“Sebuah pertemuan yang tak kusangka. Akankah menjadi takdir baik atau hanya kebetulan belaka.”
-Serena-
2 Tahun kemudian, Kanada.
Terdengar suara alunan lagu berdentum keras menggema di seluruh ruangan. Semua orang bersuka ria. Bergoyang dan berdansa sesuka hati.
Seorang pria dengan kaos putih terlihat sedang menjadi DJ, memainkan musik memeriahkan suasana malam hari ini.
Ia hanya memakai kaos tipis yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang atletis.
Serta tangan kanannya yang ditato, huruf yang bertuliskan namanya.
Serena.
Iya, ini adalah aku yang sekarang.
Setelah 2 tahun yang lalu aku kembali ke Kanada aku menekuni profesiku dulu. Aku kembali menjadi seorang model.
Aku menjalani pemotretan seperti biasa untuk merk pakaian yang cukup ternama. Seperti, gucci, calvin klein dan juga merek mobil seperti Lamborhini.
Aku menyukai dunia modeling.
Namun, sekarang aku juga menjadi bintang iklan untuk produk-produk lainnya. Saat malam hari, terkadang aku menjadi DJ di sebuah klub malam cukup terkemuka di Kota Vancouver Kanada.
Aku sekarang bukan orang yang peduli pada lingkungan sekitarku. Aku tumbuh menjadi pribadi yang cuek, cenderung bad boy. Karena aku tak percaya lagi pada cinta dan kasih sayang yang tulus.
Aku tak punya ikatan pada siapapun. Aku bebas. Bebas melakukan apapun. Tanpa ada yang melarang.
Aku bebas pulang malam.
Bebas berkencan dengan siapa saja.
Bebas menjadi apa saja.
Aku sudah melupakan semua memoriku
Memoriku yang menyakitkan di Indonesia.
Aku tak ingin kembali.
Aku juga sudah menamatkan studiku di University of Columbia.
Aku tak punya tujuan di Indonesia. Tak punya siapapun yang ingin kujumpai di Indonesia. Tak ada. Aku bebas, seperti pernyataan kemerdekaan. Aku mengucapkan kata itu keras-keras di dalam hatiku sambil terus memainkan musik yang ada dihadapanku. Aku tak akan pulang sampai pagi.
Aku bebas bergoyang sampai pagi, berdansa dan menggerakkan tubuh sesuka hati.
***
Sinar matahari yang mulai meninggi menyinari kepalaku.
"Achh....." kataku sambil menutupi kepalaku dengan tangan.
Aku kembali ke apartemenku saat fajar menyingsing dan saat aku mulai ingin tidur sinar matahari sudah meninggi.
Dengan malas aku menutup korden untuk menutupi jendelaku dan melanjutkan tidur. Aku akan bangun saat matahari terbenam lagi.
Aku perlahan membuka mataku, sudah mulai gelap lagi. Aku lalu bangun. Menuju dapur dan mulai membuat kopi. Minuman yang bahkan tak pernah kurasakan dulu. Pahit, tanpa gula. Rasa pahit yang membuatku kuat menghadapi hidupku. Aku menuju kamar mandi, menyalakan shower dan menyirami seluruh tubuhku.
Setelah mandi, aku memilih baju untuk malam ini. Jam tangan, Kemeja putih dengan lengan mencapai siku yang memperlihatkan tatoku, celana jeans, dan sepatu hitam. Kutatap diriku di cermin.
Aku tampan. Tentu saja. Mata biru. Tinggi jangkung, atletis, dan aku punya harta.
Aku tersenyum melihat cerminan diriku.
Rambutku sekarang blonde. Tak terlihat sama sekali bahwa aku adalah keturunan Indonesia asli. Baguslah. Aku tak mau berhubungan dengan masa laluku dulu. Apapun itu.
Aku menyambar jaketku lalu menuju lantai bawah untuk mengambil mobilku.
Tujuanku sekarang adalah sebuah Kafe. Untuk makan tentu saja, mungkin jika aku beruntung aku akan bertemu wanita yang cantik.
Aku memilih tempat yang strategis di tengah kafe. Saat aku meminum kopi yang tersaji di depanku. Pahit, tentu saja. Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat seorang lelaki dan wanita mendekatiku.
"Hai ... Rey ?" sapanya.
"Hai ... John." Balasku.
"How are you?" tanyanya basa-basi.
"I'm fine." Jawabku.
"Are you alone?" tanyanya seperti memastikan.
"Yeah ... I'm alone. You know it." kataku.
"Oh my good ... Emmm... This is Bela. She is my friend." katanya memperkenalkan wanita yang ada disampingnya sembari memberiku kode. I know it.
"Oh ... Hai bela." sapaku.
"Hai ... Rey. You look great." pujinya dan menyalamiku.
Kuperhatikan wanita itu dari bawah sampai atas. Dia cantik dan sexy. Well. Sepertinya aku punya teman malam ini.
Kau tahu kan budaya bebas di tempat ini. Ciuman adalah hal yang sangat biasa. Dan cinta satu malam bukan dianggap dosa lagi. Namun, aku tak ingkar. Aku tak meniduri mereka. Hanya terkadang aku suka saja menghabiskan malam bersama mereka, tanpa melakukan apa-apa. Meskipun mereka merayuku dan tatapan mereka sangat jelas menginginkan diriku.
Namun, aku pintar dalam hal tarik ulur. Aku hanya mempermainkan mereka. Lalu esoknya aku akan mencampakkan mereka setelah mereka benar-benar terpikat padaku.
Playboy, bukan. Aku hanya badboy.
Kutarik sudut bibirku keatas, memberikan senyuman simpul. Cinta? Aku tak pernah percaya. Pengalamanku dengan Jade cukup memberiku pengalaman. Wanita itu hanya menyukai yang sempurna. Benar bukan?
***
This is sunday. Yeah.
Aku sudah lulus S1 dengan nilai perfect. Sekarang kegiatanku agak longgar. Paking-paling jika ada Job pemotretan ataupun iklan. Sebenarnya aku ingin membuka bisnis kembali dalam bidang restoran, walau aku tak bisa memasak.
