Di Sekolah ( Lagi ).
Kami masuk sekolah lagi namun kali ini, kami tidak bersemangat seperti sebelumnya. Soal insiden kemarin kami tidak berani mengadu pada Bunda, kami takut Bunda akan khawatir pada kami.
“ Tono ... bagaimana kalau mereka tidak mau mendekati kita lagi.” keluh Fresla saat kami mulai menaiki angkot.
“Sudah kamu tenang saja, tidak akan ada orang yang berani menggangumu kan ada aku.” ucap Tono kepedean.
“Eihhh ... kamu mah Tono.” selaku sambil tertawa.
Sesampainya kami di sekolah. Sesperti kejadian kemarin anak-anak lain melirik kami sambil tertawa dan dengan tatapan mengejek. Pelajaran pertamapun dimulai.
Triiinnggg....bel istirahat berbunyi panjang. “ Ayo kita istirahat.” Ajakku dan mereka mengikutiku. Saat kami menuju tempat makan. Anak yang kemarin menganggu kami datang lagi. “ Hey...kalian sedang apa disini ! ini tempat makanku.” Katanya dan menendang kursi kami.
“Kami duluan yang sampai ditempat ini.” ucap Fresla memeberanikan diri.
“Haaa ... mana mungkin. Aku sudah disini duluan, benarkan teman–teman ?” bantahnya diselingi derai tawa cerca dari teman–teman segerombolanya.
“Sini ... lihat makanan apa yang kalian bawa.” Katanya sambil merebut makanan Cici.
“Uuuuu ... anggannn.” Kata Cici dengan gagu.
“Eh ... kamu bisu ya? Ih ... 2 orang cacat satu Bisu dan satu lagi item jelek, tonggos lagi. Iuhhhh....pantas saja tidak ada orang yang mau berteman dengan kalian. Kalian semua menjijikkan” ejeknya menyakitkan.
“Jaga bicaramu!” Balas Tono tak terima dihina.
“Doni ... mereka semua ini berasal dari panti asuhan.” bisik teman di samping Doni ambil tertawa.
“Oh ... jangan-jangan orang tua kalian membuang kalian karena malu. Yah ... siapa sih yang ingin mempunyai anak seperti kalian.” ejeknya kasar menambah panas hati kami.
Amarahku sudah tak dapat kubendung lagi. Aku teringat kalung dan barang pemberian Bunda, barang orangtuaku, pakaianku saat aku bayi. Aku marah, aku sedih, dan aku kecewa apakah aku ini benar-benar anak yang tidak diinginkan. Tanpa sadar aku mendorong Doni hingga dia jatuh terjengkang ke belakang.
“Ahhh ... apa-apaan kau ini !” teriaknya marah dan berusaha bangkit lagi.
Akhirnya kami terlibat aksi saling dorong. Insiden ini pun diketahui oleh bapak ibu guru. Dan sekolah memutuskan untuk memanggil orang tua kami, Bunda. Anehnya, mereka tak mengundang orang tua Doni. Hanya kami yang dimarahi dan dihukum serta diancam akan dicabut beaiswanya.
Akhirnya setelah Bunda datang kesekolah dan dinasehati banyak hal oleh bapak kepala sekolah, kami berempat pun dipulangkan lebih awal. Kami merasa diperlakukan tidak adil dan Bundapun tahu akan hal itu. Disepanjang jalan pulang kami hanya terdiam dan merenung dengan tubuh lesu dan tidak bersemangat.
Hari keesokannya tidak menjadi lebih baik kami menjadi bahan bullying di sekolah kami yang baru. Hal itu masih terus berlanjut bahkan ketika kami menginjak kelas 2. Waktu melihat pembagian kelas, kami semua terkejut. Kami semua berada di kelas yang berbeda. Kami masih bisa bertahan selama ini karena kami selalu bersama, namun kami tidak yakin akankah kami berhasil melewati semester berikutnya atau memilih untuk pindah.
Thanks ya...atas semua masukannya...
Comment on chapter PROLOG