“Bu, Ibu kasih izin gak kalau semisal Kia menikah setelah lulus SMA?” tanya Kia.
Pagi itu seperti halnya pagi-pagi yang lainnya. Kia membantu Ibunya menyiapkan sarapan di meja makan. Pertanyaan tiba-tiba Kia tentu saja membuat Laksmi, ibu Kia, sontak menghentikan kegiatannya sejenak.
“Kamu itu masih kecil kok udah ngomong nikah. Ada-ada aja,” komentar Laksmi sambil lalu.
Sebenarnya jantung Laksmi sempat berhenti sejenak ketika mendengar pertanyaan putri semata wayangnya itu. Namun, kemudian ia menepisnya mati-matian dan menganggap pertanyaan putrinya hanya sekedar pertanyaan biasa.
“Kia sebenarnya sudah dilamar sama Mas Galih, Bu. Kia setuju jadi istri Mas Galih,” ucap Kia kemudian. Gadis itu berdiri ragu-ragu di balik meja makan, bersebelahan dengan Ibunya.
Laksmi mengibaskan tangannya. “Hush! Kamu itu ngomong apa sih, nduk? Lamaran? Nikah? Bukannya mikir ujian nasional atau persiapan masuk kuliah malah ngomongin beginian.”
Kia menggigit bibir bawahnya. Mulai dari semalam Kia bertekad untuk memberi tahu Ibunya terlebih dahulu mengenai rencana untuk menikah dengan Galih. Waktu sebulan mungkin sudah terlalu lama untuk memberikan kepastian kepada Galih. Kia sebenarnya setuju-setuju saja, namun meyakinkan orang tuanya lah yang sedikit berat.
“Bu, Kia serius! Mas Galih ngajak Kia nikah dan Kia setuju. Secepatnya, Bu. Setelah Kia sudah lulus SMA.”
Laksmi berbalik menatap wajah anaknya dengan alis yang meninggi. “Kamu hamil, ya? Bilang sama Ibu kamu diapain aja sama Galih!” Laksmi menatap Kia tajam. Berbagai kemungkinan buruk berkemelut di otaknya.
“Astaghfirullah, Bu! Kia gak hamil! Nikah setelah SMA bukan berarti hamil, Bu!” Kia menegaskan ucapannya. Ia tak habis pikir, kenapa nikah muda selalu identik dengan nikah secara terpaksa? Apakah ia satu-satunya gadis yang secara sukarela menikah di usianya yang ke delapan belas?
Kia bersyukur tiga hari ini Ayahnya sedang dinas di luar kota. Jika pagi-pagi rumahnya sudah dihiasi dengan obrolan semacam ini, mungkin Kia akan terlambat pergi sekolah dan disidang di hadapan kedua orang tuanya. Bukan tidak mungkin Galih juga turut dihadirkan meskipun lelaki itu masih berada di Surabaya untuk kuliah.
“Kamu kalau pacaran nagapain aja sama Galih?! Gak ada angin gak ada hujan kamu tiba-tiba minta nikah. Jujur sama Ibu, apa yang terjadi sama kalian?!”
Laksmi masih bersikeras menuntut jawaban dari anaknya. Napasnya memburu cepat. Terlalu tiba-tiba jika anaknya mengutarakan keinginannya untuk menikah padahal membahas tentang pernikahan saja mereka tidak pernah.
“Ibu tahu sendiri kalau aku sama Mas Galih seringnya ngobrol di sini kalau gak di cafe atau di tempat umum. Kami gak pernah aneh-aneh, Bu. Ibu percaya kan sama Kia?”
Laksmi memegang punggung kursi, perempuan berkepala empat itu perlahan menempatkan diri duduk di kursi. Kakinya tiba-tiba lemas mendengar anaknya yang serius minta untuk dinikahkan. Putri semata wayangnya berdiri di hadapannya memakai seragam sekolah putih abu-abu menapakkan ekspresi tersinggung juga gugup.
“Lalu kenapa kamu tiba-tiba ngomong begini? Sekarang jaman sudah maju, perempuan-perempuan di luar sana berlomba-lomba ngejar karier, kamu malah minta nikah muda. Kamu kira nikah itu enak? Kamu kira setelah nikah masalahmu jauh lebih ringan? Apa yang membuat kamu ingin nikah cepet-cepet?”
Kia memilin ujung seragam sekolahnya. Beberapa tetes air mata meluncur dari sumbernya. Gadis itu ingin mengelak dan memberikan jawaban namun lidahnya tiba-tiba kelu.
“Gak bisa jawab kan kamu, Kia? Udah mending kamu simpan dulu pikiran nikah-nikah itu sampai kamu lulus kuliah dan dapat pekerjaan yang mapan!”
