BAB 1
***
"seseorang akan melakukan segala cara untuk melupakan kepahitan, walaupun itu hanya sementara."
***
Seorang cowok beralis tebal, hidung yang mancung dan rahang yang tegas berjalan dari parkiran dan sekarang sedang menuju kelasnya, siapa lagi kalau bukan Zerion Langit Adhyaksa.
Berbagai tatapan datang padanya. Tatapan kagum dan memuja dari kalangan siswi tidak akan pernah absen. Tapi, tidak ada satu pun yang berani mendekat atau mengganggunya karena jika berani maka harus bersiap-siap untuk mendapat gangguan serupa yang lebih besar dari yang diperkirakan. Perumpamaan yang berlebihan, bukan?
Namun, memang begitulah adanya.
Pernah satu waktu, ada seorang siswa bernama Agung dengan beraninya mengejek dan menyinyir Langit karena tampangnya yang dingin dan datar. Pada awalnya, Langit diam saja. Namun, lama kelamaan ia merasa jengah dan tak segan-segan memberi beberapa tonjokan yang berhasil membuat Agung di bawa ke rumah sakit saat itu juga karena ada kepatahan di tulang hidungnya.
Hanya beberapa orang saja yang bisa berdekatan dengan Langit, seperti teman terdekat dan keluarga. Tapi, ada satu orang yang tak pernah menyerah meruntuhkan tembok es yang dibangun cowok berahang tegas itu, dia adalah seorang cewek dengan rambut sebahu serta berbadan mungil.
"LANGIT!" Teriak seorang cewek itu sambil mengejar langkah Langit yang lebar.
"LANGIT, TUNGGUIN!" Langit tetap berjalan dan enggan menoleh.
"LANGIT, GUE BILANG TUNGGUIN!!! KALO NGGAK, GUE DOAIN JODOH LO KAYAK BANCI YANG SUKA NANGKRING DI PEREMPATAN!!!
Brukk
"ADAWW!!!" Cewek itu mengaduh keras ketika tubuhnya yang kecil mungil menabrak sesuatu yang kokoh.
Cewek itu mendongak dan wajahnya langsung sumringah ketika melihat Langit yang sudah berbalik menghadapnya.
"Apa?!" Sentak Langit pada gadis di sampingnya.
Bukannya takut ataupun gugup, cewek berambut sebahu itu malah tersenyum lebar selebar jalan tol dan menampilkan deretan giginya yang rapi. "Nggak apa-apa." Ia terkekeh.
"Buang waktu." Desis cowok itu dengan dingin.
Langit kembali melanjutkan langkahnya yang tadinya sempat terhenti oleh cewek menyebalkan itu. Namun, ia lagi-lagi dibuat kesal. Bukannya cewek itu berhenti menganggunya, ia malah mengikuti Langit dan berjalan di sampingnya. Langit bisa saja membuat cewek itu pergi dari hidupnya, tapi ia tidak bisa menggunakan cara-cara kekerasan pada seorang perempuan karena dengan perkataan sekasar apapun pada cewek itu tak akan mempan.
"Lo bisa gak sih gak jalan di samping gue?!"
Cewek itu mengangguk ringan. "Oke."
Langit kembali melanjutkan langkahnya yang beberapa kali terhenti oleh cewek menjengkelkan yang tak henti-hentinya mengejar dia. Langit tahu namanya. Cewek itu adalah seorang cewek pintar yang setengah tahun lalu mengikuti olimpiade matematika, namanya adalah Bulan.
Bulan bukan termasuk ke dalam kategori orang terdekat Langit, bukan teman apalagi keluarga. Dia hanya seorang cewek yang selalu mengejar Langit, ia selalu berusaha membuat Langit suka padanya.
Bulan telah jatuh cinta pada Langit sejak masa orientasi sekolah sekitar satu tahun lalu. Dan Bulan tak peduli jika ada yang menyinyirnya ataupun mengejeknya karena terus mengejar Langit tapi tanpa hasil hingga sekarang.
