Perasaanku berkecamuk tidak menentu. Aku sedih dan juga marah. Aku sadar menyetir dengan kedaan emosi yang memuncak bukanlah hal yang baik, namun aku sudah tidak perduli lagi. Aku tidak menyangka rahasia yang sudah terkubur selama 19 tahun akan terungkap dalam keadaan yang sama sekali tak aku duga.
Selama ini aku selalu berpikir bahwa aku ini anak yang lahir dari pasangan diluar nikah sehingga aku harus disembunyikan. Atau aku ini adalah anak dari pasangan orang yang miskin sehingga aku dibuang lantaran mereka tidak sanggup merawatku. Aku sudah mulai nyaman dengan pemikiran seperti itu, pemikiran bahwa sebenarnya mereka terpaksa membuangku.
Namun, kenyataan pahit macam apa ini. Keluarga Adiwinata adalah keluarga asliku. Mereka adalah orang yang kaya. Jadi, selama ini mereka memang sengaja membuangku. Karena apa? Apa karena aku dulu cacat. Mereka tidak mau memiliki anak yang cacat sepertiku. Lalu kenapa mereka tega? Bahkan mereka sama sekali tak pernah ingin tahu tentangku dan menganggap aku sudah meninggal.
Sekarang aku paham alasan mengapa aku membenci wanita itu. Dia wanita yang sudah melahirkanku dan juga membuangku. Wanita yang membuat aku ada di dunia ini namun, juga wanita yang ingin menyingkirkan aku dari dunia ini. Rasanya sungguh menyesakkan dada. Mereka Ny. Irene dan Tn. Jaya Adiwinata lah orang tua kandungku.
“Kenapa!!” aku berteriak di dalam mobilku dan mempercepat laju kendaraanku tanpa memerdulikan sumpah serapah pengendara lain.
Aku sadar di depanku ada tikungan tajam, namun aku sama sekali tak ingin menurunkan kecepatanku. Tiba-tiba saja, ada seorang yang menyebrang jalan. Aku mengerem mobilku mendadak. Untung saja rem mobilku pakem, kalau tidak ia pasti sudah tertabrak. Kulihat ia jatuh di jalan. Aku tak keluar mobilku, karena moodku sedang buruk hari ini. Aku juga tak punya niatan untuk meminta maaf sama sekali yang aku lakukan malahan mengklakson keras-keras orang itu dan teman-temannya yang membantunya berdiri. Kulihat dia terluka. Tapi aku sama sekali tak merasa bersalah. Mungkin aku egois di satu sisi. Tapi seberapa egoiskan aku dibanding orang-orang yang sudah menelantarkanku?
Teman-temannya menyuruhku keluar dari mobil. Namun, aku sama sekali tak menggubrisnya. Aku malah memajukan mobilku agar mereka mundur, dan aku pergi begitu saja. Rasa sakit hatiku rupanya telah menutup sisi baikku.
Aku terus saja menyetir tanpa tahu arah. Setelah sampai di tempat yang sepi barulah aku menangis sepuasku.
Setelah puas menyendiri dan menangis akupun kembali ke rumah. Masih dengan mata sembab dan juga penampilan yang terlihat berantakan. Saat aku mulai menaiki lantai dua menuju kamarku. Deva sudah menghadangku. Sangat tak tepat waktu. Karena saat ini emosiku memang tak terkendali.
“Minggir.” Perintahku tak ingin berdebat dengannya.
“Darimana rey?” katanya sambil bersedekap.
“Bukan urusanmu.” Kataku sambil melewatinya.
Deva menangkap tanganku yang spontan saja kutepis.
“Kamu mau apalagi sih Dev? Aku lagi nggak ingin berdebat denganmu.” Bentakku.
Ia memerhatikan mataku yang merah dan bertanya, “ Kamu habis nangis rey?” katanya sambil terus memerhatikan mataku.
“Bukan urusanmu.” Jawabku ketus.
“Rey. Aku sudah peringatkan kamu. Kamu nggak bisa seenaknya keluar masuk rumah ini ya. kamu ingat kan kamu juma numpang.” Katanya mencari masalah.
Sontak saja emosiku yang masih belum stabil kembali memuncak.
“Hak kamu apa? Siapa kamu?” tanyaku menantang. Aku melampiaskan semua emosiku padanya.
“Maksudmu?” tanyanya melepaskan tangannya yang tadi bersedekap.
“Masih nanya juga. Dev, kamu itu juma anak haram. Nggak usah sok. Ayah kamu aja nggak menginginkan kamu dan memelih menyembunyikan kamu di luar negeri.” Kataku kasar.
“Kamu tadi bilang apa?” tanyanya marah.
“Kamu anak haram.” Kataku sekali lagi. Aku melihat kilatan marah di matanya.
Ia menampar wajahku dengan keras. Rasanya sakit tapi tidak lebih sakit dari hatiku yang sudah remuk redam. Kulihat para pelayan sudah mengerubungi kami, namun tak satupun dari mereka berani melerai.
“Kamu menamparku?” bentakku sambil memegangi wajahku.
“Mulutmu perlu di sekolahkan rey. Oh ... wajar saja kedua orang tuamu menelantarkanmu.” Ejeknya.
Mendengar hal itu sontak saja amarahku yang sudah berada dipuncak tak dapat terbendung lagi. Aku mendorongnya kasar sampai ia terjengkang ke belakang. Tak terima, ia menarik tanganku. Akibatnya terjadi perkelahian sengit antara kami berdua. Bukan hanya adu mulut lagi namun, kami sudah mulai adu fisik.
Perkelahian itu terus saja berlanjut sampai akhirnya Deva mendorong tubuhku kebelakang. Aku terjatuh dan menabrak lemari yang berisi perabotan dari kaca di belakangku. Rasanya badanku sakit sekali, Deva mendorongku terlalu keras. Lemari itu bergoyang. Aku berusaha berdiri namun, belum sempat aku memulihkan rasa peningku dan berlari menjauh. Lemari itu sudah roboh dan menimpa badanku. Pyar ... terdengar suara perabotan dari kaca-kaca yang pecah dan menusuk hampir setiap inci dari tubuhku. Setelah itu aku tak melihat apa-apa lagi. Hal terakhir yang kurasakan adalah rasa hangat dari darahku yang mulai menggenang dan teriakan histeris dari para pelayan serta tatapan Deva yang kaget.
Deva hanya terdiam sesaat memandangiku yang sudah berlumuran darah.
Ia terkejut. Ia sama sekali tak ingin membuat saudara angkatnya itu terluka. Apalagi separah ini. Namun, lama-kelamaan ia mulai tersadar saat para pelayan berteriak histeris di belakangnya. Jujur, ia terlihat takut untuk mendekat. Namun, Serena butuh pertolongan medis segera karena ia bisa saja kehabisan darah.
Dalam keadaan yang cukup panik. Deva mengerahkan beberapa pelayan untuk membantunya menggangkat lemari yang menindih tubuhku. Namun, lemari itu rupanya cuku berat. Well ... mungkin bukan cukup berat lagi karena lemari itu sama sekali tak bergeming. Akhirnya setelah mencoba menggangkat lemari itu lebih keras lagi, benda itu akhirnya bergeser. Setidaknya memberi ruang bebas agar ia bisa menarik saudara angkatnya itu.
Ia dan para pelayan segera mengangkat tubuhku hati-hati agar kaca-kaca itu tak menusuk tubuhku lebih dalam lagi dan mengenai organ vital. Ia segera menggendongku dan berlari menuju mobil.
Aku membuka sedikit mataku. Rasanya mataku perih sekali. Aku melihat semuanya panik. Deva mengendongku dan ia juga terlihat sangat khawatir. Kenapa ... memangnya aku kenapa. Ia mendudukkan ku di jok belakang mobil dan memangkuku.
“Rey ... bertahanlah.” katanya menatapku dengan tatapan khawatir.
Aku bingung memang ada yang salah denganku. Mengapa Deva terlihat sangat peduli denganku. Tapi kenapa badanku rasanya sakit semua. Dan mengapa kemeja putih yang kupakai berubah menjadi merah semerah darah. Apa ini mimpi. Aku tersadar bahwa ini bukan mimpi taatkala aku melihat sebuah pecahan kaca yang menancap di tangan kiriku. Aku menyentuhnya. Ach... sakit. Tusukannya terlalu dalam. Sejenak kuperhatikan pecahan kaca itu, tiba-tiba saja aku bergidik ngeri. Setelah itu, aku tak sadarkan diri entah untuk berapa lama.
Aku mulai tersadar kembali. Tapi, dimana aku. Kenapa smuanya gelap. Rasanya semua badanku sakit sekali, sangat sakit sampai aku tidak bisa menggerakkannya sama sekali. Sayup-sayup terdengar suara ayah yang memarahi Deva. Aku mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Perkelahian itu dan lemari itu. Akhirnya aku mengingat kembali apa yang terjadi. Termasuk kenyataan pahit yang baru saja ku ketahui.
Perlahan tapi pasti aku menggerakkan salah satu tanganku yang terbebas dari infus. Meraba mataku. Gelap. Kenapa ini diperban. Dan seluruh tubuhku. Mengapa semua juga diperban. Dan kenapa semuanya terasa perih sekali.
Aku merasakan ada yang duduk disampingku.
“Ayah...” panggilku.
“Rey ... kamu sudah sadar.” Kata ayah terdengar seolah begitu bahagia. Ayah lalu memanggil dokter untuk memeriksa keadaanku.
“Yah ... kenapa semuanya gelap. Kenapa mataku diperban?” tanyaku lemah.
“Rey ... karena pecahan kaca itu menggores matamu kamu mungkin tak akan bisa melihat untuk sementara waktu.” Kata ayah ragu.
“Apa ... nggak mungkinkan yah. Nggak mungkin aku buta kan?” tanyaku tak percaya.
Tak mungkin. Tak mungkin ini terjadi. Aku tak mau penderitaanku bertambah lagi. Sudah cukup rasa sakit yang kuderita selama ini. Aku sudah tak sanggup lagi. Tiba-tiba rasa takut mulai terbesit di benakku, sekarang mungkin aku akan buta. Apa ayah akan membuangku karena aku cacat. Sama seperti ibu kandungku yang membuangku saat aku lahir.
Setelah insiden yang menimpaku beberapa hari yang lalu. Aku menjadi orang yang sangat pendiam. Aku menjadi orang yang tak bersemangat hidup sama sekali. Buat apa hidup, pikirku. Dari kecil aku sama sekali tak diinginkan. Aku fikir aku masih bisa menikmati hidup saat aku dewasa nanti, tapi kenyataan pahit ini harus kutelan mentah-mentah. Sekarang bahkan aku tak bisa melihat lagi. Seluruh badanku bahkan masih diperban, jika pecahan kaca itu meninggalkan bekas otomatis karirku sebagai model profesional akan berakhir juga. Seorang model diharuskan memiliki body yang perfect. Dengan pekerjaan yang mengutamakan tampang ini bagaimana aku bisa bertahan jika tubuhku penuh bekas luka.
Dan entah kenapa, belakangan ini malah Deva yang selalu membenciku menjadi sangat perhatian padaku. Ia sangat berisik, bercerita mengenai berbagai banyak hal yang tentu saja malah menganggu istirahatku. Belakangan ini ayah juga sangat sibuk. Ia bahkan menyewa seorang assisten pribadi untukku, namanya Jade. Jadeline. Dia wanita. Ia cekatan dan tidak banyak bicara, suatu hal yang sangat aku suka darinya adalah ia cepat mengerti. Banyak yang bilang ia cantik, tapi aku tidak bisa memastikan hal itu sendiri melihat kondisi mataku yang masih diperban. Ayah menyewanya untuk menjagaku entah sampai kapan, karena beberapa hari kedepan ayah harus pergi ke Rusia untuk urusan bisnisnya.
**
Tanpa aku sadari. Deva memperhatikanku yang sedang terlelap sejak tadi. Dalam hati ia membatin. Ia sepertinya sedih melihat kondisiku yang seperti ini. Apalagi ini memang karena ulahnya.
“Rey ...” panggilnya. Namun, sepertinya hanya untuk memastikan apa aku sudah tertidur atau belum.
“Rey. Aku minta maaf. Aku nggak bermaksud membuat kamu seperti ini. Aku. Aku hanya emosi mendengar ucapanmu yang mengatakan aku anak haram. Kamu keras kepala sih...” katanya sambil berusaha tertawa walau memang terdengar terlalu dipaksakan.
“Kamu tahu? Aku sebenarnya tak membencimu. Aku hanya iri padamu.” Lanjutnya setelah memastikan aku tertidur. Tapi ia salah, aku hanya pura-pura tertidur. Tadi aku memang sudah tertidur, tapi terbangun lagi ketika mendengar suaranya.
“Ayah selalu menyembunyikanku. Ia tak mengakuiku sebagai anaknya. Tapi, ia malah mengadopsimu.” Katanya lagi memandangku. Aku mulai menajamkan pendengaranku. Karena. Yah, aku sedikit tertarik pada ceritanya. Selama ini dia tak pernah menjawab kalau aku tanya. Dan sekarang ini adalah kesempatan yang bagus bagiku untuk mengetahui keseluruhan ceritanya.
“Semua anak-anak selalu mengataiku anak haram. Aku marah tapi aku juga tidak bisa menjawab ketika mereka tanya siapa orang tuaku. Kamu begitu dekat dengan ayah. Padahal kamu juma anak angkatnya. Tapi, ketika aku mencoba mendekati ayah. Ia malah tak acuh padaku.” Desahnya. Jujur, aku merasa agak bersimpati padanya ia memiliki kisah yang hampir sama sepertiku.
“Kamu tahu kan rey. Aku hanya anak diluar nikah. Oh ... ya lain kali kamu harus panggilku kakak. Aku ini lebih tua 5 tahun darimu.” Lanjutnya sambil terkekeh.
“Kamu selalu bertanya padaku kan. Kamu pasti tak berani tanya ke ayah, kan? Maaf ... selama ini aku tak bisa cerita. Aku belum siap rey, aku nggak sanggup.” Katanya menarik nafas dalam lalu menghembuskannya.
“Tn. Adiwijaya dan Ny. Adiwijaya menikah saat usiaku sudah 3 tahun. Aku bukan anak Ny. Adiwijaya. Aku anak dari kekasih Tn. Adiwijaya yang lahir karena sebuah kecelakaan. Aku bahkan tak tahu siapa sebenarnya ibu kandungku. Beberapa tahun kemudian media memberitakan bahwa ayah sudah punya anak. Untuk menyelamatkan nama baiknya ayah harus menyembunyikanku dan mencari anak yang umurnya sesuai. Karena saat itu umurku sudah 4 tahun sementara pernikahan ayah baru berumur 1 tahun. Tak mungkin ayah mengakuiku sebagai anak. Ayah bukan orang yang mudah dalam memilih anak, ia orang yang sangat pemilih.” ia berhenti sejenak lalu melanjutkan.
“Itu terbukti bahwa ayah baru menemukan anak setelah mencari selama 14 tahun. Dengan dalih selama 14 tahun itu bahwa anaknya bersekolah di luar negeri. Aku tahu pasti ada alasan khusus ayah memilihmu. Aku juga sedikit melihatnya. Entah apa penyebabnya, namun aku tahu kamu itu istimewa. Ada satu hal dalam dirimu yang membuat kamu menarik rey. Kamu memiliki daya pikat tersendiri. Mungkin kamu tidak menyadarinya, tapi semua orang bisa merasaknnya”
“Aku marah pada ayah rey. Ia orang yang terlalu memikirkan reputasinya. Bahkan, mengorbankan keluarganya. Aku takut jika suatu saat kamu berbuat kesalahan ayah akan membuangmu juga sepertiku.”
“Ayah ingin memperkenalkanmu sebagai anaknya di depan semua kerabatnya termasuk media. Kamu harus hati-hati rey. Jaga imagemu dan jangan kecewakan ayah, jika kamu tak ingin bernasib sepertiku.” Katanya terdengar sangat menghawatirkanku.
“Tapi kamu jangan takut. Ayah sepertinya menyayangimu. Tuh ... buktinya.” Katanya menilik seorang wanita yang setia berdiri di depan pintu.
“Aku terdengar frustasi ya. Bicara sendiri. Maaf, kuharap kamu bisa sedikit mengerti.” Katanya lalu meninggalkanku.
“Rey ... bagaimana kabarmu?” tanya Tn. Adiwijaya.
“Ayah ... ayah sudah pulang?” aku membuka mata mendengar suara ayah disampingku.
“Ayah punya kabar baik untukmu. Kamu sudah punya donor mata. Kamu pasti bisa melihat lagi.” Kata ayah.
Mendengar akan hal itu aku merasa sangat senang. Aku bisa melihat lagi dan melihat indahnya dunia yang selama ini tertutup oleh kegelapan. Dalam sekejap moodku menjadi baik ... sangat baik. Sampai-sampai Deva sangat terkejut dan senang karena aku merespon ceritanya setelah berminggu-minggu aku memilih bungkam. Tentu saja ada faktor lain, karena ceritanya tentu saja. Aku tak perlu mengasihani diriku sendiri. Ada orang yang bahkan lebih menderita dari pada aku.
“Rey ... maafkan aku. Aku tahu aku salah dan tak pantas untuk dimaafkan. Aku menyesal. Aku janji aku tidak akan jadi orang yang kejam lagi padamu.” Katanya memohon.
“Ya ... aku tahu. Kamu sebenarnya orang yang baik, Dev. Aku tahu posisimu. Aku juga merasakanya.” Kataku.
“Tentang matamu aku juga minta maaf. Sebagai gantinya aku akan menjagamu dan menjadi kakak yang baik padamu.” Katanya.
“Iya ... aku tahu itu.” Jawabku.
Aku beruntung. Aku mulai sadar bahwa aku tak perlu lagi memikirkan orang- orang yang menyakitiku. Tuhan selalu memberikan ganti yang lebih baik. Sekarang aku punya Deva dan ayah yang sangat menyayangiku. Aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan. Tuhan telah membuka mataku bahwa, dunia itu indah. Cukup jangan memikirkan masalah yang membuatmu sedih saja, makakamu bisa bahagia sebanyak apapun yang kamu mau. Namun, terkadang kata-kata Deva tentang ayah juga mulai menghantui kepalaku.
Aku tidak menyesal. Aku jauh lebih bahagia sekarang.
Aku juga sebentar lagi bisa melihat kembali. Karena sebentar lagi aku akan menjalani operasi di Singapore.
Thanks ya...atas semua masukannya...
Comment on chapter PROLOG