Vancouver City, British Columbia, Kanada.
Pemandangan indah terbentang terlihat jelas dibalik dinding kaca salah satu apartemen di kota ini. Terletak di lantai 20 dengan arah menghadap arah Sunrise membuat tempat ini mendapatkan view yang bagus. Lampu kota yang berkelap-kelip belum dipadamkan di pagi buta ini dan juga pegunungan kecil yang mulai terlihat sedikit seolah menjadi sebuah lukisan indah dibawah semburat cahaya matahari pagi.
Udara sejuk yang menyegarkan ini perlahan mulai masuk kedalam lewat sela-sela kaca yang sengaja sedikit dibuka.
Sementara itu, terdengar bunyi air shower bergemericik nyaring ditengah kesunyian pagi. Tak lama kemudian keluarlah seorang pria muda memakai bathrobe berwarna putih. Ia meraih secangkir susu coklat yang masih hangat, menyeruputnya sedikit lalu beranjak mendekati jendela kamarnya. Pemandangan yang sama yang selalu ia lihat selama dua tahun terakhir ini namun tak kunjung membuatnya bosan.
Dihirupnya dalam-dalam udara pagi yang sejuk menenangkan jiwa. Lalu pandangannya beralih menuju jam yang ada dimeja samping ranjangnya. Ia harus berangkat ke sekolah lebih pagi hari ini. Karena ada hal yang harus ia lakukan setelahnya. Diletakkanya cangkir yang sudah kosong itu lalu beranjak menuju ruang lemari bajunya. Dipilihnya kemeja dan celana putih kesukaanya. Dan tak lupa jam tangan dan sepatu. Ia terkadang terlihat suka memakai barang dengan brand Calvin Klein karena terlihat elegan dengan kualitas yang bagus.
Setelah selesai berpakaian ia mematutkan diri di cermin besar di kamarnya yang bergaya Amerika. Simple namun mewah. Disisirnya rambutnya yang ia cat berwarna perunggu namun masih dominan hitam dengan saksama. Iapun menimang sekarang tingginya sudah 180 cm di usianya yang ke-19 dengan bobot 50 kg dan kulit putih mulus. Badannya memang kurus namun membentuk karena ia rajin berolahraga. Memiliki bulu mata yang cukup panjang dan lentik dengan bola mata berwarna coklat terang membuatnya sekilas terlihat cantik. Dengan bibir merah muda dan wajah yang putih menawan membuatnya terlihat sempurna. Ia mamakai softlens berwarna biru terang karena menyukainya. Setelah selesai ia menyambar tas dan jaket lalu kunci mobilnya dan beranjak turun ke basement untuk mengambil mobilnya yang terparkir disana.
***
Diparkiran.
Terlihatlah sebuah mobil sport mewah berwarna oranye. Seorang pria menarik pintunya keatas masuk lalu menutupnya lagi.
Setelah berada di dalam mobil ia sekilas menengok arlojinya untuk memastikan ia tak akan terlambat lagi. Lalu ia memutar kunci mobilnya dan mulai menyetir meninggalkan basement yang memang masih sepi.
Setelah menyetir dengan kecepatan sedang sekitar 10 menit ia telah sampai di sekolahnya. University Of British Columbia, Kanada. Setelah memarkirkan mobilnya ia lekas keluar.
"Hey ... Rey. It's like a miracle see you here in this Morning." sapa seorang bule berambut pirang. Yah, maklum jika teman-temanku heran aku sudah berada di sekolah sepagi ini, karena aku biasanya ke kampus agak siang.
"Hai ... John. Yeahh ... I never come here early like that. Cause I have a busy schedjule that day I have to go there earlier than before" jawabku menjelaskan.
"Oh ... I know that" timpal bule itu yang bernama John.
"Have you see Marlina today?" tanya John.
"No. U know that I have parked my car a few moment ago??" tanyaku heran.
"Oh My God. Sorry. Let's go to our classroom" ajak John.
"Let's go". Kamipun beranjak menuju kelas. Karena memang kami satu kelas. Marlina dan John adalah teman terbaikku di kampus, kami sangat akrab bahkan sudah seperti saudara.
Kalian masih ingat aku kan???
Aku pria yang sama dengan anak kecil yang cukup pengecut dulu.
Aku Serena.
Orang yang sama dengan hidup yang berbeda.
Semenjak aku diadopsi keluarga Adi Wijaya Kusuma, kehidupanku berubah
Aku kaya.
Tampan.
Dan Perfect.
Aku bekerja paruh waktu sebagai model professional dan gajiku sehari sekarang sudah melebihi uang jajan yang diberikan keluarga Adiwijaya kepadaku setiap bulan. Bisa dikatakan aku tak memerlukan harta mereka lagi, aku hanya butuh latar belakang keluarga saja.
Aku bisa membeli rumah, mobil mewah dan apapun yang aku inginkan. Sayangnya, aku masih single. Aku tak terlalu tertarik menjalin hubungan asmara dengan seorang wanita secara serius. Aku lebih suka kebebasan. Aku tak punya pacar bukan karena tidak ada yang menyukaiku. Aku anak yang cukup populer. Banyak yang menyukaiku aku bahkan punya banyak pengagum rahasia. Tapi aku hanya tertarik dengan mereka untuk bersenang- senang saja tidak lebih.
