SINGAPORE
Aku menatap diriku sendiri di cermin. Aku merasa seperti orang yang berbeda. Kuelus wajahku sendiri. Tak ada bekas luka. Rambutku dulu yang berwarna perunggu hitam sudah kuubah menjadi hitam orange. Mataku yang dulu berwarna cokelat terang kini berubah menjadi biru laut. Mata yang kudapatkan setelah menjalani prosedur operasi dan pemulihan yang panjang. Mata ini indah sangat indah. Meneduhkan jiwa dan menenangkan hati. Aku tak tahu iris mata siapa ini sebelumnya. Namun, aku yakin ia pasti tampan atau mungkin cantik.
Kuperhatikan tubuhku yang bertelanjang dada. Kulitku putih bening. Tanpa celamaupun bekas luka. Bekas dari banyaknya kaca yang menggores tubuhku. Bahkan, kulitku lebih putih dari sebelumnya. Itu karena di Singapura selain melakukan operasi mata aku juga melakukan perawatan kulit.
Kupegang perut Sixpackku hasil dari olahragaku yang teratur. Aku mulai mematikan shower dan memakai handuk lalu keluar dari kamar mandi.
"Jade, kamu sudah pesan tiket pesawat." Tanyaku pada seorang wanita yang sedang merapikan pakaian yang akan kukenakan.
"Sudah, Tuan Muda. Kita harus sampai di bandara 3 jam lagi." Katanya.
"Ok." Jawabku singkat sembari melirik wanita itu melalui kaca didepanku.
Jadeline adalah tipe asisten yang perfect menurutku. Benar kata orang, ia memang cantik. Ia putih, tinggi, dan langsing. Sebagai lelaki aku tergoda akan kemolekan tubuhnya. Namun, achh ... aku harus menyingkirkan pikiran kotorku, hubungan kami tak lebih dari urusan pekerjaan saja. Jade, begitu panggilku tanpa embel-embel apapun walau ia lebih tua 7 tahun dariku. Ia selalu setia menemaniku kapanpun dan dimanapun. Satu hal yang membuatku agak risih adalah ia pasti sudah melihat seluruh tubuhku. Ialah yang selalu menganti perban di seluruh tubuhku dan mengganti pakaianku saat aku masih sakit.
Entah tanpa aku sadari, Jade memerhatikan diriku sejak tadi.
Matanya terlihat seperti mengamati setiap pergerakan yang aku buat.
Ia seakan tak bisa lepaskan pandangannya dariku.
** Jade P.O.V**
Aku terus saja memerhatikannya tanpa ia sadari. Siapa yang tak terpesona olehnya. Ia tampan. Sangat tampan. Ia tinggi, setinggi diriku ketika aku tak memakai highells. Ia memiliki pandangan yang meneduhkan. Ia berlaku baik padaku. Mungkin ia terkesan jutek. Namun, sebenarnya ia sangat lembut. Ia terkesan bersikap seperti itu hanya karena ia sudah sering terlalu di sakiti.
Aku mengetahui semua tentang dirinya. Bahkan, siapa sebenarnya keluarga asli yang telah membuangnya. Namaku Jade. Jadeline. Dan Serena adalah tuan mudaku. Wajar aku mengetahui semua hal tentang dirinya bahkan sampai hal terkecil. Karena aku adalah asisten pribadinya. Serena sering mengajakku bicara mengenai masalah yang ia alami, yang bahkan tak ia ceritakan pada siapapun termasuk ayah angkatnya saat ini. Dan mungkin ayah angkatnya juga tidak tahu bahwa Serena adalah anak Tn. Jaya Adiwinata dan Ny. Irene.
Tapi, kenapa aku bisa tahu? Itu karena aku mencari setiap hal dari dirinya melalui penelitianku sendiri. Bukan hal yang sulit bagiku. Dulu profesiku adalah seorang detective. Bela diri dan juga mencari seluk-beluk indentitas adalah keahlianku. Aku keluar 2 tahun yang lalu karena ada sedikit masalah yang aku alami. Dan aku tertarik menjadi asistennya bukan hanya karena bayarannya. Namun, aku lebih tertarik pada orangnya. Benar kata Deva saat aku menguping pembicaraanya dengan Rey yang sedang tidur. Oh ... tidak bukan. Serena hanya pura-pura tidur saat itu dan aku tahu itu.