Pekerjaan sebagai model dan juga bintang iklan, maupun DJ cukup memberikan pengahsilan yang lumayan bagiku. Jadi, aku tak pernah kekurangan dana. Terutama jika aku ingin membuka bisnis lagi. Tak perlu cari investor lagi, karena uangku sudah cukup banyak. Namun, kegagalanku dulu sepertinya masih cukup pahit jika ingin diulang kembali.
Seharian ini aku hanay bermalas-malasan di apartementku. Sambil menunggu project terbaru kami. Agensiku yang bernama Asian Modelling, adalah sebuah agen model yang cukup terkenal. Memiliki cabang di setiap negara. Dan Kanada adalah pusatnya.
Jadi jujur saja. Jika aku bosan di Kanada aku bisa pergi kenegara lain. Aku hanya tinggal mengurus pasport dan dokumen lainnya. Sementara untuk project terbaru aku hanya tinggal menunggu kepastian waktu dan tempat pemotretan saja. Mataku perlahan-lahan mulai terpejam dan kembali terbuka taatkala handponeku berdering.
"Hallo..." Jawabku.
"Hello... Serena. This is me. I just want to tell you about our project. This project will be held in Indonesia 2 days later." Jelasnya tanpa basa-basi.
Aku yang sedari tadi tiduran mulai terbangun kembali.
"What?? Indonesia you said." Tanyaku memastikan.
"Yes. In Jakarta." Terangnya.
Oh my God. Takdir rupanya berkata lain. Aku tidak ingin kembali ke Indonesia. Namun, pemotretan dan acara fashion show akan digelar di Jakarta. Tentu saja aku tak bisa menghindar karena aku sudah tanda tangan kontrak. Ok Fine. Come on Serena. Kamu sudah melupakan semua memory burukmu jadi, seharusnya kamu tak perlu takut kembali ke Indonesia. Toh, kamu tak akan bertemu mereka semua. Tak akan. Aku sudah lost contact dengan mereka 2 tahun yang lalu. Tak mungkin mereka masih mengingatku.
"Rey..." tanya suara itu.
"Oh ... Ok Bob." jawabku sambil memijat pelipisku.
"Well. So, let's prepare and goes to Indonesia. The place you can rest in that country will be prepared. I will send you the address. Tell me if you need anything. And don't forget you're the main models. Don't come late." imbuhnya.
"Yes. I know." Jawabku dan mematikan sambungan telepon.
Bobby. Namanya bobby. Dia adalah salah satu karyawan agensi tempat aku bernaung sekarang. Ia bertugas mengurusi para model. Jujur ia cerewet. Sangat cerewet.
Hah, yasudahlah. Akupun beranjak mandi dan pergi ke klub untuk bekerja sebagai DJ. Karena mungkin aku tidak akan kesana untuk beberapa waktu.
***
1 hari menjelang acara aku harus sudah ada di bandara dan menuju ke Indonesia. My country, yeah. Kutarik koperku perlahan dan memasuki bandara. Pesawatku sebentar lagi berangkat. Kulirik arlojiku yang setia kupakai selalu untuk memastikan aku tidak tertinggal pesawat. Masih cukup. Kupercepat langkahku dan memasuki pesawat. Perjalananya cukup jauh. Jadi sebaiknya aku tidur agar tak terlalu lelah nanti.
Setelah sampai di bandara Soekarno-Hatta. Aku segera membuka ponselku dan melihat alamat tempat menginapku yang diberikan Bobby. Semua model akan berada di sana. Dan memang hotel itu sudah di booking untuk keperluan acara besok. Hotel Indah Jaya, gumanku saat membaca alamat hotel tersebut. Hem ... Letaknya cukup strategis dan dekat dengan lokasi acara. Yah ... Aku tahu letak hotel ini. Aku segera memangggil taksi untuk mengantarkanku ke hotel.
Setelah check in aku segera berbenah, mandi dan istirahat.
Keesokan harinya aku harus bersiap-siap. Terlihat Bobby begitu sibuk mengatur para model. Aku cukup kasihan melihatnya, tubuhnya gempal sehingga aku rasa dia cukup sulit untuk bergerak dengan lincah. Padahal ia membutuhkan kelincahan saat mengatur kami.
Tempat acaranya cukup mewah dan elegan wajar saja semua tamu undangannya adalah orang-orang penting dalam bisnis fashion. Sebagai model utama aku memberikan peragaan opening acara. Semua orang bertepuk tangan dan mengagumiku. Aku tampan, tak jarang aku mendengar sorakan itu. Yah ... Pesona model yang menggenakan pakaian itulah yang terkadang membuat suatu design menjadi sukses dan boomiing. Karena sebenarnya tidak semua design akan cocok dengan orang yang menggenakannya. Jadi, jika kau ingin terlihat stylish kamu harus goodlooking dulu. Begitulah prinsipku.
Sebagai model utama juga akulah yang paling sering muncul. Semua karyawan dibalik layar sibuk mendandani kami. Mungkin agak terlihat berantakan di backstage namun terlihat perfect di Catwalk.
Acara malam ini berjalan mulus seperti rencana. Bisa dibilang sukses besar. Sebagai salah satu model andalan di agensiku aku juga banyak menuai pujian. Yang tentu saja membuatku agak senang. Agak dalam arti sebaliknya.
Saat aku pulang hari sudah pagi lagi. Aku istirahat dan juga yang lainnya. Sebagian ada yang langsung akan kembali karena jadwal. Namun, aku lebih memilih disini sementara waktu. Selain karena aku tidak ada jadwal dalam waktu dekat tapi juga ada hal yang tak bisa kusangkal, ada sedikit kerinduan di kota ini.
Karena malam sudah hampir habis aku memilih untuk tidak tidur lagi. Aku lebih memilih mengelilingi kota dengan mobil agensi milik bobby dan ia sudah menyetujuinya. Kubuka penutup atas mobil ini dan menikmati udara pagi di kota ini. Dingin memang tapi menyejukkan karena belum banyak mobil yang berlalu lalang dan polusi. Jakarta di pagi hari masih begitu tenang. Kulirik arlojiku masih jam 4 pagi.
