Kalau ada orang yang menanyakan tentang sifat Bulan kepada Bintang, pasti Bintang akan menjawab; dungu, lemot, nggak tahu malu, pecicilan, terlalu pede, sampai nyebelin tingkat dewa. Nggak ada tuh sifat Bulan yang baginya itu manis. Paling-paling hanya ayah dan bundanya saja yang bilang begitu. Lagi pula, mana ada sih orangtua yang mau menjelek-jelekan anaknya sendiri? Pasti nggak ada lah.
“Please Tang anterin ya, Please ...” perempuan di hadapan Bintang ini sedang berusaha memohon untuk diantarkan ke toko buku. Siapa lagi kalau bukan Bulan.
Bintang tetaplah Bintang, ia tidak mau mengantar Bulan. Karena baginya, waktu itu sangat berharga dari apa pun. Bintang tidak akan membuang waktunya dengan hal yang tidak bermanfaat seperti ini. Baginya, mengantar Bulan ke toko buku itu tidak berfaedah. Lebih baik dia bersantai di rumah sambil bermain PS kesayangannya.
Keempat temannya memperhatikan adegan alay tersebut tidak jauh dari mereka. Hanya berjarak sepuluh meter.
“Gue capek.” Bintang menolaknya lagi.
Bulan tetaplah Bulan, jangan panggil Bulan lemah kalau seperti ini saja dia tidak bisa.
“Sekali ini aja deh, Bulan nggak akan mohon-mohon lagi,” kata Bulan dengan nada suara yang sengaja dibuat-buat.
Bintang melirik kepada empat temannya. Pasalnya, hari ini mereka akan membeli kaset game PS terbarunya.
Rayhan menunjuk-nunjuk Bulan tanda kasihan melihatnya. Ketiga temannya yang lain ikut mengangguk.
Bintang memberi tatapan sinis, namun dengan kompak keempat temannya malah nyegir kuda.
“Frutang! Lo anterin aja dia, nanti lo nyusul,” Abay buka suara tidak tahan lagi melihat adegan nista di depannya.
“Enggak. Gue—”
“Gue beliin kaset game-nya deh,” Abay memotongnya cepat.
Sial! Mana bisa Bintang menolak?
“Tiga deh Tang tiga, ntar Abay yang beliin,” celetuk Galang membuat Abay langsung menoleh padanya.
“Bener nih?” Bintang menatap Abay tajam.
Sial, kenapa jadi Abay yang tersiksa begini? Abay pun langsung mengangguk lesu.
“Fine.” Putus Bintang langsung berjalan meninggalkan keempat temannya beserta Bulan yang ikut-ikutan mengejar Bintang.
“Lo sialan banget sih Lang!” Abay langsung menoyor keppala Galang.
Galang memasang tampang tidak peduli. Ia malah sok sibuk mengemut permen batang kesayangannya.
Rayhan yang memang sebal melihat tingkah Galang pun langsung menjitaknya.
“Dasar iblis tukang makan permen!”
“Anjrit! Kepala pangeran udah di fitrah nih,”
Abay dan Rafa hanya terkekeh dan langsung pergi meninggalkan dua mahkluk aneh tersebut.
ZZZZZ
“Yang ini bagus nggak?” tanya Bulan membawa sebuah novel bersampul hijau. “Tang, jawab dong.” Bulan merengek. Selama satu jam mereka bersama, Bintang tidak mau membuka suara sama sekali.
Bulan menaruh buku itu kembali ke tempatnya. “Ya udah, kita pulang aja deh,” Bulan kesal.
“AMBIL!” bentak Bintang. Bulan pun menurut langsung mengambil buku itu.
“Nggak usah bentak kali Tang,” ucap Bulan sebal, dipikir Bulan budeg apa, sampai jarak sedekat ini saja dibentak.
“Lo tuh! Tau ah!” Bintang langsung melengos pergi meninggalkan Bulan di tempat.
“Dasar, ganteng-ganteng kok nggak jelas, untung sayang deh,” gumam Bulan. Bulan pun beranjak dan segera menuju kasir.
Setelah Bulan membayar novelnya, ia segera menyusul Bintang yang ternyata sudah ada di parkiran. Bintang memasang tampang yang sepertinya bisa dibilang kesal. Ih, aneh, harusnya ‘kan yang kesal tuh Bulan karena ditinggal gitu aja, ini kenapa kebalik sih! Batin Bulan bersuara.
Bunyi ponsel Bulan akhirnya membuat keheningan di mobil ini lenyap.
“Halo?”
“Sekarang?” Ada perubahan di raut wajah Bulan.
Bulan menghela napasnya pelan. “Ya udah, nanti Bulan usahain deh,”
Sambungan telepon dimatikan secara sepihak. Bulan menimang-nimang ponselnya, kira-kira Bintang mau nggak ya?
“Eh, Bintang?” suara Bulan terdengar pelan. Tapi dengan keadaan yang sunyi seperti ini Bintang dengan jelas mendengarnya.
Bintang hanya bergumam.
“Mau anter Bulan ke bandara nggak? Tadi Bunda telpon katanya anak temannya baru aja sampe,” Bulan menjeda ucapannya, “mau nggak Tang?”
Bulan tidak menjawab ucapan Bulan, namun saat di depan ada tikungan, ia langsung memutar balik mobilnya. Di mana itulah jalan menuju bandara.
Seketika senyum Bulan mengembang. Gila, ternyata Bintang bisa romantis juga.
ZZZZZ
Sepi. Keadaan ini memang sudah biasa bagi Bulan. Tapi sekarang orang baru akan masuk dalam hidupnya. Bulan sangat senang, karena selama tujuh belas tahun ini Bulan merasa kesepian. Ayah dan Bundanya selalu bekerja. Walaupun Bulan tahu mereka bekerja untuk Bulan, ia mencoba untuk memakluminya juga. Terkadang Bulan merasa senang hanya untuk bisa menghilangkan rasa kesepian yang melanda dirinya.
“Bul? Kok bengong?” suara lembut itu menyadarkan Bulan dari lamunannya.
“Hah? Eh, engga tuh,” Bulan mengelak.
Perempuan dengan wajah blasteran di sampingnya hanya manggut-manggut dan kembali melanjutkan kegiatannya membereskan baju.
“Ini ditaruh di lemari gue aja, gue tidur duluan ya,” ujar Bulan langsung beranjak ke atas kasurnya. Mood-nya berubah semenjak Zoella datang. Ya, Bulan merasa senang ia bisa mendapat teman baru. Namun, tatapan Zoella saat di mobil tadi pada Bintang membuat Bulan merasakan takut. Ia takut kalau tiba-tiba saja Zoella mengambil Bintang dari dirinya.
Tapi, selama Bintang hanya menganggap Bulan teman, itu tidak masalah. Yang jadi masalah adalah Bulan yang tidak bisa terima kalau hal itu benar terjadi. Namun, satu yang membuat ketakutan Bulan memudar, Zoella tidak satu sekolah dengan dirinya.
Bintang tuh "pacarable" banget !! Hahaha ..
Comment on chapter Bagian Satu