Langit berbalik tiba-tiba dan membuat seseorang menabrak dada bidangnya dengan keras. Langit menggertakkan giginya dan menatap tajam pada orang itu.
"Kenapa malah Lo jalan di belakang gue, hah?!" Bentak Langit pada Bulan yang rupanya mengikutinya dari belakang tadi.
"Tadikan Lo bilang jangan jalan di samping. Jadi, gue jalan di belakang, aja." Jawab Bulan dengan cengiran polos.
Langit mengeram dan berteriak, "JANGAN GANGGU GUE!!!"
Teriakan Langit itu berhasil membuat siswa-siswi di sekitar mereka menatap heran pada objek itu.
"Nggak mau."
"Gue bilang jangan ganggu gue!!!"
"Gak."
"Lo itu gak ngerti bahasa manusia, ya??! Apa perlu gue pake bahasa binatang biar lo ngerti??!"
"Gak perlu." Jawab Bulan singkat dan tersenyum manis. Hal itu membuat amarah Langit tersentil. Cewek di depannya ini membuat kesabarannya habis.
"Kalo sekarang lo gak pergi dari hadapan gue, maka gue bakal--"
"Bakal apa?"
"Jangan potong kalimat gue!" Desis Langit.
Gadis itu mengangguk tanda mengerti namun masih dengan senyuman yang terpatri di wajahnya seolah senyuman itu memang tercipta untuknya.
"Gue bakal bikin lo jera di samping gue dengan cara apapun, bahkan gue gak segan-segan ngancurin muka sok cantik lo itu!" Lanjut Langit dengan nada lambat yang mengancam.
"Oke." Bulan mengangguk santai dan malah tersenyum. "Sekarang gue bakal pergi dari lo, tapi gak tau kalo nanti. Sampai jumpa beberapa jam kemudian, ya!!!" Bulan melambai-lambaikan tangannya pada Langit lalu melenggang pergi tanpa tahu ekspresi Langit.
Gue salah pemilihan kata, njir. Batin Langit.
***
Hiruk pikuk keramaian kantin sudah menjadi hal lumrah ketika bel sudah menunjukkan waktunya istirahat. Di kantinlah mereka sekarang, Langit dan kedua sahabatnya serta kakak kandungnya yang semakin menjengkelkan setiap hari.
"Kenapa muka Lo kusut? Belum di setrika, tuh, muka?" Tanya Angkasa.
Derin Angkasa Adhyaksa adalah saudara laki-laki Langit yang berbeda satu tahun darinya. Angkasa menduduki kelas dua belas dan Langit menduduki kelas sebelas. Angkasa selalu merasa dirinya kembar tak identik dengan Langit lantaran memiliki nama yang bermakna sama. Perbedaan di antara keduanya terletak pada wajah Angkasa yang terkesan tengil dengan senyuman konyolnya serta rambut yang acak-acakan.
Angkasa juga bukannya tak punya teman di angkatannya, namun ia lebih suka menghabiskan waktu dengan saudaranya.
"Muka dia, kan, emang udah kusut dari sananya." Sahut Dami, salah satu sahabatnya Langit.
"Mending Lo cari cewek biar muka lo yang kusut itu bisa lebih rapi dan berwarna tentunya." Kata Miko seraya mengunyah pisang goreng milik Angkasa.
"Lah, muka Langit berwarna, kok. Kalo gak berwarna berarti hitam putih, dong." Celetuk Angkasa.
"Bacot." Tukas Langit dengan nada yang datar.
"Eitdah, santai aja, bossku."
"Lang, kenalin gue sama cewek di kelas lo, dong." Kata Miko sambil menampilkan cengiran lebar.
"Cewek mulu, lo! Si Intan mau lo kemanain?" Kata Dami seraya menoyor kepala Miko.
