Sesampainya dirumah, aku langsung menghempaskan diriku ke ranjang. Huft ... gerutuku dalam hati. Tentu saja aku masih sangat kesal dengan kejadian barusan. Kulirik arlojiku. Sudah jam 11 malam. Aku menutupi tubuhku dengan selimut. Sudah satu jam lamanya aku memejamkan mata. Namun, aku masih belum bisa tertidur. Aku mengingat kembali kejadian kemarin. Aku mendapatkan kabar yang mungkin bagiku adalah kabar buruk namun, kabar baik untuk ayahku.
Deva, saudaraku akan kembali. Sebenarnya aku juga bingung menyebutnya apa. Deva anak kandung ayah angkatku. Ia berusia sama denganku. Sejak ia lahir ia tinggal di Amerika. Hanya terkadang ia pulang ke Indonesia. Dan sayangnya hubungan kami tidak baik. Deva sangat sangat membenciku. Aku juga tidak tahu entah kenapa. Namun, sepertinya itu karena aku adalah anak angkat ayahnya. Sejak awal ia memang tidak setuju sewaktu Pak Adiwijaya akan mengangkatku sebagai anak.
Deva adalah anak yang tidak diakui. Itulah asumsiku. Ia anak dari selingkuhan Pak Adiwijaya. Ia anak diluar nikah. Itulah kenapa Pak Adiwijaya menyembunyikan Deva diluar negeri. Karena, jika media mengetahui hal ini pasti akan menjadi berita heboh, secara Pak Adiwijaya adalah orang terhormat dan pengusaha yang sukses. Namun, aku juga bingung kenapa ayah malah mengangkat anak sepertiku. Sampai sekarangpun aku tidak berani memepertanyakan keputusannya.
Semalaman aku tidak bisa tidur. Aku terus memejamkan mataku sampai rasanya mataku pegal dan kepalaku pening. Akibatnya mataku merah dan seperti mata panda saat pagi hari.
“Rey ... kenapa? kamu sakit?” tanya ayah sewaktu kami sarapan.
“Ngak yah. Aku juma kurang tidur saja.” Kataku.
“Oh ... iya. rey, nanti kamu jemput Deva di bandara ya.” kata ayahku sambil makan.
Sontak aku sangat terkejut. Bagaimana mungkin ayah menyuruhku menjemput Deva. Sementara kami saja tidak akur. Aku hanya bisa mengeluh dalam hati.
“Ayah hanya ingin membuat kalian akur saja. Kaliankan selama ini jarang ketemu. Jadi, ayah harap dengan hal ini kalian jadi lebih dekat.” Imbuh ayah.
“Ya yah.” Kataku.
“Nanti dia sampai jam 8. Kamu jangan sampai terlambat ya.” kata ayah.
Aku menengok arlojiku. Sudah pukul 06.30 pagi. Jarak antara rumah dan bandara cukup jauh sekitar 30 menit, yah kalau tidak macet. Lalu aku jawab ayah dengan anggukan singkat.
Aku sudah berada di mobil lamborgini oranye kesayanganku. Butuh perjuangan untuk membelinya dengan uangku sendiri. Aku memakai setelan pakaian warna oranye senada. Tentu saja aku tak ingin terlihat berantakan di depan saudaraku. Aku memacu kendaraanku dengan cepat.
Saat sampai di depan bandara aku menunggu depan parkiran. Entah apa yang Deva lakukan. Ia lama sekali, gerutuku. Tidak sabar menunggu dalam mobil akupun keluar.
(BTS, Fake Love).......
