Kami melalui hari-hari kami disekolah seperti biasa. Aku selalu membelikan makanan untuk teman sekelasku. Dan Cici masih tidak mempunyai teman. Sampai suatu ketika.
Terlihat di dalam ruangan kelas anak-anak bergerombol karena guru belum datang. Ada yang berbincang bincang, bermain, bersenda gurau dan sebagainya. Hanya tampak seorang anak perempuan yang menyendiri. Ia terlihat sangat giat belajar atau tak punya teman untuk diajak bicara.
Ia sangat fokus pada hal yang sedang dipelajarinya. Sampai ada 2 anak yang mendekatinya.
"Hai ... Cici. Kamu lagi apa?" tanya seorang anak yang bernama Shasha.
"Kita main yuk." Kata Cika.
Sontak Cicipun terkejut. Selama ini tidak ada yang mengajaknya bermain bersama. Ia senang tapi, ragu untuk menerimanya.
"Ayo ... gak papa. Kita main bareng aja." Kata anak satunya lagi.
Akhirnya Cicipun mengangguk. Semenjak saat itu mereka bermain bersama. Sejak hari itupun Cici terlihat sangat senang.
"Cici ... kamu kenapa? kayaknya kamu seneng banget hari ini? " Tanya Tono sambil menjilat es krimnya saat kami sedang menunggu angkot untuk pulang.
Cici hanya mengangguk-angguk dan menjelaskan dalam bahasa isyarat. Kami yang sudah terbiasa tentu saja bisa memahami apa artinya.
"Wah ... bagus dong sekarang kamu punya teman." Kataku ikut senang. Karena aku saja tidak punya teman sampai saat ini.
Setelah menunggu cukup lama akhirnya kami mendapatkan angkot.
Keesokan harinya Cici minta disiapkan bekal lebih pada Bunda. Karena hari ini Bunda membuat roti lapis spesial bagi kami. Cici ingin memberikannya pada-teman teman barunya.
Sesampainya kami dikelas Cici masuk ke kelasnya dan memberikan makanan pada teman-temanya.
"Wah ... Cici ini buat kami. Makasih ya." Kata Shasha.
"Tapi ... ini bersih kan?" tanya cika meragukan.
Dengan polosnya Cici mengangguk tanpa merasa tersinggung sedikitpun. Akhirnya mereka menghabiskan roti itu. Saat istirahat pun tiba. "Cici, beli’in kita minuman ya." Suruh Cika mulai memerintah.
"Oh ... iya kamu dulu ya yang bayar. Soalnya aku lupa bawa uang saku" Tambahnya beralasan.
Cicipun hanya mengangguk tanda setuju. Ia pun berangkat ke kantin. Walau ia menyadari bahwa ia mungkin harus menggunakan seluruh uang jajannya hari ini untuk membelikan Cika minuman. Sesampainya di kantin Cici pun langsung memesan minuman yang biasanya disukai Cika. Es lemon.
Ia harus menunggu agak lama karena memang kedaan saat itu sedang ramai. Sementara itu dikelas Cika sedang berbicara dengan Shasha.
" Sha ... kayaknya anak gagu itu bisa kita jadiin babu deh." Katanya menyeringai licik.
"Wah ... oke juga tuh ide lo. Kita bisa suruh dia kerjain PR aja. Kan dia pinter tuh" kata Shasha.
"Wah ... pinter juga lo." Kata Cika.
Saat mereka sudah selesai berbicara. Datanglah Cici sambil membawa minuman Cika. Anak itu tampak terengah-engah, rupanya ia berlari menuju kelas setelah mendapatkan pesanannya agar temannya itu tidak menunggu lama. Maklum ini kali pertama ia mendapatkan teman. Walau sebenarnya teman-temannya hanya ingin memanfaatkannya dan tidak pernah tulus berteman dengannya. Namun, lebih baik Cici tidak usah mengetahui hal ini. Terkadang hidup akan jadi lebih indah jika kau tak mengetahui kenyataan pahit yang tersembunyi.
"Wah ... makasih ya Cici." Kata Cika langsung mengambil minumanya dari tangan Cici.
"Eh ... Cici. Kamu udah kerjain PR matematika belum?" Tanya Shasha penuh tujuan.
Cicipun mengangguk.