Kelas pagi Mr. Rein sungguh membosankan. Ia mengajar Management. Namun entah kenapa malah terdengar seperti dongeng di telingga muridnya. Membuat sebagian siswa hampir terbuai rasa kantuk. Siang nanti aku ada pemotretan. Kalau tidak, aku pasti sekarang masih tidur di apartement ku.
***
Rutinitas hari ini cukup melelahkan. Sudah larut malam dan aku baru pulang. Aku segera mandi lalu istirahat.
Saat aku mulai memejamkan mataku tiba-tiba saja teleponku berdering.
Oh ... Shit ... gerutuku dalam hati.
Setelah kulihat ini nomor indonesia. Oh ayah. Kanada dan indonesia memiliki perbedaan waktu sekitar 11 jam. Jam 12 malam disini pasti sekarang sudah jam 11 siang disana.
"Halo.." jawabku agak enggan.
"Rey ... ayah ingin bicara. Ayah ingin kamu pindah di Indonesia saja. Ayah ingin mengajarimu beberapa hal masalah bisnis. Dan ayah rasa akan lebih baik jika kau tinggal dekat ayah." Kata ayah tiba-tiba mengejutkanku.
"Tapi yah ... aku sudah nyaman disini" protesku tak setuju.
"Rey ... turuti perintah ayah. Jangan membantah." katanya dengan tegas.
"Baiklah" kataku berat hati aku menurut karena aku tak pernah membantah perintah ayahku selama ini walau terkadang bertentangan dengan hatiku.
"Kamu sudah makan siang?" tanyanya lagi.
"Ahhh ... ayah. Disini masih jam 12 malam." kataku kesal.
"Oh ... ayah lupa. Kalau begitu lanjutkan tidurmu. Jangan telat makan ya." kata ayah menutup sambungan telepon kami.
Hahh ... memang kadang menyebalkan tapi pak Adi Wijaya sangat perhatian dan sayang padaku walau aku hanya anak angkatnya. Yah, setidaknya itulah yang aku ketahui selama ini. Entah nyata atau memang hanya perasaanku saja.
***
"Kenapa anda datang kemari ?" tanyaku duduk di sofa dan mengangkat sebelah alisku.
"Tuan besar memerintahkan saya untuk menjemput anda hari ini, tuan muda." kata seorang asisten berbaju rapi yang berdiri dihadapanku.
"Kenapa harus hari ini?" tanyaku kesal.
"Ini perintah tuan besar anda tidak bisa membantahnya. Kepindahan anda sudah diurus hari ini. Silahkan anda mengepak barang anda. Saya sudah memesan tiket pesawat untuk anda hari ini." katanya sopan namun terkesan memaksa.
"Hari ini" kataku kaget beranjak dari sofa.
Oh ... shit ... aku bahkan belum berpamitan pada John dan teman-temanku yang lain. Dan sekarang aku sudah harus pulang ke Indonesia dan ini hal yang tak bisa kubantah.
"Terserahlah" kataku pasrah sambil mengangkat kedua tanganku keatas dan menghempaskannya.
***
Aku hanya bisa terdiam memandang pemandangan dari balik jendela pesawat. Kesal. Tentu saja aku sangat kesal. Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya kasar.
***
Setelah sekian lama berada dalam pesawat akhirnya akupun tiba di bandara Soekarno - Hatta. Mobil jemputanku sudah menunggu. Aku pulang kerumah lalu istirahat karena kepalaku pusing sekali. Aku juga tidak keluar kamar hari ini, malas.
Keesokan harinya. Aku bangun mandi dan menuju meja makan.
"Rey ... kamu sudah bangun? gimana perjalananmu?" tanya ayah yang sudah menungguku.
"Baik pa.." kataku masih kesal.
"Kamu marah ya sama papa. Rey...ini semua demi kebaikan kamu. Ayah sudah memilihkan tempat sekolah untukmu. Tenang saja ayah memilih sekolah yang bagus koq." kata ayah padaku dan aku hanya manjawabnya dengan anggukan pelan.
"Oh iya...kamu berhenti saja jadi model. Ayah akan membiayai semua keperluanmu." kata ayah sambil melanjutkan makan.
Mendengar perkataan ayah aku langsung menghentikan aktivitas makanku.
"Aku tidak mau." Bantahku.
"Rey ... ini bukan sesuatu yang bisa kamu bantah" katanya memaksa.
"Yah ... gini sekarang aku sudah menuruti semua perkataan ayah dari dulu walau bertentangan dengan keinginanku. Tapi, ini passionku. Aku suka. Bukan hanya materi. Aku tak bisa yah." kataku panjang lebar.
"Rey ... nurut sama ayah. Ayah mengangkatmu jadi anak dengan harapan kamu itu jadi anak penurut. Bukan pembangkang. Menurutmu siapa lagi yang mau mengangkatmu jadi anak. Hah ??? Tidak ada yang sudi mengangkat anak dari panti asuhan yang sudah bobrok itu. Kamu bahkan tidak tahu siapa orangtua kandungmu. Jadi berhenti membantah. Kamu beruntung ayah mau mengadopsimu kalau tidak nasibmu akan sama seperti teman-temanmu tudak jelas di panti itu" kata ayah dengan suara tinggi.
Aku marah. Ini pertama kali aku mendengar ayah berkata seperti itu. Aku kecewa. Spontan aku langsung berdiri.
"Anda menyesal. Menyesal mengadopsiku ??. Kalau begitu jangan anggap aku sebagai anak lagi" kataku sambil pergi.
Aku berlari menuju mobilku. Aku membeli ini dengan biayaku sendiri. Jadi, kurasa tak masalah membawanya pergi. Aku berjalan cepat membuka pintu mobil dan memacu kendaraanku brutal dan cepat secepat emosiku. Aku tidak menghiraukan ayahku yang berteriak dan mengejarku. Aku juga tidak peduli bodyguard ayahku yang mencoba menghalangiku. Coba saja, akan kutabrak semuanya. Akhirnya aku berhasil melewati semua penjaga dan keluar lingkungan rumah.
"Arghhh ... semua menyebalkan. Apa nggak ada coba yang ngertiin aku. Sekali aja jangan bahas siapa orangtuaku. Aku benci mereka. Emang aku sampah dibuang begitu saja. Hah." Gumanku marah-marah sambil memukul setir mobil ku kasar.
Aku melihat ponselku berdering. Ayah. Ah ... apa peduliku. Aku tak menghiraukan ponselku yang terus saja berdering. Malah aku memacu kendaraanku lebih cepat. Saking emosinya aku bahkan tidak mengetahui ada belokan tajam dihadapanku. Ada mobil lain yang berbeda arah. Karena panik aku langsung saja membanting stirku dan mobilku menabrak pohon. Lalu setelah itu semuanya buram. Aku tak ingat apa-apa lagi. Aku pingsan.
***
Silau cahaya lampu membangunkanku. Kepalaku berdenyut sakit. Dimana aku. Aku ingin mengangkat badanku tapi tak bisa, sakit rasanya untuk menggerakkan badan saat ini. Aku menengok kanan kiri. Kamar ini bagus, pikirku. Apa yang terjadi. Akupun mencoba mengingat kembali kejadian kemarin.
Tiba-tiba pintu terbuka. Tampak seorang gadis muda membawa nampan makanan.
"Kamu sudah siuman?" tanyanya tak berhenti memandangku.
"Who are you?" tanyaku.
"Oh ... aku Mia." katanya tanpa berkedip.
"Whats happen mia?" tanyaku masih dengan bahasa inggris.
"Mobilmu menabrak pohon tadi malam. Aku langsung membawamu kesini." katanya tersenyum.
Oh ... beruntungnya aku. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Batinku.
"Kamu mau makan? Atau mau aku suapin? "Tanya Mia menggoda.
"Tidak. Aku hanya ingin beristirahat." jawabku memberikan kode halus jika aku ingin sendiri.
"Baiklah" katanya lesu meninggalkanku.
Huffft ... aku menghela nafasku panjang. Kepalaku masih pusing rasanya. Belum sembuh jetlagku dan sekarang tabrakan. Oh my God.
***
"Kamu kenapa Mia. Senyum - senyum kaya orang nggak jelas?" tanya seorang pria di meja makan.
"Anak yang kamu bawa tadi gimana. Sudah sadar?" tanya Ibu pria tersebut.
"Udah tante. Dia ganteng banget. Sepertinya anak orang kaya deh" kata Mia sumringah.
"Denger ya Mia. Kamu harus cari pasangan kaya. Jangan kaya kakakmu ini. Pacaran koq sama orang miskin."sindir seorang kakek tua pada salah satu cucunya.
"Udahlah pa." kata seorang lelaki paruh baya.
Pagi ini. Di meja makan ada 8 orang yang sedang sarapan.
Orang yang pertama kali bicara adalalah Dave anak tante Lina dan om Hardiman. Mia adalah adik Dave.
Disamping Mia duduk seorang gadis yang nampaknya tak begitu memerdulikan sekitarnya dia Reni. Anak satu-satunya paman Joe dan bibi Vera.
Sementara anak yang disindir tadi adalah anak angkat dalam keluarga mereka. Tika namanya. Sementara pasangan yang duduk disamping kanan berjejer adalah Ny. Irene dan Tn. Jaya Adiwinata.
Yap. Dan kakek tua tadi adalah Tn. Adiwinata.
Entah takdir baik atau takdir buruk apa yang menimpaku. Entah sengaja atau tidak aku bertemu kembali dengan keluargaku. Berada di rumah yang sama. Namun, kami sama-sama tidak tahu. Setelah 19 tahun lamanya aku dicampakkan.
"Roy kamu tidak sarapan?" tanya Ny. Irene pada putranya.
"Tidak ma. Aku buru-buru" kata seorang pria yang cukup tampan sambil menyeruput susunya yang ada di meja dengan tergesa-gesa.
"Hahh ... anak itu." hela Ny. Irene.
Roy berlari kecil menuju halaman dan menyalakan mobilnya. Ia cukup tinggi tapi tak setinggi aku. Tingginya 175 cm dengan bobot 65 kg. Putih dan stylish. Seperti kebanyakan anak orang kaya pada umumnya.
***
Aku mencoba untuk mengangkat tubuhku pelan. Aku masih pusing. Namun, aku harus pergi dari sini. Dengan koneksi ayahku aku pasti akan segera ditemukan jika aku tidak segera keluar kota. Entahlah aku masih ragu untuk kabur. Apa ini hal yang benar atau tidak untukku lakukan.
Aku berjalan tertatih-tatih menuju tangga. Entah kenapa pandanganku tiba-tiba rasanya berputar. Aku tidak bisa lagi menahan kesadaranku. Aku hampir jatuh pingsan. Untung saja ada tangan yang sigap meraih tubuhku sebelum aku benar-benar jatuh dan tidak sadarkan diri.
Perlahan aku membuka mataku. Cahaya temaram buram menghalangi pandanganku. Kepalaku rasanya pening sekali. Kuedarkan pandanganku. Aku menatap langit-langit kamar yang sama yang aku tempati tadi. Disamping ranjang yang aku tiduri tampak seorang wanita duduk sambil memeras kain untuk mengompres badanku, aku akui suhu badanku memang agak tinggi saat ini.
“Anda siapa ?” tanyaku.
“Oh, kamu sudah sadar nak. Saya Irene. Saya tantenya Mia.” Jawab wanita tersebut.
Entah kenapa saat pertama kali melihat wanita ini ada rasa aneh muncul dalam diriku. Aku merasa benci padanya. Padahal ini adalah pertemuan pertama kami. Aku akui dia memang wanita yang cantik walau ia sudah agak tua. Namun, setidaknya masih ada bekas kecantikaanya saat muda dulu, ia lemah lembut dan begitu perhatian padaku. Padahal kami tidak saling mengenal. Namun, aku tidak menyukainya. Sangat tidak menyukainya. Entah kenapa hanya hatiku yang tahu, walau otakku tak bisa memberiku jawabannya.
**
Wanita itu dengan telaten mengompres kepalaku dengan handuk hangat. Dalam hati ia merasa bahwa, ia sangat menyayangi anak itu. Ia juga bingung kenapa. Ini kali pertama ia berjumpa dengannya. Ia juga tak tahu mengapa ini terjadi. Ia merasa dekat dengan anak itu. Apa ia terpana melihat ketampanannya, tapi bukankah diusianya yang sudah 40-an ia harusnya tak merasakan hal seperti ini pada pria lain. Tapi yang ia rasakan bukan sayang kepada lawan jenis lebih tepatnya rasa sayang seorang ibu pada seorang anak.
“Bagaimana kamu masih pusing? tadi tante sudah memanggil dokter dan katanya kamu baik-baik saja. Kamu hanya perlu istirahat. Kamu hanya syok akibat kecelakaan tadi malam.” Katanya lembut.
Entah sopan atau tidak aku hanya menjawab pembicaraanya dengan anggukan pelan.
“Siapa namamu? Dan siapa keluargamu. Tante akan menghubungi mereka. Mereka pasti cemas mencarimu.” Katanya.
“Rey. Nama saya Rey. Jangan tanyakan saya mengenai keluarga saya. Saya tidak punya keluarga.” Jawabku ketus.
“Kalau begitu dimana rumahmu? Tante akan mengantarkan kamu pulang.” Katanya lagi.
Aku berpikir sejenak. Rumah dimana ya? aku sepertinya sudah tidak punya rumah. Aku kabur dari rumah ayah angkatku. Apartemenku berada di Kanada. Dan aku juga sudah tidak punya tujuan lagi kesana. Panti asuhan sewaktu aku kecil, aku bahkan sudah lupa dimana itu.
“ Aku tidak punya rumah. Anda tenang saja tidak akan ada orang yang menghawatirkanku.” Jawabku singkat.
“Baiklah. Kalau begitu tante tinggal dulu ya. kamu beristirahat dulu.” katanya berlalu pergi agak kecewa namun, ia juga tidak ingin terlalu memaksa.
***
“Gimana tante. Dia sudah bangun?” tanya Mia.
“Sudah” jawab Ny.Irene.
“Untung saja tante menangkapnya waktu mau jatuh. Kalau nggak jadi apa coba dia.” Imbuh dave.
“Husss ... Dave. jangan ngawur ah.” Kata Ny. Lina, ibunya.
“Terus gimana kak Irene. Kita harus mengabari kedua orang tuanya bukan. Mereka pasti khawatir.” Imbuhnya.
“Entahlah aku juga bingung. Saat aku bertanya. Ia hanya menjawab tak punya rumah dan keluarga.” Jawab Ny. Irene.
“Wah ... gelandangan dong.” Ceplos Dave.
“Ih ... masak sih. Nggak mungkinlah. Dia itu ganteng, stylish lagi ,masak gelandangan sih. Mana ada gelandangan yang punya mobil mewah kaya gitu. Kamu aja nggak mampu beli kan.” Sindir adiknya, Mia.
“Ih kamu ini Ya....” geram dave sambil mencoba menjitak kepala adiknya itu yang tak pernah akur dengannya.
“Eh ... sudah ... sudah jangan berantem terus dong” lerai ibunya dengan kesal.
“Biarkan dia tinggal disini dulu. Mungkin dia sedang tidak ingin diganggu.” Kata Ny. Irene.
***
Dan begitulah selanjutnya. Aku sudah tinggal disini selama 3 hari. Entah bagaimana kabar ayah angkatku, mungkin ia sudah lupa denganku dan mencari anak angkat baru. Selama 3 hari ini. Mia sudah mengajakku keliling rumah ini. Rumah ini ternyata sangat luas. Walau tak seluas rumah ayah angkatku. Mia banyak bercerita tentang keluarga Adiwinata yang sama sekali tidak aku kenal. Entah kenapa gadis ini selalu menempel padaku. Setiap aku membuka mataku dipagi hari dia sudah ada didekatku. Terkadang aku sampai takut kalau-kalau dia melakukan sesuatu yang aneh padaku.
Selama 3 hari aku disini aku tidak terlalu mengenal anggota keluarga yang lain. Walau kelihatannya kami tinggal serumah tapi bukan berarti kami bisa saling berjumpa satu sama lain setiap hari. Terkadang aku bertemu dengan kakak Mia. Dan kami hanya saling tersenyum satu sama lain. Kami jarang mengobrol. namun lama kelamaan aku merasa tidak enak pada keluarga Mia. Aku tak bisa terus-terusan menumpang tak tahu malu seperti ini. Aku harus mencari apartemen baru. Lagipula aku tak kekurangan uang untuk saat ini.
***
Di ruang makan keluarga Adiwinata tampak sedang makan siang bersama. Semuanya lengkap kecuali Mia, kau tahu lah Mia dimana.
"Mia tak ikut makan bersama kita lagi?" tanya Om Hardiman.
"Entahlah yah. sepertinya ia masih terobsesi pada pria itu." jawab istrinya.
"Sampai kapan ia akan terus menumpang dirumah kita. Mana asal-usulnya tidak jelas begitu." gerutu pak Adiwinata.
Semuanya hanya terdiam tidak ada yang bisa menentang keputusan pak Adiwijaya termasuk anaknya sendiri.
***
Sementara itu, aku sendiri. Mia sedang mengambilkan air untukku. Aku sengaja agar ia menjauh dariku. Akupun berkeliling ruangan dan melihat suatu piano besar ada di tengah-tengah ruangan itu. Akupun mendekatinya karena tanganku gatal ingin memainkannya. Akupun memencet tuts piaono itu dengan lembut dan memainkan sebuah melodi sambil bernyanyi.
" Naui du nuneul gameumyeon
tteooreuneun geu nundongja
jakku gaseumi siryeoseo
ijhyeojigil baraesseo
kkumiramyeon ije kkaeeonasseumyeon jebal
jeongmal nega naui unmyeongin geolkka
neon Falling You
unmyeongcheoreom neoreul Falling
tto nareul bureune Calling
heeo naol su eopseo jebal Hold Me
nae inyeonui kkeuni neonji
gidarin nega majneunji
gaseumi meonjeo wae naeryeoanjneunji
Stay With Me
nae maeumsok gipeun gose nega saneunji
Stay With Me
nae ane sumgyeowassdeon jinsil
naui du nuneul gameumyeon
tteooreuneun geu nundongja
jakku gaseumi siryeoseo
ijhyeojigil baraesseo
kkumiramyeon ije kkaeeonasseumyeon jebal
jeongmal nega naui unmyeongin geolkka
neon Falling You
gaseumeun ttwigo isseo
yeojeonhi neol bogo isseo
jakkuman sumi makhyeoseo
ajigeun meollieseo
neoreul jikyeobogo sipeo
naega tto wae ireoneunji
cheoeum neoreul bwasseulttaebuteo dareuge
unmyeongui siganeun tto deodige gassji
nae gaseumeun neol hyanghaessgo
nae simjangeun dasi tto ttwieossgo
kkeojyeobeorideon huimihan bulbit
neoro inhae dasi taoreuneun nunbit
machi oraejeonbuteo neol saranghan geot gata
mueongae ikkeullideut kkeullyeoon geot gata
naui du nuneul gameumyeon
tteooreuneun geu nundongja
jakku gaseumi siryeoseo
ijhyeojigil baraesseo
kkumiramyeon ije kkaeeonasseumyeon jebal
jeongmal nega naui unmyeongin geolkka
neon Falling You " ( Stay With Me, Chanyeol Feat Punch, Ost Goblin"
Aku menyanyikan lagu itu sampai habis. Tanpa aku sadari, ternyata ruangan ini bersebelahan dengan ruangan makan tempat keluarga adiwinata sekarang berada. Kaca yang kukira hanya kaca itu ternyata tembus pandang jika dilihat dari ruang makan namun, hanya memantulkan bayanganku ketika berada diruanganku. Dan juga tidak kedap suara. Mereka semua terhenti makan, entah kaget atau kagum dengan pesonaku maupun suaraku yang cukup indah didengar. Tak ada seorangpun yang berkata-kata sampai ...
"Wow ... mungkin dia artis" Kata Reni wanita berambut merah itu, dalam sekejap langsung terpikat olehku. Padahal sedari dulu ia sama sekali tak tertarik padaku.
Sementara itu Roy hanya diam mematung.
"Sayang, dia memiliki jiwa seni sepertimu" Kata pak Jaya kepada istrinya.
Ny. Irene yang masih terdiam.
Aku hanya bisa terdiam dan tersenyum ketika sudah menyelesaikan laguku. Senyum simpul yang membuat lesung pipiku lama tak nampak mulai terlihat kembali.
(Masih tidak menyadari ada yang memerhatikanku).
Tiba-tiba ponselku berdering. Ayah lagi. Aku tak ingin mengangkatnya.Namun aku juga tidak bisa lari-larian seperti ini.
Senyumku sejenak menghilang ketika ponselku berdering. Kulihat sejenak. Ayah. Sudah kuduga. Selama beberapa hari terakhir ini aku memang mengaktifkan ponselku dalam mode pesawat jadi tak ada orang yang bisa menghubungiku. Aku berpikir sejenak apakah harus kuangkat atau kudiamkan saja. Tapi rasanya bukan hal yang pantas bagiku jika terus-terusan mengindari ayah seperti ini. Akhirnya akupun mengangkat ponselku.
“Halo...”jawabku singkat.
“Rey ... ini kamu. Sekarang kamu ada dimana? Ayah jemput sekarang ya. kamu baik-baik saja. Maafkan ayah rey. Ayah tak akan melarang-larangmu lagi kamu jangan marah lagi. Kamu bebas melakukan apapun yang kamu inginkan. Rey ... maafkan ayah salah. Ayah tak ingin kehilanganmu. Kamu itu anak ayah. Satu-satunya keluarga yang ayah punya. Ayah tak punya siapa-siapa lagi. Ayah tak akan sanggup jika harus kehilanganmu.” kata suara dibalik ponsel itu. Kebiasaan ayah jika sedang panik ia akan menjadi orang yang sangat cerewet.
Tanpa aku sadari air mataku mengalir turun. Apa yang kulakukan. Aku begitu egois selama ini. Aku bahkan tidak memikirkan perasaan ayah selama ini. Orang yang selama ini merawatku. Walau aku bukan anak kandungnya. Tapi ia mengganggapku sebagai anaknya sendiri. Aku tak sanggup membendung airmataku lagi, aku menangis terisak tanpa sadar banyak orang yang sedang memperhatikanku. Aku merasa aku menjadi orang berbeda dari Serena yang dulu, aku terlalu egois dengan semua kemewahan yang kunikmati selama ini.
“Maafkan aku ayah. Aku terlalu egois. Aku hanya tidak ingin meninggalkan hal yang aku sukai. Maafkan aku.” Sesalku sambil mencoba mengatur suaraku.
“Iya Rey. Maafkan ayah juga. Telah menjadi ayah yang otoriter bagimu. Sekarang kamu dimana. Ayah kirim jemputan ya.” tanya ayah lembut.
“Tidak apa-apa ayah. Aku sekarang ada di rumah temanku. Aku bisa pulang sendiri.” Kataku.
“ Baiklah. Ayah tunggu dirumah.” Kata ayah.
Setelah menutup ponsel. Aku menyandarkan kepalaku ke bahu piano dan menyeka air mataku. Aku bukan anak yang cenggeng kataku dalam hati menguatkan jiwaku sendiri.
Ah ... aku harus berpamitan pada pemilik rumah. Sebaiknya akupun berpamitan pada Mia saja. Aku bergegas mencari Mia. Dan berpamitan padanya.
Sementara itu kita beralih keluarga adiwinata yang berada di ruang makan.
“Pasti dia sedang bermasalah dengan keluarganya.” Roy akhirnya angkat bicara.
“Yah ... paling juga kabur dari rumah.” Balas dave.
“Tapi dia itu perfect...” kata Reni masih senyum-senyum.
Walau sebenarnya Roy menyangkal kalau pria itu cukup Perfect namun, dalam hati ia mengakui Rey memang tampan.
Aku sekarang sudah berpamitan pada Mia. Aku juga sudah mengucapkan terimakasih. Sekarang aku harus memacu mobilku dan pulang kerumah. Aku mulai tersenyum kembali.
“ Mana temanmu tadi Mia??” tanya Dave.
“ Dia pulang” sahut Mia lesu.
“Oh ... iya tadi siapa namanya?” tanya Dave lagi.
“ Namanya Serena.” Kata Mia bersemangat tiba-tiba.
Mendengar nama itu om Hardiman seperti tersengat listrik. Namanya sama seperti bayi yang ia berikan leontin sewaktu kecil. Serena. Namun, itu tidak mungkin anak tadi itu sangat berbanding terbalik dengan bayi kecil itu, kembaran roy.
”Iya aku tahu. Maksudku nama lengakapnya.” Geram Dave.
“Oh ... Serena Adi Wijaya Kusuma. Puas.” Kata Mia mencondongkan wajahnya kedepan kakaknya. Dan tentu saja Dave refleks mundur.
Mendengar nama itu. Entah kenapa pak Adiwinata terkejut. Dia yang sedari tadi tidak ambil pusing mulai angkat bicara.
“Apa? tadi kau bilang apa? namanya siapa? Wijaya Kusuma.” Kata Pak Adiwinata sangat terkejut.
“Emang kenapa sih ?” tanya Mia bingung.
Semua orang saling pandang. Tidak ada yang tidak tahu siapa itu Wijaya Kusuma. Seorang pengusaha property yang sangat sukses dan kaya raya. Dan orang yang Pak adiwinata incar untuk menjadi investor bisnisnya.
Pak adiwinata tentu kecewa besar. Ini kesempatan bagus. Karena anak pak Wijaya ada dirumahnya. Namun, ia melewatkannya begitu saja. Ia sangat menyesal. Karena ini bisa menjadi ajang agar dirinya bisa dekat dengan Pak Wijaya Kusuma, orang yang sudah lama ia inginkan untuk jadi partner bisnis. Walau sekarang masih belum kesampaian. Karena orang itu selalu pilih-pilih dalam menjalin sebuha kerjasama bisnis.
***
Sementara itu aku sedang mengemudi mobilku. Awalnya aku memang tidak tahu arah karena aku lama berada di Kanada. Namun, sekarang adalah zaman digital, era dimana semua yang kau inginkan bisa dicari di internet. Termasuk arah pulang, Gmaps solusinya. Setelah 20 menit menyetir aku akhirnya sampai di rumah. Di rumah ayah sudah menyambutku dengan senyuman hangat. Kami berpelukan dan berbincang santai seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya.
Keesokan harinya,
Saat makan malam aku mulai berpikir, aku ingin memiliki sebuah usaha restoran. Ide yang timbul begitu saja. “Yah ... emm ... gimana kalau aku buka usaha restoran. Sepertinya cukup bagus. Mengisi waktu luang juga. Karena aku juga kan belum punya sekolah baru.”
“Ya ... itu bagus. Kamu butuh berapa? Nanti ayah akan berikan modal padamu.” Kata ayah langsung menyetujuinya apalagi jika berhubungan dengan bisnis.
“Gak usah deh yah. Aku nanti pakai modalku sendiri saja.” Kataku meyakinkan.
“Kamu yakin?” tanya ayah.
“Ya ... Yah. aku yakin.” Jawabku tegas.
Semenjak itu aku mulai mencoba ranah bisnis dimulai dari bisnis kuliner. Aku membuka usaha sebuah restoran bintang lima. Restoran ini menyajikan berbagai makanan mulai dari Chinese Food, Western Food, dan tentunya ada juga makanan khas Indonesia.
Tempat ini cukup luas. Aku membaginya menjadi 4 bagian. Bagian depan adalah tempat yang biasa digunakan oleh pelanggan biasa. Bagian tengah sengaja aku buat agak luas karena akan aku gunakan untuk konsumen yang suka reservasi tempat. Bagian belakang adalah tempat pelanggan VIP, tempatnya sengaja aku desain agak mewah. Bagian atas adalah bagian untuk pelanggan namun, aku sengaja membuatnya ada diatas karena pelanggan bisa mendapatkan view yang bagus.
Setiap bagian mempunyai dapurnya masing-masing. Dan setiap dapur memiliki chef andalan masing-masing. Ini adalah restoran pertama di kota ini yang sengaja aku design dengan dapur berada di tengah ruangan dengan dinding kaca 2 arah. Dimana pelanggan bisa melihat koki yang sedang memasak, namun bagian dapur tidak bisa melihat pelanggan agar mereka bisa fokus dan tentu saja aku sudah mengkoordinasikannya terlebih dahulu, karena aku tak ingin mereka nanti terlihat berantakan. Aku ingin semuanya sempurna dan rapi. Restoran ini aku namakan Orion. Orion Resto.
Untung saja, restoran yang aku bangun ini selalu penuh dan ramai oleh pelanggan karena aku sudah menghabiskan banyak uangku untuk membuat restoran ini.
Aku tidak setiap hari ada disini. Hanya kalau aku sedang mood saja. Dan hari ini aku sedang dalam suasana hati yang baik. Aku mulai mengencangkan sabuk pengamanku dan memacu kendaraanku cepat.
“Tuan ... anda datang kemari hari ini?” tanya seorang pria begitu melihatku keluar dari mobilku.
“Ah ... iya.” jawabku singkat sedikit terkejut. Dalam batinku aku berkata, “Orang ini datang dari mana.” Yah, karena aku tidak melihat ia ada disampingku tadi.
“Tidak ada masalah kan?” tanyaku padanya, yang merupakan manajer yang aku percaya mengelola tempat ini.
“Semuanya lancar tuan. Tapi, malam ini ada seorang pelayan yang tidak masuk.” Katanya.
Aku berhenti sejenak sambil melihat suasana. Tempat ini ramai sekali, dan ada satu orang yang tidak masuk.
“Okay ... aku yang akan gantikan.” Kataku spontan yang membuat manajerku terkejut.
“Oh ... tuan jangan. Biar nanti saya akan carikan ganti.” Katanya panik.
“Ngak papa. Juma hari ini kan.” Kataku menuju ruang ganti, dan menggenakan celemek.
Aku mulai mengerjakan tugas sebagai seorang pelayan. Melayani tamu dan sebagainya. Aku merasa pelayan lain agak canggung padaku, wajar saja aku bos tertinggi mereka, pendiri sekaligus investor tunggal tempat ini. Namun, aku tetap ramah agar mereka tidak terlalu takut padaku tapi, aku juga bersikap tegas agar mereka tidak merendahkanku.
“Pelayan ... ” Teriak salah satu pelangan agak kasar.
“Ya ... ada yang bisa saya bantu.” Kataku setelah menghampirinya karena kulihat semua pelayan lain sedang sibuk.
“Lo ngak becus ya ngladenin pelanggan.” Katanya marah sambil menumpahkan isi piring.
Seorang pria yang terlihat sangat arogan. Hufttt ... tarik nafas hempaskan perlahan, kataku dalam hati mencoba meredakan amarah. “Kalau boleh saya tahu ada masalah apa ya.” kataku mencoba sesopan mungkin.
“Lo ... masih nanya. Ngak liat apa. Masak ngehidangin makanan kaya gini. Udah ngak enak kotor lagi.” Katanya dengan bahasa yang tidak formal.
“Coba elo aja yang makan.” Katanya berdiri seraya menghempaskan piring ke lantai.
Aku memperhatikan sekitar, sepertinya jika ini berlarut ini hanya akan menjadi tontonan dan membuat pelanggan lain merasa tidak nyaman. Aku tidak ingin citra restoran ini rusak hanya karena kelakuan satu orang. Manajerku mulai bergerak maju untuk membelaku. Namun, aku mengangkat tangan kanan ku atas. Tak ingin ia ikut campur.
“Sepertinya makanan yang kami berikan sudah cukup layak. Mungkin itu hanya perasaan anda saja.” Kataku mencoba tetap sopan.
Padahal aku merasa aku sudah sangat sopan tapi ia malah marah dan menampar wajahku dengan keras. Aku mengepalkan tanganku menahan amarah. Ingin sekali rasanya aku menampar balik wajahnya. Namun, segera kuurungkan.
“Maaf--” perkataanku terpotong ketika ia kembali menampar wajahku.
Ia tersenyum puas. Aku lalu menahan tangannya ketika ia akan menampar wajahku untuk yang ketiga kalinya.
“Sudah cukup. Hentikan. Anda tidak bisa melakukan ini pada saya.” Kataku marah.
Bukannya takut ia malah tertawa keras, membuatku semakin emosi.
“Apa yang kau tertawakan.” Kataku tidak formal lagi mengingat sikapnya.
“Hey ... kamu ngaca dong. Lo itu juma pelayan. Jangan songong. Lo ngak tau gue siapa hah? Kalo lo macem-macem Sama gue. Gue bisa lho hancurin hidup lo. Sekarang panggilkan manajer tempat ini. Panggil dia sekarang.” Katanya berteriak.
“Buat apa.” Kataku menantang.
Aku melepaskan celemekku dan meletakkannya dimeja.
“Anda bisa bicara dengan saya. Saya pemilik tempat ini.” Kataku.
“Hah ... loe. ya ngak mungkin lah.” Katanya mengejek.
Aku mengambil kartu namaku dan memberikan itu padanya. Matanya membelalak kaget begitu membaca kartu namaku. Dilihat dari segi kekuasaan ia sepertinya kalah telak. Terutama nama keluargaku, Wijaya Kusuma. Dalam hati aku membatin, ternyata silsilah keluarga ada gunanya juga.
“Sekarang anda ingin menyelesaikan ini disini atau haruskah saya bawa masalah ini ke meja hijau.” Ancamku.
“Dan tentu saja anda harus membayar semua ini termasuk kerugian saya. Anda juga berutang maaf pada saya karena sudah menampar wajah saya dua kali.” Kataku marah.
“Ma..a...af” katanya terbata-bata.
Dalam hati aku heran. Kemana perginya semua sikap arogannya. Apa memang semua orang sama saja? Mereka semua semua takluk pada harta dan kekuasaan.
Aku menyuruh manajerku maju mendekatiku lalu berkata, “Bereskan semua ini. Jika ada orang yang tidak sopan pada pegawai disini. Laporkan padaku.”
“Ba..a..ik tuan.” Katanya agak takut. Dalam hati aku juga bingung, kenapa orang ini takut padaku padahalkan aku tidak marah padanya.
“Oh ... iya kamu. Simpan saja itu. Dan jangan lupakan wajahku.” Kataku tajam sambil menunjuk kartu namaku yang ia pegang dengan tangan gemetaran.
Akupun beranjak meninggalkan tempat itu.
Kejadian barusan sukses membuat moodku berubah 180 derajat.
***
Thanks ya...atas semua masukannya...
Comment on chapter PROLOG