Saat aku keluar. Entah kenapa semua orang menolehku, namun aku tak begitu peduli. Aku teruskan saja berjalan tanpa menghiraukan semua tatapan yang menatapku. Sampai dalam bandara akupun masih celingukan mencarinya. Kulirik arlojiku dengan kesal. Seharusnya pesawatnya sudah tiba 15 menit yang lalu. Tapi, dimana ia sekarang. Kulihat semakin banyak orang yang menatapku dan berbisik. Apa aku aneh, batinku. Beberapa orang juga mulai memotretku, menambah rasa kesalku, memangnya aku monyet di kebun binatang apa. Namun, sabar ... kataku pada diriku sendiri. Ingin sekali aku mengambil ponsel orang itu dan melemparnya. Tapi, aku harus menahan emosiku yang belakangan ini sulit kukontrol.
Aku tidak sadar sebenarnya mereka terpesona padaku. Siapa yang tidak terpesona pada pria tampan yang tinggi semampai dengan mata cokelat yang menggoda dengan setelan keren.
Dari kejauhan nampak seorang pria membawa koper. Ia setinggiku. Ia tampan namun tak lebih tampan dariku. Iris matanya cokelat sama sepertiku, namun lebih gelap dibanding iris cokelat terangku. Ia tak menampakkan senyum sama sekali. Ya ... itu Deva. Aku menarik sudut bibirku keatas. Tersenyum tapi senyumku malah terkesan seperti seseorang yang baru saja memikirkan sebuah ide licik. Ia berjalan melewatiku, membuatku semakin ingin tertawa.
“HEY ... Lo udah lupa ya.” Kataku menoleh padanya sambil bersedekap.
Ia bingung melihatku namun lama-lama ia terkejut dan berkata, “Serena?”
Aku hanya membalas pertanyaannya dengan sebuah senyuman. Senyuman yang terlihat mengejek.
Karena mobilku hanya ada dua jok penumpang, akhirnya mau tidak mau Deva harus duduk disampingku. Sebenarnya aku tak masalah akan hal itu, aku juga tidak membencinya hanya terkadang kesal akan mulut pedasnya. Namun, sepertinya Deva memang sudah sangat membenciku sejak saat kami bertemu dari awal.
Selama perjalanan kami hanya diam. Kulihat ia sedari tadi sibuk memandang ponselnya. Entah apa yang ia lihat, apa itu hal yang penting baginya? Tapi kurasa tidak, ia hanya menghindari kontak denganku. Bosan dengan suasana yang begitu canggung ini aku akhirnya memulai percakapan terlebih dahulu.
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku tanpa menoleh dan lebih memilih memerhatikan lampu merah di depan.
Lama aku menunggu responnya. Namun, ia tak kunjung menjawab. Saat aku menoleh ia malah memasang headset di telinganya.
Huft ... ok ... Serena tenang jangan emosi. Tahan emosi ... tarik nafas lalu hembuskan ... kataku menenangkan diri. Aku meliriknya dan ia malah memasang muka cuek. Ok ... harga diriku terluka. Dengan kesal aku menarik headshet yang terpasang ditelinganya.
“Hey ... punya kuping nggak?” tanyaku kesal.
Karena marah diapun menarik headshetnya yang masih berada ditanganku dengan kasar.
“Kamu bisa nggak, nggak usah ikut campur urusan orang. Rey, aku udah coba nggak merduli’in kamu dan lebih baik kamu diam aja ya.” Katanya marah.
“Dev ... kamu jangan keras kepala dong. Aku salah apa sama kamu?” tanyaku kesal sambil melirik lampu lalu lintas yang masih berwarna merah.
“Harusnya kamu tahu dari dulu.” Katanya.
“Serah deh. Orang kaya kamu emang keras kepala.” Kataku menyerah.
“Apa kamu bilang? Udah ya rey aku ngak tahan semobil sama kamu lagi.” Katanya memuka mobil dan keluar.
“Eh ... kamu mau kemana.” Tanyaku panik.
Saat aku ingin mengejarnya, lampu sudah menyala hijau. Mau tidak mau aku harus menyetir lagi kalau tidak aku pasti akan dimarahi pengendara lain. Akupun memberhentikan mobil sport ku dipinggir jalan samping. Kulihat Deva mulai berjalan menjauh. Duh ... anak itu, aku pasti dimarahi ayah, kataku dalam hati. Aku mulai berlari mengejarnya tanpa memerhatikan banyak orang yang mulai memerhatikanku.