Aku ingin mencari kafe yang buka 24 jam sekedar untuk mengisi perut yang belum diisi apapun sejak tadi malam.
Setelah beberapa saat mencari-cari tempat, akhirnya aku menemukan sebuah kafe yang sepertinya enak untuk dijadikan tempat tongkrongan. Dengan cepat aku memarkirkan mobilku dan beranjak keluar. Aku membuka mobil sportku. Baca : pinjaman. Sesaat setelah aku keluar dan menyambar jaket putihku sekilas banyak orang di dalam kafe yang menenggokku. Cuek. Itulah aku.
Pandanganku mulai menelusuri meja-meja di kafe itu. Sebenarnya ini baru subuh, waktu orang-orang masih bermanja-manja dengan kasurnya. Namun, kulihat tidak seperti itu keadaan sekarang. Jakarta adalah kota metropolitan dimana setiap saat adalah siang. Dan hal itu juga tercermin dalam keadaan kafe ini yang sangat ramai.
“Can I help you sir?” tanya seorang waitres menghampiriku.
“I just want to find empty space for me. I think all of the place is full, isn’t it?” jawabku.
“No. It is not sir. Let’s follow me. I will help you.”
“Thank you.” Ujarku.
Jujur saja aku heran kenapa setiap orang yang bicara padaku selalu memakai bahasa Inggris. Apakah aku terlihat seperti bule sungguhan. Come on aku ini orang Indonesia asli. Oh.. mungkin karena penampilanku. Mata biru, kulit putih bersih, badan jangkung dan atletis, dan juga rambut blondeku. Mungkin saja.
Akupun duduk di salah satu meja yang dipilihkan waitress tadi dan segera memilih menu makanan. Sup dan hot tea sepertinya cocok untuk sarapan dan juga beberapa cake. Kulihat beberapa gadis melirikku sambil berbisik. Oh My God. Apakah ada ruang privasi untuk diriku. Namun, yasudahlah. Oh ya, kenapa gadis-gadis itu masih diluar jam segini. Ya memang sudah pagi sih. Tapi jika dipikir-pikir sepagi ini mereka sudah sampai disini berarti tadi malam mereka seharusnya tidak pulang. Apa orangtua mereka tidak mencari mereka. Dan kulihat mereka sepertinya masih anak-anak. Sepantaran anak sma.
Saat aku menyeruput minumanku, kulihat ada seorang gadis yang mulai menghampiriku dengan malu-malu.
“Hai ... kak.” Sapanya.
“hai ...” jawabku singkat dan mengalihkan pandanganku.
“Em... My name jia. I-I want to ...you name. Emmm....I jia ...you?” tanyanya sambil menggunakan gerakan tangan menunjuk dirinya dan menunjukku.
Jujur agak bingung melihatnya dan juga bahasanya. Aku hanya mengangkat sebelah alisku sementara tangan kiriku menggengam ponsel.
“Name...” jelasnya.
“Oh...rey.” dalam hati aku menggerutu kenapa tidak bicara yang simple aja. Aku kan bisa bahasa indonesia.
“Can ... I. Emmm... number.” Katanya sambil menunjuk ponselku.
Aku tersenyum geli. Melihat tingkahnya. Baiklah.
“Aku bisa bahasa Indo koq ...” jawabku.
Dan kulihat mukanya malah merah padam. Menahan malu. Ia berusaha berkomunikasi denganku menggunkan bahasa inggris yang sama sekali tak dikuasainya. Padahal aku bisa bahasa Indonesia.
“Oh....” jawabnya sambil menyisir rambutnya menggunakan tangannya.
“Sory ... kita baru aja kenal. Aku nggak mungkin kasih nomor pribadi aku sama kamu.” Well ... aku bukan orang yang suka nyebar nomor pribadiku. Namun, aku juga tidak tega melihat kekecewaan yang terpancar di dalam matanya. Ia sudah memberanikan diri mendekatiku walapun harus didorong-dorong oleh temennya.
Aku melirik teman-temannya yang sedang memerhatikan ia pasti akan merasa sangat malu apalagi ini di depan umum dan banyak pasang mata yang memerhatikan. Well ... okelah.
“Tapi ... aku bisa kasih tahu kamu akun Sosmedku.” Jawabku kemudian.
Aku melihat binar dimatanya, “Beneran kak, apa?” Katanya langsung mengotak-atik hapenya.
“Rey123. Coba liat aja di Ig.”
“Oh ... oke kak. Aku follow di follback ya.”
“Ok ...”
“Lho ... kakak model ya?” tanyanya setelah membuka akunku.
Aku hanya menggangguk kecil.
“Wah .. selfi dong kak.” Pintanya.
Dengan berat hati aku mengiyakan ajakannya. Walau aku lebih tertarik dengan supku yang sudah ada dimeja dan belum sempat kusentuh. Keburu dingin dong.
“Makasih ya kak” katanya kemudian lalu menghampiri teman-temannya yang kegirangan.
Akhirnya. Just me and my soup. Kataku dalam hati.
Namun, belum sempat aku menyendok supku untuk ketiga kali. Ada seseorang yang meminta foto padaku lagi dan disusul yang lain, lainya. Dan yang lainnya lagi. Fiks ... nggak jadi makan.
Setelah Fanservice itu akhirnya aku memilih pergi dan mengemudikan mobilku lagi. Jalan-jalan. Siapa tahu aku menemukan hal yang menarik nantinya.
Aku jalan-jalan tqnpa mengetahui tujuanku. Hanya ingin refreshing. Di depan nampaknya ramai sekali, mungkin pasar. Setelah dekat ternyata memang benar ini pasar. Aku menyetir mobilku pelan. Aku menoleh spion untuk sesaat dan melihat seseorang. Mirip bunda, batinku. Tunggu ... Setelah kuperhatikan lagi. Bunda ... itu memang bunda. Aku segera menepikan mobilku di pinggir jalan. Dan mengejar wanita itu.
