16.30. bandara Soekarno-Hatta.
Aku bergegas menuju dalam bandara. Aku berjalan dengan cepat. Saking terburu-burunya gelang yang aku pakai bahkan sampai nyangkut di tas seorang wanita. “Oh ... um sorry.” Kataku memandangnya yang diam terpaku, menatapku. Tatapan yang biasa aku dapatkan dari seorang wanita, yang sekarang sudah tak kuindahkan lagi. Aku berusaha melepakan gelangku, namun sepertinya sulit.
Tiba-tiba saja aku merasakan tangan wanita itu menyentuh wajahku, “Thomas ...” lirihnya dengan mata berkaca-kaca. Aku menghentikan aktivitasku untuk sejenak mencoba menerka apa yang sedang ia lakukan saat ini. Saat kami saling berpandangan tiba-tiba saja sebuah pengumuman yang menandakan pesawat yang aku tumpangi akan berangkat sebentar lagi. Spontan saja, karena aku tak ingin ketinggalan pesawat, aku langsung melepas tali gelangku dan meninggalkannya berjuntai di tas wanita itu.
“Sorry ... aku buru-buru.” Kataku berlalu. Wanita itu berusaha meraih tanganku, namun aku terlebih dulu berlari menjauh.
***
Pandangan wanita itu masih saja terpaku pada sosok pria yang kini sudah hilang ditelan keramaian. Tangannya masih mengantung di udara. Seolah mengelus kembali wajah itu. Membayangkan seseorang yang sudah pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya, Thomas. Itu namaya. Ia teringat kembali moment ketika keduanya masih bersama. Merajut Cinta sebagai sepasang kekasih.
Ia menerawang kembali masa lalu. Thomas adalah pria yang baik. Ia selalu ceria bahkan saat dirinya sedang bersedih sekalipun. Ia memiliki Phobia yang menurutnya unik, ia takut pada benda tajam terutama pecahan kaca itu karena ia memiliki memory mengenai benda itu, memori yang buruk di masa silam. Nama wanita itu adalah Luna. Luna Margareta. Kekasih Thomas. Waalu hubungan keduanya tak direstui oleh kedua orang tuanya dikarenakan Thomas memiliki banyak bekas luka di wajahnya. Namun, ia sangat mencintai kekasihnya. Tapi, sepertinya takdir berkata lain. Thomas meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil beberapa tahun silam. Meninggalkan dirinya sendiri, yang bahkan belum sempat mengucapkan kata selamat tinggal.
Tapi, mata itu. Mata pria itu mengingatkan dirinya akan mata Biru Thomas. Mata indah yang menyejukkan jiwa setiap kali ia memandangnya. Bulir-bulir bening terjatuh dari matanya. Tak lama kemudian ia sadar. Pria itu. Ya pria itu. Ia harus mencarinya. Mata itu. Tak peduli bagaimanapun caranya ia harus menatap mata itu lagi. Harus. Luna kemudian berlari mengejar pria itu. Namun, tak kunjung menemukannya. Ia mencari kesana dan kemari. Tiba-tiba ia teringat, pria itu sepertinya terlihat terburu-buru ketika mendengar sebuah pengumuman pesawat ke Kanada akan berangkat beberapa saat lagi, pria itu terlihat panik. Oh ... tidak. Kanada. Ia harus cepat. Ia tak ingi tertinggal jejak pria itu lagi.
“Maaf ... pak. Pesawat ke Kanada sudah berangkat.” Tanya luna pada seorang petugas bandara dengan nafas yang masih tersenggal-senggal.
“Wah ... sayang sekali. Pesawatnya sudah berangkat beberapa saat yang lalu. Baru saja.” Jawab orang berseragam itu.
Sebuah kekecewaan besar menghinggapi hati Luna. Namun, tidak ia tak boleh menyerah. Ia harus bertemu pria itu kembali. Tak perduli bahkan jika ia harus memutari seluruh dunia hanya untuk menemukannya.
“Apa kau sudah gila?” tanya seorang pria berambut hitam yang sedang duduk di sofa.