Kulihat Deva mulai memberhentikan Taxi. Oh..No..No..No..No. Ia tak boleh menaiki taxi itu. Karena panik akupun menyebrang jalan tanpa menengok kanan-kiri, tanpa kusadari tiba-tiba saja ada mobil Toyota hitam hampir menabrakku. Refleks akupun mundur kebelakang dan terjatuh. Tanganku mengores aspal dan agak lecet. Well ... mungkin bukan agak lagi karena kulihat tanganku berdarah.
“Heh ... kalau jalan liat-liat dong.” Kata seorang wanita yang keluar dari mobil.
Akupun bangkit sambil meringis kesakitan melihat tanganku yang berdarah.
“Eh ... jawab dong. Jangan diem aja.” Katanya galak.
Akupun memandang wanita itu. Yang spontan terlihat agak benggong, entah apa yang dipikirkannya. Akupun mulai memasang wajah kesal dan cemberutku. Namun, reaksinya malah membuatku bingung. Ia malah menagkupkan tanganya di mulut seperti orang yang baru melihat artis lewat.
“Kamu nggak papa?” tanyanya tiba-tiba melembut.
Hah ... ni orang kenapa, batinku. Belum ada 5 menit yang lalu ia galak banget kenapa ia sekarang malah jadi baik gini, heranku. Tanpa memerhatikan wanita itu yang terus menatapku, aku lebih memilih untuk melihat Deva dan oh ... kacau ia sudah menghilang.
“Kamu ngak papa?” tanyanya lagi sambil berusaha meraih tanganku yang berdarah.
“Don’t Touch me.” Kataku galak sambil menepis tangannya.
“Oh ... maaf. Gimana kalau aku bawa ke rumah sakit. Takutnya luka kamu infeksi.” Katanya lagi.
“No...” jawabku datar dan kembali kemobil.
“Mau aku antarkan. Namaku Jane. Kamu siapa ?” tanyanya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. “No. I Bring my own car.” Jawabku singkat, agak ketus memang.
Akupun meninggalkan wanita itu dan menuju mobilku. Rasanya tanganku sangat perih. Akupun membuka mobilku dan melaju pergi. Kulihat wanita itu masih berdiri disana sambil terus menatapku, entahlah apa yang sebenarnya ia perhatikan. Aku tidak sadar bahwa wanita itu terpesona olehku. Banyak wanita yang sering mengajakku berkenalan. Namun, aku tak terlalu menggubrisnya bahkan terkadang aku sama sekali tak mengacuhkannya. Mungkin kau berpikir aku kejam, tapi bagiku wanita itu makhluk yang aneh. Perasaan mereka bisa berubah-ubah dalam sekejap. Dan aku sama sekali tak tertarik dengan hal yang disebut cinta.
Aku mulai memacu kendaraanku cepat menggunakan satu tanganku dan mencoba mengambil handuk untuk melilit sebelah tanganku yang berdarah. Sesampainya rumah aku lalu mencari Deva. Dan untungnya ayah masih di kantor dan Deva ada di depan ruang tamu. Oh ... anak sialan itu. Aku lalu kembali ke mobilku, membuka bagasi mobil dan mengambil kopernya. Aku menyeret kopernya dan meletakkannya tepat di depannya.
“Nih ... enak banget ya malah nonton tv di rumah. Aku cari kamu kemana-mana tau nggak.” Kataku marah.
“Emang kenapa? Nggak boleh inikan rumah aku sendiri. Kamu juma umpang kan.” Katanya menatapku tajam.