Serena memiliki daya pikat. Entah apa itu. Namun, daya pikatnya membuat orang tertarik padanya. Lebih dan lebih. Dan sejak pertama kali aku melihatnya aku sudah menyukainya. Ia anak yang cukup tegar dan sangat kuat. Ia sanggup melalui berbagai lika-liku dalam hidup ini.
Ku akui aku memang terpesona olehnya. Siapa yang tidak suka pria tampan, dewasa, mandiri, mapan, keren dan baik hati. Semua wanita pasti akan luluh. Tapi aku sadar aku hanyalah asistennya. Aku tak berhak memiliki perasaan lebih padanya. Tapi itu sulit, apalagi ini adalah pertama bagiku. Aku sulit jatuh cinta, bahkan tak tertarik pada pria. Ia pria pertama yang membuatku luluh. Ia membuatku menjadi seperti seorang ibu dan wanita di saat yang sama. Pernah sekali aku mencium bibirnya saat ia tertidur pulas. Ia tak tahu akan hal itu. Jujur saja aku khilaf saat itu, aku tak bisa lagi menahan nafsuku saat melihat tubuhnya apalagi hanya ada kita berdua. Sebagai seorang wanita yang merindukan kasih sayang tentu saja aku tergoda.
Aku akan menjaganya. Walau aku hanya bisa mencintainya dalam diamku.
**Jade P.O.V end**
Aku berada di dalam pesawat. Disampingku ada Jade. Entah kenapa ia selalu terjaga. Padahal aku sudah sangat mengantuk. Akhirnya rasa kantukpun mengalalahkanku. Aku tertidur pulas.
"Rey ... " kudengar suara itu dan gerakan halus membangunkanku.
"Oh ... Sudah sampai kah?" tanyaku mengerjapkan mataku beberapa kali.
"Sudah Tuan muda." Kata Jade, padahal ia tadi membangunkanku dengan memanggil namaku bukan tuan muda. Jujur panggilan tuan muda membuatku agak risih.
Akhirnya kamipun turun dari pesawat. Sudah 6 bulan lamanya aku pergi dari Indonesia. Namun, semuanya masih tetap sama begitu juga dengan semua tatapan orang dibandara. Seolah paham dengan apa yang aku rasakan Jade menutup kepalaku dengan jaket dan memelukku seolah melindungiku dari tatapan orang - orang dan juga kamera yang memotretku.
"Sepertinya anda begitu populer, tuan." Katanya sembari tersenyum.
"Ah ... kau ini." kataku.
Kami berjalan agak cepat diikuti beberapa pengawal berbaju hitam yang membawa koper kami.
"Jade ... Nanti kita menuju ke rumahku yang ada di Kawasan Nusa Indah." Kataku setelah kami memasuki mobil.
"Baik tuan." Katanya menurut.
Aku semakin menyukainya karena ia tak banyak tanya.
Setelah kami sampai rumah. Aku langsung menuju kamarku diikuti Jade. Tunggu. Ia masih mengikutiku.
"Jade, kenapa kau masih mengikutiku?" tanyaku heran.
"Saya akan menyiapkan air hangat untuk anda tuan." Katanya.
"Baiklah." Jawabku.
Rasanya sangat menyegarkan setelah aku mandi menggunakan air hangat. Namun, aku agak terkejut sewaktu keluar dari kamar mandi.
"Jade ... Kau masih disini?" tanyaku.
"Saya memilihkan beberapa baju untuk anda tuan." Katanya sembari menunjuk beberapa setel baju.
"Terimakasih. Aku akan memakai salah satunya. Kau istirahatlah." Kataku sambil memilih baju yang telah ia siapkan.
"Baik tuan. Jika tuan membutuhkan saya silakan panggil saya kapanpun." Katanya.
Aku jawab perkataan Jade dengan anggukan kecil. Aku meliriknya saat ia keluar dari kamarku. Aku takut aku nanti malah menjadi terlalu ketergantungan pada wanita itu. Karena, ia selalu menyiapkan apa yang aku butuhkan.
***
"Tuan ... Anda ingin makan apa hari ini?" tanya Jade padaku.
"Terserah. Aku tidak ingin makan hari ini." Kataku lesu.
"Anda harus makan hari ini tuan. Saya akan memasak sesuatu untuk anda. Kapan anda ingin memberitahu Tn. Adiwijaya mengenai kepulangan anda. Saya takut Tn. Adiwijaya khawatir terhadap anda jika anda masih belum memberi kabar." tanya Jade.
"Secepatnya Jade." Kataku.
"Baik. Saya permisi dulu." Kata Jade undur diri.
Aku masih terduduk di sofa ruang tamuku sambil menyeruput susu cokelat kesukaanku. Lama - kelamaan aku mencium bau harum makanan. Ternyata Jade serius ingin memasak untukku. Mencium baunya saja aku sudah tahu pasti makanannya enak. Aku hanya bisa tersenyum simpul. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Jade mulai nampak membawa beberapa masakan yang terlihat sangat menggiurkan.
"Tuan muda, ayah anda tadi menghubungi saya. Malam ini anda harus menghadiri ulang tahun grup H yang ke 45 tuan." kata jade sambil menghidangkan makan.
"Ulang tahun perusahaan?" tanyaku agak heran.
"Iya tuan." Katanya mantap.
"Kenapa ayah tak memberitahuku sebelumnya. Dan kenapa harus aku." tanyaku.
"Karena anda anaknya, tuan." jawabnya.
"Nggak gini, Jade. Kamu tahu aku anak angkatnya kan. Kenapa tidak Deva saja." Kataku dan melanjutkan makan.
"Anda tahu betul tuan. Bahwa andalah yang diperkenalkan Tn. Adiwijaya sebagai anak. Tn. Adiwijaya tidak bisa mengakui Dave sebagai putra kandungnya." jawabnya dengan ekspresi datar.
Aku terdiam sejenak. Benar juga kata Jade.
"Jam berapa?" tanyaku.
"Jam 7 malam nanti tuan. Anda akan dijemput sebelum pukul 7 malam nanti." Jawabnya.
Akupun mengangguk pelan.
Waktu berlalu begitu cepat. Mobil jemputanku sudah datang. Tentu saja ada ayah didalamnya. Aku memakai setelan kemeja putih dengan kerah bergaris- garis dan juga jas berwarna putih yang kupakai di bahuku.
"Bagaimana kabarmu, rey?" tanya ayah setelah aku memasuki mobil.
"Baik yah." Jawabku.
"Maaf ayah jarang menengokmu di singapura. Karena ayah sibuk sekali belakangan ini." Kata ayah sambil memegang pundakku.
"Iya ayah. Aku tahu koq." Jawabku
“Rey ... kamu tahu kan apa yang harus kamu lakukan. Ayah berharap banyak padamu. Jaga sikapmu dan jangan permalukan ayah.” Kata-kata ayah barusan memiliki nada yang berbeda sekali sewaktu ia bicara sambil memegang pundakku.
Mungkin selama ini aku tak terlalu dekat dengan ayah angkatku ini. Saat aku SMA, ayah membelikan apartemen yang dekat dengan sekolah. Aku mengunjunginya paling tidak satu minggu sekali. Setelah lulus akupun langsung pergi ke Kanada. Jadi, cukup bisa dibilang aku tidak terlalu mengenal sosok sebenarnya ayah angkatku ini. Namun, ayah cukup ramah padaku kecuali urusan jaga image dalam bisnis. Mungkin benar kata Deva dulu. Mungkin aku memang harus hati-hati. Tapi setidaknya aku bersyukur, berkat ayah angkatku kehidupan SMA-ku berjalan mulus. Sangat mulus.
Sesampainya kami di Hotel Gemerlap Indah, Jakarta Pusat. Tempat ayah mereservasi seluruh bangunan untuk merayakan hari ulang tahun perusahaan. Beberapa bodyguard sudah menyambut kami. Ada banyak media disini. Sepertinya ayah memang mengundang beberapa wartawan. Yah, mungkin bukan beberapa lagi namanya, saking banyaknya. Sampai mereka berdesakan di jalan masuk.
Jade berjalan di belakang kami.Ia memakai gaun berwarna putih yang sangat serasi di badannya. Ia terlihat anggun, begitu menurutku. Aku berjalan disamping ayah. Tak ada perasaan canggung sedikitpun dibenakku, walau ini adalah acara yang besar. Ya, tentu saja karena dulu aku pernah berkarier sebagai model walau kini aku sedang cuti. Aku sudah terbiasa berada di antara kerumunan banyak orang dan juga silaunya cahaya flash kamera yang memotretku. Aku juga sudah mulai terbiasa akan tatapan banyak orang yang memerhatikanku.
