"Saat perubahan itu dimulai, kamu akan menjalani hidupmu dengan rasa yang baru"
~Serena~
Aku memang senang karena aku mendapat Sma yang bagus walau letaknya di luar kota. Namun, aku juga merasa sedih karena harus berpisah dengan Bunda dan juga teman-temanku. Aku harus pindah. Mau tidak mau karena jarak aku harus benar-benar belajar hidup mandiri. Aku harus mencari kos-kosan yang dekat dengan Sekolahku nanti agar bisa berhemat biaya transportasi.
Sementara itu Fresla, Cici, Tono sekarang berada dalam satu sekolahan lagi. Mereka diterima di Sma Citra Satu. Kami masing-masing diterima di yayasan yang sama dengan sekolah Smp kami dulu.Sma Citra Satu terletak tidak cukup jauh dari Panti kami. Tepatnya disebelah Smp Citra Satu. Jadi, kurasa mereka tak perlu repot-repot mencari kosan sepertiku.
Jujur sebenarnya, aku juga ingin bersekolah bersama mereka. Namun, pengalaman yang sudah kujalani selama ini membuatku berfikir bahwa kelas itu ada harganya. Aku mulai menilai sesuatu yang lebih baik akan selalu memberikan hasil yang lebih baik juga. Memang benar bukan. Hal itulah yang mendasari keputusanku untuk menerima beasiswa di Sma Harapan Bangsa. Karena peringkat Sekolah itu adalah no 1 se-provinsi dan 3 nasional. Sementara peringkat Sma Citra Satu berada di posisi 80 se-provinsi dan entah rangking nasional nomor berapa. Maaf, bukannya aku ingin meremehkan. Tapi, itu fakta.
Sore hari ini terasa begitu menyenangkan ... diusiaku yang sudah menginjak remaja ini aku harus mulai berubah menjadi orang yang lebih baik lagi. Aku yakin duniaku juga akan berubah menjadi lebih baik lagi jika aku juga mulai berubah.
Aku duduk diteras ditemani secangkir susu cokelat hangat kesukaanku. Minuman yang dapat membuatku merasakan ketenangan dan kenyamanan. Tiba-tiba Fresla masih muncul dan duduk disampingku.
"Gimana rey ??? Kamu jadi kos di luar kota" tanyanya padaku.
"Iya." Jawabku singkat. Aku yakin mereka akan mempertanyakan keputusanku lagi dan lagi begitupun dengan Bunda. Namun, keputusan yang aku buat sudah bulat.
"Ooo .... kamu yakin?" tanyanya kembali meragukan.
"Aku yakin Fresla. Biaya hidup dan juga pendidikanku sudah ditanggung semua oleh pihak sekolah. Jadi kurasa tidak ada lagi hal yang perlu aku khawatirkan." Jelasku.
"Bukan itu rey ... kita kan hidup bersama selama ini. Kita besar bersama. Apa kamu yakin nanti kamu mau hidup sendiri?" katanya membujukku lagi dan lagi.
"Iya aku yakin" jawabku untuk kesekian kalinya.
"Ya sudah kalau itu memang keputusanmu. Lalu kapan kamu akan cari kosan dengan Bunda?" tanyanya.
"Rencana sih besok pagi. Doakan ya" kataku memandangnya sambil tersenyum.
"Pastilah" katanya padaku sambil merengkuh pundakku.
Fresla memang orang yang paling pengertian denganku dibandingkan dengan yang lainnya. Karena mungkin orang yang senasib memiliki rasa ikatan batin yang lebih erat. Begitulah pikirku.
Sinar hangat mentari pagi mulai menerobos kamarku lewat sela-sela jendela kamarku yang sedari tadi malam tidak kurapatkan. Perlahan mataku mulai terbuka. Namun, rasa kantukku tak kunjung menghilang. Entah karena ini hari libur atau karena udara dingin yang menusuk tubuh sampai kedalam tulang. Aku benci udara dingin ini. Aku tidak tahan pada udara dingin. Dan aku beruntung karena Indonesia adalah negara tropis yang hanya memiliki 2 musim, kemarau dan penghujan. Sehingga aku tidak perlu berhadapan dengan musim salju dimana semua membeku.
Aku sudah terbangun. Namun, suasana ini sangat cocok untuk berbaring di ranjang seharian. Rasanya aku ingin bermalas-malasan saja. Tapi, aku harus pergi mencari kosan dengan Bunda. Dengan terpaksa kusingkap selimutku dan bangun perlahan. Aku duduk ditepi ranjang sambil mencoba membuka mataku sepenuhnya. Lalu aku berjalan kearah jendela dan kubuka lebar-lebar. Udara dingin langsung menusuk tubuhku lebih dalam. Bulan ini musim penghujan jadi aku harus bersiap-siap berperang melawan dingin setiap pagi.
Setelah puas menghirup udara segar di pagi hari yang menyehatkan. Aku mulai membereskan kamar tidurku dan menyiapkan baju untuk pergi bersama Bunda. Pergerakanku menjadi flexible ketika aku sudah bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat. Aku hanya berani berjalan tanpa tongkat ketika berada di dalam kamar. Karena aku sama sekali belum memberitahukan hal ini pada siapapun. Seperti yang kukhawatirkan sebelumnya aku takut Fresla terluka.
Tok...tok...tok
Spontan aku yang sedang berdiri beres2 langsung terduduk di tepi ranjang. Rasanya aku begitu deg-degan karena terkejut.
"Hufff ... untung saja aku tidak ketahuan" batinku.
"Rey..." panggil Tono.
"Iya ... masuk aja. Pintunya tidak aku kunci koq" kataku masih terduduk di tepi ranjang.
"Rey ... lagu ngapain ?" tanyanya begitu masuk.
"Ngak ngapa-ngapain sih. Lagi beres-beres aja. Ada apa?" tanyaku.
"Ooo ... kamu mau ikut nggak. Aku, Cici, sama Fresla mau pergi ke Sekolah kami yang baru. Mau lihat-lihat sekolah." katanya.
"Nggak ah. Aku mau pergi sama Bunda. Lagipula akukan tidak sekolah disana." Kataku.
"Oh iya ya. Aku lupa, hehehe...." katanya terkekeh.
"Aku pergi dulu ya" katanya lagi sambil menutup pintu.
Hufftt ... akhirnya lega juga. Tunggu ... sekarangkan juma aku dan Bunda. Kalau begitu aju bisa puas berjalan-jalan tanpa tongkat lagi. Sontak saja aku langsung loncat-loncat kegirangan diatas kasur. Apa aku beritahu Bunda saja ya, pikirku tiba-tiba.
Rasanya dadaku berdegub begitu kencang. Karena aku bahagia, nerveous bercampur takut juga. Aku ingin mengagetkan Bunda dari belakang agar Bunda terkejut. Ini semua berkat kerja kerasku selama ini. Aku selalu berlatih berjalan setiap sore sehabis aku pulang sekolah semenjak kami memeriksakan diri ke dokter saat kami masih kecil. Dan ini adalah buah dari usaha kerasku.
Saat aku keluar dari kamar. Kulihat Bunda sedang menyirami bunga di halaman. Aku mengendap-endap dari belakang dan ...
"Bunda" kagetku dari belakang sambil memegang pundak Bunda.
"Eh ... Rey" kata Bunda sambil menoleh kebelakang.
"Lho ... Rey..." Bunda terkejut melihatku yang berdiri tegak.
"Kamu sudah bisa berjalan?" tanya Bunda dengan tersenyum lebar.
"Iya ... Bunda. Sekarang kakiku sudah sembuh Bunda." kataku lagi.
"Syukurlah kalau begitu." kata Bunda.
"Tapi Bunda. Jangan beritahu siapa2 dulu ya. Aku tidak ingin Fresla sedih Bunda" kataku.
"Yasudah. Ayo kita siap-siap berangkat rey. Sudah jam 8." kata Bunda.
"Iya Bunda." jawabku.
Kamipun berangkat. Aku senang sekali karena ini kali pertama aku pergi tanpa tongkat. Begitupun Bunda.
Kami harus naik bus keluar kota. Karena jarak yang lumayan jauh. Setelah kami sampai, kami mengunjungi sekolah terlebih dahulu. Saat pertama kali aku melihat sekolah ini. Aku merasa begitu kagum. Sekolah ini sangat mewah. Besar, indah juga sangat bersih.
Aku dan juga Bunda awalnya merasa minder. Tapi, aku yakin ini adalah hal yang baik bagiku. Setelah melihat-lihat. Aku dan Bunda kemudian pergi mencari kosan. Akhirnya setelah berputar-putar cukup lama. Kami menemukan kos-kosan yang sesuai. Dengan harga yang terjangkau dan lokasi yang dekat. Belakang sekolah pas.
Setelah puas melihat-lihat. Kami akhirnya pulang kerumah. Saat aku dirumah, kami menghabiskan waktu bersama-sama dengan aku yang masih berpura-pura memakai tongkat. Dan Bunda sudah tahu akan hal itu.
Waktu berlalu bagaikan denting jam yang terus berdetik. Sampai suatu sore. Di sore yang cerah. Tiba-tiba datang sebuah mobil mewah hitam dan berhenti di depan panti asuhan. Keluarlah seorang lelaki paruh baya yang memakai setelan jas hitam dan juga seorang lelaki yang masih muda, yang rupanya adalah sang asisten.
Merekapun memasuki panti dan bertemu dengan Bunda. Bunda yang heran akan kedatangan merekapun mulai bertanya setelah mempersilahkan mereka duduk.
"Maaf ... bapak-bapak ini mau mencari siapa ya?" tanya Bunda dengan sopan.
"Kedatangan kami kesini karena kami ingin mengadopsi salah seorang anak di panti ini bu" kata sang assisten.
"Iya bu benar. Nama saya Adi Wijaya Kusuma. Saya ingin melihat anak-anak yang ada di panti asuhan ini. " kata bapak tersebut.
"Oh ... begini pak. Sekarang panti ini hanya ada 4 anak yang tersisa. Namun, sekarang mereka sudah besar. Sudah mulai masuk Sma tahun ini. Itupun mereka semua memiliki kekurangan fisik. Kecuali satu anak" kata Bunda menjelaskan. Lalu Bundapun menjelaskan tentang kami satu persatu.
"Jika bapak tetap berkenan. Saya akan mencarikan berkas lengkap mereka pak." kata Bunda.
"Baik bu. Saya tidak masalah akan hal itu" jelas bapak itu.
"Baik ... tunggu sebentar ya." kata Bunda bergegas mencarikan berkas kami.
Setelah sekian saat. Akhirnya Bunda datang kembali membawa berkas.
"Maaf pak ... agak lama. Karena lama sekali saya tidak melayani adopsi anak. Ini berkasnya. Silahkan dilihat dulu" kata Bunda sambil memberikan berkasnya.
"Saya boleh melihat anak-anak ini satu persatu" katanya setelah membaca berkas.
"Ya pak. Saya akan panggilkan anak-anak" kata Bunda.
Lalu setelah itu kami dipanggil satu persatu.
Mulai dari Cici.
Kemudian Tono.
Lalu Fresla.
Dan terakhir aku.
"Ini yang terakhir pak. Serena." kata Bunda.
"Katanya kamu sudah sembuh ?" tanya pak Adiwijaya mengamatiku dengan saksama dari ujung kepala sampai kaki.
"Ya pak. Saya memang sudah sembuh." kataku meletakkan tongkat.
"Lalu kenapa kamu masih memakai tongkat?" tanyanya lagi.
"Karena saya ingin menjaga perasaan teman saya pak. Saya tidak ingin ia menjadi sedih" kataku.
"Kamu cukup berprestasi ya?" tanyanya lagi.
"Sebenarnya itu hanyalah hasil dari usaha yang saya lakukan pak" kataku merendahkan diri.
Setelah selesai berbincang. Bunda menyuruhku kebelakang.
Saat menuju ruang di belakang. Aku sudah tidak ingin berpura-pura lagi. Aku ingin jujur pada Fresla.
"Teman-teman" kataku.
"Oh ... rey. Giliranmu lama banget sih." protes Tono.
"Aku mau minta maaf. Selama ini aku selalu membohongi kalian. Sebenarnya kakiku sudah lama sembuh." Kataku sambil menundukkan kepala.
"Aku sudah tahu rey." kata Fresla.
"Loh ... kamu sudah tahu." tanyaku terkejut.
"Aku selalu melihatmu berlatih berjalan. Manamungkin aku tidak tahu." jelas Fresla.
"Aku tahu kamu berbohong karena kamu tidak ingin menyakitikukan. Terimakasih rey. Namun, aku sekarang sudah cukup bersyukur akan nikmat yang telah tuhan berikan padaku sekarang. Jika kamu sembuh itu adalah hasil dari usaha kerasmu dan juga takdir baik yang kamu percayai." Tambahnya.
"Makasih Fresla. Kamu begitu baik. Tono dan Cici kalian juga sudah tahu ya?" tanyaku.
Cici mengangguk dan Tono juga menganguk.
"Ah ... teman-teman." kataku terharu. Ternyata Fresla jauh lebih kuat dari yang aku bayangkan, aku salah selama ini jika menganggap ia akan sedih jika aku sembuh. Namun, ternyata sebagai saudara ia akan bahagia jika ia melihat aku bahagia.
Kamipun saling berpelukan. Sementara itu Bunda datang.
"Anak-anak." kata Bunda.
"Iya Bunda ... bagaimana tadi?" tanya kami serempak.
"Pak Adi Wijaya memutuskan untuk mengadopsi salah satu anak dari panti ini. Dan itu Serena." kata Bunda.
Spontan saja aku terkejut. Kenapa harus aku?
Apa karena aku sudah sembuh dan tidak cacat lagi. Sebenarnya kami berharap yang diadopsi adalah Cici. Ia sangat menginginkan memiliki keluarga. Jujur, aku tidak enak hati. Namun, aku juga ingin memiliki seorang ayah dan ibu. Akhirnya aku menyetujuinya. Pak Adiwijaya memberiku waktu sampai besok agar aku bisa berbenah.
Saat makan malam kami semua terdiam suasana begitu hening sampai Bunda memulai sebuah topik pembicaraan.
"Rey ... kamu sudah menyiapkan semua barang-barangmu." tanya Bunda
"Sudah Bunda." jawabku singkat.
"Rey ... kamu benar-benar ingin pergi?" tanya Tono sedih.
"Iya. Teman-teman jangan lupakan aku ya." kataku tersenyum.
"Kamu juga jangan lupakan kita hlo rey." kata Fresla menyahut.
"Uya. Kita semua kan saudara." kataku.
"Ya sudah anak-anak. Lanjutkan makannya." kata Bunda.
Setelah selesai makan kami menuju kamar masing-masing. Entah semua bisa tertidur atau hanya aku saja yang terjaga. Aku tidak bisa tidur memikirkan hari esok. Sekarang aku tidak bisa lagi menemui Bunda bahkan teman-temanku. Aku pasti akan begitu merindukan mereka.
Waktu berlalu tanpa terasa hari esokpun tiba. Mobil jemputanku datang. Kami semua berpelukan dan saling berjanji untuk mengingat satu sama lain. Jujur rasanya begiu berat. Bundapun sepertinya setengah hati melepaskanku. Dan sayangnya, tulah moment kali terakhir aku bertemu mereka semua. Waktu Sma aku tidak pernah berkunjung maupun menghubungi teman-teman masa kecilku karena kami disibukkan oleh kegiatan kami masing-masing. Kos yang aku cari bersama Bunda dulu juga tak jadi kupakai.
Setelah lulus Sma pun aku melanjutkan sekolahku di Kanada dan jarang pulang. Entah bagaimana nasib dan kabar mereka sekarang.
Thanks ya...atas semua masukannya...
Comment on chapter PROLOG