Ucapan Laksmi membuat hati Kia tertohok. Laksmi memang seperti kebanyakan orang tua yang ingin anaknya sukses dalam artian materi. Ditambah kenyataan bahwa Kia anak satu-satunya. Laksmi pasti berharap banyak kepadanya.
“Tapi Kia serius, Bu. Kalau Mas Galih ke sini buat melamar Kia, Kia harap Ibu sama Ayah ngasih restu,” putus Kia.
Kemudian Kia mencium tangan ibunya dan berpamitan menuju sekolah. Mendengar ucapan Ibunya membuat Kia semakin pesimis bahwa ia dan Galih bisa mendapatkan restu kedua orang tua masing-masing.
***
Sepulang sekolah, ia mengurung diri di kamarnya. Ia bukannya marah setelah mendengar ucapan Ibunya yang cukup menguras emosi dan perasaannya. Ia hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap setelah kejadian tadi pagi. Terlebih lagi sekarang Ayahnya sudah pulang bertugas dari luar kota. Mungkin Ibunya akan segera menceritakan segala detail yang mereka lakukan tadi pagi.
Suara ketukan terdengar dari pintu kamar Kia. Kia cukup yakin sebentar lagi ia mungkin harus menghadapi kedua orang tuanya.
“Kia, Ayah sama Ibu mau ngomong sama kamu. Kami tunggu di ruang tengah.”
Ucapan Salim, Ayah Kia, terdengar lembut sekaligus tegas secara bersamaan. Dari suaranya, Salim memang tidak mencerminkan kemarahan namun jantung Kia bertalu-talu ketika mendengarnya. Dengan sedikit gontai gadis itu turun dari ranjangnya. Ia memejamkan mata dan mengambil napas dalam-dalam sebelum membuka pintu dan mengikuti Ayahnya ke ruang tengah.
Di sinilah ia sekarang. Duduk di hadapan kedua orang tuanya. Ia merasa dihakimi meskipun kedua orang tuanya belum mengatakan apapun. Hanya sekali Kia pernah didudukkan seperti ini, yaitu ketika ia pulang terlambat tanpa memberi kabar kepada orang tuanya hingga menjelang larut malam.
“Ayah tadi dapat cerita dari Ibumu, katanya kamu ingin nikah setelah lulus SMA. Kamu serius?” ucap Ayahnya mulai membuka ‘persidangan’.
Kia duduk dengan meletakkan kedua tangannya di atas pangkuan. “Iya, Yah.”
Hening menerpa suasana ruang tengah yang biasanya hangat. Pertanyaan berikutnya pun bergulir. “Sama siapa? Pacarmu itu, si Galih?”
Kia mengangguk. Ia sama sekali tidak berani menatap wajah kedua orang tuanya. Ia tidak bersalah namun situasinya seolah-olah menjadikannya seperti tersangka.
“Bukannya Galih sekarang masih kuliah?” Salim kembali bertanya.
Kia menarik napas dalam-dalam dan menguatkan dirinya agar teguh mempertahankan niatnya. Ia menegakkan posisi duduknya sembari mengangkat kepala perlahan. “Iya, Yah. Mas Galih memang masih kuliah, tapi Mas Galih serius ngajak Kia menikah.”
Salim menaikkan salah satu alisnya ditambah dengan dahi yang berkerut. “Kamu tahu kan kalau nikah bukan cuma modal cinta? Ayah tahu hubungan kalian sudah bertahun-tahun lamanya. Ayah juga tahu Galih anaknya baik dan bertanggung jawab sama kamu. Tapi kamu juga perlu tahu, itu masih belum bisa jadi pondasi pernikahan yang kuat.
Ibu sama Ayah memang nikah di usia yang cukup muda. Ibu kamu waktu itu umurnya 20 tahun sedangkan Ayah berumur 24 tahun. Tapi anak muda jaman dulu, dengan usia segitu pikiran mereka sudah matang. Berbeda dengan anak jaman sekarang, Kia. Kamu mengerti kan maksud Ayah?”
Kia mendengarkan ucapan Ayahnya dengan seksama, tetapi gadis itu tidak sepenuhnya paham. Apa yang sebenarnya dikhawatirkan kedua orang tuanya? Bukankah yang menjalani pernikahan ini adalah dirinya? Dirinya bahkan sudah mantap bersedia. Dia juga yakin bahwa ia dan Galih memiliki kesiapan dan kematangan mental.
Ia dan Galih sebenarnya juga sudah membicarakan berbagai hal yang mungkin menjadi halangan di perjalanan pernikahan mereka. Keduanya pun tetap mantap untuk melanjutkan niat mereka. Tetapi mengapa orang lain yang terlalu khawatir dan meragu?
