Raut muka Desi udah gak enak. Perutnya mendadak melilit setelah melihat kejadian di depannya. Kalo udah kayak gitu Desi suka flashback saat-saat SMA, ketika semuanya tampak baik-baik saja dan gak disangka akan serumit ini, bahkan berlanjut hingga 7 tahun kemudian ke waktu sekarang. Cerita cinta di SMA dulu yang begitu seru dengan pahit-manisnya. Mungkin memang sesuatu yang belum usai suatu saat akan kembali lagi untuk minta diselesaikan.
Desi buru-buru pamit ke toilet alih-alih dia pamit buat melihat keadaan Rayyan di luar ballroom. “Dan, gue mau ke toilet dulu ya?!”, Wildan membalas dengan anggukan dan senyum yang membuat wajahnya terlihat begitu tampan, dan Desi masih saja suka dengan senyum manis itu walaupun sudah 7 tahun lebih berlalu.
Ya, Desi rupanya menyukai Wildan sejak masuk ke SMA Jaya Bangsa. Saat Desi masih jelek-jeleknya, masih cupu, bahkan masih belum akrab sama Yara.
Saat Desi keluar pintu ballroom ekor matanya langsung menangkap pergerakan Dodi, Rayyan, dan Yara yang masuk ke dalam cafe yak gak jauh dari area ballroom. Bergegas Desi ikut masuk ke cafe tersebut.
Tak langsung memesan rupanya mereka memilih terlebih dahulu tempat duduk yang berada di balkon cafe. Semilir angin langsung menerpa. Tanaman di pot-pot yang berjajar rapi di pinggiran balkon bergerak-gerak, segar. Area Bandung utara terlihat luas dengan lampu-lampu yang tersebar luas menghiasi malam yang cerah.
Yara yang bergegas berbalik berjalan ke arah kasir berpapasan dengan Desi yang baru masuk cafe. “Rayyan?...”, tanpa meneruskan kalimatnya pun Yara sudah tau maksud Desi kalo dia menanyakan keadaan Rayyan. Yara menjawab dengan anggukan, matanya yang khawatir terlihat begitu jelas.
“Lu urus Rayyan, biar gue yang pesan minuman,” Desi menawarkan opsi sambil melangkah ke arah kasir, sementara Yara kembali ke balkon.
Dodi terlihat bingung harus melakukan apa, mau ditanya berapakalipun Rayyan tetap terdiam gak bergeming.
“Eray,,, please jangan gini.” Yara masih menggosok-gosok kedua tangan Rayyan dengan kedua tangannya, lalu sibuk pindah mangkup kedua pipi Rayyan yang dingin. Tak lama Desi datang membawa air tawar hangat dan kopi panas buat Yara yang langsung dia letakkan di atas meja. Setelah itu Desi mendekat ke telinga Dodi, membisikkan sesuatu.
“Di! Baiknya kita gak di sini.”
Dodi yang langsung mengerti dengan maksud Desi langsung beranjak dari duduknya bersama Desi masuk ke dalam cafe. Desi duduk di salah satu meja yang tak jauh dari pintu balkon, sementara Dodi menuju kasir memesan minuman.
“Des?”, panggil Dodi.
“Lu masih suka Latte?”, Desi menjawab dengan anggukan. Lelaki yang sedang memesan minuman, apa dia masih menyimpan rasa ke Desi? Desi berusaha menepis pertanyaan yang secara berengsek tiba-tiba datang, sementara matanya sibuk menatap punggung lelaki tinggi besar itu: Dodi Mulyana.
Saat ini di balkon cafe...
Yara menerima gelas yang baru saja kosong dari Rayyan. Sudah 5 menitan lebih Yara menggosok-gosok tangan dan kadang kala pipi Rayyan dengan tanpa bersuara. Yara tau Rayyan butuh ketenangan.
“Ra...”
“Ya?” Yara menjawab pelan sambil masih menggosok-gosok tangan Rayyan biar tetap hangat.
“Aku udah baikan.”
Yara langsung menghentikan aktifitas tangannya menggosok tangan Rayyan.
“Yakin lu udah baikan? Maafin gue yang masih suka bingung harus bertindak kayak gimana tiap kali lu kambuh gini.”
“Gak apa, aku makasih banget ke kamu. Dengan kamu diam dan terus berusaha nolong itu yang terbaik.”
“Oh! Jadi lu mau bilang kalo gue lebih baik kalem daripada cerewet?” Yara langsung menepuk kedua lutut Rayyan yang menempel ke lutut Yara yang lebih pendek. Rayyan hanya tersenyum, Rayyan fikir Yara terlalu manis buat jadi pendiam kalo lagi khawatir kayak tadi.
“Kita pulang aja yuk!” Setelah bertanya Yara menyeruput Americanonya yang sudah dingin.
“Aku masih mau ketemu Shasha langsung”.
“!”, hampir aja americano yang belum sempurna tertelan Yara semburkan ke muka Rayyan.
“Uhuk! Uhukk!”, sambil memukul-mukul pelan dadanya dengan kepalan tangan kanannya Yara berusaha meredakan keseleknya.
“Ya ampun! Lu YAKIN!”
Setelah mendengar suara Yara yang keras Desi dan Dodi yang sedang saling diam menikmati minuman masing-masing itu tanpa dikomando bergegas menuju balkon.
“Ray! Lu udah baikan?”, sambil menggeser kursi buat duduk Dodi terdengar antusias, sementara Desi berdiri di belakang kursi Yara dengan kedua tangan bertumpu ke kursi bagian punggung.
“Udah, aku udah baikan. Maaf udah bikin kalian khawatir.”
Dodi tertawa dengan keras yang langsung disambut tonjokan Yara dan cubitan Desi, sementara suara koor “Hoohhh!” kedunya mengiringi, dijawab dengan Dodi yang mengaduh karena kesakitan.
“Gaje banget si lu, Dodol, malah ngetawain!”
“Ciee... ya ampun... itu nama panggilan kesayangan dari Desi Leia Wijayanto ke Dodi Mulyana beberapa tahun yang lalu akhirnya kembali terdengar!”
“Apaan sih! Nyonya Pratama.” Desi protes sambil memanyunkan bibir tebalnya.
Sambil masih terdengar tertawanya Dodi berusaha menjelaskan. “Gue gak nyangka aja. Dulu kan Rayyan itu Suhu gue buat urusan cewek, kok malah jadi kayak gini sih? Ray! Tapi makasih, gue ngelihat lu yang sekarang jadi bikin gue yakin kalo gue cinta sama seseorang tu memang harus berani ngejar. Harus berani buat kehilangan juga.”
“Udah belum les privat asmaranya?”
“Lu beneran gak mau pulang?” Yara masih berusaha mastiin ke Rayyan. Dari arah pintu balkon terdengar ketukan lembut flat shoes hitam menumbuk lantai. Langkah-langkahnya berderap dengan ritme yang tak lamban ataupun terlalu cepat. Di depan pintu balkon langkah itu terhenti. Sepoi angin menerpa dressnya yang indah.
“Hai... kalian semua apa kabar?”
Semua mata tertuju ke arah suara yang berada di depan mintu balkon yang terbuka. Mettasha Noura dengan anggunnya sedang berdiri di sana dengan senyum tegasnya yang mengembang. Dari arah belakang Mettasha terlihat lelaki berwajah tampan dengan kacamata lensanya yang tiba-tiba berdiri mensejajarinya, sorot matanya yang teduh dan deretan gigi putihnya menyapa empat orang yang terlihat hening di depannya. Tak asing tapi Desi maupun Yara masih tetap terpana tiap kali melihat Wildan Pratama.
# # #
Keenam orang ini kini saling berhadapan, berkumpul di meja bulat ballroom bertaplak pink pastel dengan kain-kain serbet warna emas yang menjadi alas piring-piring makanan yang tersaji memenuhi meja. Sementara alunan instrumental piano yang lembut suaranya memenuhi ruangan.
Suasana meja mereka yang hening membuat Desi mendadak kaku begitupun Dodi, sementara Yara masih sibuk aja ngiris-ngiris steak di piringnya diiringi cengiran Wildan yang menghiasi wajahnya tanpa jeda ke arah Yara. Rayyan yang duduk di sebelah Dodi dan Mettasha sedang berusaha menikmati makanannya dan mengusir kegugupannya.
Setidaknya kegugupannya menghadapi Mettasha berkurang setelah sepuluh menitan yang lalu mereka saling sapa dan ngobrol di balkon cafe, termasuk Rayyan yang berani mengutarakan niatan mengajak Mettasha buat balikan.
“Semoga kalian suka ya dengan acara reuni ini,” Mettasha berusaha mencairkan suasana yang hening di meja mereka, tak seperti meja anak-anak yang lain terlihat ramai dengan penuh gelak tawa.
“Pasti mahal ya harga sewanya,” celetuk Desi sambil mengunyah pelan makanannya.
“Gak juga. Saya dapat kortingan, karena pemiliknya masih rekan bisnis. Ya,,, lumayan lah,” jawaban Mettasha terdengar ringan sambil disertai senyuman.
“Sibuk bisnis apa lu sekarang?” Desi mulai terpancing buat tau lebih jauh Mettasha Noura yang sekarang.
“Saya sekarang lagi sibuk di bisnis properti, garment juga, dan beberapa yang lainnya.”
“Perusahaan lu atau suami lu?”
Yara, Rayyan, Dodi dan Wildan hanya bisa menahan nafas mendengar pertanyaan Desi yang semakin berani.
“Perusahaan saya. Suami saya meninggal 3 tahun yang lalu. Gimana sama Desi? Udah nikah sama Dodi?”
Seketika Dodi, Yara, Rayyan, dan Wildan hampir tersedak makanannya masing-masing. Sementara Desi buru-buru minum, daging yang barusan ditelan sialnya terasa banget nyangkut di tenggorokannya.
Mettasha Noura walaupun tingkat perekonomiannya berubah tapi sifat innocentnya gak berubah. Ya ampun, gimana bisa dia menghadapi dunia yang keras ini dengan sifanya yang kayak gitu?
“Lu anaknya udah berapa??!” Dengan ketus Desi nanya seenak jidatnya karena kesal, setelah berhasil nelen daging pastinya. Dengan tubuh yang tinggi semampai gitu gak mungkin sih Tasha punya anak.
“Satu”
‘HAHHH! / WHATTT!’ bahkan bantingan sendok/garpu/pisau terdengar secara bersamaan.
“Perempuan”
Empat orang selain Mettasha dan Wildan mendadak menahan nafas.
“Gak papa kan, Ray”
“I... Iya, gak apa.”
Rayyan yang masih shock berusaha menjawab dengan wajar. Sementara Yara, Desi, dan Dodi berusaha mengatur nafasnya kembali.
“Kamu masih mau sama saya? Saya udah punya anak satu, umur dia sekarang jalan ke empat tahun.”
Lagi-lagi Yara, Desi, Dodi dan Wildan setelah menatap Mettasha langsung kompak ganti menatap Rayyan. Piala dunia sepak bola serasa pindah ke meja makan reuni malam ini, saling oper bola panas berbentuk pertanyaan yang bergulir.
“Gak papa.” Kini Rayyan menjawab disertai dengan wajah yang tersenyum.
# # #
“Gak papa? Lu yakin?” Di taxi online dengan duduk bersila kaki Yara bertanya ke arah Rayyan yang sedang duduk menghadap punggung pak Supir.
“Lu kalo nikah sama Mettasha langsung punya anak lho?! Yakin? Beneran gak papa? PA-PIH!” Ledek Yara dengan wajah yang dekat-dekat ke wajah Rayyan.
“Gak tau,” Rayyan menjawab sambil memegang lalu menjauhkan kepala Yara dari hadapannya karena risih.
“Lha,,, begimana! Kan tadi di sana lu bilang mau-mau aja. Sekarang malah gak yakin. Umur empat tahun tu lagi lucu-lucunya lho. Hmm... Eray tiba-tiba punya anak... hahaha... lucu juga. Gue gak kebayang aja gitu kalo...”
Bla,,, bla,,, bla,,, Suara Yara masuk telinga kiri lalu keluar telinga kanan Rayyan begitu aja. Tumben-tumbenan Rayyan setelah sekian lama kini mendadak sebel ngedengerin Yara yang berisik dan ini pasti bakal jadi semalaman.
# # #
Dan sepagian rupanya Yara di rumah tadi pagi udah ngobrolin lagi tentang Mettasha-Rayyan dan anak. Sampai di kantor pun bahkan Rayyan masih gendok ke Yara. Rayyan sampe pengen ngasih obat tidur ke minuman Yara tadi tuh biar dia puasa ngomong.
Flashback tadi pagi:
“Eh! Mau ke mana??”
“Tidur! Ya mandi lah, terus berangkat kerja.”
“Yee! Si Papih kok jadi ketus gitu. Pihhhh! Jangan ngAMBEKANNN...," Suara Yara semakin mengeras mengiringi Rayyan yang bergegas ke lantai dua lalu menutup pintu kamarnya.
Sambil memijit pelan keningnya Rayyan menandatangani beberapa surat yang sudah antre di atas mejanya.
“Tokk... tokk...”
Seseorang mengetuk pintu ruangan Rayyan yang tak lama kemudian dibuka dari luar.
“Hi... pak bos Pratama.”
Setelah tau siapa yang menutup pintu lalu duduk di sofa depan meja kerjanya Rayyan tersenyum. Sambil menaruh kacamata hitamnya ke atas meja suara bariton itu terdengar mantap, “Gue khusus ke sini mau minta saran ke Suhu, gimana kalo malam ini gue ngajak married Desi? Sebelum gue lusanya berangkat ke Singapore.”
Dengan suara yang tak kalah lantang Rayyan bersemangat, “KEJARRR!”
Hahaha... keduanya tertawa bersama-sama, sementara ingatan masa-masa di SMA berkelebat dengan indahnya.
BERSAMBUNG...
@mugi.wahyudi Wuhuuu,,, Makasih buat pujiannya. Lanjutin nih menyebalkannya. :D
Comment on chapter Ide Gila