“Udahlah aku capek.” Kataku mengalah. Jujur saja, perkataan Deva tadi cukup menusuk hatiku. Memang benar aku juma numpang disini. Dia anak kandung pak Adiwijaya dan aku juma anak angkatnya. Tentu saja posisi Deva lebih kuat, walau ia tak diakui dan orang-orang banyak menganggap aku adalah anak kandung pak Adiwijaya.
Akupun beranjak menuju kamarku dan memebersihkan lukaku. Makan malam hari ini tak seperti biasanya. Hening. Ayah mulai membuka pembicaraan namun, hanya berakhir singkat dan canngung
“Mia kan?” tanyaku menunjuk gadis yang ada dihadapanku.
“Iya. Kamu masih ingat kan.” Kata seorang gadis yang terkekeh bersama temannya.
“Iya.” Kataku singkat.
Karena hari ini kau bosan berada di rumah. Apalagi dengan adanaya Deva, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di supermarket. Dan aku malah bertemu dengan Mia, gadis yang dulu pernah menyelamatkanku saat aku mengalami kecelakaan.
“Kamu ada waktu luang nggak? Main ke rumahku yuk.” Katanya spontan.
Belum sempat aku menjawab. Teman Mia berbisik, “Mia ... kamu kenal dia. Ganteng banget. Kenalin dong.” Kata temannya.
“Shuttt jangan berisik dong. Gimana rey mau nggak?” tanyanya sekali lagi.
“Boleh.” Kataku, karena aku fikir ini bukan hal yang buruk
Sesampainya dirumah mia. Ia mengajakku duduk dan mengobrol. Ia juga mengajakku berkeliling ke ruang keluarga pribadi. Tempat yang belum pernah aku kunjungi saat dulu berada dirumahnya.
Sekilas aku melihat sebuah foto yang nampak tidak asing. Sebuah foto usang seorang bayi yang dipajang di meja. Ini seperti ... dadaku tiba-tiba berdegup kencang saat aku meraih foto itu. Tidak mungkin kan. Air mataku hampir menetes taatkala aku mengeluarkan foto itu dari bingkainya dan melihat bahwa ternyata itu terlipat di satu sisi. Kubuka lipatan itu dan nampak ada 2 foto bayi kembar. Bayi ini. Foto ini. Masih jelas terukir di ingatanku sewaktu pertama kali Bunda menunjukkan foto ini padaku.
Aku ... menutup mulutku menggunakan satu tangan agar aku tak berteriak.
“Rey ... kenapa?” tanya Mia yang baru kembali dari dapur mengambilkan aku minuman.
“Mia ... ini foto siapa?” tanyaku cemas.
“Ini foto kak Roy waktu kecil. Tapi, sstt ... ini rahasia keluarga ya. Nggak banyak orang yang tau kalau kak Roy itu terlahir kembar. Tapi, katanya kembaranya itu udah meninggal sesaat setelah lahir. Nah, itu kembarannya.” Kata mia sambil menunjuk foto bayi satunya yang memakai leontin.
Sontak saja aku bagai melihat petir di siang bolong. Tidak mungkin. Tanganku gemetar. Rasanya sangat menyesakkan dada. Akankah ini kenyataanya. Kenyataan pahit yang harus kuterima. Aku menjatuhkan foto itu dan keluar tanpa menggubris pertanyaan Mia.
“Rey...” pangginya dari kejauhan.
“Loh...ini Serena kan. Anak pak adiwijaya.” Sapa pak Adiwinata saat kami berpapasan di tangga depan rumah.
Aku tak menghiraukannya. Aku tak perduli lagi. Walau aku sadari pak adiwinata pastilah bukan orang yang akan seramah itu pada orang lain. Dunia sekarang gelap dimataku. Rahasia yang sudah terkubur 19 tahun lamanya terbongkar tanpa aku harapkan dan tanpa aku tahu akan menjadi seperti ini.
Aku masuk ke mobilku dan memacu kendaraanku secepat yang aku bisa.
***
Thanks ya...atas semua masukannya...
Comment on chapter PROLOG