"Bunda ..." Teriak ku tapi bunda tak mendengarnya, aku berusaha menyebrang jalan yang memang sedang ramai.
Tubuh bunda perlahan menghilang di keramaian. Tak mau kehilangan kesempatan aku segera berlari mengejarnya.
"Bunda ..." kataku saat aku berhasil meraih pundaknya.
Wanita itu menoleh. Benar itu bunda. Walau terlihat agak lebih tua. Ia mengamatiku sejenak, mencoba untuk mengenaliku.
"Rey...." katanya pada akhirnya.
"Iya bunda. Ini Serena." jawabku.
"Rey ... bunda sangat merindukanmu. Bagaimana kabarmu?" bundapun memelukku.
"Aku baik-baik saja bunda." jawabku.
"Untunglah. Kamu sangat tampan sayang. Bunda hampir saja tak mengenalimu." kata bunda sambil melepaskan pelukannya dan membelai wajahku.
"Bunda sedang belanja ya. Ayo aku temani." ajakku.
"Iya ... sayang."
Saat menemani bunda belanja aku menceritakan banyak hal. Tentang ayah angkatku, kehidupanku sekarang bahkan mataku. Bunda prihatin mendengarnya tapi ia juga sangat bersyukur karena sekarang aku sukses. Bunda juga bercerita tentang apa yang terjadi pada panti asuhan dan teman-temanku.
Panti sekarang sudah ditutup karena tidak ada lagi donatur. Dan dengan sisa uang yang bunda miliki bunda menyewa sebuah rumah kecil. Bunda membuka usaha jahitan. Lalu Teman-temanku tidak langsung melanjutkan kuliah karena tidak ada dana. Namun, sekarang mereka melanjutkan sekolah lagi walau dengan rentang waktu yang berbeda. Fresla sudah semester 6 saat ini bersama dengan Tono. Sementara Cici masih semester 2.
Aku ikut prihatin mendengarnya. Selama ini mungkin aku kurang bersyukur. Aku hidup mewah sementara bunda dan teman-temanku serba kekurangan.
Saat kami berbelanja setiap penjual pasti bilang, wah anaknya ganteng ya buk. Dan kulihat bunda hanya tersenyum.
"Bunda sudah selesai." tanyaku.
"Sudah Rey. Sekarang aku kita menunggu angkot."
Bunda masih setia saja dengan angkot, batinku.
"Nggak usah bunda. Aku bawa mobil koq." kataku lalu menuju tempat mobilku terparkir dan membukakan pintu untuk bunda.
"Wah ... Ini mobil kamu rey?"
"Bukan bunda. Ini milik temenku. Aku tinggal di Kanada jadi aku nggak bawa mobil disini. Aku kesini karena ada project bunda."
"Ohh..."
Akupun melaju mengantarjan bunda menuju rumah. Di mobil kami juga bercengkerama mengenai banyak hak. Untuk mengobati kerinduan setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Hanya bunda yang mencintaiku apa adanya.
“Bunda ... ini masih jauh kah?” tanyaku sambil memerhatikan jalan yang mulai meyepi.
“Nggak koq rey. Ini kamu tinggal lurus terus belok kiri aja.” Kata bunda sambil menunjuk jalan.
“Oh ... ”
Tak lama kemudian kami sampai di sebuah rumah kecil yag nampak asri. Rumahnya lumayan tapi bersih dan juga terdapat banyak bunga. Di depan rumah ada sebuah pohon besar yang sepertinya cukup teduh. Dan tentu saja rumah Bunda sangat rapi.
Setelah memarkirkan mobilku aku segera membukakan pintu untuk bunda. Ini hari minggu tentu saja Teman-temanku ada di rumah semua. Aku penasaran bagaimana mereka sekarang.
“Rey ... ayo masuk.” Kata bunda.
Akupun mengikuti bunda dari belakang sambil memerhatikan sekeliling rumah. Hmm ... sepertinya rumah ini nyaman untuk ditinggali.
“Cici, Tono, Fresla ... bunda sudah pulang.” Kata bunda memanggil mereka.
Akupun melihat mereka datang. Kulihat sepertinya mereka tertegun bunda membawa orang asing. Cici yang melihatku sejenak bahkan tak bisa berkedip. Namun, aku hanya tersenyum, jaim. Mereka masih terlihat sama. Heran aku bagaimana bisa selama ini aku sama sekali tak bertemu dengan mereka padahal mereka sama sekali tak membuatku pangling. Fresla masih memakai tongkatnya, ia sudah tumbuh cukup tinggi walau tak setinggi diriku. Ia cukup putih dan terlihat sangat kalem. Tono sekarang memakai kacamata, gigi kelincinya sepertinya masih setia ada di depan dan emm ... ia memang sedikit agak hitam. Sementara, Cici ia tumbuh menjadi gadis yang manis. Kuakui ia memang manis apalagi matanya yang besar memberi kesan imut dan Innocent. Aku yakin mereka sekarang juga tak mengenaliku mengingat bahwa bunda juga memerlukan waktu agak lama untuk mengenaliku juga.
“Bunda ... dia siapa?” tanya Tono sedikit berbisik pada bunda.
Aku hanya tertawa geli. Menampakkan lesung pipiku. Sementara bunda hanya tersenyum.
“Tono, Cici, Fresla. Kalian gak lupa kan sama aku?” kataku sambil menunjuk mereka satu-persatu.
Mereka hanya diam dan saling pandang lalu meneriakkan sebuah nama dengan serentak, “ SERENA !!”
Aku hanya mengangguk kecil dan tersenyum. Mereka memelukku kecuali Cici yang terlihat malu-malu.
“Rey .. kamu kemana aja selama ini. Kita fikir kamu udah lupa sama kita.” Ucap Fresla.
“Ya ... nggak lah. Masak aku lupa. Aku juga cari kalian kemana-mana juma yah, nggak ketemu aja.” Kataku.