“Ayah gak pernah ngelarang kamu menikah. Malahan Ayah berharap kamu bisa cepat menikah, tetapi bukan dalam waktu dekat ini. Pernikahan yang terburu-buru hasilnya gak baik, Kia. Bukannya kamu setelah lulus SMA harus lanjut kuliah?”
“Iya, Yah. Kia akan tetap kuliah toh kampus memperbolehkan mahasiswa-mahasiswinya berstatus menikah,” jawab Kia. Tangannya memilin kuat kain celana untuk menyebunyikan rasa gugupnya.
Kia melanjutkan, “Mas Galih sudah ngelamar Kia dari sebulan yang lalu, Yah. Selama itu Kia memantapkan hati dan menimbang-nimbang risikonya. Sekarang Kia sudah memutuskan Kia mau menikah sama Mas Galih. Kia harap Ayah sama Ibu mengerti dan menghargai keputusan Kia.”.
Laksmi yang sedari tadi diam kini turut berbicara. “Kamu itu masih kecil, Kia. Galih juga masih kecil. Apa kata orang-orang nanti? Mau dikasih makan apa kamu sama Galih sedangkan anak itu jajan aja masih minta orang tuanya?”
“Mas Galih udah gak minta uang dari orang tuanya lagi beberapa bulan terakhir ini, Bu,” bantah Kia.
Kegusaran tampak jelas di wajah Laksmi. “Memangnya dia sanggup ngurus biaya hidup sama biaya kuliahmu? Dapat uang dari mana anak itu?”
“Mas Galih kuliah sambil kerja, Bu. Kia yakin kami punya jalan keluar selama kami berusaha. Ibu sama Ayah sendiri yang bilang kan kalau Kia sekali-kali harus keluar dari zona nyaman? Sekarang Kia mau keluar dari zona nyaman Kia.”
Melihat ketegangan dan suasana yang semakin memanas, Salim memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan mereka. Ia sangsi jika pembicaraan ini diteruskan maka suasana dalam keluarganya bisa runyam. “Sudahlah, Kia. Mendingan kamu suruh Galih ke sini hari Sabtu besok. Bilang kalau Ayah sama Ibu mau bicara sama kalian berdua.”
“Iya, Yah.”
Kia kembali menuju kamarnya, ia mengambil ponsel yang tergeletak di ranjang. Ia membuka aplikasi chatting dan mengirimkan pesan pada Galih.
kiaranuansa: Mas, hari sabtu besok ada acara?
Butuh waktu lima belas menit Kia menunggu Galih menjawab pesannya. Semenjak Galih kuliah, laki-laki itu memang lebih sibuk dan jarang menjawab pesannya dengan cepat.
ajatigalih: paginya sih ada jam tambahan ngasdos. Kenapa emangnya? Kalau urgent, mungkin setelah ngasdos aku bisa pulang.
kiaranuansa: Ayah sama ibu mau ketemu. Ngomong masalah pernikahan.
ajatigalih: iya, nanti aku usahain malamnya datang ke rumah kamu.
ajatigalih: kamu gapapa? Respon mereka gimana?
Kia mengetikkan sesuatu kemudian menghapusnya kembali. Apakah ia harus jujur pada Galih kalau jalan yang mereka tempuh mungkin tidak semudah seperti yang mereka bayangkan? Tapi buat apa pula menutupi segalanya dari Galih.
kiaranuansa: bukan kabar baik, mas. Kita mesti usaha keras buat meyakinkan mereka.
kiaranuansa: mas sendiri udah dapet restu?
ajatigalih: bebas bersyarat tp bisa diartikan iya. Tapi belum ngomong sama mama sih.
ajatigalih: nanti biar aku aja yg mikirin taktik buat hadapi orangtuamu. Kamu fokus belajar aja buat ujian. Tinggal dua minggu lagi.
kiaranuansa: iya. Semoga kita bisa melalui semuanya ya, mas.
Kia melesakkan dirinya ke ranjang, ia menyilangkan lengan menutupi wajahnya. Ia benci mengakui ini, tapi rupanya perjalanan mereka masih jauh.
-T B C-
Halo!
Selamat mudik buat kalian yang lagi siap-siap pulang ke kampung halaman. Semoga cerita Galih-Kia bisa menghibur kamu yaa...
Pasuruan, 18 Juni 2018
Hai @reik
Comment on chapter [1] Bu, Aku Mau MenikahAku gatau kenapa chapternya bisa kosong, padahal statusnya terpublish dan di draftnya ada isinya :(
Maaf atas ketidaknyamanannya, barusan aku publish ulang dan setelah aku cek isinya udah ada.
Happy reading :)