"Bosen gue. Masa gue diperintah mulu sama dia. Dikata gue budak dia apa?!"
"Emang pantes." Celetuk Langit tanpa beban sambil memainkan ponselnya.
Sontak saja, Angkasa dan Dami tertawa melihat ekspresi Miko yang kini semakin cemberut.
"Tega kamu, Mas!" Kata Miko seraya bergaya seperti banci yang sering nangkring di perempatan jalan.
Langit bergidik ngeri. "Najis."
"Dari pada lo! Sampai sekarang masih belum move on sama yang dulu." Ejek Miko pada Langit seraya menampilkan senyuman miring. "Mending Lo sama Bulan. Tuh, cewek, kan, cantik manis gimanaaa gituh."
Langit melirik tajam pada Miko, ia paling tidak suka jika ada orang yang membahas cewek sialan itu. "Mulut cabe, lo!"
Miko semakin tersenyum kemenangan melihat Langit yang terpengaruh dengan ejekannya, lirikan tajam dari Langit juga tidak mempan membuat dia berhenti membahas topik yang paling di benci Langit.
"Kas, kalo Langit sama Bulan pacaran, lo setuju, kagak?"
Angkasa tersenyum penuh arti. "Pasti."
"Gue juga setuju." Sahut Dami sambil terkekeh.
Langit mendengus kesal, ia bangkit berdiri untuk pergi karena ejeken ketiga sahabatnya itu semakin menjadi-jadi. Baru ingin melangkah, tubuh Langit langsung di dorong dan terduduk kembali seperti semula.
Awalnya, Langit tersentak kaget. Namun, ketika melihat si pendorong adalah Bulan, ia malah menjadi geram karena gangguan bertambah.
Bulan mendudukkan dirinya di samping Angkasa tepat di depan Langit. "Jangan pergi dulu, dong!"
"Baru, aja, gue mau gangguin Lo." Lanjutnya seraya terkekeh kecil.
"Lo lagi, lo lagi. Bosen gue liat lo mulu!" Tukas Langit.
"Gak pa-pa. Yang penting guenya gak bosen." Bulan terkekeh. Apalagi sekarang wajah Langit tampak memerah seperti kepiting rebus karena marah.
"Pergi lo!" Usir Langit.
"Eits, cewek cantik jangan dikasarin, harusnya dihalusin, dong." Kata Miko menggoda seraya menaik turunkan kedua alisnya.
Napas Langit semakin cepat karena kekesalannya menumpuk. Jika ada kisaran kekesalan antara angka satu sampai sepuluh, maka kekesalan Langit berada di angka lima belas.
"Bulan yang cantik, Lo mau pesen apa?" Ucap Angkasa dengan gaya yang berlebihan. "Biar Abwang pesenin untuk Enweng Bulan."
Bulan tertawa kecil. "Jus melon, aja."
"Siap, Bulan cantik!" Kata Angkasa seraya melakukan gestur hormat. Kemudian, cowok itu berdiri dan menatap ke kedua temannya. "Lo berdua mau nemenin gue, kagak?"
"Mau, donggg." Jawab Dami dan Miko serempak.
Lalu, mereka berjalan beriringan dengan Angkasa untuk memesan jus melon untuk Bulan meninggalkan dua insan yang duduk berhadapan dengan ekspresi berbeda. Langit yang cemberut dan Bulan yang semakin tersenyum lebar.
Sudah bukan rahasia lagi jika Bulan adalah pengagum dan pengejar Langit. Karena gadis itu melakukan dengan terang-terangan, bahkan semua orang yang melihat tingkah Bulan pasti akan menggeleng-gelengkan kepala.
***
"Bulan, lo belum di jemput?" Tanya Raela dengan bingung.
Bagaimana tidak, jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Raela yang baru pulang ekskul mading tentu saja akan heran melihat Bulan yang seharusnya jam segini sudah berada di rumah.