Setelah pertemuan itu, akhirnya aku memutuskan untuk tinggal sementara di rumah bunda sebelum akhirnya aku kembali ke Kanada. Kami bercerita banyak hal. Mulai dari Fresla yang mendapat peringkat terus di kampus. Maupun Tono yang ditolak wanita berkali-kali. Sementara, cici hanya memerhatikan kami dan tertawa. Kulihat ia sering curi-curi pandang padaku.
Keesokan harinya.
“Rey ... ayo bangun sarapan.” Suara Tono membangunkanku.
Aku yang sudah selesai mandi dan berbenahpun menghampirinya dan menuju meja makan. Kami makan bersama seperti dulu, suasana yang begitu aku rindukan.
“Kalian nggak berangkat sekolah.” Tanyaku.
“Aku sama Fresla berangkat siang Rey. Tuh, cici yang berangkat pagi.” Ucap Tono.
“Oh ... kalo gitu nanti aku anterin aja ya ci.” Kataku sambil makan.
Namun, ia memberi isyarat menolak ajakanku.
“Yaelah ... nggak papa sekali-kali kan” kataku memaksa dan ia tidak bisa menolak lagi.
Selesai sarapan aku langsung mengantarkan Cici. Mereka semua rupanya satu kampus. Universitas Harapan Jaya, Jakarta. Sebuah Universitas yang sudah cukup bagus dan memiliki banyak prestasi. Kulihat Cici begitu canggung duduk di sampingku.
“Kamu kenapa sih ci. Koq canggung banget.”
Ia memberi isyarat yang artinya ---Ngak papa koq, Rey---
“Yaelah ... kita kan temen dari keil jangan malu-malu dong.” Kataku
---Nggak koq---
“Ini Univ kamu kan?”
---Iya...---
Aku segera memarkirkan mobilku di dalam. Kulihat semua anak-anak melihat kami entah apa yang mereka pikirkan. Setelah sampai aku langsung membukakan pintu untuk Cici.
“Ruang kamu ada dimana. Aku anterin samapi kelas ya.”
Akupun mengandeng tangan Cici, dan ia menunjukkan arah padaku. Langsung saja kami jadi pusat perhatian. Mereka terpaku kagum padaku dan mungkin serba tidak menyangka bahwa Cici anak yang selama ini dianggap begitu Cupu memiliki kenalan setampan aku.
“Nih ... udah sampai. Aku duluan ya. kamu punya nomor aku kan. Ntar kalo kamu udah pulang Wa aku aja biar nanti aku jemput. Oke.” Kataku sambil mengelus rambutnya dan berlalu pergi tanpa memerhatikan orang yang melihat kami.
***
Seharian ini aku hanya bermalas-malasan di rumah sendirian. Jika bosan aku akan berkeliling. Sudah jam 3 sore. Ini waktunya aku menjemput Cici. Aku segera mengemudikan mobilku dan menunju kampusnya. Sayangnya, jok mobilku ini hanya untuk 2 orang. Jadi, aku tidak bisa ikut menyertakan Fresla dan Tono. Mungkin lain kali, aku harus membeli mobil keluarga.
Sesampainya di kampus, aku memarkirkan mobilku di depan halaman kampus sambil memainkan ponselku. Ternyata Cici pulang pukul 15:30. Dan itu berarti masih setengah jam lagi. Belum lama aku memarkirkan mobilku. Banyak anak-anak yang datang dan berswafoto di depan mobil yang aku parkir. Dasar abg, batinku. Lagipula ngapain sih foto-foto seperti itu.
Lama-kelamaan karena aku bosan menunggu di depan mobil dan juga agak aneh melihat banyaknya orang yang berfoto ria. Akhirnya, aku memilih keluar dari mobil. Aku ingin tertawa keras-keras saat melihat ekspresi kaget anak-anak itu yang sedang berfoto, mereka sama sekali tidak menyadari bahwa masih ada orang di mobil itu.
Akupun memakai headshetku dan memakai hodie menutup rambutku. Aku berjalan santai melewati koridor dan sekedar berputar-putar mengelilingi kampus ini. Cukup luas ternyata. Sementara itu aku tetap acuh tak acuh pada orang-orang yang melihatku.
Setelah cukup lama berputar-putar. Aku menemukan sesuatu yang menarik. Ada banyak sekali anak-anak yang bergerombol. Aku melepas headshetku dan menuju keramaian itu. Terlihat sekelompok anak perempuan sepertinya sedang membully seorang gadis. Aku menahan tangannya saat ia hendak menampar gadis itu untuk kesekian kalinya. Akupun melepas hoodie yang menutupi pandangan.
Whoaaa ... terdengar jeritan anak-anak lain saat aku melepas penutup kepalaku.
“Hey ... What are you doing to your friends?” tanyaku.
Kulihat gadis itu hanya terdiam dan memandangiku tanpa berkedip.
“I was School in Kanada. And I think all of my friend not like you.” Kataku meliriknya dari atas ke bawah.
Akupun melepaskan tangannya dan memandang gadis yang sedang menangis di hadapanku.
“Are you stupid ?”
“Arggh ... Follow me.” Perintahku mengandeng tangnnya dan berlalu meninggalkan tempat itu.
“Sit in this chair.”
Kamipun duduk di bangku taman dalam kampus.
“Lo kenapa sih koq mau-maunya gitu diperlakuin kaya gitu. Lawan dong.” Kataku sok tahu.
“Aku nggak bisa lawan mereka. Aku juma anak orang miskin. Aku bisa sekolah disini karena besiswa sementara mereka semua anak orang kaya. Aku nggak mau beasiswaku sampai dicabut.” Katanya sesenggukan.
Tiba-tiba saja aku prihatin dengan anak ini. Dia sama sepertiku dulu. Apa yang pernah aku alami. Aku juga pernah merasakan hal yang sama. Dengan refleks aku memeluknya dan membiarkan ia menangis di bahuku.
“Hey .. udah jangan nangis lagi. Jangan sedih. Aku tahu koq apa yang kamu rasakan saat ini. Percaya deh habis ujan pasti ada pelangi.” Kataku menenangkannya.
“Makasih ya. kamu baik banget. Jarang banget lho ada cowok yang seperfect kamu yang begitu pengertian. Semua cowok cenderung menjauhiku karena aku jelek dan miskin.”
“Nggak koq kamu cantik.” Kataku melepaskan pelukanku dan mengusap air matanya.
Ia terpana padaku sejenak dan sadar kembali saat aku menjentikkan jari di depan wajahnya.
“Lo .. kenapa. Koq liatin aku sampai segitunya. Ada yang salah sama wajahku.”
“Nggak papa koq. Kamu cantik. Matamu indah.” Katanya memandangi wajahku.
“Em... aku cowok. Aku nggak cantik ya.”
“Kamu bukan orang sini ya?”
“Koq kamu tahu sih?”
“Abisnya kamu nggak keliatan kaya orang indo sih. Matamu biru, kulitmu putih sama postur tubuh serta rambutmu kaya orang luar”
“Oh ... iya sih. Aku tinggal di Kanada. Aku kecil di Indonesia. Jadi, aku ke indonesia ini juma lagi ada kerjaan aja.”
“Owh ... terus kamu ngapain dong disini?”
“Em ... aku juma mau jemput saudara aku aja sih. Juma datengnya kecepetan sih. Makannya aku masih nunggu.”
“Owh ... gitu. Nama kamu siapa? Aku Nita.”
“Ow ... aku Serena. Panggil aja Rey.”
“Btw ... beruntung banget ya saudara kamu itu.”
“Nggak koq biasa aja.” Tiba-tiba saja ponselku berdering.
“Eh .. udah dulu ya. saudaraku udah pulang nih. Bye...” kataku tanpa sadar mencium keningnya.
“Eh ... aduh sorry sorry. Aku nggak sengaja, habisnya kebiasaan sih.” Kataku tergagap. Kebiasaanku sepertinya mulai kelewatan.
“Eh ... nggak papa koq.” Katanya.
“Sorry ya. aku duluan.” Kataku berlalu meninggalkan gadis itu yang wajahnya mulai bersemu merah.
Akupun berlari menghampiri Cici yang sudah menungguku di lobi kampus. Begitu aku melihatnya aku lalu melambaikan tanganku.
“Sorry ... udah lama nunggu ya?”
“Yuk ... pulang.” Kataku menggandeng tangganya.
Begitu sampai di mobil aku langsung menyetir dengan kecepatan sedang.
“Ci ... masak lo ke kampus pake kemeja doang. Ke mall yuk. Nanti aku beliin baju.” Ajakku.
Namun sepertinya Cici menolak ajakanku. No ...No... aku bukan orang yang bisa ditolak.
“Serah sih, tapi temenin aku ke mall ya.”
Setelah itu kamipun langsung mampir ke mall. Aku mengajaknya berkeliling.
“Mau es krim nggak?” tanyaku namun, ia hanya menggeleng malu.
“Ayolah” kataku menuju stand penjual es krim dengan agak sedikit menyeret tangganya.
“Mbak es nya dua ya. Emmm ... rasa coklat sama strowbery aja ya.” kataku langsung memutuskan karena kau yakin Cici hanya akan menurut padaku lagipula ia tak memiliki alergi makanan.
“Nih ... buat kamu.” Kataku sambil menyodorkan es krim padanya.
“Muter-muter lagi yuk.” Akupun menuju tempat pakaian wanita, walau Cici tadi sempat menolak.
“Ci ... kesana bentar yuk.”
“Gaunya bagus deh. Coba kamu pakai.” Namun, ia hanya menggeleng saja.
“Udahlah pakai aja.” Kataku sambil mendorong badannya menuju ke ruang ganti.
Akhirnya dengan terpaksa ia menuruti keinginanku. Aku cukup pangling melihat penampilannya setelah memakai gaun itu. Ia manis, pikirku.
“Gimana kamu suka.” Tanyaku memerhatikan ekspresinya yang sepertinya menyukai pakaian itu. Namun, ia memberi isyarat padaku akupun membalasnya, “ Gak papa. Nggak mahal koq.”
“Mbak ...” akupun memanggil shopkeeper yang ada di dekat kami.
“Ya ... mas. Ada yang bisa kami bantu?”
“Aku mau baju ini dong.”
“Baik mas.”
Kamipun keluar dari ruangan ini setelah membelikan Cici baju.
“Ci ... mampir ke toko sebelah yuk.”
Ditoko ini aku juga membelikan Cici beberapa pakaian. Jujur saja aku nggak tega kalau ia harus memakai baju yang sama dan sudah kumal ke kampus. Ia saudaraku aku ingin ia tidak direndahkan oleh orang lain.
“Ci ... ke salon yuk. Aku pengin potong rambut nih.” Ajakku dan ia hanya menurut saja.
“Mbak ... tolong make over temen saya ya” kataku pada pegawai salon begitu kami memasuki ruangannya.
“Siap mas...”
Kulihat Cici panik dan seperti menolak permintaanku.
“Ayolah ...” kataku sedikit memohon. Aku memang sengaja membohonginya dengan alibi aku ingin potong rambut padahal aku ingin make over penampilannya.
Setelah beberapa saat aku menunggu Cici. Iapun keluar agak malu-malu. Rambutnya memang lurus sebahu, tapi pikirku itu akan terlalu membosankan. Sekarang rambutnya dibuat agak bergelombang dengan make up tipis menghiasi wajahnya.
“Kamu cantik ...” kataku dan ia hanya tersipu malu mendengar pujianku.
“Ayo ... cari makan. Aku lapar nih.” Ajakku.
Kamipun mampir di sebauh kedai makan dan memesan menu. Namun, ada seorang pelayan wanita yang menumpahkan kopinya pada Cici. Cici mengaduh karena kopi itu masih panas dan yang membuat aku marah pelayan itu malah berkata, “Mbak ... kakinya jangan ditaruh sembarangan dong. Saya jadi terpeleset.”
“Eh ... mbak. Ngak punya mata ya?. Jelas-jelas kamu yang numpahin kopi ke temen saya koq malah jadi nyalahin” bentakku. Cici memberi isyarat ia tak papa. Namun, aku tak suka dengan tipikal pelayan yang ceroboh seperti ini. Aku dulu pernah membuka resto dan semua pelayanku sudah kupastikan kompeten tidak seperti pelayan ini. Bukannya minta maaf malah menyalahkan pelanggan.
“Maaf ... mas nggak sengaja.” Katanya tergagap begitu aku membentaknya. Sang manajer yang melihat kejadian inipun langsung turun tangan.
“Maaf ... mas ada yang bisa saya bantu. Maafkan pelayan kami. Ia tidak sengaja menumpahkan kopi pada teman anda. Sebagai gantinya kami akan memberikan diskon pada anda.” Bujuknya.
“Coba lihat aku sekarang. Apa aku kaya’ pengemis di depan kalian. Aku nggak butuh diskon ya. Aku juma pengin pelayan anda ini nggak ceroboh.” Kataku.
“Coba kalau aku tadi nggak negur anda pasti anda tak akan meminta maaf, bukan?” tanyaku pada pelayan itu yang terdiam dan menundukkan kepala.
“Udahlah ... ayo Ci kita pergi.” Kataku menggandeng tangan Cici dan berlalu.
“Tunggu ... mas. mas....” panggil manajer itu dari kejauhan namun sama sekali tak aku hiraukan.
“Kamu ganti baju aja ya. baju kamu basah.” Kataku pada Cici. Setelah ia ganti baju kamipun segera menuju mobil dan pulang.
--Rey .. kamu seharusnya nggak usah marah-marah tadi--- kata Cici dengan bahasa isyaratnya.
“Nggak Ci. Orang kaya gitu kalau nggak kita tegur malah akan ngremehin kita. Aku nggak masalah kalau dia minta maaf sama kamu dengan tulus bukannya malah menyalahkan. Kamu itu saudara aku ci. Sebagai laki-laki aku nggak terima kalau perempuan yang jalan sama aku tersakiti. Kamu paham, kan?” kataku sambil mengelus rambutnya. Ia hanya tersenyum padaku. Mungkin aku memang berlebihan, tapi hatiku selalu berkata aku benar. Itu bukan hal yang salah, kan?
Setiap hari aku selalu mengantar Cici dan mengajaknya jalan-jalan. Aku sudah ijin pada Bunda untuk tinggal disini sementara. Namun, Bunda berkata aku boleh tinggal disini selama yang aku mau. Dan tentu saja aku minta ijin Cuti pada Bobby. Tentu saja diijinkan karena memang jadwalku kosong untuk beberapa waktu kedepan.
Sore ini terasa sangat menenagkan hati, daun berguguran satu persatu ditiup semilir angin yang berhembus. Burung-burung berkicau ria dan semburat jingga tampak dilangit. Sementara aku duduk di teras depan , memandangi semua pemandangan indah pemberian tuhan. “Rey ...” tiba-tiba saja suara Fresla membuyarkan lamunanku.
“Ya ...” akupun menoleh.
“Rey ... aku ingin bilang sesuatu ke kamu. Ini penting.” Katanya beralasan sambil menengok kanan-kiri takut jika ada yang menguping.
“Ngomong aja ...” jawabku santai.
“Lebih baik kamu jaga jarak sama Cici.” Spontan saja aku kaget, apa aku melakukan kesalahan sehingga Fresla menyuruhku menjauhi Cici.
“Kenapa ?” tanyaku berlanjut.
“Rey ... Cici itu perempuan. Kita sama sekali tak memiliki ikatan saudara kamu tahu, kan? Perlakuan kamu yang terlalu manjain dia itu bisa memberi arti lebih ke dia. Aku akui kamu perfect sebagai cowok, itulah yang semakin membuatku takut. Ini demi kebaikan Cici rey. Kamu nggak cinta sama dia, kan?” selidiknya.
“Cinta? Nggak lah. Dia itu sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Kamu nggak perlu khawatir lah.” Jawabku. Jika aku meninggalkan Cici berarti aku harus meninggalkan mereka semua termasuk Bunda, aku tak rela aku baru saja bertemu dengan mereka.
“Kamu yakin. Aku baca buku diary Cici. Nih, kamu harus baca isinya sendiri. Cepat sebelum ia pulang.” Freslapun menyodorkan sebuah buku harian berwarna Pink itu padaku. Aku heran darimana ia mendapatkan buku itu. Aku agak ragu membacanya karena itu adalah privasi Cici. Namun, Fresla terus menyodorkan buku itu padaku.
Aku membaca buku diary itu halaman-perhalaman. Isinya adalah hal yang sama, hal yang membuatku kaget. Ternyata benar apa kata Fresla. Cici memang memliki perasaan lebih padaku.
“dear diary...
Hari ini aku seneng banget. Serena mengajak aku jalan-jalan. Aku senang karena ini baru pertama kali aku jalan bareng cowok. Jujur, ia tampan sangat tampan. Ia melindungiku dari semua teman yang jahat padaku. Ia bagai pangeran berkuda putih yang menolongku. Aku mencintainya. Aku harap kami bisa bersatu suatu saat nanti.”
Itulah halaman terakhir buku itu yang kubaca. Tidak ... tidak boleh. Cici tak boleh mencintaiku. Dan semua orang tahu akan hal itu. Cinta sepihak itu akan terasa sangat menyakitkan.
“Giman rey?” tanya Fresla begitu aku menutup buku itu.
“Sini aku akan kembalikan buku itu. Jangan katakan padanya kalau aku memberikan buku itu padamu, ia akan sangat marah padaku. Dan sebaiknya kamu perhitungkan apa yang aku ucapkan tadi.” Kata Fresla sambil berlalu.
Saat diperjalanan pulang setelah menjemput Cici. Aku ingin memastikan suatu hal padanya. “Ci ... aku boleh nanya?” tanyaku dan segera kulanjutkan saat melihat ia mengangguk.
“Perasaan kamu padaku seperti apa?” tanyaku dan sedikit ragu ketika aku menoleh padanya dan wajahnya malah bersemu merah.
“Ci ... aku seperti kakak atau kekasih bagimu?” lanjutku saat ia hanya terdiam.
Namun, tanpa kuduga ia membuat tanda love dengan kedua tangannya. Oh ... tidak, ucapku dalam hati. “Ci... aku ingin bilang sama kamu, kita ini saudara. Dan semua perlakuan aku sama kamu nggak lebih dari perhatian seorang kakak pada adiknya, kamu mengerti, kan?” tapi sepertinya ia terlihat sangat kecewa.
“Aku nggak bisa ci. Aku nggak bisa membalas perasaanmu. Maaf...” sesaat setela aku mengucapkan kata itu aku melihat bulir bening jatuh dari matanya. “Oh ... No jangan menagis Ci ...aku-aku...” dengan tergagap aku berusaha menjelaskan padanya namun, sepertinya kata-kata itu tertahan di kerongkonganku.
Lalu ia membuat isyarat padaku dengan kedua tangannya. Setelah paham maksudnya aku yang harus membagi konsentrasiku dengan menyetir mulai menjawab pertanyaannya, “Aku nggak bermaksud memberi harapan palsu padamu. Aku hanya ingin kamu bahagia. Itu aja. Maaf ... mungkin aku yang salah.” Kataku mengalah namun, ia malah menangis tersedu-sedu membuat perasaanku berkecamuk. Aku tak bermaksud menyakitinya. Aku tak sadar perhatian yang selama ini aku berikan padanya, memberikan arti lain pada gadis itu.
Sesampainya dirumah, Cici langsung turun dari mobil dan berlari sambil menangis. Aku berusaha mengejarnya namun, Fresla yang ada di halaman rumah mencegahku, “Kamu ... apain Cici? Hah?” bentaknya.
“Fresla ... aku. Aku nggak bermaksud sama sekali seperti itu.” Jelasku namun ia tak mau mengerti. “ Rey ... lebih baik kamu pergi! Kita lebih baik tanpa kamu. Ngerti!” ini pertama kali aku melihat Fresla marah, sebelumnya ia bahkan tak akan pernah menampakkan wajah cemberutnya pada siapapun. “Kenapa ?” tanyaku.
“Kenapa? Kamu masih nanya kenapa! Aku nggak suka wanita yang aku cintai disakiti pria lain. Selama ini aku berusaha mendekati dan membahagiakan Cici. Tapi kamu malah merusak semuanya. Andai kamu nggak kembali rey. Aku suka sama Cici aku nggak rela dia bersama pria lain apalagi pria itu temenku sendiri. Kamu rey.” Penjelasanya tadi sukses membuatku tercengang. Jadi, selama ini Fresla menyukai Cici. Apa selama ini penyebab ia selalu terlihat murung dan tak mau dekat denganku karena Cici.
“Tunggu ... kamu cinta sama Cici?” tanyaku memastikan dengan kening agak berkerut.
“Iya ... kenapa? Aku suka sama dia sejak SD rey. Dia orang yang baik dan ceria walau ia memiliki keterbatasan fisik. Ia orang yang juga selalu menyemangatiku. Tapi, aku berusaha memendam semua rasa cintaku. Tapi kamu malah memberi harapan palsu padanya. Aku tak pernah lihat Cici menangis kecuali saat kamu datang.” Katanya penuh amarah.
“Apa itu salahku? Apa jika Cici memiliki perasaan lebih padaku itu salahku. Apa jika Cici tak membalas perasaanmu itu juga salahku. Kenapa kau marah padaku seolah-olah aku adalah seorang yang merusak segalanya.” Fresla maju dan mendorongku hingga aku ingin terjengkang kebelakang. “ Lebih baik kamu pergi. PERGI !” usirnya.
Tono yang melihat kami mulai bertengkar akhirnya mulai melerai, “Sudah ... sudah kalian jangan bertengkar. Nanti Bunda sedih liat kalian berantem. Cepet baikan sebelum Bunda pulang.” Katanya. Jujur, aku agak kaget bahwa Tono bisa bersikap dewasa namun itu bukan hal yang penting untuk sekarang ini.
“Ok ... aku akan pergi. Tapi ijinkan aku bertemu dengan Cici sekali lagi.”
“Buat apa?” tantangnya.
“Terserah...” aku berlalu meninggalkan mereka dan menuju ke kamar Cici.
Kulihat Cici menangis sambil telungkup di atas ranjangnya, akupun mendekatinya. “Ci ... aku minta maaf kalau aku membuat semuanya menjadi rumit. Aku sama sekali nggak bermaksud ingin menyakitimu. Aku akan pergi kalau itu bisa mengembalikan senyummu.” Kataku membalikkan badan. Namun, belum sempat aku melangkahkan kaki keluar dari kamarnya tiba-tiba saja Cici memelukku dari belakang. Ia menggelangkan kepala melarangku untuk pergi.
Aku melepaskan pelukannya dan berbalik menghadapnya, “ Aku nggak bisa terus-terusan numpang disini. Harus ada orang yang mengalah. Dan jalan satu-satunya aku yang harus pergi.” Kataku mengusap rambutnya dan mengecup keningnya. “Jaga baik-baik dirimu.” Kataku dan berlalu pergi.
“Ton, aku pergi. Tolong pamitkan pada Bunda, ya?” kataku sambil menyeka air mataku yang mulai merembes keluar. “Rey ... kamu nggak harus pergi.” Cegah Tono, tapi aku sudah memantapkan pikiranku. Aku bergegas masuk mobil dan menyetir menjauh.
Semuanya kacau. Kacau. Lebih baik aku kembali ke Kanada. Walau mungkin beberapa waktu kedepan aku harus kembali ke Indonesia karena ada beberapa hal yang perlu aku urus disini. Akupun segara memesan tiket pesawat. Dan mencoba melupakan semua kejadian tadi. Rey ...1 ... 2 ...3... tenang dan lupakan. Kataku dalam hati sambil menarik nafasku dalam dan menghembuskannya perlahan.
Thanks ya...atas semua masukannya...
Comment on chapter PROLOG