“Terkadang sendiri itu begitu menenangkan. Namun, sendiri bukanlah sebuah kata yang ingin kuubah menjadi kenyataan.”
~Serena~
Entah apa yang merasuki pikiranku. Tiba- tiba aku ingin ke rumah ayah. Aku tak ingin main kucing-kucingan lagi. Aku harus melupakan sedikit traumaku pada Deva.
Akupun memacu kendaraanku. Sendiri. Karena Jade sedang mengurusi bisnisku. Setelah bersuka ria dengan kemacetan kota Jakarta akhirnya aku sampai di rumah ayah. Ini hari minggu jadi ayah pasti dirumah.
Para pelayan sudah menyambutku dan mempersilahkanku masuk. Aku lihat ayah dan Deva sedang sarapan. Dengan ragu aku menghampiri mereka.
"Rey ... " Panggil Deva yang melihatku ia tampak senang tak seperti dulu.
"Rey ... Kamu datang. Sini ayo sarapan bersama. Tumben kamu ke rumah ayah." Kata ayah sambil menyuruhku duduk.
Akupun memilih tempat duduk dekat ayah agak jauh dari Deva. Selesai makan kamipun melanjutkan aktivitas masing-masing. Karena aku free hari ini aku hanya duduk-duduk di sofa dan memainkan ponselku. Sementara ayah ada janji bermain golf dengan rekan kerjanya.
"Rey ..." ucap Deva.
Aku terkejut dan segera bangun dari posisi tidurku.
"Oh... Ngak apa-apa."
"Jalan-jalan yuk." ajaknya.
"Emm ... Gak usah deh. Aku lagi pengen istirahat di rumah." tolakku.
"Ayolah ... " katanya memohon sok akrab.
Karena aku tak tega lama-kelamaan aku mengiyakannya lagi pula aku tak ada kegiatan juga hari ini. Akhirnya kami berdua keluar, Deva yang menyetir. Aku duduk disampingnya memainkan hp.
Jujur aku merasa agak kagok dengan sikapnya yang berubah 180 derajat padaku sejak kejadian beberapa waktu silam.
"Gimana kabarmu ?" tanyanya memecah keheningan.
"Baik ... " Jawabku bingung ingin berkata apa lagi.
"Kamu masih marah?" tanyanya lagi masih memerhatikan lalin di depan tak berani menatapku.
"Nggak koq." jawabku.
"Selamat atas bisnis barumu." tanyanya.
"Ok." jawabku singkat.
“Mau makan apa hari ini?” tanyanya basa-basi.
“Apa aja boleh sih. Asal bukan yang pedas aja.” Karena aku benci pedas, lanjutku dalam hati.
Mobil kamipun berhenti di sebuah mall besar. Mall Ciputra, tempat yang keren menurutku. Semuanya ada. Kami berjalan berkeliling, melihat-lihat dan terkadang mampir makan. Jujur, sikap Deva yang seperti seorang kakak bagiku membuat hatiku tersentuh. Aku menyukai sifat barunya padaku. Walau terkesan agak canggung karena biasanya kami saling memaki satu sama lain saat bertemu. Ia selalu menjagaku termasuk dari kamera yang selalu ingin memotretku maupun wanita yang suka Modus mendekatiku.
Kami banyak berbicang di perjalanan. Ternyata ia adalah tipe orang yang nyambung jika diajak berbicara. Setelah agak sore kami baru pulang. Setidaknya rasa takutku pada Deva agak berkurang sedikit. Saat makan malam bersama setelah selesai aku berpamitan pada ayah dan Deva karena aku ingin pulang kerumahku sendiri.
“Anda sudah pulang, tuan.” Sambut Jade yang berdiri di samping pintu masuk.
Jujur aku agak terkejut, “Kamu dari tadi disitu kah?” tanyaku.
“Ya ... saya menungggu anda pulang. Anda ingin makan apa?” tanyanya lagi.
“Aku sudah makan Jade.” Kataku berlalu menuju kamarku.
“Saya akan siapkan air hangat.” Katanya mengikutiku.
“Jade, aku merasa bahwa aku memiliki seorang istri bukan asisten.” Kataku mneoleh pada Jade yang berada di belakangku saat kami sama-sama menaiki tangga.
“Maksud tuan?” tanyanya.
“Ya ... kau menyiapkan air hangat untukku setiap hari, merawatku saat aku sakit bahkan menggantikan pakaianku, menyiapkan semua keperluanku dari makan, pakaian yang akan kukenakan. Kau bahkan membuatkan dasi untukku yang aku sendiri tak bisa memasangnya.” Kataku mengakui.
Itu karena aku mencintaimu rey, jawab Jade dalam batinnya. Aku akan melakukan apapun untukmu. Aku bisa melakukan apa saja asal kau berada di sisimu. Aku kan terus melayanimu karena aku sendiri belum yakin bahwa aku patut bersanding disampingmu. Kau tak perlu tahu bahwa aku menyukaimu. Cukup dengan senyummu saja aku sudah bahagia. Kau lelaki terbaik yang pernah kutemui. Jadi istrimu adalah impianku kelak walau aku tahu itu seperti hal yang sulit terwujud. Biarlah cinta ini kusimpan sendiri.
“Jade?” kataku membuyarkan lamunannya.
“Ah ... iya tuan.” Katanya.
“Kenapa kamu bersedih?” tanyaku mengamati ada yang berbeda dari wajah Jade.
“Tidak tuan.” Jawabnya. Aku hanya membalasnya dengan anggukan pelan.
Aku duduk di tepi kamarku sementara jade menyiapkan air hangat untukku.
Dalam hati aku hanya bisa berkata, aku menyukainya. Namun, sepertinya ini hanyalah cinta sepihak. Jade bukan orang bisa kutaklukkan dengan mudah. Ia wanita yang memiliki harga diri tinggi. Ia juga bersikap kaku padaku. Seperti kebanyakan asisten lainnya. Alasan aku menyuruh Jade untuk tinggal bersamaku adalah aku selalu ingin dekat dengannya. Aku seperti teringat bunda saat memandang wajahnya. Rasa nyaman dan hangat. Aku lebih suka ia memanggilku rey ketimbang tuan muda. Jade itu perfect, sementara aku hanyalah orang biasa. Aku buru-buru menyingkirkan pemikiranku ketika Jade keluar kamar mandi.
“Tuan ... sudah” katanya.
“Oke ..” kataku sembari melepas jam tanganku dan menuju kamar mandi.
Setelah selesai mandi, aku melihat Jade masih menungguku.
“Kau tidak mengintipku kan, Jade?” tanyaku menggodanya.
“Ah ... tidak tuan, sa-saya hanya menunggu anda memilih pakaian yang telah saya siapkan.” Katanya tergagap.
Kulihat wajahnya bersemu merah. Aku tertawa kecil melihatnya yang salah tingkah.
Akupun mendekatinya dan mencoba memilih beberapa pakaian tidurku.
“Hey ... kamu hadap sana.” Kataku menyuruhnya menghadap tembok.
“Baik, tuan.” Katanya.
Akupun membuka handukku dan memakai bajuku karena aku sudah memakai celana. Tanpa sadar, Jade masih bisa melihatku lewat pantulan kaca yang ada di tembok.
“Jade, kemarilah.” Aku menyuruhnya duduk di atas ranjangku ketika aku sudah selesai memakai baju.
“Eh... iya tuan.” Katanya berbalik dan duduk di tepi ranjang.
“Sini ... dekat aku. Di tengah ranjang. Aku ingin lihat perkemabangan bisnis baruku.” Kataku sambil membuka laptop.
“Oh ...” Jade datang mendekat.
Ini sudah malam, aku mengantuk. Namun, ini adalah salah satu cara agar aku bisa melihat wajah Jade dari dekat. Mungkin ini yang dinamakan MODUS. Dalam hati aku tersenyum.
Jade menjelaskan beberapa bagian yang aku tak terlalu perhatikan. Yang aku perhatikan hanyalah wajahnya, ia cantik sangat cantik. Mataku hanya mengamati wajahnya tanpa memerhatikan sedikitpun apa yang sedang ia coba jelaskan.
“Ada apa tuan? Apa ada yang salah?” tanya Jade panik saat ia menyadari aku sedari tadi memerhatikannya.
“Tidak. Kau sangat cantik.” Jawabku.
Wajahnya bersemu merah namun, ia langsung menundukkan wajahnya.
“Kau mau jadi istriku.” Godaku, entahlah kata-kata itu tiba-tiba saja meluncur begitu saja. Namun, aku tak tahu hal itu akan sangat berpengaruh bagi Jade walau ia tahu itu hanyalah candaanku saja.
Tanpa aku bisa menebak. Tiba – tiba saja Jade menciumku. Lembut dan dalam. Awalnya aku kaget, namun aku segera membalas ciumannya.
Malam ini milik kami berdua. Entah dosa apa yang akan kami lakukan.
***
Mataku perlahan terbuka, kulihat Jade masih tertidur lelap disampingku. Kuelus rambutnya perlahan agar ia tak terbangun. Masih pagi, batinku. Aku menutup mataku lagi dan melanjutkan tidurku.
Kulirik arlojiku yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Namun, kami masih tetap tertidur. Saat aku ingin menutup mataku lagi. Terdengarlah suara ketukan yang berasal dari pintu kamarku.
“Rey ...” Terdengar suara Deva memanggilku.
Awalnya aku tak begitu sadar, kukira ini hanya mimpi. Namun, suara itu tak kunjung hilang.
“Rey ... ini aku Deva. Aku dan ayah datang berkunjung.” Katanya.
Oh My God.
Sontak saja aku langsung terbangun. Deva dan ayah. Oh ... No. Jangan sampai mereka melihatku seperti ini. Aku pasti akan langsung digampar, batinku.
“Jade ... bangun. Cepat bangun.” Kataku terburu-buru.
“Hemm ... ada apa rey?” tanyanya dengan mata setengah terbuka.
“Bangun. Cepat pakai bajumu. Ayah dan Deva datang berkunjung.” Kataku panik.
“Apa!!” Jade bangun, ia sama terkejutnya denganku.
Jujur melihat ekspresinya saat ini dan rambutnya yang masih acak-acakkan membuatku ingin tertawa. Nmaun, kutahan karena ini bukan situasi yang tepat untuk tertawa.
Kamipun segera memakai baju kami.
“Rey ... terus aku gimana?” tanyanya.
“Gimana apanya?” tanyaku belum faham.
“Kan nggak mungkin kita sekamar berdua.” Katanya.
“Oh ... iya. Aku lupa. Kamu sembunyi aja....” kataku terhenti sambil berfikir.
“Anu ... di lemari itu saja.” Kataku.
“Jangan nanti ketahuan dong.” Jawab Jade.
“Emmm ... dikamar mandi saja.” Ideku lagi.
“Masak di kamar mandi.” Bantahnya.
“Rey ...kamu di dalam kan?” suara Deva terdengar lagi membuat kami semakin panik.
“Balkon ...” bisik kami bersamaan.
Kamarku ada di lantai 2. Dan di balkon ada tangga yang menghubungkannya dengan lantai bawah. Jadepun langsung menuju balkon dan menuruni tangga. Sementara aku, merapikan tempat tidur yang masih berantakan.
“Rey...” panggil Deva lagi.
“Iya sebentar ...” jawabku.
Akupun segera membuka pintu. Tentu saja aku hanya membukanya ¼ bagian. Setidaknya cukup agar Deva bisa melihat wajahku.
“Sory ... aku baru bangun.” Kataku beralasan.
“Oh ... cepat ayah di bawah.” Katanya.
Setelah merapikan badan, akupun beranjak kebawah.
“Maaf ... aku agak lama. Ada apa tumben kesini ?” kataku sambil menuruni tangga.
“Ayah hanya ingin mengunjungi kamu. Ayah harus memantau kalau anak ayah yang satu ini baik-baik saja.” Kata ayah.
Seharian ini kami hanya mengobrol biasa, karena ini hari minggu ayah tak pergi ke kantor. Saat matahari sudah mulai tenggelam ayah dan Deva pamit pulang, ayah mengajakku untuk pulang kerumahnya. Namun, aku menolak. Saat mereka sudah pergi. Aku beranjak menemui Jade yang membereskan dapur setelah memasak untuk kami bertiga.
“Halo ... sayang.” Ucapku memeluknya dari belakang dan menyandarkan kepalaku di pundaknya.
“Rey ...” elaknya sambil melepaskan pelukanku.
“Kenapa?” tanyaku sambil memasang wajah cemberut.
“Nanti ada Deva dan Tn. Adiwijaya melihat kita.” Jawabnya.
“Mereka kan sudah pulang.” Rengekku.
Ia hanya tersenyum melihat betapa manjanya aku sekarang.
Semenjak hari itu, aku menjalani hubungan dengan Jade. Ia sekarang memangilku dengan sebutan namaku, bukan tuan muda lagi kecuali jika ada ayah dan Deva.
“Kau tahu, cinta itu bukan hanya sekedar mengungkapkan perasaan. Cinta yang sesungguhnya itu membuat tiap individu mengetahui perasaan pasangannya walau tanpa ucapan I Say I Love You.”
Kami selalu kemana-mana bersama. Melakukan apa yang pasangan lain juga lakukan. Melakukan banyak hal romantis bersama. Liburan dan berbelanja bersama. Kami menyembunyikan hubungan kami dari semua pihak. Ayah juga tak mengetahui persolan hubungan kami berdua.
Sampai suatu pagi. Aku tak sengaja membaca sebuah majalah gosip yang terletak di meja depanku. Aku sangat terkejut membaca berita yang menjadi headline utama hari ini.
“Rey ...” panggil Jade.
Ia memelukku dan aku menghindar saat ia mencoba mencium pipiku.
“Kenapa ...?” Tanyanya heran.
“Coba kamu baca ini.” Kataku sambil menyerahkan majalah yang aku baca barusan pada Jade.
Kulihat ia juga sama terkejutnya denganku.
Anak Tn. Adiwijaya Terlibat Skandal Cinta Dengan Sekretarisnya.
“Anak Tunggal Grup H. Anak Tn. Adiwijaya Yang Bernama Rey Adiwijaya Kusuma Terlihat Sedang Bermesraan Di Panti Bali Bersama Sang Sekretaris Cantiknya. Apakah Tersembunyi Sisilain Di balik Sifatnya Yang Ramah Tamah Atau Memang Ia Sedang Menjalani Sebuah Hubungan Dan Sekretarisnya. Akankah Tn. Adiwijaya Akan Merestui Hubungan Mereka? Mengingat Grup H Adalah Grup Terbesar Ke -3 Di Indonesia.”
Itu adalah hal yang tertulis di majalah yang kubaca. Ditambah gambar kami yang sedang berpelukan di salah satu pantai di bali sewaktu kami liburan bersama. Bagaimana media bisa mengetahi tentang hal ini. Apa mereka ada dimana-mana. Hah... semuanya akan menjadi lebih rumit sekarang. Ayah pasti akan mengetahuinya sekarang. Pasti.
Tringg...
Ponselku berdering. Ayah menelponku. Antara yakin dan tidak aku mulai mengangkat telepon ayah.
“Halo...” kataku takut-takut.
“Rey ... temui ayah di Kafe dekat kantor sekarang.” Suara dibalik telpon itu terlihat sangat marah.
Ayah menutup teleponya setelah mengatakan hal itu.
Aku dan Jade hanya bisa saling pandang.
Ayah pasti marah.
Harga saham di perusahaanya pasti anjlok.
Selama ini ayah sudah berhati-hati agar tidak ada gosip miring mengenai dirinya. Ia bahkan sampai menyembunyikan Deva agar tak ketahuan media. Dan sekarang akhirnya berita miring itu muncul karena ulahku.
Aku menyetir dengan perasaan tidak karuan. Antara takut dan malu, tapi aku harus menemui ayah aku tak mau ayah bertambah marah padaku lagi.
Setelah sampai aku segera memarkirkan mobilku. Suasananya sepi, tak ada pengunjung. Biasanya kafe ini tak pernah sepi pengunjung. Rupanya ayah memang sengaja menyewa tempat ini. Oh ... tak terbayang betapa marahnya ayah.
Akupun keluar dan memasuki kafe lalu menghampiri seorang pria paruh baya yang sedang duduk di pojokan dengan wajah gusar.
“Yah. Aku mi-...” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku ayah sudah berdiri dan menampar wajahku dengan keras.
“Dasar anak tak tahu diri. Bagaimana mungkin kamu melakukan itu semua. Ayah sudah membesarkan kamu tapi kamu malah membalas semua kebaikan ayah dengan berita itu. Pacaran dengan seorang sekretaris. Apa-apaan itu.” Teriak ayah.
“Yah .. dia juga seorang manusia yang-...” lagi-lagi belum sempat aku menyelesaikan perkataanku ayah kembali menamparku membuat kedua sudut bibirku berdarah.
“Masih berani kamu bicara. Saham perusahaan anjlok karena ulahmu. Kupikir selama ini kamu bisa jadi anak yang membanggakan tapi apa? Sia-sia ayah megadopsimu. Bahkan selama ini ayah mengorbankan Deva.” Bentak ayah.
“Apa semua ini salahku. Saya tidak pernah meminta anda mengangkatku sebagai anak. Anda memilih saya hanya karena saya memiliki kesempurnaan fisik dibanding ke-3 teman saya bukan? Anda sama saja. Sama seperti orang tua kami yang membuang kami. Yang anda pedulikan hanya reputasi saja.” Kataku marah.
“Apa kamu punya hak berbicara?” balas ayah. Lalu ayah kembali berkata, “Mulai sekarang kamu bukan anak ayah lagi.”
“Terserah ... selama ini saya bisa menghidupi diri saya sendiri. Saya mau diangkat anak oleh anda hanya karena saya ingin memiliki latar belakang keluarga bukan karena harta anda.” Jawabku lalu keluar ruangan.
Aku menggigit bibir bawahku. Menahan tangis. Kenapa ... kenapa ... kenapa Rey ?.
Kenapa aku harus memiliki perasaan.
Aku sudah disakiti berkali-kali. Namun, kenapa aku masih merasakan sedih. Seharusnya aku sudah kebal. Aku sudah berusaha mengubah sikapku. Aku bukan anak pengecut lagi yang sama seperti dulu. Aku bukan Serena yang terlalu baik hati seperti dulu. Aku adalah orang baru dengan jiwa dan raga yang sama. Sekarang aku lebih cuek, menikmati hidupku dan tak acuh. Tapi kenapa perasaanku masih terus ada. Kanapa?
Baru saja aku ingin membuka pintu. Aku sudah dikejutkan oleh banyaknya kamera yang memotretku. Apa ini, lalu sedetik kemudian pertanyaan sudah beruntun menerjangku.
Apa yang terjadi barusan?
Apakah benar berita itu ?
Apa anda memiliki hubungan khusus dengan sekretaris anda ?
Apa Tn. Adiwijaya memiliki anak lain selain anda ?
Kenapa anda terluka ?
Kenapa bibir anda berdarah ? Apa Tn. Adiwijaya sering melakukan kekerasan pada anda ?
Pertanyaan beruntun itu terus saja memberondongiku. Tanpa aku bisa menjawabnya satu-persatu. Aku bergerak maju ingin lewat. Seharusnya tempat ini aman dari media. Tapi kenapa mereka semua bisa berkerumun disini.
Jika tak ada para staff kafe yang membantuku, mungkin aku tak bisa melewati kerumunan wartawan yang saling menyodorkan mic nya padaku. Aku menutupi wajahku dengan hoodie. Sesampainya dimobil aku langsung menyetir cepat tak ingin menoleh ke belakang lagi.
Sesampainya di rumahku senidiri aku langsung mencari Jade namun, aku tak kunjung menemukannya. Aku menuju kamarnya namun ia juga tak ada. Akupun membuka lemarinya. Aku terkejut melihat lemarinya yang sudah kosong.
“ Jade ... Jade ... dimana kamu?” teriakku mencoba mencarinya namun tak kunjung ketemu.
Wanita sialan itu, semua sama saja.
Orang tua kandungku.
Ayah angkatku.
Dan sekarang Wanita yang kucintai. Yang kukira tulus menyayangiku.
Semuanya palsu. Semuanya sama saja.
Aku sendiri lagi.
Aku hanya bisa menangis pasrah.
Aku teringat bunda, hanya bunda yang tulus menyayangiku.
Tapi dimana bunda sekarang?
Aku tak punya tempat tujuan lagi sekarang?
Dulu, saat pertama kali kembali dari Kanada. Aku mengunjungi panti asuhanku dulu. Setelah mencoba mengingat-ingat tempatnya. Namun tempat itu sudah kosong tanpa ada yang tahu kemana semua penghuninya pergi.
Seharian ini aku hanya tertidur diranjangku. Tanpa ada niatan untuk mengobati lukaku.
Sebenarnya aku penasaran akan berita apa lagi yang akan diberitakan media, namun aku terlalu malas membuka hp maupun menonton tv.
Aku harus kuat. Sejak kecil bunda mengajariku menjadi anak yang mandiri bukan anak yang cenggeng seperti ini.
Aku tak ingin lagi memikirkan kedua orangtuaku yang membuangku, yang sialnya aku sudah tahu siapa mereka.
Aku tak ingin memikirkan ayah angkatku dan semua yang berhubungan dengannya.
Aku juga tak ingin ambil pusing mengenai Jade yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
Aku akan mengubur semuanya dalam-dalam tanpa ingin mengungkitnya lagi.
Akupun bangkit dan mencoba melakukan kegiatan normal seperti biasanya. Tak akan ada gunanya terus terpuruk seperti ini. Aku hanya akan membuang-buang waktuku.
Rupanya, mantan ayah angkatku benar-benar membenciku sekarang. Aku sudah memberi konfirmasi pada media bahwa aku hanyalah anak angkat dan sekarang aku tak mempunyai hubungan lagi dengan Tn. Adiwijaya. Berita tambahan itu semakin membuat ayah marah. Setelah itu disusul terbongkarnya identitas Deva.
Image perusahaan hancur. Saham turun drastis dan mungkin karena itu ayah memblokir semua akses perusahaan yang baru saja aku bangun. Orion grup. Semua klienku hilang. Termasuk rekan kerjaku. Dan resiko inilah yang harus aku tanggung sebagai investor tunggal. Kerugian yang aku tanggung sangat besar.
Aku harus menutup bisnisku. Semuanya. Bisnis yang kubangun belum lama ini, aku sampai harus menjual semua asetku. Rumah, mobil, properti.
Aku bahkan menjual mobil kesayanganku. Sekarang aku hanya mampu menyewa apartemen kecil yang sederhana. Untuk menghemat sisa uangku aku bahkan hanya makan nasi dan mie rebus selama beberapa hari. Akhirnya akupun memutuskan kembali ke Kanada, menghubungi agensiku kembali. Kurasa uangku masih cukup untuk membeli tiket pesawat dan biaya hidup selama sebulan disana. Aku juga memutuskan untuk cuti kuliah sampai aku punya uang kembali.
Aku juga tak tahu apakah aku akan kembali ke Indonesia atau memilih menetap di Kanada. Karena aku tak punya tujuan lagi di Indonesia. Hanya kenangan pahit yang tersisa. Aku ingin lari, meninggalkan semua luka tanpa ingin menoleh kembali. Aku akan lupakan bahwa aku pernah punya memori di Negara ini. Aku akan menjadi orang baru dengan hidup baru.
Hidupku dimulai sekarang. Kataku menguatkan diriku.
Aku memantapkan hatiku dan berjalan memasuki bandara.
Thanks ya...atas semua masukannya...
Comment on chapter PROLOG