"Seperti kelihatannya." Jawab Bulan singkat.
"Kalo gue bawa mobil sih pasti gue anter lo. Tapi, gue hari ini mesan taksi. Jadi, gak bisa, deh. Maaf, ya?"
Bulan tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Mungkin ayah gue sebentar la--"
"Eh, taksi gue udah dateng tuh. Gue duluan, ya!" Raela melambai-lambaikan tangan pada Bulan dan memasuki taksi. Ia membuka kaca jendela taksi dan kembali melambai-lambaikan tangannya. "Gue duluan, Bulan!"
Bulan tersenyum tipis dan mengangguk.
Ia melirik jam tangan yang tersampir di pergelangan tangan kirinya. Lalu, tersenyum kecut.
Bulan tertawa miris. "Bodoh, Bulan. Lo bodoh!" Makinya pada diri sendiri.
Bulan bisa saja menelpon supir pribadinya untuk menjemputnya. Tapi, ia hanya ingin ayah atau ibunya. Bulan semakin merasa sesak di dadanya, karena keinginannya adalah hal mustahil.
Bulan berharap ayahnya datang menunggunya di samping mobil, lalu ia datang memeluk ayahnya. Atau, ia berharap ibunya melambaikan tangan menyuruhnya masuk ke dalam mobil secepatnya dan langsung menanyai dapat nilai berapa ia hari ini.
Tapi, itu hanyalah harapan-harapan yang sangat berkemungkinan kecil untuk terjadi. Bulan iri dengan teman-temannya yang bisa merasakan kebahagiaan bersama kedua orang tua mereka. Ia ingin dimanja, ia ingin ditanya nilainya, ia ingin dipeluk dan ia ingin kasih sayang.
Bulan bisa saja membenci kedua orang tuanya, tapi ia malah semakin sayang seberapa buruk pun orang tuanya.
***
Bulan berjalan gontai memasuki rumah dan langsung menaiki tangga menuju lantai dua. Baru anak tangga ketiga, langkahnya terhenti karena suara ayahnya.
"Dari mana saja kamu?!" Tanya Erik dengan lantang dari ruang keluarga.
"Dari sekolah."
"Kenapa baru pulang sekarang?! Habis ngapain kamu?! Habis keluyu--"
"Habis nunggu Ayah."
Erik bungkam, mulutnya terkatup rapat membentuk garis lurus. Ia menatap anaknya itu dengan pandangan yang sulit diartikan. kemudian, mengalihkan perhatiannya lagi pada televisi yang sekarang menyiarkan berita pembunuhan.
Dada Bulan sesak sekali seperti terhimpit. Ayahnya tidak peduli padanya. Ia berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya dan menguncinya. Ia berjalan gontai dan mendudukkan dirinya di tepi kasur.
Tas sekolahnya sudah ia lempar ke sembarang arah dan sepatunya sudah ia tendang entah kemana. Bulan menutup seluruh wajahnya dengan telapak tangannya. Dapat dirasakan air mata mengaliri wajahnya semakin deras. Bulan memukul-mukul dadanya yang sakit sekali.
Sering kali ia bertanya pada hatinya. Kenapa orang tuanya selalu bertengkar? Apakah orang tuanya memang tak pernah berniat untuk bersama? Lalu, bagaimana dengan dirinya? Apakah orang tuanya tak peduli dengannya? Apakah orang tuanya menyesal telah memiliki anak seperti dia?
Hatinya hancur dan sakit bagai ditusuk beribu panah. Bulan merasa dirinya seorang yang tidak diharapkan kehadirannya. Kadang, Bulan merasa seharusnya ia tidak ada di dunia dan berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Namun, harapan-harapan yang berkemungkinan kecil terjadi dan mustahil selalu terlintas di otaknya. Bulan hidup dalam harapan semu. Itulah yang membuat ia mampu bertahan, setidaknya... untuk sementara
***
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG