namun, Bulan mencoba untuk tetap kuat dan berdiri kokoh.
Ia tidak boleh lemah.
Bulan terus berlari, masih tiga putaran lagi. SEMANGAT!!!
Ia harus kuat.
Bulan terus mengusap peluhnya dan membasahi bibirnya yang kering dan pucat.
Ia harus mampu.
Mata Bulan semakin berkunang-kunang dan mangabur. Ia mengubah langkah larinya menjadi berjalan.
Ia tidak boleh--
Brakk
"BULAN!"
***
Langit berjalan sendirian di koridor yang sepi, seluruh siswa maupun siswi sedang melakukan kegiatan belajar di kelas.
Cowok itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Berjalan lurus menuju kelasnya sehabis dari toilet putra.
Ia sesekali menatap ke sekitar, tak mungkin kan matanya hanya menatap lurus ke depan. Emangnya gak pegel tuh mata?
Saat melewati lapangan basket, tampak banyak orang di sana berseragam olahraga. Ia berasumsi itu adalah kelas yang mendapat jadwal penjaskes.
Namun, matanya yang tajam itu menangkap seseorang yang langkah larinya lebih lambat dari siswa-siswi lainnya. Mata Langit semakin menyipit.
Ia tak salah lagi, seseorang itu adalah Bulan.
Langit menghentikan langkahnya di samping pilar. Menatap fokus pada Bulan yang tampak menyedihkan. Sesekali cewek itu mengusap pelipisnya yang banjir keringat.
Langit ingin pergi dari sana. Namun, seolah ada lem tak kasat mata yang terdapat di telapak sepatunya. Ia tidak dapat bergerak. Dan entah mengapa, serasa ada magnet yang membuatnya untuk terus memperhatikan cewek itu.
Langit ingin ke sana, meneriaki Bulan : KALAU GAK SANGGUP, GAK USAH LANJUT!
Tapi, keadaan malah sebaliknya. Ia tetap diam bersandar di pilar dengan mulut terkatup rapat.
Langkah Bulan semakin melambat dan mulut Langit semakin gatal untuk berteriak.
Bulan sudah mengubah langkahnya menjadi jalan, wajahnya juga tampak pucat. Langit semakin gelisah, antara ke lapangan untuk menarik Bulan dan menyuruhnya berhenti atau tetap diam menatap cewek itu tak peduli.
Lalu...
Brakk
Mata Langit melebar, jantungnya berdegup kencang. "BULAN!" Teriaknya seraya belari menghampiri Bulan yang ambruk di tepi lapangan. Semua siswa-siswi XI IPA 1 mendekat, termasuk Pak Andi yang juga terkejut melihat salah satu muridnya terkulai lemas.
Langkah lari Langit berhenti tepat di depan Bulan, ia berlutut---beberapa orang menyingkir untuk memberi ruang Langit.
Tanpa aba-aba, Langit menaruh kedua tangannya di bawah lipatan lutut dan mengangkat Bulan ala bridal style. Tak peduli dengan siswa-siswi yang menatapnya dengan berbagai tatapan. Ia menjauh dari sana membawa Bulan menuju UKS dengan berjalan cepat.
Merasa tidak ada yang perlu di permasalahkan, Pak Andi kemudian kembali menatap murid-muridnya dengan tegas. "Kalian ngeliatin apa?!" Tanya Pak Andi lantang. "Kembali berkumpul. Yang belum selesai larinya, langsung lanjutin!"
***
Langit membuka pintu UKS dengan sikunya, karena kedua tangannya dalam keadaan menggendong tubuh Bulan yang terkulai lemas.
Setelah pintu terbuka, lekas-lekas Langit menuju salah satu brankar yang mana tertutup tirai berwarna tosca.
Tak peduli tatapan sang penjaga UKS yang keheranan, si penjaga UKS yang bernama Bu Wita langsung mengikuti langkah Langit.
Langit langsung meletakkan tubuh Bulan di brankar itu. Ia menghela napas lelah, walaupun sebenarnya tubuh Bulan ringan, namun membawanya dengan berjalan cepat dan tergesa-gesa membuat dia kelelahan.
"Dia kenapa?" Tanya Bu Wita dengan raut cemas.
"Pingsan." Jawab Langit singkat namun sarat akan kekhawatiran.
