Hari – hari kami dikelas 2 bukanlah hari yang mudah untuk dilalui. Ini baru hari ke-empat kami bersekolah lagi tapi, aku sudah melalui hari yang berat. Banyak anak-anak yang menjadikanku bahan olok-olokan mereka dan sasaran bullying. Kata-kata aku anak tanpa orang tua, anak haram, anak yang tidak tahu siapa keluarganya, anak yang dipungut, anak yang dibuang dan terutama anak cacat sudah sangat familiar bagi telingaku. Namun, aku mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar.
Aku tidak akan pindah. Aku selalu terbayang wajah Bunda yang begitu bahagia saat aku berhasil masuk sekolah ini. Aku harus kuat. Setidaknya kondisi ini tidak akan bertahan selamanya. Aku hanya harus melewati masa ini untuk 2 tahun lagi. Aku sudah berjuang dengan sangat keras selama satu tahun terakhir ini. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini dan perjuanganku selama ini.
“Reyyyy!!!!” Teriak suara seorang anak memangilku dengan keras.
Aku berjalan mamakai tongkatku dengan terburu-buru. Berkat usaha kerasku selama ini, berlatih berjalan tanpa menggunakan tongkat. Sekarang, kondisi kakiku menjadi lebih baik. Aku sudah mulai bisa berjalan tanpa menggunakan tongkatku walau masih terpincang-pincang.
“ Ya ... sebentar” Kataku pada seorang anak yang sedang duduk di meja kantin. Namanya Tera dia anak yang suka memerintahku dikelas. Tapi setidaknya nasibku lebih baik ketimbang Fresla karena dia satu kelas dengan Doni. Tera memang bukan anak yang baik tapi setidaknya ia lebih baik ketimbang Doni.
“ Ya ... Tera ada apa??” tanyaku sambil terengah-engah.
“Beliin makanan dong.” perintahnya.
“Ya ... tunggu sebentar.” Kataku menuruti perintahnya.
Dia selalu memintaku membelikan makanan untuknya. Padahal dia anak yang cukup kaya. Ia anak seorang pejabat di kota ini. Anak orang yang cukup berpengaruh. Sementara aku, Bunda hanya memberiku uang saku 10.000 saja. 4.000 rupiah sudah kugunakan untuk naik angkot. Dan setiap hari aku harus membelikan roti dan susu untuknya sebesar 5.000. Sekarang aku hanya punya sisa uang 1.000 setiap hari.
Aku tidak berani bilang pada Bunda. Aku takut Bunda akan terkena masalah gara-gara aku. Untung saja setiap hari aku bawa bekal. Jadi, tidak perlu beli makanan lagi. Karena uangku tidak cukup lagi. Setidaknya aku harus merelakan uangku ketimbang dibully olehnya. Bagiku, selama aku menurut dan tidak memberontak dia pasti tidak akan menjahatiku. Aku pasti akan baik-baik saja.
“Ini ... Tera makananmu.” Kataku sambil menyodorkan makanan padanya.
“Nah, gini dong. Sudah sana pergi.” Ucapnya menerima makanan yang kuulurkan.
Saat aku beranjak pergi. Anak-anak saling bergerombol dan pergi menuju halaman. Aku sedikit penasaran apa yang terjadi. Tapi, aku tidak mau kehilangan waktu istirahat yang tinggal sedikit lagi. Aku segera duduk dan membuka penutup bekal makananku.
Saat aku ingin makan. Sayup-sayup aku mendengar suara anak–anak berbicara.“ Eh...lihat yuk. Doni sedang mengerjai anak cacat itu”. “Siapa??”
“Itu lho ... yang satu kelas dengannya”
Saat itu aku bagai mendengar petir di siang bolong. Fresla. Inilah yang aku takutkan. Doni begitu membenci kami. Saat di kelas 1 kami saling membantu satu sama lain saat ada anak yang usil pada kami. Tapi, sekarang Fresla sendiri yang harus menghadapi keusilan Doni.
Akupun segera menuju halaman sekolah. Aku khawatir dengan apa yang dilakukan Doni pada saudaraku.
“Hhhaa ... ” tawa anak-anak berderai melihat kejadian di halaman.
Doni sedang menjahili Fresla. Ia mengambil tongkatnya dan membuat Fresla terjatuh. Sementara teman – teman satu geng Doni mendorong-dorong Fresla.
“Hentikan ... kembalikan tongkatku.” Teriak Fresla. Namun, tak diindahkan.
“Eh ... enak saja. Sini merangkak saja kalau kamu mau. Harusnya kamu tahu diri anak kayak kamu itu nggak pantes sekolah disini.” Ejeknya diselingi sorakan dari teman-temanya.
Entah apa yang sedang kulakukan, aku ingin menolongnya tapi aku tak dapat bergerak maju, aku terus saja diam ditempat. Rasa takutku mengingat apa yang sudah doni lakukan juga pada kami saat kami masih kelas 1 menghalangi keinginanku untuk membantu Fresla.
Kulihat di seberang kerumunan anak-anak ada Toni dan juga Cici. Dalam keadaan yang sama. Kami sama-sam ingin membantu Fresla tapi kami tak punya cukup keberanian untuk melawan Doni. Dan kulihat guru-guru sebenarnya juga melihat kejadian ini. Tapi memilih untuk tidak perduli karena mereka takut akan kekuasaan ayah Doni yang merupakan donatur terbesar untuk SMP ini.
Akhirnya kami semua hanya bisa terdiam melihat penderitaan saudara kami menjadi bahan sasaran bulying Doni.
“Ehhh ... lo mau nggak mau harus pindah besok. Aku nggak mau sekolah kita jadi bau gara-gara anak miskin kaya kamu, ngerti! ” Kata Doni sambil menyiramkan air bekas pel di ember ke baju Fresla.
Uuuu ... hahaha ... terdengar suara anak –anak yang tertawa dan mengolok-olok. Aku hanya merasa bersalah pada Fresla yang kulihat menahan tangisnya sambil berusaha mengambil tongkatnya yang terjatuh. Aku marah pada Doni tapi aku merasa lebih marah pada diriku sendiri yang tak dapat berbuat apa-apa.
Thanks ya...atas semua masukannya...
Comment on chapter PROLOG