Para tamu undangan berdiri menyambut kami saat MC mengumumkan kedatangan sang pemilik acara. Semua orang bertepuk tangan. Begitu meriah sampai suara tepuk tangan itu menggema di seluruh aula besar ini. Ku akui aku cukup takjub melihat dekorasi ruangan ini. Hiasannya simple, elegan namun terlihat mewah. Semua dekorasi bercorak merah-putih dan dipadupadankan begitu serasi. Semua kursi di tata melingkar mengelilingi meja dan ditengahnya ada hiasan berupa bunga yang cantik.
Ayah berjalan sambil sesekali melambaikan tangan. Sementara aku, berjalan santai dengan posisi satu tangan ada di saku celanaku. Mungkin aku agak terkesan arogan namun, sikap aroganku tertutupi oleh postur tubuhku yang tinggi semampai dan wajahku yang sangat tampan sehingga malah menimbulkan kesan yang elegan. Setelah memasuki ruangan aku berjalan agak sedikit mundur dibelakang ayah.
Lalu para pegawai mempersilahkan ayah dan aku duduk di suatu tempat yang khusus dipersiapkan untuk kami. Sementara Jade, duduk di bangku yang tak jauh dari kami. Sesekali aku memberikan senyuman pada relasi ayah yang memberikan ucapan selamat dan berjabat tangan.
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan. Tempat ini penuh dan juga masih ditambah dengan banyaknya media yang disediakan tempat khusus di belakang agar dapat meliput acara besar ini. Meja-meja di sebelah kiri dipenuhi oleh pegawai-pegawai kantor dengan dresscode dominan putih. Sementara, meja sebelah kanan ditempati oleh para rekan kerja ayah, relasi, dan orang-orang penting yang memiliki hubungan bisnis dengan ayah. Mereka kompak memakai dresscode dominan merah. Karena memang konsepnya adalah merah-putih mengingat ini adalah bulan agustus.
Tak lama kemudian ayahpun memberikan sambutan singkat dan mempersilahkan para tamu untuk menikmati acara dan hidangan yang tersedia. Semua tamu bertepuk tangan meriah setelah ayah selesai memberikan pidatonya.
“Yah ... masih lama kah ?” tanyaku begitu ayah duduk kembali di sampingku.
“Kenapa? Kamu bosan ya?” tanya ayah balik.
“Ya ... sedikit.” Jawabku singkat mengingat yang kulakukan hanya duduk sambil sesekali tersenyum.
Ayah terkekeh dan menampakkan senyuman kecil dan menyeruput minuman yang ada dihadapannya. Sementara, mataku mengamati pasangan yang mulai mendekati kami. Seorang pria dan istrinya yang merupakan relasi ayah jika dilihat dari dresscodenya, serta kulihat anak gadisnya dibelakangnya yang mungkin seumuran denganku.
“Oh ... pak Adiwinata selamat atas ulang tahun perusahaan anda yang ke-45. Semoga segala bisnis anda berjalan dengan lancar dan sehat selalu untuk anda dan keluarga.” Katanya penuh dengan basa-basi.
“Terimakasih pak Raymond.” Jawab ayah singkat.
Entah perasaanku saja atau tidak sepertinya gadis itu melirikku terus menerus. Tiba-tiba ayah menyenggolku di tengah rasa tak acuhku.
“Rey ... ini pak Raymond ia adalah rekan bisnis ayah.” Kata ayah menjelaskan.
Akupun hanya mengangguk pelan.
“Oh ... ya pak Adiwinata. Putra anda sangat tampan. Mirip sekali dengan anda. Semua wanita pasti akan terpikat padanya. Namun, sepertinya saya cukup jarang melihat anak anda.” Katanya.
Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Bukan karena aku senang hanya saja ada yang terdengar lucu, terutama kalimat mirip sekali dengan anda. Membuatku lebih yakin bahwa semua kalimat yang ia ucapkan hanyalah bualan belaka.
“Ya ... tentu saja Pak Raymond. Selama ini Rey saya sekolahkan di luar negeri. Baru beberapa hari ini dia kembali dari Indonesia.” Jelas ayah.
“Oh ... begitu. Oh, ya kenalkan ini putri semata wayang saya. Namanya Regina.” Katanya malah terdengar seperti mempromosikan putrinya.
“Halo om. Regina.” Kata gadis itu menyalami ayah.
“Rey. Salam kenal.” Katanya mulai menyalamiku.
“Serena.” Kataku singkat membalas salamnya dan tersenyum singkat.
Ia memerhatikanku tanpa berkedip. Ia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki dan tatapannya berhenti di bagian perut dan dadaku seolah sedang menelanjangiku.
“Maaf ...” kataku.
“Ya ...” Jawabnya.
“Tanganku ...” Kataku menunjuk tanganku yang satunya yang sedari tadi masih ia genggam.
“Oh ... maaf.” Katanya malu-malu sambil melepaskan tanganku.
Semua orang tertawa, kecuali aku yang hanya tersenyum sambil melirik ayah penuh arti.
“Mungkin anak-anak kita ingin menghabiskan waktu bersama.” Kata Om Raymond seperti ingin mendekatkan kami berdua.
Kulihat Regina senyum- senyum padaku. Membuatku makin takut. Aku hanya melirik ayah memberi kode bahwa aku tak ingin bersama gadis ini. Namun, sepertinya ayah tak paham atau mungkin kurang peka. Setelah beberapa lama aku berada dalam situasi ini akhirnya aku memutuskan untuk menolaknya dengan caraku sendiri.
“Terimakasih atas sarannya Pak Raymond. Tentu saja saya tidak ingin menolak menemani putri anda yang cantik ini. Namun, sebagai anak dari ayah saya, saya harus menyapa tamu undangan lainnya. Jadi maaf sekali saya tidak bisa memenuhi permintaan anda.” Kataku mencoba sesopan mungkin agar tak terkesan aku menolak putrinya. Walau sebenarnya memang iya.
“Oh ... sayang sekali.” Katanya agak kecewa karena usahanya gagal.
“Saya permisi dulu.” Kataku.
Aku membalikkan tubuhku dan berjalan menjauh serta memberi tanda pada Jade yang sedari tadi mengawasi kami agar ia berjalan dibelakangku. Aku mulai menyapa dan meyalami tamu undangan satu-persatu baik itu para pegawai yang diundang ayah maupun relasinya. Yah, itung-itung menghindar dari gadis itu sekaligus menghilangkan kesan judes yang kutampilkan diawal karena aku sama sekali tak tersenyum. Namun, sebagai gantinya sekarang aku memasang senyum yang menawan di wajahku setiap saat.
Aku merasa semua tamu disini seperti menawarkan puteri mereka padaku atau anak lelakinya untuk menjadi temanku ketika aku menghampiri mereka. Aku juga bingung kenapa semua orang membawa anaknya ke dalam pesta ulang tahun perusahaan. Inikah bukan pesta pernikahan.
Pesta ini terasa singkat karena aku terus mengobrol dengan tamu ayah yang lainnya. Dan agak memisahkan diri dari ayah sejenak. Saat aku menoleh ayah tersenyum padaku dan memberiku kode agar melanjutkan obrolanku. Yah, itu lebih baik. Ketimbang bertemu Regina yang sedari tadi masih bersama ayah.
“Putra anda sangat hebat Pak Adiwijaya. Ia sepertinya sangat mudah bergaul pada orang lain dan pandai mengambil hati. Ia juga berani seperti anda.” Kata Pak Raymond melirikku.
“Yah ... tentu saja.” Kata ayah tersenyum.
***
"Yah ... Gimana kalau aku buka usaha resort sama hotel bintang lima. Rencana aku juga ingin buka supermall sama bisnis pariwisata." kataku saat kami memasuki mobil untuk pulang karena ini sudah pukul 00:30 sekaligus mencairkan suasana karena sedari tadi kami hanya berdiam diri.
"Yaa ... Gak papa rey. Ayah senang kalau kamu mau belajar bisnis. Kamu butuh dana berapa?" kata ayah.
"Ngak yah. Aku ingin jadi investor tunggal semua usahaku." kataku mantap.
“Yah ... semakin kamu berkiprah di dunia bisnis. Itu akan menguntungkan image ayah rey.” Aku terdiam tanpa respon itu bukan tujuanku, batinku.
Ayah tersenyum menatapku dan menepuk pundakku. Aku sadar aku bukan anak kandung ayah. Oleh karena itu aku sadar bahwa aku sama sekali tak memiliki hak atas harta ayah sama sekali. Itu semua milik deva. Jadi, dalam semua bisnisku tak boleh ada campur tangan ayahku sama sekali. Aku tak ingin suatu saat Deva menuntut aset perusahaan yang aku bangun dengan susah payah, walau sekarang ia sudah berubah. Aku juga ingin memiliki kontrol penuh atas perusahaan yang aku miliki. Namun, ada satu hal yang aku lupa. Bahwa Tn. Adiwijaya, ayah angkatku. Bisa mengahncurkan bisnisku dalam sekejap jika aku menghancurkan imagenya.
"Rey ... Nanti kamu pulang ke rumah ayah, ya.". Ucap ayah.
"Nggak yah ... Aku mau pulang ke rumahku sendiri saja." kataku.
"Kamu masih marah sama Deva." kata ayah.
Marah. Ia yang membuatku kehilangan mataku. Membuatku Phobia pada benda tajam. Namun, aku sudah memaafkannya dulu. Aku tak bisa menghakiminya terus karena aku tahu ia menyimpan segudang rasa sakit. Namun, rasanya aku malas bertemu dengannya. Pasti canggung sekali.
"Ngak ..." Jawabku singkat tanpa menoleh pada ayah.
***
Sesampainya dirumahku. Hanya ada aku dan jade.
"Anda ingin mandi tuan?" tanya Jade.
"Tidak Jade. Aku akan langsung tidur saja. Istirahatlah." kataku.
"Baik..." jawabnya.
Akupun tidur dan terbangun saat mendengar alarmku berbunyi. Pukul 5 pagi. Aku masih ngantuk namun aku harus bangun dan olahraga. Rumahku memiliki ruangan gym sendiri. Jadi aku tak perlu repot pergi ke tempat fitness.
"Jade ... Aku ingin kamu mengelola bisnis baruku. Kita buat Orion grup yang memiliki Restoran, Resort, Hotel, Pariwisata dan Mall. Mulai sekarang aku yang akan menggajimu, bukan ayah. Jadi, kau sepenuhnya adalah milikku." kataku sembari memakai baju dan mengedipkan sebelah mataku nakal padanya.
"Baik tuan." katanya sambil tersenyum
Ia manis kalau tersenyum. Tunggu ... ternyata ia juga bisa tersenyum. Ini pertama kali aku melihatnya tersenyum.
"Kalau ada masalah bicaralah padaku." kataku mengambil handuk dan menghampirinya.
"Tentu saja. Anda ingin sarapan apa hari ini." tanyanya.
"Kita keluar saja hari ini " jawabku sambil merangkulnya dan mengajaknya keluar ruangan. Ia nampak agak terkejut dengan perlakuanku, namun ekspresi lucu yang ia tampilkan malah membuatku ingin tertawa dan mengulangi perbuatanku.
Kamipun memilih suatu tempat makan dan makan bersama sambil menyusun rencana.
Yah ... Bisnis baruku memang akan menghabiskan cukup banyak waktu dan tenaga. Tapi untungnya ada Jade yang sangat kompeten. Aku sangat mengandalkannya, atau mungkin malah terlalu mengandalkannya.
Beberapa bulan berlalu. Akhirnya semua yang kuinginkan tercapai. Aku juga sudah merekrut pegawai untuk menghandal semua urusan di masing-masing tempat. Dan sekarang aku sudah berdandan rapi untuk menghadiri acara peresmian gedung baruku.
Tentu saja ada Jade yang selalu mendampingiku. Tempat ini cukup mewah dan letaknya strategis. Aku yakin aku bisa sukses dengan ini. Acaranya berjalan lancar. Aku mengundang beberapa rekanku dan ayah juga. Yang aku heran , sama seperti saat ulang tahun perusahaan ayah semua orang seperti berlomba-lomba mengenalkan anaknya padaku. Entah itu pria atau wanita. Semuanya sama. Batinku. Mereka memandang harta itu adalah raja dari segala raja.
Thanks ya...atas semua masukannya...
Comment on chapter PROLOG