"Maksud saya, kenapa dia sampe pingsan?" Tanya Bu Wita seraya melepas sepatu yang Bulan gunakan.
"Habis lari pas olahraga." Jawab Langit cepat. Ia tampak berdiri gelisah di samping Bu Wita, apalagi tubuh Bulan bagai tak bernyawa. Pucat sekali.
"Tolongin, dia, Bu. Cepetan!" Desak cowok itu.
Tanpa perintah Langit pun, Bu Wita akan menolong Bulan. Namun, melihat kecemasan cowok itu, Bu Wita dapat memakluminya. Penjaga UKS berhijab itu mengambil minyak kayu putih di lemari kaca yang tersedia di sana. Lalu, mengarahkan aroma minyak kayu putih itu ke lubang hidung Bulan.
Langit meremas-remas jari-jarinya sedari tadi, berharap cewek yang berstatus pacarnya ini lekas sadar.
Belum ia pikirkan dari mana rasa cemas, khawatir, dan peduli itu datang.
Saat melihat Bulan pingsan, nalurinya langsung mendesak untuk berlari dan menolong cewek itu. Mungkin nanti akan ia pikirkan, yang terpenting, tunggu Bulan sadar dulu.
Beberapa menit kemudian, Bu Wita berkutat dengan pasiennya yang sepertinya sudah mulai sadar namun belum membuka mata sepenuhnya. Wanita itu berbalik menatap Langit yang menyerangnya denan tatapan tanya.
"Bulan baik-baik saja." Ujar Bu Wita, mengerti arti tatapan cowok berumur tujuh belas tahun itu. "Sebaiknya, kamu ke kelas belajar. Mungkin guru kamu akan bertanya-tanya kemana kamu."
"Tapi--"
"Dengar kata-kata saya." Ucap Bu Wita tegas.
Langut mendengus. Ia melirik sekali lagi pada Bulan yang masih terpejam, namun tangan kanannya memijat pangkal hidungnya. Sepertinya, cewek itu masih merasa pusing.
"Iya." Kata Langit lempeng.
Langit pun berbalik dan berjalan gontai. Saat sampai di muara pintu, ia melihat Bu Wita menggeser tirai menutupi brankar yang mana ada Bulan berbaring di atasnya. Ia menutup pintu itu pelan, dan berjalan kembali menuju kelasnya.
Baru beberapa langkah, langkahnya terhenti. Sebuah suara memanggil datang dari belakangnya. Langit tau suara siapa itu, ia berbalik dan tersenyum menatap si pemilik suara, Keisha.
Keisha balas tersenyum dan ia mendekat pada Langit.
"Lo pasti dari UKS?" Tanya Keisha langsung.
"Kok, tau?"
"Iyalah." Ucap Keisha enteng. "Kan, dari awal Bulan pingsan sampe lo bawa dia ke UKS, gue udah ada."
Langit mengernyit.
Keisha maju dan memeluk lengan Langit dan membawanya bicara sambil berjalan. "Lo gak curiga gituh sama Bulan?"
"Curiga apaan?" Tanya Langit balik.
"Ya... akhir-akhir ini Bulan keliatan sering mual dan muntah. Setidaknya, itu sih yang gue tau." Ujar Keisha menjelaskan. Tangannya masih setia memeluk lengan Langit. "Dan sekarang, dia tampak kelelahan banget, trus pingsan lagi. Emangnya lo gak mikirin sesuatu, gituh?"
Langit menatap Keisha dengan menyipit, namun sedetik kemudian tersenyum. "Sayangnya enggak, Kei. Palingan dia kelelahan buat nyiapin olimpiade. Dia kayaknya belajar mati-matian, deh."
"Oh..." Keisha ber-Oh malas. Langit mengangguk.
Cewek itu semakin mengeratkan pelukannya pada lengan Langit. Ia juga menyandarkan kepalanya pada bahu Langit. Sambil berjalan beriringan, Keisha berkata, "Gue tau kok Lo masih suka sama gue." Keisha mengangkay kepalanya dan tersenyum manis pada Langit. Kemudian, bersandar lagi. "Gue juga masih suka sama lo."
Langit tertegun, ia menatap Keisha dengan raut wajah yabg sulit diartikan. Dan lebih mengejutkan lagi adalah pernyataan Keisha setelahnya.
"Kalo lo mau... gue rela kok jadi selingkuhan lo."
***
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG