4 jam sebelum reuni...
“Gak apa nih gak dianterin?”, suara Rayyan yang habis tidur siang masih serak. Dia duduk di anak tangga pertama dan nontonin Yara di ruang tamu yang sibuk bersiap-siap buat pergi.
“Gak apa. Gue udah ditungguin Desi nih.”
Langkah Yara mendekati Rayyan.
“Ya ampun! Ni rambut udah kayak rambutnya babang Wolverine aja. Pake kaos dalem doank lagi.”
Yara nyisirin rambut Rayyan yang jabrig dan acak-acakan pake jari-jari tangannya.
“Lu yakin gak akan ke barbershop dulu?”, kini Yara sibuk merapikan tampilannya.
Dari depan rumah terdengar bunyi klakson motor.
“Tuh! Ojol dateng. ”
Yara bergegas ke depan pintu. Sambil memakai high heels tiga sentimeternya Yara masih sibuk aja ngomong ke Rayyan, “Lu kalo mau lanjut tidur tiati kebablasan. Katanya mau ikut reuni kan.”
Rayyan ngebawa tas Yara yang ketinggalan di sofa. “Tasnya”
“Dih! Siniin tas gue. Kenapa lu pake coba? Bau ketek lu entar ah!”
Rayyan langsung mencopot tas Yara dari bahu kekarnya, lanjut nyium-nyium kanan-kiri ketiaknya sendiri.
“Nggak bau kok. Nyobain apa enaknya pake tas bahu”, sambil ngejelasin ukuran lubang hidung Rayyan melebar gara-gara ucapan Yara.
“Eray, gue cabut.” Sambil jalan ke depan Yara masih sibuk noleh-noleh aja ngomongin Rayyan. “Ketemu entar di sana. Handphone lu jangan lupa charge...” Jalan dikit, “Tunggu mang!”, Yara nengok lagi ke Rayyan. “... Jangan mati mulu, gue susah entar ngehubungi lu...”.
"Bawel banget! Kasihan tuh kang Ojolnya!", Rayyan berteriak ke Yara, yang dibalas cekikikan dari Yara sambil make helm dari kang Ojol.
“Hihi... Dadah... Assalamu’alaikum!”
# # #
“Wa’alaikum salam. Baik. Apa kabar Di?”
Sambil duduk di pinggir ranjang Rayyan mengangkat telfon dari Dodi, teman baiknya dulu di SMA.
“Ok. Jam 17:30? Ok. Iya, rumahku masih sama di tempat yang dulu kamu sering datang. Hahaha... gak nyindir. Kamu kan sekarang juga sibuk. Siap. Ok”
Rayyan sudah janjian dengan Dodi buat ke reunian bareng. Dodi bahkan yang sibuk bekerja di luar negeri sampai menyempatkan buat datang ke Bandung. Karena alumni SMA Jaya Bangsa angkatan ke 8 baru kali ini mengadakan reuni setelah 7 tahun mereka lulus SMA.
Setelah mematikan handphone Rayyan kembali ke lantai 1. Duduk-duduk di sofa, sesekali rebahan. Rumah rasanya sepi banget gak ada Yara. Kalo aja ibu belum meninggal. Tiap Rayyan teringat ibu pasti bergegas untuk berdo'a. Rayyan selalu merasa jika dia tiba-tiba teringat dengan seseorang yang telah meninggal itu salah satu tanda rindu, maka Rayyan wajib mendo'akan termasuk jika Rayyan tiba-tiba teringat kedua orangtuanya yang Rayyan gak pernah tau keberadaannya sampai sekarang, sudah meninggal atau masih hidup, namun Rayyan tetap mendo'akannya. Bosan melihat berita online Rayyan beranjak ke meja dapur kotor. Mengambil pisau, mangkuk, lalu mengupas mangga. Rayyan mau bikin jus mangga.
Setelah selesai Rayyan gak meminumnya. Hanya menaruhnya ke handy cool lalu dimasukkan ke kulkas. Rayyan membuat jus mangga buat Yara. Jus mangga adalah jus favorit Yara.
Tapp... tapp... Jarinya sibuk mengetik.
“Aku bikin jus mangga. Ada di kulkas.”
Send!
Sementara di salon Natural Beauty...
Rambut Yara dan Desi sama-sama lagi di hot oil. Lagi rileks dipijat sama mbak-mbaknya tiba-tiba handphone di genggaman Yara bergetar. Yara langsung membukanya.
“Siapa Ra?”
“Laki gue.”
“Laki lu? Cihh! Laki lu belah onohnya doank.”
“Maksud lu?” Yara pengen nengok ke Desi tapi susah, jadi cuma ngelirik doank.
“Pake nanya lagi. Lu juga pasti tau maksudnya. Eh! Lu udah denger kabar belum?” Suara Desi tiba-tiba meninggi jadi bikin Yara penasaran.
“Apaan?”
“Makanya lu masuk atuh ke grup chat reuni. Teman-teman dichat grup bilang bakalan pada dateng ke reunian gara-gara pengen lihat Mettasha sama Rayyan. Jadi gue yakin banget teman-teman kita bakalan pada datang...”
“Gila aja emang ya?! Dari dulu mereka tuh gi...”
“... Dan mereka juga nungguin lu ketemu Wildan.” Yara langsung melotot mendengar kalimat Desi.
“Bentar, mba.” Yara mengangkat telapak tangannya, menghentikan aktifitas mba yang sedang memproses perawatan rambut Yara. Dengan bergegas Yara melihat ke arah Desi. Kalo gak nengok gitu rasanya gak afdhol.
“Des! Maksud lu anak-anak mau lihat gue sama Wildan? Buset! Kurang kerjaan bener! Udah mba.”
Yara kembali menata posisinya.
“Ye! Gak usah nyolot ke gue Ra. Emang gitu kok mereka ngobrol di chattingan.”
“Kurang kerjaan amat pada ya?!!”
Yara kembali memejamkan mata, berusaha tenang dan rileks dengan pijatan di kepalanya.
# # #
18:35
Sebuah mobil Mini Cooper 5-Door Electric Blue Metallic berhenti di parkir valet Trans Luxury Hotel. Seorang wanita cantik bertubuh tinggi semampai, bergaun batik abu kombinasi sifon biru navy berukuran tiga perempat dengan flat shoes hitam, terlihat keluar dari mobil tersebut. Sambil membawa handbag keemasan di tangannya wanita berambut hitam lurus sebahunya yang digerai itu menjumput rambutnya ke belakang telinga, dia terlihat tenang berjalan ke arah lift. Tak lama setelah pintu besi itu terbuka dia segera masuk dan menuju Trans Grand Ballroom.
Pintu ballrom silver yang tinggi dan berukir batik itupun dibuka oleh dua petugas keamanan acara yang berjaga di depan pintu. Dari dalam terdengar suara nyari MC menyeruak dari pengeras suara. Mata para hadirin langsung berserobok melihat ke arah pintu yang terbuka.
“Nah! Teteh senior kita yang cantik rupanya telah hadir. Teh Mettasha... Kumaha kabar na (bagaimana kabarnya)? Damang (Baik)?? Teman-teman! Silakan beri tepuk tangan yang meriah buat kak Mettasha. Karena dialah acara ini dapat terselenggara dengan meriah seperti ini."
Wanita muda itu tersenyum ke arah MC dan hadirin sambil tetap berjalan luwes menuju mejanya, diiringi tepuk tangan yang mengisi riuh ruangan. Sesuai dengan nomor yang sudah tertera di undangan dia duduk di meja paling depan, paling dekat dengan panggung. Sampai beberapa menit mata para hadirin tak lepas dari Mettasha. Termasuk mata Rayyan, yang duduk berjarak hanya tiga meja di belakang Mettasha. Mendadak darahnya berdesir tak karuan. Mulutnya kering. Ritme jantungnya meningkat. Tubuhnya mulai bergetar. Dari arah belakang tiba-tiba Yara bangkit dari duduknya, meninggalkan lelaki tampan yang duduk di sebelahnya: Wildan. Sementara Desi yang duduk di sebelah Wildan memanggil-manggil nama Yara, Yara yang tak mendengar setengah berlari menuju Rayyan. Yara berjongkok di dekat kaki Rayyan. Tangan hangatnya sigap menggenggam tangan dingin Rayyan.
“Beruntung lu datang. Gue fikir Rayyan belum bisa ketemu sama Mettasha sekarang.” Dodi yang duduk di dekat Rayyan melihat ke bawah, ke arah Yara yang masih sibuk menggosok-gogok tangan Rayyan yang kebas sambil berjongkok.
"Aku mau tetap di sini."
"Eray, lu yakin?"
"Yakin, Ra."
Yara melihat Rayyan yang mengangguk berusaha optimis membuat genggaman tangan Yara ke Rayyan mengendur. Yara berdiri dari jongkok lalu kembali ke tempat duduknya di belakang Rayyan. Sambil memandang Rayyan khawatir Yara tak tau apa yang harus dia lakukan. Mata Rayyan sudah terlihat memerah.
"Gimana rasanya jadi Rayyan? Gue sebel banget lihat Mettasha yang dilihat dari penampilannya juga udah bisa terlihat kalo dia selama ini hidup dengan nyaman. Gue fikir sejak hari yang menggemparkan sekolah itu Mettasha bakal dapet karma. Dan sekarang malah Eray kepunyaan gue ketemu lagi sama cewek berengsek itu."
Yara dengan kedua matanya yang tak kalah panas dari Rayyan hanya bisa menatap nanar punggung Mettasha dan Rayyan bergantian.
Sudah menjadi ketetapan jika susuan acara salah satunya adalah ucapan sambutan dari penyelenggara utama acara yang rupanya adalah Mettasha. Semua mata otomatis tertuju hanya kepada Mettasha yang malam ini terlihat sangat cantik dengan riasannya yang minimalis namun sekujur badan mengenakan busana dan aksesoris yang terlihat glamor. Dengan langkah anggunnya Mettasha menuju podium.
Senyum cantiknya mengawali apa yang akan disampaikannya.
"Tujuh tahun yang lalu, di pagi hari jelang siang. Di aula indoor sekolah hal yang menggemparkan terjadi. Mettasha yang kala itu masih muda berdiri di depan podium, menyampaikan perpisahannya di depan semua orang yang mana orang-orangnya hampir masih sama dengan yang kini berada di ballroom mewah hotel ini."
Bagaikan tersihir, bahkan sepatah kata celotehan pun tak terdengar. Ruangan mendadak senyap.
"Mungkin semua orang akan lupa, namun saya sampai saat ini masih bisa merasakan betapa buruknya saya saat itu. Kacaunya keadaan saya kala itu. Saya secara resmi pamit dari kerja di yayasan sekolah, memperkenalkan suami baru saya Matt Lewis, lalu melanjutkan kuliah di Universty Of Sydney."
Tubuh Rayyan kembali gemetar. Kembali terasa sakit bagaimana Rayyan yang saat itu sudah berusaha cinta dan memahami Mettasha yang sifat dan sikapnya sangat sulit dipahami tiba-tiba mengumumkan hal itu: Mengenalkan donatur yang tak lain adalah suami barunya secara langsung yang umurnya tentu terlihat terpaut jauh. Parahnya Rayyan sebagai pacar Mettasha saat itu bahkan tak mengetahui semua hal yang Mettasha katakan di depan podium. Tau apa Rayyan tentang Mettasha? Nol besar!
“Eray, lu mau tetap di sini?” Tau-tau Yara sudah duduk di dekat Rayyan, dan membuyarkan lamunan masa lalunya. Sementara orang yang baru diusir Yara pindah ke kursi belakang, bersebelahan dengan Desi. Yara masih sibuk menggosok tangan Rayyan. Rayyan hanya menggeleng-gelengkan kepala sedangkan mukanya sudah pucat.
"Saat itu ada satu orang yang sangat tersakiti: Rayyan Pratama."
Dengar namanya disebut dari microfon mata Rayyan yang sudah berkaca-kaca tertuju ke Mettasha.
Rayyan tak mengerti harus senang atau sedih. Di mata Rayyan saat ini Mettasha terlihat elegan dan indah di depan sana. Hidup Mettasha yang selalu dikhawatiri Rayyan. Nyatanya Mettasha terlihat jauh lebih baik dibanding pikiran Rayyan. Seperti ada biji besar di tenggorokan Rayyan yang mengganjal. Sakit dan bahagia jadi satu.
Suara Mettasha kembali terdengar.
"Saat itu dia pacar saya, namun saya tak ingin membebaninya. Saya mohon maaf kepada Rayyan. Tapi jika ditanya menyesal atau tidak saya mengambil keputusan itu... sorry not sorry. Saya gak menyesal mengambil tindakan itu semua. Makasih Rayyan, dengan adanya kamu di sini membuktikan jika kamu tidak pernah membenci saya"
Setelah menarik nafas panjang Mettasha kembali meneruskan apa yang ingin dia katakan kepada semua penghuni ballroom. Sesekali MC menimpali perkataan Mettasha untuk mencairkan suasana yang beberap saat lalu terasa tegang. Sementara itu dengan lirikan matanya Yara memanggil Dodi yang barusan diusir ke belakang duduk di samping Desi. Dodi yang mengerti langsung bergegas menghampiri Yara.
“Di, bantu gue bawa Rayyan ke luar.”
Dodi langsung mengiyakan. Dengan sigap Dodi dan Yara yang lebih pendek bergegas membawa Rayyan ke luar ruangan, sementara tatapan Wildan mengiringi mereka hingga pintu kembali tertutup.
Bersambung...
@mugi.wahyudi Wuhuuu,,, Makasih buat pujiannya. Lanjutin nih menyebalkannya. :D
Comment on chapter Ide Gila