“Tidak. Joe ... ini adalah kesempatan emas untukku. Aku harus bertemu dengannya lagi tidak perduli bahkan jika aku harus mengelilingi seluruh dunia.” Sahut seorang wanita yang sedang mondar-mandir itu.
“Lun. Udahlah sebaiknya kamu realistis aja. Thomas itu udah nggak ada. Nggak mungkin kamu bisa ketemu dia lagi.” Protesnya.
“Joe. Tapi mata itu. Mata itu sama sseperti mata Thomas. Begitu meneduhkan. Aku masih ingin terus melihat tatapan itu.” Kata wanita itu melembut.
“Oke. Terserah.” Sahut Joe pasrah berdebat dengan Luna adalah suatu hal yang sia-sia. Setidaknya ia mengenal sifat Luna karena mereka berteman sejak kecil. Ia gadis yang cukup keras kepala apalagi jika itu menyangkut hal yang penting baginya. Namun, kehilangan Thomas sepertinya menorehkan luka yang cukup dalam pada perasaan gadis itu. “Terus gimana?” lanjutnya bertanya.
“Kanada.”
“Apa?”
“Aku akan pergi ke Kanada. Pria itu pergi ke Kanada.” Jelasnya sambil memegang gelang pria itu yang berhasil ia ambil setelah tersangkut di tasnya.
“Ok. Tapi, sorry aku nggak bisa temenin kamu. Aku masih ada urusan. Kerjaanku lagi numpuk. Sorry ya.” jawab Joe pasrah.
“Ya. nggak papa. Aku tahu koq. Thanks ya.” katanya tersenyum sementara Joe hanya bisa mengangguk.
14.30 WIB
Luna sedang berjalan tergopoh-gopoh menyeret sebuah koper yang berwarna senada dengan pakaiannya. Merah marun. Warna yang tak terlalu ia suka. Namun, waktu memaksanya memakai baju dengan warna itu sekaligus koper yang sedang ia seret. Karena mau bagaimana lagi dua benda itulah yang pertama kali ditemukan oleh matanya. Ia tak mau ambil resiko terlalu besar, ia tak mau tertinggal pesawat.
15 menit lagi, katanya dalam hati sambil menoleh arlojinya. Pesawat ke Kanada akan berangkat. Ia sebenarnya gugup harus memulai sebuah perjalanan panjang ini. Namun, ingatannya tentang mata itu terus menguatkan tekadnya. Ia harus berhasil. Ia pasti bisa bertemu pria itu lagi. Jujur, ia tak tahu tempat mana yang akan ia tuju pertama kali. Ia sama sekali tak punya ide. Namun, sekarang yang ada dibenaknya hanyalah duduk di pesawat yang akan menuju Kanada. Dan setelah sampai di Kanada ia baru akan memikirkan langkah selanjutnya.
Sementara Luna masih berada di dalam pesawat. Mari kita beralih pada tokoh utama. Serena.
Perjalanan yang cukup famulier bagiku. Masih dengan banyaknya pikiran yang membebani pikiranku. Come on Serena. Akupun membuat kopi dan mandi agar pikiran dan tubuhku rileks. Udara senja yang cukup menarik bagiku. Kuhirup nafasku dalam-dalam dan kuhembuskan lagi pelan, menyesap kopi hitam dan memejamkan mata menenangkan pikiran. Kubuka mataku sambil terus mengamati pemandangan Indah. Apartemen baruku. Tak buruk juga.
Aku sengaja pindah. Karena aku cukup bosan pada apartemen lamaku dan setidaknya sekarang tak ada yang bisa menemukanku. Dan sekarang aku juga tidak tinggal di Vancover lagi. Di usiaku yang menginjak 22 tahun, membuatku terlihat dewasa dengan pose elegan dan masih menyisakan sisi cute yang jarang aku tampakkan.
Nah, sekarang aku tinggal di Toronto, wilayah metropolitan di provinsi Ontario, Kanada. Salah satu kota terbesar di Kanada dan juga merupakan daerah yang cukup padat penduduknya. Hal yang menarik bagiku adalah banyaknya etnis yang menempati kota ini membuat kota ini menjadi multikultural. Kota yang juga unggul dalam bidang seni, membuat kota ini menjadi tempat pariwisata yang menarik. Banyak festival yang diadakan di kota ini seperti South Asian Heritage Festival of Mississauga dan juga Toronto International Brazil Festival.
Sementara itu apartemenku terletak di tenggah kota. Cukup dekat dengan Bandara dan juga tentunya dengan tempat Kerjaku. Dengan arah menghadap Danau Toronto, memberikan Kesan yang cukup mewah dan indah, tentunya. Apartemenku terletak di lantai 5. Jika aku menurunkan pandangan lurusku menuju ke bawah, aku dapat melihat trotoar jalan yang indah dipenuhi lampu kelap-kelip di malam hari dan juga jejeran pohon mapple yang berderet rapi seolah disusun dengan sudut tertentu. Aku sengaja memilih lokasi apartemen ini terlepas dari harganya yang mahal karena lokasinya sangat strategis dan juga masih asri. Memberikan suasana tenang dan kenyamanan pada hatiku.
Jika aku sedang berlibur, aku memiliki rencana untuk sedikit berkeliling di tempat baruku ini. Salah satunya adalah High Park Toronto yang hanya berjarak beberapa kilometer dari apartemenku. Dan mengelilingi wisata kuliner. Mungkin sekali-kali menggunakan kendaraan umum seperti Subway, Kereta atau yang lainnya itu mungkin akan jadi lebih menarik. Mungkin.
Oh iya, aku juga akan menggunjungi Niagara Falls. Air terjun tertinggi di dunia. Karena jarak yang mungkin cukup dekat karena hanya 1,5 jam dari tempatku berada sekarang. Atau mungkin jika aku sibuk aku hanya harus menaiki C.N Towers untuk melihatnya dari jarak jauh. Yah, hanya jika aku beruntung mendapatkan cuaca yang cerah.
Ini sudah mulai memasuki bulan desember. Mungkin akan ada banyak pertunjukan. Namun, ini juga sudah memasuki musim dingin. Sepertinya aku harus membeli beberapa baju tebal dan makanan. Pikiranku yang semula hanya berkutat seputar lingkungan baru dan jadwal liburku lama kelamaan mulai teralihkan.
Kemarin. Yah, kemarin. Mungkin aku akan resmi kehilangan segalanya. Kau ingat, aku pernah berkata sendiri itu bisa berarti ketenangan namun, hanya menjadi kesunyian jika benar-benar terwujud dalam kenyataan. Aku mencoba mengingat kembali lika-liku hidup yang aku alami. Perih untuk yang terakhir kali.
Pertama keluargaku, yang asli maksudku. Keluarga besar Tn. Adiwinata. Yang telah membuangku. Lihat saja nanti.
Keluarga angkatku, Tn. Adiwijaya dan Dave. Aku sudah tak punya hubungan lagi dengan mereka.
Jade, Cinta satu malamku. Aku tak akan bertemu dengannya lagi.
Bunda, Cici, Fresla dan Tono. Mungkin kemarin pengusiran Fresla membuat jarak antara hubungan kami. Tapi, terimakasih telah bersamaku melewati masa sulitku dulu.
Jadi apa lagi yang perlu kukhawatirkan semuanya sudah selesai. Aku sekarang bisa mengingat hal itu tanpa rasa sakit lagi. Semuanya sudah beakhir. Aku sendiri. Baguslah. Aku hanya perlu terus egois. Karena aku hanya bisa memikirkan diriku sendiri untuk saat ini. Atau mungkin aku akan bertemu dengan orang baru lagi. Entahlah. Siapa yang tahu. Aku hanya bisa tersenyum penuh kemenangan sambil menyesap tetes terakhir kopiku.
***
Karena jarak Indonesia dan Kanada yang hampir mencapai 13.000 km perjalanan mengunakan pesawat juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Setelah lebih dari 10 jam mengudara, pesawat akhirnya mendarat di Bandara Internasional Pearson Toronto. Pemandangan yang cukup asing bagi Luna. Seorang gadis yang baru pertama kali ini pergi jauh ke luar negeri tanpa ditemani siapapun dan hanya berbekalkan tekad.
Nah, sekarang ia harus kemana lagi? Tujuannya saat berangkat tadi hanya sampai di Kanada. Sekarang ia sudah sampai. Lalu apa lagi. Namun, Luna memutuskan untuk mencari tempat penukaran uang lalu mencari tempat penginapan yang dekat sini. Jujur ia masih bingung bahasa mana yang harus ia gunakan karena kota ini memiliki banyak etnis. Tapi akhirnya ia memilih untuk menggunakan bahasa Inggris yang masih dominan.
Ia pun memilih taxi yang dekat dan mengatakan pada driver agar mengantarnya ke tempat penginapan yang terdekat. Di dalam taxi Luna terus memegangi gelang itu. Ia tak tahu ini benar atau tidak. Rasanya mungkin tak masuk akal bagi orang lain. Namun, mata itu. Ia ingin bertatapan lagi. Lagi dan lagi. Mungkin orang lain akan berpikir ia gila karena tidak bisa move on dari Thomas. Namun, selama ini ia sudah bisa hidup tanpa bayangan sosok Thomas sampai ia berpapasan dengan pria itu.
Setelah beberapa saat perjalanan iapun sampai. Segera membayar supir itu dengan uang yang sudah ia tukar lalu menuju ke dalam hotel. Sheraton Gateway Hotel in Toronto International Airport. Tempat yang cukup dekat dari bandara. Tempatnya lumayan. Lunapun segera check in dan menuju kamarnya dengan diantar staff hotel. Ia segera berbenah dan istirahat. Karena ia akan memulai petualangannya esok.
Matahari mulai menampakkan sinarnya di bulan Desember yang dingin ini. luna terbangun dengan rasa nyaman setelah seharian beristirahat. Mungkin ia seharusnya membawa banyak baju yang tebal saat ini bukannya membawa beberapa kemeja dan kaos santai. Namun, ya sudahlah toh ia bisa membelinya nanti. Karena masih pagi iapun memutuskan untuk berkeliling terlebih dahulu.
Hotel ini cukup luas dan memadai. Ada kolam renang, restoran, gym, dan lounge. Mungkin ia masih bisa menikmati failitas ini setelah bertemu pria itu entah dimana. Jika tuhan berkehendak tentunya. Iapun segera bersiap-siap mengukir kisah panjangnya dalam pencarian.
Seharian ini ia hanya berputar-putar di tempat ini karena masih kurang familier. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke Harbourfront Centre setelah mencari-cari di google. Untuk sejenak ia lupa akan tujuan awalnya karena sibuk mengagumi tempat ini. hingga suatu saat ia menemukan seorang pelukis dan mendekatinya.
“Excuse me, sir?” tanya Luna.
“Yes. Do you want to try it?” katanya sumringah.
“Ah. No. Not me. I want you to paint someone basic on my description, can you?” tanya Luna berharap pelukis itu dapat melukis wajah pria itu.
“Oh. Oke.” Jawabnya lalu Luna mulai mendeskripsikan wajah pria itu. Ia tampan. Sangat tampan dengan mata itu, mata Thomas. Mungkin.
“Ah. He is so Handsome.” Katanya begitu selesai menggambar, “He is your boyfriend?” tanyanya.
“Ah ... no. Just friend.” Kata luna membayarnya dan menggambil gambar itu.
Gambar ini sangat mirip. Mirip. Luna mulai yakin ia pasti bisa dengan lebih cepat menemukannya dengan ini. ia lalu menggandakan gambar itu lalu mulai berkeliling menyebarkan selebaran gambar itu disertai kontaknya. Menempelnya hampir di setiap temat yang boleh ditempel. Dimana saja. Pada siapa saja.
***
Thanks ya...atas semua masukannya...
Comment on chapter PROLOG