"Bantuin aku dong. Aku belum kerjain nih. Sekalian kamu tulisin ya. Soalnya tangan aku lagi pegal-pegal nih. Please ya." Pinta Shasha dengan wajah memelas namun hatinya penuh tipu daya licik.
Dalam hati Cici merasa agak keberatan. Namun, ia merasa sungkan menolak permintaan sahabatnya itu. Ia takut mereka tak mau berteman dengannya lagi dan ia akan sendiri lagi. Akhirnya ia hanya mengangguk pasrah.
" Wah ... kalau gitu sekalian punyaku dong." Kata Cika menambahi.
Mereka pun mengambil bukunya dan memberikan pada Cici.
Setelah hari itu. Cici mulai mengerjakan semua tugas mereka. Ia selalu disuruh-suruh. Ambil ini-itu, belikan makanan. Kerjakan tugas ... bahkan, sampai membawakan tas mereka. Ia bukan seperti teman lagi melainkan pembantu mereka. Ia sadar namun tak berani menolak. Penah sesekali ia mendengar bisikan anak-anak lain berkomentar tentangnya. “Ihhh jadi babu” ... “kok bodo amat yak” ... “koq mau maunya”. Dan bisikan itu semakin lama semakin sering dan lantang. Namun, ia percaya teman-temanya tak akan memanfaatkannya.
Karena Cici terlalu sibuk mengerjakan tugas teman-temanya ia menjadi terlalu mengabaikan tugasnya sendiri. Bunda yang mengetahui penurunan nilai Cicipun akhirnya angkat suara.
"Cici ... kemari sayang." Pinta Bunda menyuruh Cici duduk di teras
Cicipun menghampiri Bunda
"Cici. Kenapa nilai kamu bisa turun. Padahal Bunda lihat kamu rajin. Belajar. Cici ceritaya sama Bunda. Jangan takut. Kalau begini terus beasiswa kamu bisa dicabut hlo." Kata Bunda menasehati.
Akhirnya dengan bahasa isyaratnya. Cici bercerita pada Bunda dari awal sampai akhir.
"Cici yang namanya sahabat tidak seperti itu. Kamu lihat semut di pohon itu." kata Bunda sambil menunjuk pohon mangga yang ada di depan panti yang penuh semut.
"Sahabat itu seperti semut. Saling tolong-menolong bukan memanfaatkan yang lain. Lihat itu semut. Mereka membawa makanan dengan gotong-royong. Mereka tidak pernah membiarkan teman mereka memikul beban sendirian karena jika semua dilakukan bersama akan jadi lebih mudah sayang. Nah, jika Cici berfikir Cici membantu mengerjakan tugas mereka itu dianggap sebagai pertemanan yang baik. Itu salah. Kita memang harus saling tolong menolong. Tapi, bukan dalam mengerjakan PR. Pekerjaan Rumah itu harus dikerjakan sendiri. Mengerti." Nasihat Bunda.
Cicipun mengangguk tanda mengerti.
"Nah, besok Cici bilang sama teman teman Cici." Kata Bunda.
Keesokan harinya disekolah,
Cicipun menghampiri teman-temanya sambil menyodorkan kertas yang sudah ia tulis pesan sesuai nasehat Bunda.
“Oh ... jadi kamu nggak mau bantu kita lagi ya??" protes Shasha.
"Oh ... yaudah. Kalau gitu kita gak usah temenan lagi. Ngerti !!! Ayo Sha ... kita pergi." Kata Cika.
Kedua anak itupun pergi meninggalkan Cici. Hari-hari setelahnya Cici kembali sendiri. Ia tak punya teman lagi. Bankan, Cika dan Shasha cenderung memusuhinya. Dan ia merasakan rasa sepi lebih dari sebelumnya. Cici mungkin lebih baik jika ia tak berteman dengan Cika dan Shasha sebelumnya. Perasaan bahagia yang pernah ia rasakan saat ia memiliki teman membuat hari-harinya semakin suram. Karena rasa bahagia sesaat yang menggantikan rasa kesepian itu sangat berharga. Saat kau kembali merasakan pahitnya, rasanya akan lebih menyakitkan karena kau merindukan kenangan manisnya.
Semakin lama ia mulai merasa tidak betah lagi untuk bertahan di Smp Harapan Bangsa itu. Sampai pada suatu sore ia mulai mendekati Fresla yang sudah bersekolah di Smp Citra Satu. Sekolah pinggiran namun berisi orang-orang yang baik hati. Itu terbukti dengan wajah Fresla yang selalu bahagia.
Ia pun mendekati Fresla yang duduk di teras.
"Cika ... Ada apa??" Tanya Fresla.
Cikapun menulis pesan untuk Fresla dan menyodorkannya.
" Oh ... Smp Citra Satu. Aku senang disana. Orangnya baik. Aku punya banyak teman disana. Setiap pulang berangkat aku bisa bareng Boni, anak tetangga sebelah. Walaupun tempatnya nggak sebagus Smp Harapan Bangsa. Namun, aku sama sekali tidak menyesal pindah sekolah.” Kata Fresla tersenyum sambil membersihkan tongkatnya dengan kain lap.
Dalam hati Cici mulai berfikir.
"Apa aku pindah saja ya. Ikut kak Fresla." Batinnya.
"Kenapa?? Kamu sudah nggak betah ya. Coba bilang saja ke Bunda. Biar nanti kita bisa sekolah bareng." Kata Fresla memahami perasaan Cici.
Akhirnya Cicipun menuruti nasehat Fresla. Ia mulai membicarakan ini pada Bunda. Bunda yang sudah tahu hal-hal seperti ini akan terjadi langsung menyetujui apa yang Cici katakan. Dan besoknya Cici dan Bunda segera mengurus kepindahannya mumpung ini semester baru, yaitu semester 3.
Aku dan Tono tentu saja terkejut mendengar hal ini. Sekarang hanya tinggal kami berdua. Semuanya tidak akan sama lagi. Karena sekarang jadi semakin sepi. Untunglah Tono anaknya agak cerewet, batinku. Karena dengan segala sifat cerewet dan ofer PD-nya suasana jadi lebih hidup.
"Tono ... ayo kita berangkat." Kataku sambil melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 06:15 pagi.
" Iya Rey, bentar lagi." Katanya sambil menyisir rambut.
"Ayo kita bisa terlambat. Cici dan Fresla sudah berangkat sejak pagi tadi hlo." kataku. Karena sekarang Cici dan Fresla sudah satu sekolah jadi mereka berangkat bersama. Smp Citra Satu tidak tidak terlalu jauh dari sini. Itupun bisa jalan kaki. Walau dekat tapi Cici dan Fresla sudah berangkat pukul 06:00 tadi. Mereka anak yang cukup rajin. Satu hal yang tidak bisa kulakukan jika bersama Tono. Aku bangun lebih pagi. Hanya untuk menunggu Tono berdandan. Hufftt ... Menyebalkan memang.
"Tono, ayo." kataku tidak sabar.
" Iya, ini juga sudah selesai." Katanya sambil meletakkan sisir dan berkaca.
"Yuk ... berangkat." Katanya.
"Kamu sih lama. Kalau kita telat bagaimana?" Rengekku.
"Tenang aja. Ntar kalau telat balik pulang aja. Hahaha." candanya.
"Jangan sembarangan dong." sahutku kesal.
"Iya ... iya kan aku cuma bercanda. Sini aku bantuin." Katanya membantuku.
"Kamu ngapain sih masih pake tongkat. Kan kamu udah bisa tanpa tongkat." Tanyanya penasaran.
"Iya gak papa. Juma jaga-jaga aja." Kataku. Sebenarnya aku tak enak hati pada Fresla. Ia pasti akan sedih mengetahui bahwa aku sebenarnya sudah bisa jalan tanpa tongkat walau masih tertatih-tatih. Ia pasti akan berfikir bahwa ia akan kehilangan teman yang memiliki kelainan yang sama dengannya.
Karena ketahuilah. Memiliki teman yang senasib itu membuat derita kita berkurang. Namun, ketika kamu sadar bahwa temanmu itu sembuh dan kamu tidak. Rasa iri dan sakit akan bercampur jadi satu. Dan aku tak ingin Fresla merasa seperti itu.
Suasana semester baru ini masih sama seperti sebelumnya. Namun, menjadi lebih sepi. Karena kami kehilangan dua personel kami. Aku harap disemester 4 ini semua akan berjalan lancar. Dan kami bisa lulus bersama.
Aku masih menjadi babu dan Tono masih saja mengejar wanita itu. Walau sudah ditolak berkali-kali. Namun, seperti yang diharapkan dari Tono. Ia pantang menyerah. Setiap pulang sekolah Tono selalu bercerita tentang wanita itu. Seolah - olah wanita itu adalah wanita paling sempurna di dunia. Ia juga sering bercerita pada Bunda. Dan Bunda juga sering menasehati Tono agar ia fokus saja pada pelajarannya agar beasiswanya tidak dicabut karena nilai Tono selalu pas-pasan.
Sebenarnya kami juga tahu hubungan Ini tidak akan berhasil. Sebesar apapun rasa suka Tono pada perempuan itu mereka tidak akan bisa bersama kelak. Apalagi melihat bahwa Wanita itu sama sekali tak menyukai Tono. Cinta sepihak yang hanya akan menyakiti diri karena impian yang terlalu tinggi untuk dicapai, begitu pikir kami. Tapi, kami memang belum bicara jujur pada Tono. Kami takut ia akan sakit hati mengingat sifatnya yang over percaya diri.
Wanita itu bernama Bunga. Cantik memang kuakui. Berasal dari keluarga kaya. Ayahnya seorang pengusaha properti yang cukup sukses. Dan keluarganya pasti juga orang yang mempertimbangkan bibit, bobot, bebet orang lain. Jika melihat dari latar belakang kami yang tidak jelas asal usulnya, menolehpun mereka sepertinya takkan sudi.
Setiap hari Tono selalu membawakan makanan untuk bunga. Walau ia tahu selalu saja dibuang oleh bunga. Namun, entah kenapa ia tak merasa sakit hati. Sampai suatu saat ia memiliki keinginan untuk menyatakan perasaannya.
Saat pulang sekolah di dalam angkot.
"Rey ... menurutmu gimana sama bunga?" tanyanya malu-malu.
"Gimana apanya ?" tanyaku bingung.
"Ya ... orangnya." Katanya.
"Ngak gimana-mana tuh. Biasa aja. Aku kan nggak sekelas sama dia, mana aku tahu orangnya kaya’ apa." Jawabku.
"Masak kamu nggak nyadar sih. Dia itu cantik, baik, pinter lagi." Katanya melebih-lebihkan.
"Ooo..." sahutku setengah tidak peduli sambil memutar bola mataku tanpa sepengetahuannya.
"Menurutmu...aku cocok sama dia nggak? " tanyanya lagi.
Sebenarnya agak sulit menjawab pertanyaan Tono. Jika jujur aku takut ia akan tersakiti tapi, aku sebenarnya juga tak ingin berbohong.
"Rey ... jawab dong." rengeknya.
" Cocok koq" Kataku memilih berbohong pada akhirnya.
"Aku sebenarnya punya rencana Rey. Ntar kita mampir ke toko buat beli bunga sama coklat ya" katanya tiba-tiba.
"Hah ... buat apa? " tanyaku heran.
"Aku ingin nembak Bunga." katanya mengagetkanku.
Dalam hati aku menyalahkan diri sendiri. "Koq ... aku tadi bohong sih ... jadinya malah begini." sesal batinku. Karena aku tahu hasilnya adalah nihil dan berujung penolakan. Bahkan, menyakitkan.
Akhirnya akupun menurut dan mengikuti Tono ke toko untuk membeli bunga dan cokelat. Ia memilih milih seikat bunga mawar yang cantik.
"Rey ... bunga ini bagus ngak?" tanyanya.
"Bagus koq ... tapi kamu dapat uang dari mana?" heranku.
"Aku ini nabung Rey ... biar bisa beliin bunga hadiah. Hehe..." katanya.
"Ooo ... gitu ya. Kan sebaiknya uangnya kamu tabung aja ton." Kataku.
"Ngak papa sekali-sekali lah. Cowok itu harus modal" pamernya.
Akhirnya setelah Tono menemukan apa yang ia cari. Kamipun pulang. Saat diangkot Tono berkata. "Eh...nanti jangan bilang-bilang sama Bunda hlo" ancamnya disusul anggukan pasrahku.
Keesokan harinya. Saat istirahat dikelas Tono.
"Aduh ... gimana ini. Aku gugup banget nih. Diterima nggak ya. Aku takut nih. Tapi nggak papa. Aku harus coba." batin Tono dalam hati.
Diam-diam Tonopun mengambi bunga dan cokelat yang sudah dia persiapkan. Iapun mendekati Bunga yang sedang bergerombol dengan teman- teman sekelasnya. Begitu mendekati bunga Tono menyodorkan bunga yang ia sembunyikan dibelakang tubuhnya.
"Eh ... ini apa?" kata Bunda terheran-heran.
"Ini buat kamu." kata Tono ragu-ragu.
"Aku....." kata bunga menunjuk dirinya sendiri dan memandang teman-temanya yang mulai tertawa.
"Yakin kamu? Buat apa?" tanya Bunga pada Tono.
"Aa ... akuuuuu ... suuuukaaa ... sama kamu." Kata Tono tergagap.
"Kamu mau nggak jadi pacar aku" lanjutnya.
Cie ... cie ... sontak saja seisi kelas menjadi ramai.
"Eh ... temen-temen si item lagi nembak Bunga tuh" Kata salah seorang murid.
Begitu mendengar itu. Bunga marah. Ia mengambil bunga yang diberi Tono dan melemparnya kelantai.
"Ih ... jijik tau. Kamu nggak tau aku siapa. Apa nggak ngaca kamu ini siapa. Kamu itu udah jelek, item, miskin lagi." Ejek bunga dengan suara tinggi mengahncurkan hati Tono.
Mendengar respon bunga Tonopun sangat kaget. Ia tak menyangka kalau wanita idamannya akan berkata seperti itu.
"Ayah aku itu kaya dan manamungkin keluarga aku mau menerima orang kaya kamu. Kamu kan nggak punya ayah ibu kan? Asal usulmu nggak jelas lagi." Lanjut Bunga.
Tak kuasa menahan tangis dan sakit hati. Akhirnya Tono lari keluar dan menangis sepuasnya dikamar mandi.
"Uuuu.." sorak teman-teman sekelasnya.
Saat pulang sekolah di dalam angkot akhirnya Tono menceritakan semuanya padaku.
Jujur inilah yang aku takutkan. Tono akan sakit hati. Sesampainya di panti Tono langsung menuju kamarnya dan menguncinya. Ia juga melewatkan makan siang. Bunda yang heran bertanya padaku saat kami makan siang. Akhirnya aku menceritakan semuanya pada Bunda. Setelah selesai makan Bundapun menghampiri kamar Tono.
Tok...tok...tok...
"Tono ... ini Bunda. Buka pintunya" kata Bunda.
"Iya Bunda" kata Tono sambil membuka pintu.
"Sini duduk" Bundapun mengajak Tono duduk ditepi ranjangnya.
"Bunda tahu Tono apa yang sudah terjadi. Jujur Bunda kecewa ton. Bunda menyekolahkanmu di sekolah yang bagus bukan agar kamu bertemu wanita dan jatuh cinta. Bunda tidak menyalahkan perasaanmu. Itu wajar seorang pria tertarik pada wanita. Tetapi, ini bukan saat yang tepat ton. Ini saat kamu belajar dan menimba ilmu. Kamu harus fokus belajar. Supaya bisa jadi orang sukses. Kamu ngerti kan ton." Nasehat Bunda sambil mengelus pundak Tono.
"Iya. Bunda. Maafin Tono ya." kata Tono sambil mengusap matanya
"Tapi Tono malu Bunda. Toni mau pindah sekolah aja" lanjutnya.
"Ya. Nanti kalau ganti semester. Kamu sabar dulu ya." kata Bunda
Hari hari selanjutnya Tono menjadi bahan ejekan. Banyak yang berkata ia bagai pungguk merindukan bulan. Namun, ia harus tetap bersabar. Sampai akhirnya kenaikan kelas tiba. Tono pindah ke Smp Citra Satu bersama Cici dan Fresla.
Impian dan harapan kami gugur satu persatu. Bagai daun-daun di musim kemarau. Sekarang hanya aku yang tersisa untuk mewujudkan impian yang kami bangun dulu.
Thanks ya...atas semua masukannya...
Comment on chapter PROLOG